Sunday, December 30, 2007
Citizen Journalism (11)
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
8:06 AM
0
komentar
Label: Sepeda Motor Modifikasi, Vespa
Tuesday, December 25, 2007
Catatan (36): Selamat Natal
Saya berterima kasih kepada teman-teman yang memang menjadi anggota, plus teman-teman rekrutan saya serabutan yang tidak menjadi anggota tim yang saat itu bertugas di kepolisian seperti NIC (kini di desk olahraga) dan FER (kini bertugas di Batam). Mereka adalah wartawan, meski tidak menjadi anggota tim, tetapi saat peristiwa besar terjadi, tenaga mereka siap digunakan. Itulah wartawan!
Ini sekadar catatan saja. Selamat Natal bagi yang merayakan, damai di bumi damai di hati...
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
8:18 AM
1 komentar
Label: Bom Malam Natal, Harian Kompas, Suryopratomo
Sunday, December 23, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (42)
Jurnalistik
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
9:23 AM
1 komentar
Label: Citizen Journalism, Korea Selatan, Netizen, Ohmy News
Berbagi Pengalaman Menulis (41)
NETIZEN
Versi warga
Dirangkul atau dijauhi?
Tengok jaringan televisi CNN yang memiliki i-Report bagi para pewarta warga yang mengirimkan foto maupun video. Di Yahoo! ada "People of the Web" untuk cerita dan "You Witness News" untuk foto dan video. Di BBC ada "Eyewitness Tale" dan "Survivor Amateur Videos". MSNBC punya "Citizen Journalists Report". Uniknya, kantor berita Reuters online pun memberi tempat bagi pewarta warga yang mengirimkan peristiwa yang dialami dan direkamnya.
OhmyNews yang dikembangkan Oh Yeon-ho di Korea Selatan sering dijadikan contoh klasik berhasilnya media massa alternatif para pewarta warga. Di Tanah Air ada Wikimu dan Panyingkul yang secara sadar "merekrut" dan mendidik warga biasa untuk dijadikan pewarta warga. Akan tetapi, keberadaan keduanya berdiri sendiri, tidak terkait dengan media massa mainstream, sama dengan apa yang dilakukan OhmyNews.
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
8:46 AM
1 komentar
Label: Citizen Journalism, Netizen, Singapura, Stomp, The Strait Times
Friday, December 21, 2007
Telusur (1)
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
9:16 AM
0
komentar
Monday, December 17, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (40)
Tujuh perkara itu ternyata menjadi ketergantungan manusia modern, yakni musik, video/televisi, foto, peta, kontak, games, dan internet. Dari tujuh perkara tersebut, Nokia mengemasnya dalam berbagai bentuk devices ponsel yang sesuai dengan tekanan masing-masing tujuh perkara itu.
Dengan keyakinan itulah, Nokia World 2007 yang berlangsung di Congress Centre RAI Amsterdam mengusung tema "Share More, Experience More". Ilkka Raiskinen dari pihak Nokia yang diserahi tanggung jawab untuk mengurus multimedia dalam satu kesempatan mengatakan, apa yang terjadi sekarang merupakan langkah untuk ke depan, yakni mengubah layanan internet menjadi lebih mudah dan bersahabat lewat multimedia di telapak tangan.
"Hal penting lainnya adalah kesadaran kami untuk memelihara lingkungan. Ini karena pengalaman kami, sekaligus peluang bagi kami untuk menciptakan teknologi informasi yang ramah lingkungan," kata Raiskinen yang telah bergabung dengan Nokia sejak tahun 1994.
Musik, sebagaimana diakuinya, adalah salah satu penekanan penting. Bahkan ke depan, fungsi ponsel sebagai alat komunikasi tinggal 12 persen. Selebihnya, kalau tidak main games, mendengar radio internet dan musik, nonton video dan televisi, membaca peta di jalan-jalan raya, ya baca berita terbaru yang mengalir setiap saat.
Anssi Vanjoki, General Manager Multimedia Nokia, tidak ragu melihat musik sebagai ikon baru dalam ponsel. Tidak sekadar bisnis nada dering, nada tunggu, atau mendengar musik dari MP3 yang sudah dianggap jadul (zaman dulu), tetapi Nokia membebaskan penggunanya untuk mengunduh (download) jutaan lagu secara gratis sesuka mereka.
Kunci lainnya adalah kerja sama atau share itu tadi. Bayangkan, bagaimana mungkin sebuah produsen ponsel bisa bekerja sama dengan perusahaan rekaman Universal dengan jutaan lagu, yang kemudian diajaknya sebagai mitra bisnis. Tentu ada hitung-hitungan bisnisnya sebab, selepas satu tahun, pengguna Nokia yang ingin mengunduh musik dikenai biaya.
