Thursday, September 27, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (37)





Apa Syarat Menulis Opini Kompas? (Bagian 2)



SEORANG sahabat memberi komentar pada postingan saya sebelumnya, bahwa syarat menulis di Kompas harus ditambahkan dua poin lagi, yakni poin 18: kesulitan tempat untuk memuat artikel Anda, dan 19: nama penulis tidak terkenal. Mungkin ini satir atau sindiran halus semata.



Bahwa ada coretan editor di Desk Opini terhadap naskah yang dikembalikan (retour) dengan tulisan tangan berbunyi “Redaksi kesulitan untuk memuat artikel Anda”, ada benarnya. Sekadar berbagi info saja, setiap hari editor Desk Opini serta stafnya harus membaca kurang lebih 80-100 artikel yang masuk. Padahal, naskah yang kemungkinan bisa dimuat hanya 2 sampai 4 artikel saja.



Sesungguhnya jika ada coretan tangan editor bahwa “Redaksi kesulitan untuk memuat artikel Anda”, itu artinya artikel tersebut masuk nominasi. Sudah dibaca sekian orang dan lolos saringan. Hanya saja setelah dibandingkan dengan artikel lain yang senada dan juga lolos nominasi, pilihan mau tidak mau harus dilakukan.



Bahwa penulis harus orang yang terkenal atau dikenal sehingga penulis tidak terkenal tidak bisa lolos, itu sepenuhnya salah. Saya tidak akan jauh-jauh mengambil contoh pengalaman orang, tetapi pengalaman saya sendiri, meski mungkin terpaksa harus saya ceritakan kembali.



Pada hari Rabu, 20 Juni 1990, saat artikel saya dimuat untuk pertama kalinya di halaman 4 Kompas, percaya atau tidak: itu adalah artikel pertama yang saya kirimkan ke Kompas sekaligus tulisan saya yang dimuat pertama kalinya di Kompas . Tentu saja saya bukan siapa-siapa saat itu, tidak pula penulis yang dikenal. Kecuali mungkin komunitas pembaca majalah berbahasa Sunda, Mangle, sebab di majalah itu saya sering menulis “carpon” atau cerita pendek. Itupun tidak banyak.



Mengapa artikel saya yang bukan siapa-siapa bisa lolos dan dimuat? Fakta ini mungkin bisa mematahkan asumsi bahwa tidak harus penulis terkenal saja yang artikelnya bisa dimuat di halaman 4 (kini halaman 6) Kompas!



Memang sekali waktu, sebagaimana saya tangkap dari Kadesk Opini Kompas Tony D. Widiastono saat temu penulis di Surabaya dua tahun lalu, bahwa mereka yang menulis untuk halaman opini diutamakan yang setidak-tidaknya sarjana atau sudah lulus S1, bukan masih mahasiswa. “Tulisan opini bukan untuk coba-coba, tetapi kepakarannya harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Tony saat itu.



Meski demikian, mahasiswa (yang belum sarjana S1) tidak dilarang menulis dan mengirimkan opininya ke Kompas. Menurut staf sekretariat Desk Opini, sampai sekarang sejumlah mahasiswa yang belum lulus S1 mengirimkan artikelnya. Bahwa opini mereka belum bisa dimuat, itu soal lain.



Akan tetapi rekan sefakultas saya di Universitas Padjadjaran, Yudi Latif (kini bergelar doktor dan menjadi Deputi Rektor Universitas Paramadina), tiga artikelnya dimuat di halaman opini Kompas dalam kurun waktu 1989. Untuk diketahui, saat itu Yudi masih mahasiswa. Hal sama terjadi pada Denny JA yang sangat produktif menulis di halaman 4 Kompas justru saat ia masih mahasiswa alias belum lulus S1. Anda, mengapa tidak?

Tuesday, September 25, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (36)







Apa Syarat Menulis Opini Kompas? (Bagian 1)





PERTANYAAN di atas sering terlontar dari rekan maupun saat pelatihan. Saya hanya bisa menjawab bahwa artikel harus aktual, artinya sesuai dengan peristiwa terkini. Jawaban ini sesuai pengalaman saat untuk pertama kali artikel saya dimuat di halaman opini Kompas, yang dulu dikenal sebagai “Halaman 4”.



Waktu itu, artikel saya yang berjudul “Berharap dari KPAT Ke-8” bisa lolos seleksi dan dimuat di “halaman bergengsi” itu pada Rabu 20 Juni 1990, karena disesuaikan dengan adanya Kongres Perpustakaan se-Asia Tenggara di Jakarta. Saat artikel itu muncul, Kongres baru saja dimulai. Artinya, antisipasi dan persiapan saya saat menulis artikel itu dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya!



Halaman 4 Kompas yang memuat Tajuk Rencana dan Opini yang sekarang menjadi Halaman 6, sering dianggap sebagai “Universitas”-nya Kompas. Tempat dimana pemikiran paling mutakhir dari para pakar tercurah. Ada tempat pembelajaran lintas ilmu di sini, selain juga bisa mengetahui arah kebijakan Kompas (baca keberpihakan) lewat Tajuk Rencana dalam menyikapi perkembangan zaman. Kecuali Tajuk Rencana, opini merupakan halaman khusus untuk pembaca atau dalam hal ini pakar, tidak boleh wartawan Kompas menulis opini di situ. Selain bergengsi, honor yang diberikan pun di atas rata-rata honor artikel pada media massa lain.



Mengetahui syarat-syarat yang diinginkan Kompas mengenai sebuah artikel, mungkin salah satu strategi dalam menyiasati artikel agar bisa dimuat. Setelah meminta izin dari Fitrisia M (Mbak Poppy) dari Desk Opini, saya memaparkan 17 penyebab sebuah artikel ditolak oleh Desk Opini Kompas.



1. Topik atau tema kurang aktual

2. Argumen dan pandangan bukan hal baru

3. Cara penyajian berkepanjangan

4. Cakupan terlalu mikro atau lokal

5. Pengungkapan dan redaksional kurang mendukung

6. Konteks kurang jelas

7. Bahasa terlalu ilmiah/akademis, kurang populer

8. Uraian Terlalu sumir

9. Gaya tulisan pidato/makalah/kuliah

10. Sumber kutipan kurang jelas

11. Terlalu banyak kutipan

12. Diskusi kurang berimbang

13. Alur uraian tidak runut

14. Uraian tidak membuka pencerahan baru

15. Uraian ditujukan kepada orang

16. Uraian terlalu datar

17. Alinea pengetikan panjang-panjang.



Sahabat sekalian yang berminat menulis opini tinggal menegasikan saja 17 persyaratan di atas. Poin pertama, misalnya, topik atau tema harus aktual. Poin kedua argumen dan pandangan harus hal baru. Poin tiga, penyajian jangan berkepanjangan alias cukup singkat saja, dan seterusnya. Tentu saja ada "trik" lain agar opini bisa lolos dan dimuat, tetapi itu akan saya paparkan di lain kesempatan.


