Thursday, May 31, 2007

Catatan (20): Surat Lili









Surat Teman SMA



AGAK terkejut juga saya menerima sepucuk surat, Kamis hari ini. Saat saya tiba di kantor, surat itu sudah tergeletak di atas meja. Tanpa alamat pengirim. Tetapi dari cap pos yang tertera di atas perangko "Hemat Energi" senilai Rp 1.500, saya tahu itu surat dari Tasikmalaya. Dari siapa?



Itu surat dari Lili, teman SMA saya dulu, saat kami sama-sama duduk di bangku kelas 1-3 tahun 1982-1984 di SMA II Tasikmalaya. Lili beretnis Tionghoa. Tetapi saya tidak pernah ragu dan pusing berteman dengannya. Saya tidak pernah mempersoalkan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah kita terima dari sononya, entah itu etnis, ras, maupun agama. Teman sekelas beretnis Tionghoa lainnya adalah Ang Le Tjien dan Yen Yen. Semoga saya tidak salah menulis nama mereka. Hem, dimana ya mereka sekarang berada... termasuk Taufik, teman sekelas yang beretnis Arab-Pakistan genuine?



"Hallo Pepih! Apa kabar? Mudah-mudahan Pepih masih ingat sama Lili, temanmu waktu di SMA II TSM," demikian Lili membuka surat bertanggal 18 Mei 2007 itu. Lili adalah gadis yang lemah lembut, dalam bertutur maupun bertindak, sebagaimana gadis Tasik pada umumnya yang lemah lembut namun punya prinsip tegas itu. Lili melanjutkan, "Kalau Lili sih yakin, waktu baca namamu di Kompas, pastilah itu kamu. Selamat ya, cita-citamu sudah kesampaian. Lili juga sudah tercapai cita-citaku menjadi ibu RT (ha..ha...)."



Dalam lanjutan suratnya, Lili (dulu dia menulis namanya dengan "Lily") mengabarkan bahwa adiknya, Tanti Susilawati, sudah menerbitkan novel pertamanya, "Hey Mister I Love You!" dan meminta saya membeli novel itu untuk kemudian saya resensi. Sebuah permintaan yang Insya Allah dapat saya luluskan.



Hanya saja, kepada siapa kelak risalah kritikan saya itu saya alamatkan, mengingat ia tidak menyantumkan alamat rumahnya? Saya juga yakin Lili belum akrab dengan dunia internet, sebab ia tidak pernah tahu alamat imel (e-mail) saya, apalagi ia mengenal atau membaca blog yang saya urus ini! Toh ia masih berkirim surat secara konvensional, surat "par avion".



Baiklah, saya tidak akan ambil pusing bagaimana kritik saya atas novel adiknya itu bisa sampai kepadanya. Kalau saya sudah mendapatkan buku itu, kelak saya akan memuat resensinya di blog ini. Harapan saya, siapa tahu di antara sahabat yang kebetulan membaca blog ini tahu alamat Lili di Tasikmalaya. Meski saya terbilang sering datang ke kota tempat saya dilahirkan dan dibesarkan itu, saya sudah kehilangan jejak teman-teman saya, termasuk Lili ini.



Kota Tasikmalaya memang sempit, tetapi terlalu luas bagi saya untuk mencari dan menemukan teman lama di sana. Kota ini tidaklah salah. Sayalah yang salah karena tidak cukup peduli dengan kota dimana ayah, paman, dan bibi saya sampai sekarang tinggal di sana, di tanah dimana jasad ibu saya dikuburkan. Kota dimana saya mengenal baik pedangdut Itje Trisnawati saat ia masih remaja dan berlatih di rumah pasangan Iing Ibrahim- Enok Erni, pasangan yang melahirkan penyanyi Vetty Vera dan adiknya, Alam, di desa Ciawi, Tasikmalaya.



Saya mengenal mereka dengan baik saat usia saya belum beranjak dewasa, tetapi saya tidak cukup mengakrabi kota ini dengan baik kendati usia saya telah beranjak senja.

Tuesday, May 29, 2007

Catatan (19): Mencapai "Adiluhung"



Berbagi Ilmu, Mengapa Tidak?



SENIN Kemarin, saya mendapat telepon dari Arifin, wartawan Majalah Hidayah, yang saya kenal di Toko Buku Gramedia Plaza Bintaro beberapa bulan sebelumnya. Saya tidak mengenali nomor teleponnya karena ia menelepon dari kantornya. Saya katakan adakah yang bisa saya bantu. Dia jawab, "Sekadar silaturahmi saja." Simpatik, benar-benar mempraktikkan ukhuwah islamiyah-nya. Saya senang karenanya. Saya mau mendengarkan apa yang ingin dikatakannya, siapa tahu saya bisa memberi jalan untuk sekadar menolongnya.



Dalam percakapan singkat di telepon, ia bertanya apakah tidak ada konsekuensi hukum dengan cara saya membuat blog yang memuat kembali karya-karya saya yang pernah dimuat di Harian Kompas maupun yang ditayangkan di KCM, Kompas Cyber Media. Pertanyaan yang wajar, karena ini menyangkut copy right alias hak cipta. Saya tahu, Arifin wartawan yang santun, setidak-tidaknya yang saya tangkap saat bertemu dulu.



Saya jawab, selagi karya tulis itu tidak dikomersialkan, tidak menjadi salah. Kalau apa yang saya lakukan itu melanggar, sudah sejak lama saya ditegur perusahaan. Justru dengan memuat kembali tulisan saya di blog, perusahaan "diuntungkan" karena secara tidak langsung dipromosikan. Bayangkan kalau dia mengklik tulisan kita di KCM, itu artinya page per view KCM bertambah, meski mungkin penambahannya tidak berarti banyak. Di sisi lain, kita juga memberi tahu banyak pihak, bahwa profesi wartawan itu menyenangkan, menulis itu bisa mendatangkan nafkah, dan wartawan bukanlah makhluk sombong yang bisa mendikte dan mencecar Presiden. Wartawan juga manusia!