Dalam sekejap, kemitraan antara Nokia dan Universal Music Group International milik perusahaan media raksasa Perancis, Vivendi, itu akan mengubah bisnis musik ke depan. Lewat kemitraan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, yakni antara perusahaan ponsel dan perusahaan rekaman musik, kedua raksasa itu bersekutu untuk menawarkan layanan "Comes With Music" hanya di ujung jari.
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
11:19 AM
0
komentar
Label: Amsterdam, Nokia, Pokok Bahasan
Saturday, December 08, 2007
Catatan (35): Dusseldorf-Amsterdam PP
SAAT ada kesempatan ngetik dan tersambung ke internet, saya luangkan waktu untuk menulis blog. Tulisan ini saya buat di Bandara Dusseldorf, memanfaatkan internet gratis yang disediakan bandara, sebagaimana di Bandara Dubai. Perjalanan kali ini ke Eropa atas undangan Nokia, sungguh sangat menyenangkan. Ada nuansa lain ketika harus melintas negara dari Dusseldorf ke Amsterdam.
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
1:22 AM
0
komentar
Label: Amsterdam, Dusseldorf, Perjalanan
Monday, December 03, 2007
Catatan (34): Perjalanan Panjang
SAAT menulis dan meng-upload tulisan ini, saya tengah transit di Bandara Internasional Dubai, Uni Emirat Arab, setelah melakukan perjalanan panjang dari Jakarta-Colombo-Dubai. Masih akan meneruskan perjalanan ke Dusseldorf, Jerman, dua jam lagi dari sekarang. Dari Dusseldorf naik kereta Eurotrain ke Amsterdam. Bakalan asyik tentunya.
Lumayan, bisa nangkring dulu di Dusseldorf dan siapa tahu bisa mempraktikkan bahasa Jerman saya yang masih sedikit tersisa. Sepertinya dengan Eurotrain lebih seru dan bakal ada cerita. Tujuan akhir perjalanan ini adalah Amsterdam, atas undangan Nokia. Berarti. ini perjalanan saya ke negeri Kincir Angin untuk yang ketiga kalinya. Dari Jakarta saya berangkat berdua bersama blogger Budiputra, yang juga diundang perusahaan ponsel Finlandia itu.
Kapan-kapan, saya menulis lagi cerita perjalanan ini. Tetapi untuk Kompas pun rasanya bisa dan layak. Maka itu prioritas, selain laporan dari konferensi Nokia, tentunya. Alan (sekarang) Saya harus minum kopi dulu. Di sini, saya sudah bisa bilang "Uriyd an adhab al Kahwa." (saya mau minum kopi). Ila liko (sampai jumpa)....
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
9:44 AM
2
komentar
Label: Amsterdam, Dubai, Perjalanan
Monday, November 26, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (39)
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
1:26 PM
2
komentar
Label: Blogger, Budi Putra, Internet
Tuesday, November 13, 2007
Komentar Anda (2)
SAYA mendapat surat dari Nurjamila, yang merupakan putri dari Iwan Abdulrachman, pencipta sekaligus penyanyi balada legendaris. Ia meminta dua postingan saya bisa dimuat di blog khusus Iwan Abdulrachman, yakni http://abahiwan.wordpress.com/. Dengan senang hati saya meluluskannya. Berikut surat Nurjamila yang ia tulis dalam bahasa Sunda, yang kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
Nurjamila meninggalkan pesan pada postingan "Catatan: Belajar dari Iwan Abdulrachman (3)":
Punten kang Pepih, nepangkeun abdi putri Abah Iwan. Bade ngiring copy seratan akang, ku abdi bade dilebetkeun ka blog Abah. Tiasa ditingal di abahiwan.wordpress.com. Eta teh kempelan seratan sobat-sobat abah, sareng kempelan artikel-artikel anu ngamuat perkawis pun bapa. Hatur nuhun sateuacanna.
(Maaf kang Pepih, perkenalkan saya putri Abah Iwan. Ingin ikut mengkopi tulisan akang, saya akan memasukkannya ke dalam blog Abah. Bisa dilihat di http://abahiwan.wordpress.com. Itu merupakan kumpulan tulisan sahabat-sahabat abah, dan kumpulan artikel yang memuat tentang ayah saya. Terima kasih sebelumnya.)
Di bawah ini balasan saya, juga dalam bahasa Sunda, yang intinya saya menyilakan Nurjamila mengambil tulisan saya untuk dimuat di blog Abah Iwan Abdulrachman. Saya katakan, saya juga berniat memuat cerita tentang Abah Iwan itu dalam blog bahasa Inggris saya di http://pepih.wordpress.com/ (pepih's pepblog), sekaligus menerjemahkan lirik lagu-lagunya ke dalam bahasa tersebut. Berikut balasan saya:
Hatur nuhun, sami-sami nepangkeun. Bingah pisan Salira tiasa rurumpaheun ka ieu blog. Perkawis bade dikopi mah, mangga teu langkung, ngiring bingah. Abdi oge tangtos kantos ningalian blogna Abah, saminggu kapengker.