Syarat lain yang amat penting menurut Kadesk Opini Kompas Tony D. Widiastono, adalah panjangnya artikel yang cukup 5.300 karakter atau 700 kata saja dalam Bahasa Indonesia. Biar lebih cepat sampai,tulisan dikirim lewat imel ke alamat: opini@kompas.co.id. Naskah yang lolos pemeriksaan akan dimuat secepatnya. Jika tidak bisa dimuat, dipastikan dikembalikan paling lama dua minggu dari penerimaan naskah.
Bagaimana, Anda berani mencoba?

Monday, September 24, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (35)



Jika Pikiran Macet (2)



SETELAH mengupas penyebab pertama pikiran macet saat menulis pada postingan 9 September 2007 lalu (lihat Berbagi Pengalaman Menulis 30), yaitu adanya hasrat si penulis untuk mengejutkan pembacanya dengan membuat lead sespektakuler mungkin, saya mau melanjutkan dengan membahas penyebab kedua, yaitu hasrat ingin hasil tulisan sempurna.



Percayalah akan peribahasa lama, tak ada gading yang tak retak. Sesempurnanya mobil atau rumah, pasti ada cacatnya. Demikian pula tulisan. Jadi jangan terlalu berharap tulisan yang ingin kita buat itu (baik cerpen, opini maupun catatan harian) hasilnya sangat sempurna. Lagi pula sempurna menurut siapa?



Hasrat ingin agar hasil tulisan sempurna biasanya menjebak kita pada pikiran yang macet. Sesuatu yang diimpikan atau dihayalkan bisa menjerat otot-otot kreativitas berpikir kita menjadi mandek dan bahkan beku, sebab apa yang kita buat ukurannya menjadi “tidak sempurna”. Karena itulah perintah di otak pun tidak otomatis menyuruh tangan bergerak di atas tuts komputer atau menggerakkan pena di atas kertas untuk segera menyusun kalimat pertama, tetapi terbelenggu pikiran harus menghasilkan tulisan yang sempurna itu.



Syukur kalau sudah mulai menyusun satu persatu kata untuk merangkai kalimat. Lebih parah kalau ide hanya berhenti di pikiran atau di khalayan saja. Kalaupun kemudian sudah memulai dengan membuat kalimat pertama di awal tulisan atau yang biasa disebut lead pada berita, kita akan membacanya berulang-ulang. Dua kali, tiga, lima, atau bahkan belasan kali! Tentu saja waktu kita akan tersedot karenanya. Mubadzir dan sia-sia.



Membaca berulang-ulang tulisan kita hanya karena kita ingin menghasilkan tulisan yang sempurna adalah pekerjaan sia-sia. Kalau sahabat seorang wartawan, maka setiap hari akan dimaki editor. Boleh jadi besok-besok akan dipecat karena dianggap menghambat produksi. Artinya, jangan terlalu banyak membaca ulang tulisan awal kita. Salah-salah, tulisan itu akan dihapus lagi karena tidak sesuai harapan Anda, yakni ingin sebuah tulisan yang sempurna.



Membaca berulang-ulang sebuah tulisan yang belum usia hanya membuang-buang waktu belaka. Saya kira sahabat harus belajar pada air sungai dalam hal ini, yakni biarkan air mengalir terlebih dahulu. Biarkan pikiran dan ide kita tertuang dalam tulisan. Labrak saja. Jangan pikir huruf salah, kata kurang tepat, kalimat belepotan, tanda baca keliru, atau alinea kacau. Tulis dan tulis saja, terus dan terus saja. Ingat, pikiran sahabat adalah air yang mengalir yang tidak bisa terbendung, paling tidak untuk sementara waktu.



Setelah sahabat bisa menyiasati hal kedua ini, yakni terbebas dari pikiran ingin menghasilkan sebuah tulisan yang sempurna, saya akan melangkah kepada hal ketiga. Tetapi tidak kali ini, lain waktu. Wasallam…

Saturday, September 22, 2007

Catatan (27): Pak Rum Telah Tiada



Selamat Jalan Pak Rum...



TANGGAL 11 Juni 2007 lalu saya bertemu Pak Rumhardjono, wartawan seniorKompas yang sudah pensiun sekaligus pengajar yang sabar bagi calon-calon wartawan Kompas. Saya hanyalah salah satu dari sekian wartawan yang ada berkat bimbingannya. Saat bertemu di Kantor Redaksi Kompas Lantai 3 di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, saya langsung menimba ilmu dari Pak Rum, demikianlah ia biasa dipanggil. Rekan-rekan lain memanggilnya Mas Rum.



Hasil dari menimba ilmu itu langsung saya postingkan di blog ini hari itu juga, lengkap dengan foto yang saya ambil atas seizinnya (lihat http://pepihnugraha.blogspot.com/search/label/Rumhardjono ). Maksud saya, biar pengalaman Pak Rum yang segudang, baik sebagai wartawan yang ahli Asia Tenggara maupun guru bagi para wartawan, bisa sahabat ketahui juga. Berbagi ilmulah.



Hari Kamis, 20 September lalu, saya mendapat pesan singkat dari seorang kawan yang mengabarkan bahwa Pak Rum telah pergi untuk selamanya karena serangan stroke. Ia meninggal di RSCM pukul 03.30. Satu hal yang menjadi penyesalan, saya tidak dapat mengantarkannya ke tempat peristirahatannya yang abadi di pemakaman karet bivak karena terkunci oleh pekerjaan.



Untuk mengenangnya, saya tampilkan obituari yang ditulis senior saya, wartawan Kompas, James Luhulima, yang tulisannya dimuat Kompas, Jumat 21 September 2007 halaman 1. Obituari adalah tulisan untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia. Di Indonesia, orang yang dikenal mahir menulis obituari adalah wartawan senior Rosihan Anwar. Suatu waktu saya akan berbagi ilmu bagaimana menulis obituari. Tetapi kali ini, kita bisa baca obituari Pak Rumhardjono di bawah ini:


Obituari

Selamat Jalan Mas Rum!



Kabar bahwa eks wartawan Kompas Rumhardjono (68) terserang stroke diterima Redaksi Harian Kompas hari Rabu (19/9) malam, tepatnya pukul 22.00. Keponakannya, Endang Basanto Ratri, menelepon dan mengabarkan bahwa Mas Rum, begitu ia akrab disapa, dirawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo di Lantai 2.



