Sunday, August 06, 2006

Catatan (6): Belajar dari Iwan Abdulrachman


Pecinta Alam Sejati

JUMAT (4/8/06) sehabis kerja, aku menyempatkan membawa Kakang, anakku, jalan-jalan ke Bintaro Plaza. Maklum, sehabis ditinggal bundanya yang masih “nyangkut” di Surabaya, ia sepertinya kehilangan “induk” yang biasa mendampinginya. Sudah sangat biasa aku meninggalkannya karena tuntutan tugas, tetapi tidak oleh bundanya. Aku tahu dia terpukul, tetapi tidak pernah terungkap dalam kata-katanya.

“Boleh Kakang minta dibelikan Pokemon untuk Games Boy, Ayah?”
“Insya Allah!”
Tidak sulit mencari apa yang diinginkannya. Barang itu memang sudah lama diincarnya dan selama ini selalu pinjam temannya. Tetapi Kakang tahu diri, setiap ada permintaan, dia bisa memaklumi soal “waktu”. Dia mengerti, baru kalau ayahnya punya uang dan waktu, keinginannya itu diungkapkan kembali. Ia juga membeli Bread Talk dan Hoka-hoka Bento kesukaannya.

Tetapi yang ingin kuceritakan di sini adalah sebuah kebetulan. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri ke Disc Tara di lantai 2. Tak dinyana, aku menemukan satu cakram baru dari Iwan Abdulrachman. Kucari-cari kaset lamanya, tetap tidak kutemukan sampai kini. Berharap kaset baru, pasti lebih mustahil karena Iwan pernah “bersumpah” tidak mau rekaman lagi karena kecewa atas ulah “pembajak” (pirates), yang membuatnya ia tidak pernah kebagian royalti. Aku sampai menitip-nitip kepada adik ipar (Yanti), siapa tahu dia menemukan kasetnya, tetapi tetap nihil.

Siapa Iwan Abdulrachman? Tidak banyak orang yang tahu, kecuali orang-orang seangkatanku atau lebih. Orang mungkin lebih tahu “Melati dari Jayagiri” atau “Flamboyant”, dua lagu ciptaannya yang dilantunkan Bimbo. Sebagai Alumnus Universitas Padjadjaran, aku juga tidak akan pernah melupakan nama ini, sebab Iwan “Abah” Abdulrachman adalah sang penggubah “Hymne Universitas Padjadjaran”.

Iwan kini sudah berusia 58 tahun. Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, ini memang sudah malang melintang dalam musik balada. Tahun 1976, saat aku sekolah di kelas 5 SD, video klipnya sering muncul di TVRI dengan latar belakang kabut di perkebunan teh Puncak, Bogor . Aku melihat video klip ini di rumah Agus Ridar, teman sekelas yang mengajakku ke Bandung saat berlibur. Tahu sendiri, orangtuaku baru mampu membeli televisi tahun 1978 atau dua tahun kemudian.

Lagu yang dibawakannya bersama Kelompok Kali Kautsar (tolong dibetulkan jika salah, sebab aku hanya mengandalkan daya ingatku atas peristiwa yang pernah terekam persis 30 tahun lalu) saat itu adalah “Sejuta Kabut” (tolong juga diralat kalau judulnya salah). Petikan gitar tremolo (bergetar) sangat mendominasi musiknya: Begini syairnya:

(1) Sejuta kabut turun semalam
merayapi jemari jalanan
merapat, melolong, lalu menjauh
menggoreskan kesan curam di hati
(2) Sejuta kabut turun semalam
mengetuk-etuk jendela kamarku
merapat, melolong, lalu menjauh
menggoreskan kesan nyeri di hati
(Reff) ‘Kan kusibak tirai hatiku
kubuka lebar-lebar pintu jiwaku
kuterjuni kabut yang di kakiku
berbekal matahari yang berjalan
yang membara…..
(
Kembali ke 2 dan Reff
)

Pada Jumat 21 April 2006 lalu sebenarnya Iwan manggung di Hall C Senayan. Tanggal itu sudah kutandai dengan spidol merah. Ehh, miss juga karena harus tugas ke daerah lain. Padahal, sejak 6 April 2006, sebenarnya aku sudah berada di Jakarta. Rabu tanggal 23 Agustus 2006 nanti, Iwan akan kembali manggung di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Tanggal di kalender mejaku sudah kutintamerahkan. Bahkan akau sudah mengajak Kakang untuk menonton konsernya. Kakang belum menyatakan kesiapannya, “Nanti Kakang lihat dulu, Ayah,” katanya.