Kapayunanna, sim kuring gaduh rencana bade nyerat blog nganggo basa Inggris di alamat http://pepih.wordpress.com (pepih's pepblog) ngeunaan Abah Iwan sacara berseri, komplit sareng teks laguna nu Insya Allah bade diterjemahkeun kana basa Inggris.
Dupi maksad mah bade nepangkeun Abah Iwan ka Mancanagara salaku aset nasional. Sanes kanggo dibisniskeun da maksad ngadamel blog mah mung sakadar iseng-iseng aya manfaat. Upami kawidian, Insya Allah abdi nepangan salira di Bandung, tos komo tiasa ngobrol sareng Abah Iwan mah. Pangdugikeun salam kareueus sareng hormat sim kuring ka Abah. Hatur nuhun.
Pepih Nugraha
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
3:14 PM
1 komentar
Label: Blog, Iwan Abdulrachman, Nurjamila, Surat
Monday, November 12, 2007
Catatan (33): Resensi Adhi KSP
Blog Pepih yang pernah menjadi "Click of the Week" versi Maverick Indonesia ini, menegaskan bahwa kita bisa menulis apa saja, tentang apa saja dari kehidupan sehari-hari kita. Mulailah menulis catatan harian, demikian pesan Pepih.
Saya kutip kalimat Pepih di blognya: Tidak ada yang lebih menyenangkan selain bisa berbagi pengalaman, syukur kalau di dalamnya terselip ilmu yang bisa dimanfaatkan. Hal tersulit dalam menulis adalah memulai. Maka, jangan pernah ia musuhi. Jadikan memulai sebagai sebuah tantangan, bukan tentangan. Menulis saat bahagia itu biasa, baru luar biasa jika bisa menulis dalam keadaan berduka, tertekan atau bahkan terluka. Biasakan menulis sekalipun dalam suasana hati yang ekstrem, dalam lara maupun suka. Bukankah susah dan senang hanyalah permainan rasa belaka...
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
9:51 AM
0
komentar
Label: Adhi KSP, Beranda t4 Berbagi, Pepih Nugraha, Resensi Blog
Tuesday, November 06, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (38)
ARTIKEL atau opini yang ditulis untuk Harian Kompas, menunjukkan siapa, apa dan bagaimana kapasitas penulisnya. Untuk itu, artikel yang ditulis oleh dua orang atau lebih sudah otomotis akan dianulir alias dikembalikan kepada para penulisnya. Artikel mutlak harus ditulis sendiri, tidak boleh tandem.
Mengapa artikel harus ditulis sendiri? Sebab artikel itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh penulisnya sendiri. Ibarat mempertahankan skripsi, tesis atau disertasi, semua harus dilakukan sendiri oleh penulisnya. Bukankah tidak ada yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi secara keroyokan? Begitu pula menulis artikel.
Memulai menulis bukan berarti harus tandem dengan penulis yang sudah jadi atau ternama. Asumsinya, penulis ternama yang sudah biasa menulis di media massa, adalah jaminan mutu. Dengan demikian ia bisa "mempromosikan" kolega, kerabat atau keluarganya untuk "sama-sama" menulis. Sebaliknya, penulis baru bisa mendompleng nama penulis yang sudah dikenal. Pokoknya asalkan nama penulis itu bisa termuat di koran. Alhasil, artikel ditulis oleh dua orang atau lebih. Ini tidak boleh dilakukan kalau ingin menulis artikel di Kompas. Sendiri saja dan percaya diri sajalah.
Atribusi atau penyebutan yang melekat ke dalam diri penulis, juga harus menunjukkan kepakaran penulisnya. Misalnya: Polan, penulis adalah Dokter Bedah. Atau penulis adalah Peneliti LIPI, atau penulis adalah Guru Besar Linguistik, atau bahkan penulis adalah Guru TK, dan seterusnya. Jadi, tidak ada lagi atribusi yang menyebutkan bahwa penulis adalah pengamat seni atau penulis adalah penikmat sastra. Tidak ada lagi atribusi yang tidak menunjukkan kepakaran penulisnya.
Pengamat dan penikmat meskipun bisa dan mampu menulis, tetapi tentu saja kedalaman bahasan yang mereka tulis akan berbeda dengan penulis yang sudah teruji kepakarannya. Namanya juga pengamat apalagi penikmat, hal itu bisa dilakukan sambil lalu saja, tidak benar-benar mendalami persoalan yang ditulisnya. Padahal, pembaca artikel atau opini Kompas tidak sedang membaca sambil lalu. Para pembaca memerlukan opini yang mencerahkan, sesuatu yang baru atau setidak-tidaknya ada kebaruan (novelty), suatu bahasan atau kajian yang berbeda dari yang lain dan syukur kalau bisa memberikan inspirasi.