Layanan pesan singkat atau SMS pun berseliweran, dan wartawan-wartawan Kompas segera menyempatkan diri untuk menjenguknya. Di harian Kompas, Mas Rum memiliki banyak peran, baik sebagai wartawan yang ahli Asia Tenggara, sebagai tutor bagi wartawan yang lebih muda, maupun sebagai guru, khususnya bagi wartawan-wartawan Kompas yang masuk pada tahun 1987-1998.



Di antara wartawan Kompas yang datang ke IGD RSCM tampak Pemimpin Redaksi Suryopratomo dan beberapa rekan yang merupakan murid-murid pertama Mas Rum. Saya dan rekan saya, Taufik H Mihardja dan Andi Surudji, adalah tiga wartawan Kompas yang terakhir menjenguknya di IGD RSCM. Kamis dini hari, menjelang pukul 02.00, kami bertiga meninggalkan pelataran parkir RSCM.



Pada pukul 03.30, tiba-tiba masuk SMS yang menyatakan bahwa Mas Rum telah tiada. Ia meninggal dunia pada pukul 02.50. Perasaan kehilangan pun segera muncul ke permukaan. Mas Rum yang lahir pada 13 April 1939 memang telah pensiun dari harian Kompas pada tahun 1999. Namun, sesungguhnya hubungan Mas Rum, yang sampai akhir hayatnya melajang itu, dengan harian Kompas tidak pernah berakhir. Sesekali ia menelepon saya dan rekan lain apabila ia merasa ada hal yang perlu mendapatkan perhatian.



Kadang ia juga mengirimkan tulisan tentang masalah-masalah tertentu, terutama yang berkaitan dengan Asia Tenggara, dengan catatan, tidak untuk dimuat, hanya untuk background saja.



Ahli Asia Tenggara



Mas Rum bergabung dengan harian Kompas pada tahun 1974 dan bertugas di Desk Luar Negeri. Itu sebabnya, ia tercatat sebagai wartawan peliput di Departemen Luar Negeri (Deplu). Perhatiannya yang intens pada masalah-masalah yang berkaitan dengan Asia Tenggara menjadikan Rumhardjono dikenal sebagai wartawan yang ahli Asia Tenggara pada akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Beberapa kepala pemerintahan dan Menteri Luar Negeri ASEAN mengenalnya dengan baik.



Saya mengenalnya pada tahun 1983 ketika sebagai wartawan baru saja ditugaskan untuk meliput kegiatan di Deplu, yang menjadi tempat tugas Rumhardjono sejak akhir tahun 1970-an. Saat saya bertugas di sana, segala sesuatunya menjadi mudah, karena ia langsung berperan sebagai tutor saya.



Bahkan, ketika saya pertama kali ditugaskan untuk meliput Pertemuan Tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN Ke-17 di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1984, ia memberi saya semacam kertas kerja panduan mengenai bagaimana meliput suatu konferensi internasional dengan efisien dan efektif. Termasuk mengenai bagaimana cara memperoleh draf joint communique (komunike bersama), yang merupakan salah satu keahliannya. Dan, juga tentang bagaimana menggunakannya sebagai bahan berita.



Pengalamannya yang luas dalam meliput konferensi internasional menjadikan ia selalu bersikap santai. Sikap seperti itu diperlihatkannya saat meliput Jakarta Informal Meeting (JIM) di Istana Bogor tahun 1988. Pada saat wartawan lain sudah hadir sejak pagi, Mas Rum masih enak-enak tidur. Ia baru bangun pukul 10.00 dan datang ke Istana Bogor menjelang pukul 11.30. Namun, sore harinya, ia sudah memegang draf komunike bersama JIM. Lobinya yang sangat luas di kalangan pejabat Deplu dan kementerian luar negeri negara-negara ASEAN lain menjadikan ia selalu bisa mendapatkan draf komunike bersama yang akan keluar.



Sebagai wartawan senior, Mas Rum asyik diajak berdiskusi. Daya analisanya tajam, mendalam, dan jernih. Kemampuan berabstraksinya pun cukup menonjol. Ia selalu menemukan angle (sudut pandang) yang tepat untuk menulis.



Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama yang turut mengantarnya ke pemakaman di TPU Karet Bivak, Kamis, dalam sambutannya mengatakan, analisa mendalam dan jernih, dan selalu dikemukakan dengan dingin, tanpa emosi. Mungkin itu karena latar belakangnya sebagai periset.



Menurut mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, yang merupakan adik ipar Mas Rum, sebelum menjadi wartawan, Mas Rum adalah seorang periset. (James B Luhulima)

Tuesday, September 18, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (34)



Nuansa Religi sebagai Inspirasi



TAHUN 1976 atau 31 tahun lalu, saat saya duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, saya terkesan dengan sebuah carita pondok (carpon) yang dimuat di koran berbahasa Sunda, Giwangkara. Kalau tidak salah judulnya “Mawakeun”, sayang saya lupa siapa pengarangnya.



Carpon adalah cerita pendek (cerpen), yang oleh masyarakat Jawa Barat sangat disukai, selain carita nyambung (carnyam) alias cerita bersambung. Masih di tahun yang sama, Dudi S. Iskandar, kalau saya tidak keliru, membuat cerita bersambung di Majalah bahasa Sunda, Gondewa. Sekarang, kedua penerbitan itu telah tiada.



Pada majalah itu, Dudi memunculkan tokoh silat “Si Brangbrang”, tokoh muda pembela kebenaran yang memiliki jurus-jurus silat mengagumkan, setidak-tidaknya teringat oleh saya sampai sekarang. Antara lain jurus “Gorentel Monyet” ketika Si Brangbrang menggelundung di tanah menghindari serangan lawan. Atau jurus “Kalakay Katebak Angin” saat tokoh silat yang digambarkan simpatik itu melayang di udara saat menerjang lawannya. “Kalakay Katebak Angin” dalam bahasa Sunda berarti daun kering yang tertiup angin. Banyak lagi jurus-jurus lainnya yang membuat saya kecanduan cerita saat itu.



Kembali ke carpon “Mawakeun” tadi. “Mawakeun” adalah tradisi masyarakat Jawa Barat dimana pada bulan puasa orang yang mampu memberi sedekah berupa makanan siap santap. Biasanya diberikan menjelang buka puasa dekat-dekat lebaran. Bila jarak agak jauh, tempat makanan ada yang menggunakan rantang bersusun tiga dan jika jarak dekat cukup menggunakan piring atau mangkuk saja. Para tetangga dekat biasanya prioritas untuk dikirim makanan.