Aku perlu mengajak Kakang menonton Iwan agar mampu sedari dini menghayati syair-syairnya yang kuat saat melukiskan alam, cinta, dan perasaan indah lainnya. Juga bagaimana kepasrahan dan pertanyaan kemana diri ini hendak melangkah selanjutnya, seharusnya diungkapkan, seperti tercermin dalam lagu “Detik Hidup”. Seingatku, lagu “Detik Hidup” pernah dibawakan Iin Parlina dari Bimbo, hanya saja suaranya terlalu “ngaheos” (mendesah).

Berikut syairnya yang juga ternukil dalam album Iwan Abdulrachman yang ia beri judul “Mentari” (karena lagu “Mentari” dalam dua versi [gitar akustik dan konser] juga ada di dalamnya). Begini syairnya:

Detik-detik berlalu dalam hidup ini
perlahan tapi pasti menuju mati
kerap datang rasa takut menyusup di hati
takut hidup ini terisi oleh sia-sia
pada hening dan sepi aku bertanya
dengan apa kuisi detikku ini
tuhan kemana kami setelah ini?
adakah Engkau dengar doa’ku ini?
amien, ya Robb al’ alamien…

Masih banyak lagu Iwan lainnya yang penuh makna dalam, yang tidak bisa diresapi sambil lalu. Di album ini ada lagu “1.000 Mil Lebih Sedepa” yang mengisahkan tentang percintaannya di tengah alam atau “Nyanyian Alam” tentang sepinya sebuah malam. Banyak lagi yang belum masuk album “Mentari” seperti lagu “Akar” (seingatku) yang mengisahkan kesendirian sebuah akar.

Kata Iwan, hidup itu harus seperti akar. Dia tidak tampak menonjolkan diri. Ia tersembunyi di dalam tanah. Tetapi ia kuat mencengkeram bumi, yang membuat batang, dahan, ranting dan daun tetap kokoh meski diterpa angin. Akar jugalah yang menyerap makanan, mengalirkannya ke seluruh batang, dahan, ranting dan daun. Bekerja dalam diam sunyi bagi yang lain, tanpa harus berkoar-koar
.
Tetapi sayang, ya Abah Iwan, sekarang tidak banyak lagi orang yang hidup seperti akar itu. Orang menolong orang karena pamrih. Atau orang menyumbang sesama yang terkena impitan hidup (bencana), selalu ingin dipampangkan di koran, diumumkan di radio, atau ditayangkan di televisi. Tetapi tidak seperti akar yang Abah Iwan bayangkan: tersembunyi, meski tetap berbuat banyak bagi yang lainnya!

Kelak kalau masih diberi usia, Rabu 23 Agustus 2006 mendatang, Insya Allah aku menonton konser tunggalnya (bersama Kakang kalau ia sudah memutuskannya pergi) dan akan kutulis kembali tentang konser itu di blog ini. Aku akan upayakan bertutur sapa dengannya, bercakap-cakap atau sekedar melontarkan kekagumanku saja, pada seorang pecinta alam sejati: Iwan Abdulrachman.

Pepih Nugraha
Jakarta, Minggu 6 Agustus 2006.

4 comments:

Pepih Nugraha said...

Ku aa ge di olo, Dang, ngan aa teu tiasa maksa da kakang tos ageung, tos gaduh sikeup nyalira. Kecuali soal sakola sareng belajar resmi, aa tiasa keras ka kakang. Kanggo nu sanes-sanesna, aa mah memperlakukan kakang salaku sobat, rerencangan ngobrol. De Hanum ayeuna ultah ka huji nya, Dang, wilujeng, sun sayang ti ayah kakang.

priyatnadp said...

ba'da shaur tadi dina acara tafsir al misbahna pak Quarish shihab. Gito rolies nembangkeun 'detik hidup'na abah iwan. Matak ketir kasuat suat kana ati. Ngadadak jadi cirambay. kang pepih..nyungkeun ijin ngutip syairna detik hidupna abahiwan kanggo di blog. Sigana mah tembang ieu ayaoge dina albumna Gito Rolies nu ayeuna.

Nurjamila said...

Punten kang Pepih, nepangkeun abdi putri Abah Iwan. Bade ngiring copy seratan akang, ku abdi bade dilebetkeun ka blog Abah.
Tiasa ditingal di abahiwan.wordpress.com
Eta teh kempelan seratan sobat-sobat abah, sareng kempelan artikel-artikel anu ngamuat perkawis pun bapa.
Hatur nuhun sateuacanna.

Anonymous said...

Kumaha eta mah gak bisa bahasa sunda, aya naon?
(gimana nih saya gak bisa bahasa sunda? benargak ya?)