Postingan berikutnya, masih soal tips menulis artikel untuk Kompas, yakni menyangkut substansi yang dibahas dalam artikel. Harap bersabar.....
Saturday, November 03, 2007
Komentar Anda (1)
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
11:19 AM
0
komentar
Label: Karawang, Komentar Anda, Majalaya, Priyady
Citizen Journalism (10)
SABTU, 27 Oktober lalu, saya berkesempatan menghadiri "pesta blogger" di Mega Blitz, Jakarta. Luar biasa antusiasnya para blogger yang datang dari penjuru tanahair dan bahkan luar negeri itu. Saya bersama wartawan Kompas lainnya, Robert Adhi Kusumaputra, bersepakat akan menuliskan peristiwa itu dalam sebuah tulisan yang lebih detail. Adhi juga menggarap hotspot peristiwa ini untuk Kompas.com.
Adhi menulis laporan utama peristiwa itu (klik http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/02/telkom/3966897.htm), sementara saya melengkapinya dari persperktif lain, yakni suatu missi mengajak orang, siapa saja dan lebih khusus lagi wartawan, untuk jangan malu memulai membuat blog. Tulisan pelangkapi bernada provokatif, dalam arti mengajak orang itu di muat di Harian Kompas, Jumat 2 November 2007, bisa sahabat lihat di bawah ini, sementara foto di atas saya ambil saat peserta pesta blogger memilih blog terbaik berbagai kategori:
BLOG
Jangan Malu Memulai!
Pepih Nugraha
PADA masa awal kelahirannya, blog atau situs pribadi dianggap sebelah mata, bahkan cenderung dilecehkan. Sampai sekarang pun sikap nyinyir terhadap blogger tidak pernah hilang. Disebutlah blogger itu narsis yang buang-buang waktu percuma. Persis lahirnya sebuah revolusi, kehadiran awalnya diragukan.
Sekarang, orang yang melek internet tetapi belum nge-blog, istilah merujuk aktivitas dalam membuat dan mengisi blog, dianggap tertinggal zaman. Blog sudah menjadi gaya hidup, mulai dari anak sekolah dasar, selebriti, sampai menteri. Bahkan, 94 dari 96 surat kabar cetak terbaik di Amerika Serikat memiliki blog. Hanya empat surat kabar saja yang "jadul" alias terseret zaman karena tidak memiliki blog.
Jelaslah, di belahan dunia sana blog sudah masuk salah satu kriteria penting sebagai penentu berkualitas tidaknya sebuah surat kabar. Beberapa surat kabar cetak di Indonesia sudah memiliki kesadaran lebih dini dengan membuat blog sebagai tempat curhat para wartawannya atau tempat mengekspos kegiatan keseharian surat kabar itu, yang tidak mungkin termuat dalam surat kabar.
Di Eropa atau Amerika, surat kabar online pun memiliki blog sendiri-sendiri, plus blog pribadi wartawannya yang bisa diklik di jajaran navigasi global pada tampilan surat kabar online tersebut. Ada "cerita di balik berita" yang lebih bebas terungkap dalam blog, yang kadang justru lebih menarik daripada peristiwa itu sendiri. Ada forum dialog intens yang hangat antara wartawan dan para pembaca. Ada keakraban di sana.
Seluruh wartawan, editor, dan pemilik surat kabar bisa disapa serta ditanya tentang berbagai hal. Wartawan yang menulis berita tidak lagi asal lempar tulisan setelah itu tutup telinga: "terserah tulisanku mau dibaca atau tidak, pokoknya masa bodoh". Hubungan antara koran yang diwakili wartawan dan para pembacanya menjadi berjarak. Wartawan kerap dicap sebagai "orang pintar" yang duduk di menara gading, yang sulit dan tidak bisa disapa pembaca.
Akan berbeda persoalannya jika sebuah surat kabar memiliki blog sendiri. Suasana lebih akrab bisa terjalin karena dipersatukan minat yang sama. Wartawan yang biasa menulis rubrik khusus, seperti otomotif, teknologi informasi, dan politik, memiliki "basis massa" pembaca yang luar biasa besar.
Sayang, selama ini aliran informasi hanya satu arah sifatnya. Tidak ada dialog interaktif untuk menangkap umpan balik (feedback) pembacanya, yang kemungkinan ada persoalan baru lainnya yang muncul dari hasil dialog interaktif itu untuk bahan tulisan berikutnya. Bukankah dalam dunia media online ada adagium bahwa berita adalah percakapan itu sendiri?
Wartawan memang manusia supersibuk yang tidak punya waktu membalas sapaan pembacanya di blog. Membalas sapaan pembaca di blog berarti buang-buang waktu sehingga waktu untuk menulis tersita. Tentu saja wartawan tidak harus memelototi blog tiap hari. Kalau tidak punya waktu, barangkali cukup seminggu sekali, sebulan dua kali, atau boleh juga sebulan sekali. Sekadar "say hello" saja kepada pembacanya.