Dalam carpon “Mawakeun” itu, tersebutlah seorang anak laki-laki usia sembilan tahun yang setiap sore berdiri di depan rumah kayunya di balik pagar bambu, menantikan adanya seseorang yang mengirim makanan. Tunggu punya tunggu sampai lebaran akan tiba keesokan harinya, si pengirim makanan tidak datang jua. Sampai kemudian ibu si anak menghampirinya dan bertanya mengapa tidak masuk rumah padahal adzan maghrib sudah berkumandang.



“Mak, kenapa tetangga tidak ada yang mengirim kita makanan?” tanyanya pada ibunya yang menghampirinya. Adzan maghrib puasa terakhir sudah terdengar. Si Ibu mencoba menghibur sambil menahan rasa pedih, “Sudahlah, Nak, mungkin tetangga kita itu lupa mengirim kita makanan.”



“Apa karena kita miskin ya, Mak? Atau karena Bapak belum pulang dari Jakarta?” tanya si anak seperti tak percaya. Kali ini ibunya tak bisa menahan rasa harunya, benteng ketahanan jiwanya runtuh seketika. Air mata meleleh membasahi pipinya. “Tidak, Nak, para tetangga itu hanya lupa saja,” hiburnya.



Diceritakan bahwa si Anak menantikan datangnya makanan dari tetangga, sementara si Ibu sebenarnya menantikan suaminya (ayah si anak) yang sedang bekerja di Jakarta. Ibu si anak tahu, suaminya tak akan pernah datang lagi ke gubuk itu karena ia mendengar dari tetangga, suaminya telah menikah lagi di Jakarta. Uniknya, si Anak tidak pernah menantikan kadatangan ayahnya, sekadar menantikan datangnya makanan dari tetangga. Itu saja.



Mengapa saya panjang lebar bercerita seperti ini? Saya ingin mengatakan bahwa inspirasi sebuah cerita pendek atau bahkan cerita bersambung bisa datang dari suasana religius seperti ini, yakni saat-saat ramadhan atau lebaran tiba dalam konteks Islam. Dalam konteks Kristen, ada natal atau mungkin paskah, atau apapun namanya. Suasana “di luar keseharian” yang datang setiap tahun itu sungguh obyek empuk untuk dijadikan inspirasi, dengan catatan kita mau menggalinya. “Mawakeun” hanyalah salah satu contoh kecil saja.



Tanpa bermaksud menggurui, sahabat kini sudah bisa merangkai cerita apa di balik datangnya bulan suci ramadhan atau hari raya lebaran. Mau dijadikan fiksi atau opini, tidak jadi soal. Dari soal kesusahan hidup, kekayaan bertumpuk, kesibukan sebuah pasar atau supermarket, sulitnya mudik, sampai ziarah ke kuburan mendiang. Pasti ada cerita di sana. Tidak percaya? Mulailah menggali!

Monday, September 17, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (33)





Cermati dan Ikuti



BERMULA dari piket malam hari sampai subuh, di kamar saya selalu menyempatkan "ngintip" MTV atau V Channel selagi meng-upload berita lewat laptop yang terkoneksi ke internet. Mata dan telinga sering terusik oleh penampilan Rihanna saat membawakan lagu Umbrella dan Shut Up and Drive. Saya pikir, berbakat sekali gadis hitam manis ini.



Lalu saat jalan-jalan ke toko CD di Plaza Bintaro bersama Kakang, anak saya, saya menemukan CD Rihanna. Saya langsung membelinya. Ternyata 12 lagu yang ada di CD itu enak didengar. kendati mungkin tidak match dengan usia saya yang tergolong udzur. Dari menikmati suara Rihanna saat berkendara ke kantor, saya tertarik menelusur informasi Rihanna dari internet. Bahkan, saya langsung memasukkan dua lirik lagu Rihanna, Umbrella dan Shut Up and Drive, ke blog saya yang lain, http://pepih.wordpress.com/.



Dari hasil penelusuran di internet, saya mendapat gambaran lumayan dari sosok Rihanna, tetapi belum cukup kuat untuk saya tulis. Belum ada timing-nya. Dan timing alias waktu yang tepat itu datang saat saya membaca wire, kantor berita AFP, yang melaporkan bahwa Rihanna mendapat penghargaan bergengsi. Inilah timing dimana saya harus menulis! Maka, saya pun menulis sosok Rihanna yang kemudian dimuat Kompas, 15 September 2007.



Berikut tulisan lengkap Rihanna:



Rihanna, "Payung Fantasi" dari Barbados

PEPIH NUGRAHA



Kelayapan di klub-klub musik sejak usia 13 tahun dan kurang mendapat perhatian orangtua, tak membuat gadis itu terpuruk. Minggu (9/9) malam, Rihanna meraih penghargaan MTV Video of The Year dan Monster Single of the Year untuk lagu andalannya, Umbrella. Ia menyisihkan penyanyi R&B Beyonce, rapper Kanye West, dan penyanyi soul Inggris Amy Winehouse.



Padahal, saat dia merilis single pertamanya, If It Love That You Want tahun 2005, ia masih sekadar penyanyi pembuka untuk Gwen Stefani, pelantun Sweet Escape, yang namanya sudah berkibar-kibar. Orang pun tidak melirik single Rihanna. Akan tetapi, ia tegar menjalaninya. Kepercayaan dirinya tinggi sebab yakin akan kemampuannya.



Itulah Rihanna. Dua atau tiga tahun lalu dia hanyalah gadis Barbados biasa yang tak dikenal dunia. Beruntung, Evan Rogers bersama istrinya menemukan bakat gadis berkulit gelap ini saat mereka berlibur di Barbados, negara kecil yang hanya berpenduduk 300.000 jiwa.

Rogers, produser musik di New York, Amerika Serikat dan telah mengorbitkan Christina Aguilera, Kelly Clarkson serta Ruben Studdard itu, yakin Rihanna bakal menguasai panggung dunia.



"Andai saya tidak bertemu Evan dan Carl (produser musik), mungkin saya hanya akan bermimpi selamanya. Saya berterima kasih untuk segala upaya mereka," ungkap Rihanna mengenang dua orang yang berjasa dalam hidupnya, sebagaimana ternukil dalam situs resmi dia.



Minggu malam itu, bersama penyanyi pop Justin Timberlake, Rihanna dinobatkan sebagai pemenang penting pada acara penyerahan Penghargaan Musik Video MTV. Dia meraih penghargaan Video of The Year dan Monster Single of the Year untuk lagu Umbrella.

"Wow, Video of the Year! Ini penghargaan sangat penting bagi saya. Penghargaan yang tak terduga," ujar Rihanna saat menerima penghargaan sebagaimana ditulis kantor berita AFP.