Maka, berkumpulnya para blogger dari berbagai penjuru Tanah Air di Blitz Megaplex Jakarta, 27 Oktober lalu, menjadi penting. Selain menunjukkan keberadaan para blogger, ada semangat memperekat komunitas blogger. Meski belum pernah bertemu secara fisik dan hanya bertutur sapa di dunia maya lewat media maya, toh pertemuan itu menjadi "kopi darat" pertama yang terbesar.
Beberapa wartawan peliput acara yang kemudian diklaim sebagai "Hari Blogger Nasional" itu adalah blogger, karena kesadaran mereka untuk berada dalam satu komunitas yang sama, yang sudah terbiasa saling menyapa dalam dunia maya.
Jumlah 130.000 blogger Indonesia belum apa-apa dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sudah menyundul angka 230 juta jiwa. Namun, melihat antusias orang yang terus membuat blog di seluruh dunia, jumlah itu rasanya terlalu kecil. Tengok Wordpress, salah satu situs penyedia blog terdepan saat ini, di mana setiap harinya mencatat 50.000 pembuat blog baru. Anda? Jangan malu untuk memulai!
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
9:22 AM
1 komentar
Label: Blog, Blogger, Citizen Journalism, Media Online
Tuesday, October 23, 2007
Citizen Journalism (9)
REFRESHING tidak harus mahal. Tidak pula harus jauh-jauh. Cukup di sekitaran kita saja. Tidak harus ke tempat hiburan atau tempat wisata artificial alias buatan, tetapi bisa ke tempat-tempat yang asli. Tempat yang tidak dibuat-buat, tempat yang tidak dikerangkeng pagar pembatas, tempat yang tidak dipajaki. Langit luas adalah atapnya, tanah yang dipijak adalah alasnya.
Inilah tempat refreshing terbuka dengan segenap warganya yang bisa kita sapa. Tempat itu bernama “Dimana Saja” dan dapat kita kunjungi “Kapan Saja”.
Minggu, 21 Oktober lalu, saya bersama keluarga menyempatkan diri berangkat ke Karawang, wilayah yang dulu disebut sebagai “lumbung padi Jawa Barat”, kurang lebih 70 kilometer arah timur Jakarta. Saya tahu, itu adalah hari dimana puncak mudik balik sedang terjadi dimana-mana. Ada potensi terjebak kemacetan. Tetapi kami jalan terus, sekalian menjemput Dani, teman anak saya yang tinggal serumah. Postingan ini baiknya saya bagi dua bagian, biar tidak terlalu panjang.
Pertama saya akan bercerita tentang Teh Ida, ibu rumah tangga yang kami jumpai di kawasan Ranggon. Kedua, saya akan bercerita tentang Pak Tarsan, yang pekerjaannya menarik sampan bolak-balik di sungai irigasi. Saya akan mulai cerita tentang Teh Ida.
Bertemu dengan Teh Ida tidak sengaja, saat kami menepikan kendaraan untuk membeli kelapa muda (duwegan) di pinggir jalan. Ruas jalan amat lurus. Kelapa muda teronggok begitu saja. Per butirnya Rp 4.000. Di tepi kiri-kanan jalan hamparan sawah yang siap dipanen, terbentang luas, yang hanya terbatasi gunung membiru di ujung sana. Seorang perempuan tengah tidur-tiduran, menahan kantuk karena terpaan angin semilir yang membelai, memerangkap khayalan. Kami bertiga; saya, Kakang (anak saya), dan ibunya anak saya terbenam dalam kesibukan menikmati lezatnya kelapa muda.
Baru kami sadar bahwa perempuan yang sedang tidur-tiduran dengan nikmatnya itu adalah perempuan yang modis, perempuan berpenampilan kota, bukan penampilan perempuan desa yang apa adanya. Dandanannya bagus. Rambut bekas di-rebounding. Bulu matanya lentik karena mascara. Kedua bulu alisnya ditata rapi, setidak-tidaknya dibikin simetris. Eye shadow seperti bayangan yang terpatri dengan polesan wajah agak tebal. Ia dandan dan menjaga penampilan, lengkap dengan polesan gincu merah di bibirnya. (lihat foto di atas). Dandanan yang kontras di tengah suasana pedesaan yang asri.
Bahkan saya menilai, dagu perempuan yang kemudian saya tahu bernama Ida itu telah dipermak menjadi lancip, setidak-tidaknya bulatan dagu itu berwarna kemerahan karena kepanasan. Mungkin hidungnya yang mancrit juga hasil polesan ahli bedah wajah. Lantas percakapan berlangsung dalam bahasa Sunda. Ia menggunakan bahasa Sunda dengan fasih, salah satu bahasa yang saya kuasai cukup baik (sahabat bisa lihat blog berbahasa Sunda saya di http://www.nyunda.wordpress.com/).
Teh Ida, demikian nama perempuan itu, bisa dengan enteng bercerita tentang suaminya yang “cunihin”, yang suka melirik perempuan lain. “Padahal, suami saya penampilannya diem, kalem, meskipun kumisnya baplang (kumis melintang). Kalau lihat perempuan, matanya bisa melirik terus sampai perempuan itu menghilang,” cerita Teh Ida.
Suaminya bekerja sebagai bandar padi . Sehari bisa mengumpulkan 20 ton gabah atau setara dua truk. Perputaran uangnya cepat, tetapi menurutnya, pekerjaan itu dilakukan dengan keras bahkan dengan kekerasan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang dikuasai bandar tertentu, seperti halnya suami Teh Ida. Tidak boleh sembarangan orang bisa masuk untuk membeli gabah, kendati harga beli yang ditawarkan lebih tinggi.
Pernah, katanya, ia diajak suaminya mencari gabah. Ada orang Majalaya yang mau membeli beras di wilayah garapan suaminya. Yang terjadi adalah, suaminya siap berkelahi sampai mati dan mengusir orang Majalaya itu seperti mengusir binatang. Merasa iba, Teh Ida menghardik suaminya, "Naha maneh teh taya ras-rasan ngusir sasama jalma nu sarua keur neangan pakasaban?" (kenapa kamu tega mengusir orang yang sama-sama mencari makan?). Sang suami enteng saja menjawab, "Lamun teu kitu mah urang nu moal dahar." (kalau tidak begini justru kita yang tidak bisa makan). "Itulah dunia suami saya,” kata Teh Ida.
Menarik adalah prilaku “cunihin” suaminya kepada perempuan lain. Pernah, katanya, Teh Ida harus menjemput suaminya yang sedang asyik indehoy (pacaran) dengan sinden di suatu sanggar tari jaipongan. Sanggar semacam ini tersebar di Karawang dan lebih hidup manakala panen padi datang menjelang. Suami Teh Ida belum juga pulang ke rumah kendati sudah pukul 23.00. Biasanya, jam tujuh malam dia sudah di rumah.
“Pas kapanggih teh kasampak manehna keur ngalahun sinden. Teu loba carita, kuring menta konci motorna, keun we sina leumpang peuting-peuting. Isukna kuring menta dipegatkeun, tapi pokna teh moal pernah megatkeun kuring masing iraha wae oge. Toloheor pisan boga salaki teh,” katanya. Artinya, pas ketemu ia sedang memangku sinden. Tidak banyak cerita, saya ambil kunci sepeda motornya biar dia pulang jalan kaki malam-malam. Besoknya saya minta diceraikan saja, tapi ia mengatakan tidak akan pernah menceraikan saya. Mata keranjang sekali suami saya itu.
Teh Ida bercerita banyak. Mengenai kehidupan rumah tangganya, anaknya yang lahir prematur tetapi baru kelas dua SD beratnya sekarang sudah 67 kilogram, tentang tanah dan rumahnya yang berharga tinggi dibanding pada saat dia membelinya 20 tahun lalu, tentang para tetangganya di Karawang Kota yang tidak mau kenal satu sama lain, dan tentang segala hal yang tidak bisa saya paparkan dalam postingan yang terbatas ini. Bukan apa-apa, nanti terlalu berkepanjangan.
Baiknya diakhiri saja cerita tentang Teh Ida ini. Postingan berikutnya, saya akan bercerita tentang Kang Tarsan, tukang perahu tarik yang saya temukan saat saya refreshing di Karawang. Sampai jumpa…
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
1:10 PM
1 komentar
Label: Bahasa Sunda, Citizen Journalism, Karawang, Refreshing, Warga
Friday, October 19, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (38)
Anggapan umum mengatakan: jangan lepaskan peristiwa atau wacana terkini, lalu tulis dan cepat kirimkan tulisan kepada Kompas (atau mungkin media lainnya), jangan biarkan penulis lain memangsa isu mutahir itu! Begitu kira-kira.
Maaf bukan maksud mematahkan anggapan ini. Untuk Kompas, main ambil peristiwa mutahir untuk kemudian sesegera mungkin kita tulis, tidaklah cukup. Ada hal lain dari sekadar main cepat-cepatan seperti itu, yakni kepakaran penulis.
Pakar bukan berarti doktor atau professor. Menunggu doktor atau professor menulis, sama saja menunggu Godot tiba karena tidak sedikit professor dan doktor Indonesia yang malas menulis. Kepakaran dengan sendirinya mematahkan anggapan ‘ambil secepatnya peristiwa/isu mutahir’.