Sebelum acara puncak penobatan itu berlangsung, namanya masuk nominasi Female Artist of The Year bersama Beyonce, Fergie, Nelly Furtado, dan Winehouse. Masuknya Rihanna dalam nominasi penyanyi wanita tahun ini tak terlepas dari sukses album ketiganya, Good Girl Gone Bad. Dalam album ini pula tembang Umbrella termuat. Di Indonesia, kaset dan CD album itu sudah dipasarkan sejak sekitar tiga bulan lalu.



Umbrella bertengger di peringkat pertama tangga lagu dunia. Sejak album ini diluncurkan pada Juni 2007, selama berbulan-bulan lagu Umbrella merajai puncak tangga lagu di AS, Inggris, Kanada, Jerman, Australia, Polandia, sebagian negara-negara Eropa, serta belahan dunia lain seperti Jepang, termasuk Indonesia.



Lagu, yang terkenal dengan penggalan kata "e-e, ella, ella" , itu juga masuk nominasi Monster Single of The Year dalam MTV Video Music Award 2007 ini. Umbrella juga termasuk nomine untuk video musik terbaik dan sutradara terbaik dalam penggarapan videoklip.

Anda yang sering nongkrong di MTV atau V Channel tentu tidak asing dengan videoklip suara getas Rihanna saat membawakan Shut Up and Drive, lagu andalan dia yang lain, di samping Umbrella.



Tak bisa tidur



Dilahirkan di St Michael, Barbados, 20 Februari 1988, dari pasangan Ronald dan Monica Fenty, gadis bernama lengkap Robyn Rihanna Fenty ini suka bergaul bersama teman-temannya, termasuk bernyanyi ramai-ramai. Ibunya seorang akuntan yang sibuk, sementara ayahnya konsultan di pabrik garmen. Rihanna mempunyai dua adik laki-laki, Rorrey dan Rajad. Tetapi, dalam keluarga ini hanya Rihanna yang menunjukkan bakat seni.



Sebelum menjadi penyanyi profesional, Riri, panggilannya, pernah menjadi pemenang salah satu kontes kecantikan, Miss Combermere Beauty Pageant di negerinya pada tahun 2004. Menari juga menjadi hobi favorit Riri selain menyanyi.



Tidak lama setelah bertemu Rogers, Rihanna mengeluarkan album pertamanya, Music of The Sun (2005), dilanjutkan dengan album kedua A Girl Like Me (2006). Pada peredaran album pertamanya, nama Rihanna belum meroket seperti sekarang. Boleh dibilang pencapaian dia biasa-biasa saja, paling top menduduki tangga kedua US Billboard Hot 100.



Namun, waktu cepat berlalu, khususnya setelah sejumlah penghargaan yang diterima Rihanna sepanjang tahun 2006, antara lain sebagai penyanyi pendatang baru terbaik (MTV Video Music Awards Japan), penyanyi R&B terbaik (MTV Europe Music Awards), dan Female Artist of The Year (Billboard Music Awards). Kiprah Rihanna yang berniat belajar bisnis dan psikologi itu pun tak terbendung. Saat lagu Pon de Replay dirilis, misalnya, lantai dansa sejumlah klub ternama seperti bergetar.



Pada lagu Umbrella, ia berkesempatan memunculkan sosok Shawn "Jay-Z" Carter, penyanyi idolanya jauh sebelum Rihanna meroket. Tahun 2005 saat usia dia 17 tahun, Riri bertemu "Jay-Z", yang juga presiden sekaligus CEO perusahaan rekaman Def Jam Recordings. Tidak lama setelah ikut audisi, kontrak untuk album pertama dia ditandatangani.



"Setiap menandatangani perjanjian, saya selalu tersenyum. Saya tidak bisa tidur tiga malam dan terbangun setiap detik memikirkan kenyataan ini," ungkapnya.



Ikatan bisnis itu memang telah mengubah nasib Rihanna, dari gadis Barbados biasa bermata hijau lumut sampai menjadi miliarder baru dari hasil penjualan album-albumnya. Kakinya yang konon serupa daun padi itu, dia asuransikan senilai Rp 9 miliar.



Dalam dunia tarik suara, Riri juga berpeluang menggeser nama-nama penyanyi yang sudah eksis sebelumnya, seperti Mariah Carey dan Britney Spears, dua penyanyi idolanya. Baru dua bulan situs resminya diluncurkan, Rihanna sudah dikunjungi sekitar dua juta penggemar.


Sebagaimana musik Karibia yang didominasi reggae, lagu-lagu Rihanna pun tak lepas dari genre itu. Bedanya, Rihanna meramunya dengan entakkan R&B dan jazz sounding, plus lirik lagu yang lugas, apa adanya.



Nada dan lirik lagu yang ditulis Riri sendiri, tidak lepas dari dunia belianya, yakni seputar dansa, musik, dan ngebut dengan mobil balap. Umbrella telah menaungi keberuntungan gadis Barbados ini di tanah Amerika, bahkan pentas dunia.

Tuesday, September 11, 2007

Catatan (26): Selamat Datang Ramadhan



Selamat Menjalankan Puasa



SYUKUR kita masih diberi umur, masih bisa berkumpul dengan keluarga, tetangga dekat dan kerabat. Tidak terasa puasa telah datang menjelang, bulan penuh baraqah dan pengampunan.



Saya mengucapkan selamat menunaikan ibadah saum kepada para sahabat yang menjalankannya. Semoga amal ibadah kita, saum dan beramal baik di bulan Ramadhan, mendapat ganjaran Allah SWT. Inilah bulan dimana kita diperkenankan berlomba-lomba berbuat kebaikan.



Selamat datang... Marhaban, ya Ramadhan!

Sunday, September 09, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (32)



Jika Pikiran Macet (1)



ADA teman senior bercerita, ia bisa menghabiskan berlembar-lembar bahkan belasan kertas hanya untuk menulis satu berita saja. Asap rokok tidak lepas mengepul dari mulut, menjalar ke hidung sampai kadang menutupi wajahnya. Cangkir kopi untuk ketiga kalinya sudah tandas. Waktu semakin memepetnya menuju deadline. Tetapi, satu alinea pun belum juga usai.



Ini gambaran suasana kerja di tempat saya bekerja, Harian Kompas, di tahun 1980 atau bahkan 1970-an. Zaman komputer belum menguasai dunia, segala aktivitas tulis menulis mutlak ada di tangan mesin tik manual yang suaranya bising bukan kepalang. Saat saya masuk bekerja tahun 1990, mesin tik sudah tergusur, tergantikan mesin komputer canggih pada zamannya. Menggunakan program untuk menulis WS4 saja waktu itu sudah merasa menguasai dunia, sudah merasa menjadi bagian dari manusia-manusia cyber.