Kalau ada peristiwa terkini, katakanlah ledakan bom di Pakistan saat menyambut Benazir Bhutto, tentu saja tidak sembarang penulis yang akan mengambil peristiwa hot itu untuk dijadikan sebuah opini maupun artikel. Anda yang bukan pakar Pakistan, tentu cukup tahu diri untuk tidak akan membuat analisis berita atau artikel mengenai peristiwa berdarah di negerinya Ali Bhutto ini.
Sebaliknya, Kompas akan melihat kepakaran penulis, apakah dia orang yang tepat (prominent) dalam menulis Pakistan, atau sama sekali tidak. Beda misalnya dengan Anda yang mahasiswa S1 Jurusan Hubungan Internasional yang sedang menyusun skripsi mengenai politik kontemporer Pakistan, Anda adalah orang yang tepat. Setidak-tidaknya Anda menulis atribusi Anda sebagai ‘mahasiswa, sedang menyusun skripsi mengenai politik kontemporer Pakistan’.
Apakah hanya karena menulis skripsi Anda dianggap cukup pakar soal Pakistan? Dewan redaksi opini yang akan menentukan, toh setidak-tidaknya Anda punya perhatian dan minat khusus pada politik Pakistan dibanding penulis lain yang baru mengenal Pakistan "kemarin sore". Anda pasti membaca banyak buku referensi mengenai Pakistan dalam menyusun skripsi. Anda pasti lebih “berharga dan berilmu” dibanding penulis yang menggunakan atribusi ‘pemerhati Pakistan’ atau ‘peminat masalah Pakistan’. Dengan demikian tulisan Anda bakal dilirik editor opini karena kepakaran Anda yang dalam hal ini intensitas Anda dalam mendalami Pakistan.
Anda yang professor, doktor , atau pengkaji khusus masalah-masalah Pakistan, dengan sendirinya “seharusnya” menulis mengenai politik Pakistan mutakhir pasca pengeboman dahsyat. Asal tahu saja, editor Opini sering menelepon pakar tertentu hanya untuk menanyakan apakah bersedia menulis mengenai peristiwa terkini. Nah, bukankah ini peluang yang baik jika Anda yang memiliki kepakaran tertentu segera menulis artikel atau opini mengenai peristiwa mutahir ini.
Apa yang harus Anda tulis dari peristiwa bom Pakistan? Bukan bermaksud mengajari bebek berenang, Anda setidak-tidaknya harus menjelaskan siapa Benazir Bhutto? Apa hubungannya dengan ‘Bapak Pakistan’ Zulfikar Ali Bhutto? Mengapa Benazir kembali ke Pakistan? Mengapa dia dibuang atau mengasingkan diri di negeri orang? Apa maksud Benazir kembali ke Pakistan? Bagaimana reaksi Parvez Musharraf? Apa yang kemungkinan akan dia lakukan terhadap Benazir: dirangkul atau ditentang?
Mengapa pelaku bom disebut-sebut Al Qaeda? Apa betul organisasi pimpinan Osamah bin LAden itu yang melakukannya? Apa tidak ada kemungkinan lain, misalnya intelijen Pakistan? Apa hubungan Benazir dengan Al Qaeda? Mengapa Al Qaeda begitu marah kepada Benazir? Coba jelaskan situasi politik Pakistan ke depan pasca kehadiran kembali Benazir dan aksi-aksi Al Qaeda yang semakin massif ke depan! Cermati pula peran Amerika Serikat yang berkepentingan menjadikan Pakistan sebagai penangkal teroris dalam kemelut Pakistan ini!
Satu hal yang perlu diingat, Anda harus menuangkan semua persoalan di atas dalam sebuah tulisan yang concise, ringkas, dan padat. Tidak lebih dari 5.000 karakter.
Ada beberapa hal lain yang akan saya ceritakan, tetapi baiknya di postingan mendatang saja. Masih tema yang sama soal menulis artikel di Kompas, tetapi dalam tema yang lain, yakni soal atribusi. Sampai bertemu lagi.
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
3:08 PM
0
komentar
Label: Artikel, Benazir Bhutto, Berbagi Pengalaman Menulis, Bom Pakistan, Kompas, Menulis
Friday, October 12, 2007
Catatan (29): Selamat Idul Fitri
SAHABAT, di bulan yang penuh berkah ini, saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1428 Hijriyah, mohon maaf lahir dan bathin.
Pepih Nugraha
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
10:46 AM
0
komentar
Label: Catatan, Idul Fitri, Lebaran
Thursday, October 04, 2007
Catatan (28): Click of The Week
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
5:22 PM
0
komentar
Label: Blog, Catatan, Click of The Week, Maverick Indonesia, Penghargaan
Thursday, September 27, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (37)
SEORANG sahabat memberi komentar pada postingan saya sebelumnya, bahwa syarat menulis di Kompas harus ditambahkan dua poin lagi, yakni poin 18: kesulitan tempat untuk memuat artikel Anda, dan 19: nama penulis tidak terkenal. Mungkin ini satir atau sindiran halus semata.
Bahwa ada coretan editor di Desk Opini terhadap naskah yang dikembalikan (retour) dengan tulisan tangan berbunyi “Redaksi kesulitan untuk memuat artikel Anda”, ada benarnya. Sekadar berbagi info saja, setiap hari editor Desk Opini serta stafnya harus membaca kurang lebih 80-100 artikel yang masuk. Padahal, naskah yang kemungkinan bisa dimuat hanya 2 sampai 4 artikel saja.
Sesungguhnya jika ada coretan tangan editor bahwa “Redaksi kesulitan untuk memuat artikel Anda”, itu artinya artikel tersebut masuk nominasi. Sudah dibaca sekian orang dan lolos saringan. Hanya saja setelah dibandingkan dengan artikel lain yang senada dan juga lolos nominasi, pilihan mau tidak mau harus dilakukan.
Bahwa penulis harus orang yang terkenal atau dikenal sehingga penulis tidak terkenal tidak bisa lolos, itu sepenuhnya salah. Saya tidak akan jauh-jauh mengambil contoh pengalaman orang, tetapi pengalaman saya sendiri, meski mungkin terpaksa harus saya ceritakan kembali.
Pada hari Rabu, 20 Juni 1990, saat artikel saya dimuat untuk pertama kalinya di halaman 4 Kompas, percaya atau tidak: itu adalah artikel pertama yang saya kirimkan ke Kompas sekaligus tulisan saya yang dimuat pertama kalinya di Kompas . Tentu saja saya bukan siapa-siapa saat itu, tidak pula penulis yang dikenal. Kecuali mungkin komunitas pembaca majalah berbahasa Sunda, Mangle, sebab di majalah itu saya sering menulis “carpon” atau cerita pendek. Itupun tidak banyak.
Mengapa artikel saya yang bukan siapa-siapa bisa lolos dan dimuat? Fakta ini mungkin bisa mematahkan asumsi bahwa tidak harus penulis terkenal saja yang artikelnya bisa dimuat di halaman 4 (kini halaman 6) Kompas!
Memang sekali waktu, sebagaimana saya tangkap dari Kadesk Opini Kompas Tony D. Widiastono saat temu penulis di Surabaya dua tahun lalu, bahwa mereka yang menulis untuk halaman opini diutamakan yang setidak-tidaknya sarjana atau sudah lulus S1, bukan masih mahasiswa. “Tulisan opini bukan untuk coba-coba, tetapi kepakarannya harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Tony saat itu.
Meski demikian, mahasiswa (yang belum sarjana S1) tidak dilarang menulis dan mengirimkan opininya ke Kompas. Menurut staf sekretariat Desk Opini, sampai sekarang sejumlah mahasiswa yang belum lulus S1 mengirimkan artikelnya. Bahwa opini mereka belum bisa dimuat, itu soal lain.
Akan tetapi rekan sefakultas saya di Universitas Padjadjaran, Yudi Latif (kini bergelar doktor dan menjadi Deputi Rektor Universitas Paramadina), tiga artikelnya dimuat di halaman opini Kompas dalam kurun waktu 1989. Untuk diketahui, saat itu Yudi masih mahasiswa. Hal sama terjadi pada Denny JA yang sangat produktif menulis di halaman 4 Kompas justru saat ia masih mahasiswa alias belum lulus S1. Anda, mengapa tidak?
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
12:12 PM
0
komentar
Label: Artikel, Berbagi Pengalaman Menulis, Kompas, Opini
Tuesday, September 25, 2007
Berbagi Pengalaman Menulis (36)
2. Argumen dan pandangan bukan hal baru
3. Cara penyajian berkepanjangan
4. Cakupan terlalu mikro atau lokal
5. Pengungkapan dan redaksional kurang mendukung
6. Konteks kurang jelas
7. Bahasa terlalu ilmiah/akademis, kurang populer
8. Uraian Terlalu sumir
9. Gaya tulisan pidato/makalah/kuliah
10. Sumber kutipan kurang jelas
11. Terlalu banyak kutipan
12. Diskusi kurang berimbang
13. Alur uraian tidak runut
14. Uraian tidak membuka pencerahan baru
15. Uraian ditujukan kepada orang
16. Uraian terlalu datar
17. Alinea pengetikan panjang-panjang.
Sahabat sekalian yang berminat menulis opini tinggal menegasikan saja 17 persyaratan di atas. Poin pertama, misalnya, topik atau tema harus aktual. Poin kedua argumen dan pandangan harus hal baru. Poin tiga, penyajian jangan berkepanjangan alias cukup singkat saja, dan seterusnya. Tentu saja ada "trik" lain agar opini bisa lolos dan dimuat, tetapi itu akan saya paparkan di lain kesempatan.
Diposting oleh
Pepih Nugraha
di
1:46 PM
1 komentar
Label: Artikel, Berbagi Pengalaman Menulis, Kompas, Opini