Hari pertama di Jakarta, misalnya, saya pernah ditegur pemilik rumah kost gara-gara masih bersemangat menekan tuts-tuts mesin tik merek Brother sampai larut malam. Bayangkan, dengan ruangan yang tidak begitu luas dan dengan meja yang saling berdekatan satu sama lain, betapa bisingnya kantor redaksi saat menjelang tenggat waktu berakhir. Dan ketika pikiran sedang mengalir, tidak ada suatu apapun yang bisa menghentikannya!



Kembali ke soal pikiran macet alias buntu. Apa yang harus dilakukan? Itu tadi, sekadar ingin terbebas dari penderitaan teman saya sampai menghabiskan berlembar-lembar kertas yang kemudian hanya menjadi penghuni keranjang sampah, habis berbatang-batang rokok, dan menandaskan kopi kental beberapa kali. Ketika editor menanyakan tulisannya untuk segera disetorkan, ia hanya berdesah, “Belum kelar, Bos, sori!”



Itu cerita lama. Zaman sudah berubah. Sekarang setiap penulis, baik amatiran maupun pro, wartawan dan bahkan ibu-ibu rumah tangga, terbiasa menulis di depan komputer. Sekarang menulis bahkan di atas communicator yang ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan. Tidak ada lagi berlembar-lembar kertas terbuang, tidak perlu lagi tip-ex untuk menghapus huruf yang salah di atas mesin tik. Semua huruf , kata atau kalimat yang salah dengan mudah di-delete, diamankan dan disimpan secara otomatis, bahkan bisa diedit kapanpun jika mau.



Tetapi kalau terkena pikiran macet? Tetap saja tulisan tidak akan pernah selesai. Jadi, baik menulis di atas mesin tik, komputer maupun communicator, kalau macet pikiran menghadang, perkaranya tetap sama saja. Pertanyaannya, mengapa pikiran macet saat menulis? Ada beberapa sebab.



Pertama, kita ingin awal tulisan itu bagus. Untuk menjadi bagus, sering ada anggapan bahwa tulisan itu harus masuk ketagori luar biasa, bukan biasa-biasa saja, spektakuler. Ada efek mengentak di awal pembukaan, sehingga membuat orang terperangah, terusik, dan syukur kalau sampai berdecak kagum. Berdasarkan pengalaman, saya menganggap ini pemahaman yang keliru. Pikiran Anda terlalu dikuasai hal-hal yang tidak perlu yang belum terjadi. Pikiran Anda terpenjara oleh ambisi sendiri untuk mengejutkan orang.



Percayalah, untuk mencuri perhatian orang, tidak perlu memberi rangkaian kata yang mengejutkan! Salah-salah pembaca terkena shock yang ujung-ujungnya malas melanjutkan membaca tulisan kita. Kontraproduktif. Karena terobsesi membuat kejutan di awal tulisan, akhirnya penulis terjebak kata-kata bombastis, vulgar, sarkastis, sadistis, hiperbolis, megalomanis dengan membesar-besarkan fakta. Hati-hati, semua itu sudah dekat dengan kebohongan!



Penyakit ini kerap berjangkit pada setiap penulis, dari penulis pemula sampai penulis manula yang kaya pengalaman. Itu tadi, ingin para pembaca itu terkejut dengan kata-kata atau kalimat pertama kita. Hasilnya, kita tidak akan pernah puas dengan satu atau dua kalimat. Hapus, hapus, dan hapus lagi. Pastilah tuts komputer untuk “delete” atau “backspace” terus ditekan sampai gundul. Hasilnya? Layar komputer masih bersih, kursor berkedip-kedip seperti ikut lelah dan putus asa, dan tulisan tidak pernah jadi.



Oke deh… Saya akan melanjutkan uraian ini lain waktu. Sekarang, saya harus bekerja dulu. Wassalam!

Tuesday, September 04, 2007

Catatan (25): Teman-teman SD



Dimana Mereka Sekarang?



TIDAK sering saya pulang kampung, bisa dihitung jari dalam setahun. Akhir-akhir ini, kalau pun pulang kampung, tidak pakai menginap merasakan kesejukan udara dan wangi tanah kelahiran. Datang sebentar, lalu pergi tanpa kesan. Padahal, di tanah kelahiran inilah, desa Ciawi, Tasikmalaya, separuh nafas saya tertinggal. Kelak jika saya mati, saya ingin tubuh ini ditanam di sana, di tanah dimana saya dilahirkan!



Selalu ada cerita kalau saya berada di tanah kelahiran. Setidak-tidaknya mencium aroma jerami dan tanah sawah, ingatan melayang ke masa silam. Ke masa-masa saya kanak-kanak dulu, ke masa dimana saya pernah disuapi almarhumah Ibu nasi dan ikan gurami goreng yang masih panas. Telur ayam tinggal ambil saja dari kandang. Kadang belut pepes yang masih mengepul dan diambil dari bara panas menjadi makanan sehari-hari.



Itu peristiwa empat dasawarsa lalu, saat saya masih berumur tiga atau empat tahun. Belut adalah makanan favorit saya sejak kecil, sampai ini hari. Bertemu daging sapi, mungkin hanya dua atau tiga kali dalam setahun. Bukan tidak mau, tetapi mungkin Ibu menganggap tidak perlu. Selebihnya apa yang ada di sekeliling rumah saja, mulai beras, lalap-lalapan, telur, belut, dan ikan. Tentunya di Ciawi, tanah kelahiran saya itu. Suasananya seperti foto di atas, yang diambil rekan Amir Sodikin tahun 2006 lalu.



Sewaktu saya bersekolah dasar di SD Ciawi I, masuk 1972 sampai 1977, saya punya sahabat karib dalam bermain. Kami akrab mulai kelas dua atau tiga, ketika sudah sedikit tahu arti pertemanan. Karib saya itu adalah Dadan Hamdani, Asep Dedi, Asep Wahyu, dan Uus Kusnadi. Berlima kami sering berenang di Ciherang di Leles, yang dulu airnya sangat bening. Makanya disebut ciherang, berarti air yang bening. Kami berenang dengan telanjang bulat, tanpa malu-malu, dan diam-diam sering membandingkan satu sama lain.



Ketika berada di kampung halaman, kadang terlintas teman-teman saya itu. Dimana mereka sekarang setelah empat puluh tahun berlalu?



Maksud saya menulis catatan ini adalah, saya ingin mendapat respons dari teman-teman saya sewaktu di SD itu. Setidak-tidaknya jika ada di antara sahabat yang membaca tulisan ini dan kebetulan tahu keberadaan teman-teman saya itu, sahabat bisa menyampaikannya agar kontak saya bisa terjalin kembali. Sengaja saya menebalkan nama teman-teman saya itu, agar lebih mudah dibaca.



Saya coba mengandalkan ingatan saya untuk menyebut teman-teman saya itu, tentunya mohon maaf kepada mereka yang terlewat saya sebut. Selain keempat teman yang sudah saya sebutkan di atas, teman-teman saya lainnya yang saya ingat adalah: Cucu Suryana, Eman Sulaeman, Sumpena, Titin A, Titin B, Lela Kamila, Oki, Eli, Kuslia, Cicih Sukaesih, Ida, Adah, Eti, Elsa, Mimi, Nanih, Nono, Iin, Endang, Atikah, Sumarni, Apong, Gan Mamat, Agus Ridar dan Riki. Nama yang saya sebut terakhir, Riki, adalah kakak penyanyi Vetti Vera dan Adam. Riki bahkan pernah “kos” di rumah orangtua selama setahun.



Terbatas sekali ingatan saya. Setidak-tidaknya itu saja dululah. Coba saya ingat-ingat lagi yang lainnya…

Monday, September 03, 2007

Ciziten Journalism(8)



Dwi "Panji Koming" Koendoro



SERING kantor tempat saya bekerja, Lantai III Gedung Kompas di Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta, kedatangan orang-orang ternama, setidak-tidaknya dikenal orang banyak. Baik karena sosoknya yang memang familiar maupun karya-karyanya. Baik itu pejabat, artis, sampai seniman.



Beberapa waktu lalu saat saya bekerja, Dwi Koendoro muncul ke “wilayah” desk Politik Kompas yang bertetangga dengan desk dimana saya sekarang bekerja, desk multimedia. Pria yang tidak bisa dibilang muda ini menyapa rekan-rekan yang dikenalnya seperti Agus Hermawan dan Fitrisia. Saya memperkenalkan diri karena dia tidak mengenal saya.



Siapa Dwi Koendoro? Dia adalah “Bapak” dari tokoh kartun Panji Koming yang biasa muncul setiap hari Minggu di Kompas Minggu. Tokoh Panjing Koming mulai muncul di Kompas Minggu 14 Oktober 1979. Jadi sudah hampir 30 tahun usianya. “Koming” bisa berarti “Kompas Minggu”, tetapi Koming bisa berarti pula “bingung” (confuse) atau bahkan “gila” (crazy) dalam khazanah Jawa.



Setting yang dipakai memang suasana Kerajaan Majapahit dulu, yang menghadirkan peristiwa masa kini. Tokoh lama, tetapi peristiwanya mutahir, begitulah kira-kira. Dari beberapa literatur, tokoh Panjing Koming ini lahir atas saran kartunis legendaris, GM Sudharta.



Panji Koming digambarkan sebagai seorang pemuda kelas menengah bawah dengan karakter lugu dan peragu. Pacarnya bernama Ni Woro Ciblon yang cantik, pendiam dan sabar. Panji Koming juga punya sahabat setia, Pailul, yang konyol namun lebih terbuka dan berani bertindak. Pailul punya kekasih, namanya Ni Dyah Gembili, perempuan yang -maaf- bertubuh gemuk dan selalu bicara terus terang.



Ada pula tokoh protagonis yang sering disebut "Mbah", yakni seorang ahli nujum yang sering ditanya soal spiritual dan seekor anjing yang dijuluki "Kirik". Tidak lupa pula, tokoh antagonis yang sering jadi objek lelucon, yakni seorang birokrat gila jabatan bernama Denmas Arya Kendor.



Dwi Koen, demikian ia biasa dipanggil, bernama lengkap Dwi Koendoro Brotoatmodjo. Ia lahir di Banjar, Jawa Barat, 13 Mei 1941 dan menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.
Sekarang usianya 66 tahun jalan. Sudah cukup sepuh, namun selalu tampak segar. Terakhir saya bertemu dengan Dwi Koen, Minggu malam, 2 September 2007, saat menghadiri pernikahan putri rekan saya, wartawan senior Indrawan Sasongko yang kini sudah pensiun.



Waktu datang ke Kompas, saya minta izin untuk memotretnya. Fitrisia yang biasa disapa Mbak Poppy, lalu bergabung. Jadilah foto yang bisa sahabat lihat di atas ini.






Saturday, September 01, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (31)



Menulis Tajuk Rencana



SEKALI lagi tentang Ambon. Di sini saya ingin sekadar berbagi bagaimana sebuah isu “sepele”, yakni tidak sampainya para pejabat teras ke warga dan hanya mencari aman di bandara, menjadi perspektif lain ketika isu berada di level redaktur, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi dan bahkan pemilik koran. Ia menjadi kajian menarik untuk ditampilkan di Tajuk Rencana.



Tajuk Rencana hanyalah sebuah nama, yang tidak lain dari editorial. Sebuah editorial adalah pendapat “pribadi” institusi koran itu sendiri. Media massa lain boleh menentukan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Namun editorial tidak semata-mata menonjolkan sisi pribadi si koran secara membabi buta tanpa bersedia mendengar atau melihat reaksi khalayak. Itu arogan namanya. Ia adalah suara hati si koran yang mewakili kepentingan khalayak pembacanya. Untuk itulah dia selalu menyebut dirinya "kita", bukan "saya".



Kepada siapa editorial ditujukan? Kepada semua pihak: dari rakyat sampai pejabat, mulai pemerintah sampai yang diperintah. Tidak melulu kritik pedas, tajam, dan vulgar, tetapi juga bisa sindiran halus sampai usulan, imbauan, dan alternatif solusi atas sebuah permasalahan. Karena dibaca oleh beragam khalayak, ia harus menggunakan bahasa sederhana, kalimat pendek dan pokok pikiran yang jelas. Tidak sembarang orang bisa membuat Tajuk Rencana. Ia adalah hak istimewa para petinggi, penentu kebijakan, dan bahkan pemilik koran.



Dalam konteks inilah, betapa isu sederhana yang saya tangkap di lapangan lantas dikemas menjadi persoalan yang lebih besar lagi dari sekadar tidak punya nyalinya para pejabat, tetapi bersangkut paut dengan kepemimpinan (leadership). Di Ambom, saya tidak menangkap perluasan isu ini. Di Jakarta, para pemimpin redaksi memformulasikannya dalam sebuah Tajuk Rencana yang bisa sahabat baca di bawah ini.



Mungkin terlalu panjang dan melelahkan untuk dibaca, tetapi Tajuk Rencana yang dimuat hari Jumat 30 April 2004 itu memberi pelajaran tersendiri khususnya bagi sahabat yang menggeluti dunia tulis menulis dan jurnalistik. Silakan….





Tajuk Rencana

Pejabat Itu Belum Tentu Pemimpin



BETAPA bingungnya kita mencari yang namanya pemimpin. Banyak orang yang akhir-akhir ini mengaku dirinya sebagai pemimpin dan merasa pantas untuk menjadi pemimpin bangsa. Namun, kita ragu mana di antara mereka yang benar-benar seorang pemimpin.



Kita memang memiliki banyak pejabat, tetapi tidak banyak yang mempunyai kualifikasi pemimpin. Menjadi pemimpin sangatlah tidak mudah. Kualitas pemimpin diuji ketika ada sebuah persoalan besar. Di sanalah kita bisa melihat bagaimana pola tindak dan cara seseorang memecahkan persoalan itu.



Seorang pemimpin sejati tidak mengenal rasa gentar. Ia akan selalu berusaha dekat dengan rakyatnya. Ia akan berusaha mendengarkan apa kata rakyatnya dan mencoba menghibur ketika mereka berada dalam kesulitan.



Menjadi pemimpin sudah barang tentu memiliki banyak risiko. Termasuk risiko akan keselamatan jiwanya. Namun, sekali lagi, itulah ukuran sesungguhnya dari yang namanya seorang pemimpin.



Pemimpin sangat dibutuhkan pada saat sulit, bukan pada saat situasi normal. Ketika sedang "bulan purnama", siapa pun pasti bisa bertindak seperti seorang pemimpin. Untuk itulah kita mengenal ungkapan noblesse oblige. Bahwa kehormatan itu menuntut tanggung jawab. Keharuman dan privilese sebagai seorang pejabat harus dibayar dengan kemauan untuk memikul tanggung jawab.



Semua uraian itu kita sampaikan untuk menilai apa yang dilakukan pejabat di jajaran politik dan keamanan. Kita ikuti para pejabat polkam terbang ke Ambon untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di kota itu.



Namun, karena alasan keamanan, para pejabat itu tidak masuk ke Kota Ambon untuk melihat rakyatnya yang menderita. Mereka hanya berkumpul di Bandara Pattimura dan menggelar rapat dengan pejabat daerah di tempat itu.



Setelah merasa mendapat informasi yang cukup, para pejabat itu terbang kembali ke Jakarta. Bahan rapat itulah yang dipakai sebagai dasar pembahasan dalam sidang kabinet hari Kamis kemarin. Kita tidak menutup mata bahwa kondisi di Ambon sangat tidak aman. Kita ikuti sejak hari Minggu, setelah peringatan hari ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS), terjadi bentrokan antara kelompok RMS dan anti-RMS. Bentrokan meluas sampai saat ini di mana terjadi baku bunuh, pembakaran rumah dan gedung, sehingga lebih dari 32 orang dilaporkan tewas.



Akibat bentrokan yang berkembang meluas itu, rakyat Ambon sangat menderita. Mereka seperti dibawa kembali ke masa tahun 1999, di mana mereka hidup dalam kekerasan. Nyawa begitu mudah melayang dan warga dari satu rumpun itu harus hidup terpisah-pisah.



Mereka sangat mengharapkan adanya uluran tangan untuk membuat hidup mereka terlepas dari penderitaan. Masyarakat Ambon sangat mendambakan sentuhan nyata dari pemimpinnya. Pemimpin yang diharapkan itu memang sudah datang ke kota mereka, namun ternyata pemimpin itu tidak menyentuh mereka.



Kita sungguh menyayangkan para pejabat di jajaran polkam itu tidak masuk ke Kota Ambon, melihat langsung kehidupan warga bangsa yang sedang berada dalam kesulitan. Alasan keamanan sungguh bukan sebuah alasan yang bisa kita terima.



Sebagai pejabat tinggi di jajaran politik dan keamanan, bukankah tugas mereka untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat. Kalau untuk dirinya sendiri saja mereka tidak mampu menciptakan keamanan, lalu bagaimana masyarakat bisa mengharapkan para pejabat itu menciptakan keamanan bagi seluruh rakyat.



Sungguh kita tidak habis mengerti mengapa para pejabat polkam itu tidak memaksa aparatnya di daerah untuk membuka kesempatan melihat langsung apa yang terjadi di kota itu. Untuk mengetahui seperti apa penderitaan yang dihadapi rakyat di sana.



Bagaimana seorang pemimpin tega membiarkan rakyat menderita, membiarkan rakyat tidak berdaya. Tindakan tidak melihat dan meninggalkan rakyat menderita begitu saja sungguh tidak menunjukkan sikap kesetiakawanan.



Menghadapi risiko merupakan pilihan seorang pemimpin. Kita boleh tidak suka kepada Soeharto, tetapi kita melihat bahwa ia adalah seorang pemimpin.



Kita tentunya belum lupa ketika ia terbang ke Bosnia, saat negeri itu sedang bergejolak. Sebagai Ketua Gerakan Non-Blok ia merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan moral kepada rakyat di sana.



Pasukan Keamanan PBB merasa keberatan Presiden Soeharto masuk Kota Sarajevo karena banyak penembak gelap di sana. Tetapi Pak Harto memaksa untuk tetap masuk dan bahkan merasa tidak perlu menggunakan jaket antipeluru. Selama enam jam Presiden Soeharto berada di Sarajevo dengan menggunakan kendaraan lapis baja.



Kita lihat juga bagaimana Presiden AS George Walker Bush mengambil risiko untuk terbang ke Baghdad. Semua orang tahu bahwa kota itu sangat berbahaya bagi seorang pemimpin Amerika. Namun, ia tetap datang untuk merayakan Thanksgiving Day dengan para prajurit yang sedang bertugas di Irak.



Tidak salah kalau dikatakan negeri ini memang tidak memiliki pemimpin. Kita kekurangan pejabat yang mempunyai kepekaan atas penderitaan yang sedang dialami oleh warga bangsanya.



Semua orang berebut menuju kursi kekuasaan. Semua orang berusaha untuk bisa menjadi pejabat. Tetapi untuk apa semua itu? Hanya untuk dinikmati! Kekuasaan dan pangkat hanya dipakai untuk kesenangan pribadi. Bukan untuk pengabdian kepada bangsa dan negara.



Kita sangat prihatin dengan nasib yang dialami saudara-saudara kita yang tinggal di Ambon. Sepertinya kita tidak bisa hanya mengharapkan kepada elite politik. Kita, masyarakat, sendiri harus ikut menyelamatkan mereka. Caranya yang paling sederhana, tidak ikut memperkeruh suasana, tetapi ikut mendengungkan kedamaian.