Tetapi saya akui, ini persoalan yang masih debatable. Sejak kelahirannya, live journal atau bentuk blog pada awalnya, adalah untuk menampilkan karya tulis, gambar, foto, video kita di web pribadi. Maka tidak terhindarkan kalau karya tulis yang pernah dimuat dimanapun, kita masukkan kembali ke dalam catatan virtual kita. Bedanya, catatan itu memang dibaca oleh orang lain. Selagi kita mencantumkan sumber tulisan karya kita itu, maka tidak ada aturan yang dialanggar dalam hal ini.



Saya teringat buku Steven R Covey (The 8th Habit) mengenai upaya pencapaian prestasi hidup tertinggi yang disebutnya pencapaian adiluhung, yakni pencapaian yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi berguna buat orang banyak. Menurut dia, dalam hidupnya manusia harus berupaya mencapai kehidupan adiluhung itu. Apa yang kita kerjakan, tidak semata-mata untuk mencari uang, keuntungan dan materi semata. Ada waktunya kita harus berbagi ilmu dan bahkan harta kepada sesama.



Cara saya membuat blog untuk berbagi ilmu menulis yang pernah saya dapatkan berdasarkan pengalaman kerja, rasanya "harta" yang saya bagi-bagikan dengan percuma itu. Saya tidak berpretensi untuk mengomersilkan, apalagi menjual tulisan-tulisan saya. Semuanya bisa dipelajari, diambil, dikutip, asalkan mencantumkan sumbernya. Tidak ada masalah. Banyak orang belajar dari blog, termasuk saya yang juga belajar dari blog-blog orang lain, sesuai minat saya.



Kepada Arifin saya katakan, bukankah dengan cara demikian kita beramal setiap hari, berbagi ilmu setiap hari, meski tidak berpretensi mendapatkan ganjaran apa-apa. Banyak wartawan yang jauh lebih segala-galanya dari saya. Mungkin mereka juga berbagi ilmu dengan cara mereka masing-masing. Kalau mereka belum sempat, mungkin karena belum punya waktu saja. Karena saya selalu menyempatkan diri, maka saya memilih cara termudah, yakni membuat blog. Tidak harus pusing dengan blog; kalau tidak suka, silakan lewat saja. Tetapi jika suka, terus baca dan ambil manfaatnya.

Friday, May 25, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (23)













Abaikan "Proximity"



AZAS "proximity" atau kedekatan sudah lama menjadi salah satu dari nilai berita (news value) selain "penting", "menarik", "magnitude" (besar), dan menyangkut "prominet people" (orang terkemuka/terpandang). Berita, jelas harus mengandung unsur kedekatan, kedekatan antara berita yang disajikan dengan pembacanya.




Misalnya, pembaca di Indonesia akan lebih tertarik membaca seorang pejabat korup dipenjara daripada seorang pejabat Amerika, apalagi pejabat Afrika, dipenjara untuk kelakuan yang sama, korupsi. Bahkan bila pejabat luar negeri itu mati sekalipun, pembaca di Indonesia tidak peduli. Orang Sampang di Madura akan lebih tertarik membaca mengapa Pilkada di daerahnya ditunda-tunda daripada penundaan Pilkada di daerah lain.



Lagi, pembaca Indonesia akan tertarik membaca artis Alda Risma terbunuh daripada seorang artis Holywood atau Bolywood mati. Kalau mau lebih ekstrem lagi melihat contoh kedekatan, contohlah sahabat sendiri saat menyaksikan selembar foto dimana Anda termasuk salah satu dari kerumunan di foto itu. Pastilah yang Anda cari itu Anda sendiri, atau setidak-tidaknya teman dan keluarga dekat Anda. Bukan begitu?



Tetapi kadang-kadang, unsur "proximity" itu diabaikan tatkala unsur "interisting" atau daya pikat sebuah berita begitu besar. Daya pikat itu tidak harus berkaitan dengan "magnitude" (misalnya jumlah korban tewas sebuah kecelakaan yang besar), tetapi bisa saja karena berita itu "menyentuh perasaan", juga punya "nilai kejuangan dan sikap bertahan" yang luar biasa. Jarang jauh membentang memisahkan Amerika-Indonesia, dengan kata lain tidak ada kedekatan, tetapi kedakatan bisa diabaikan bila berita punya daya pikat.



Seekor anjing yang bisa bisa bertahan hidup selama dua minggu di sebuah lubang, juga bisa menjadi berita. Apalagi manusia yang mampu bertahan dari serangan ganas srigala atau beruang di hutan, katakanlah demikian. Ini sekadar contoh saja.



Untuk alasan inilah mengapa saya harus repot-repot menerjemahkan dua berita dari kantor berita Associated Press (AP) yang berkedudukan di Amerika Serikat untuk Kompas.com atau Kompas Cyber Media (KCM). Sebab, kedua berita itu, meski peristiwanya lokal Amerika Serikat, tetapi nilai kejuangan untuk bertahan dan pengampunan (nilai kemanusiaan) dari pelaku dalam dua berita itu, cukup menggugah perasaan yang membacanya. Setidak-tidaknya, daya tarik kedua berita itu ada. Inilah dua berita dimaksud:








1.

SALT LAKE CITY, KAMIS- Seorang pria yang kehilangan istri dan dua anaknya pada hari Paskah bulan April lalu mengungkapkan kebaikan hatinya bagi sopir pemabuk yang terancam hukuman penjara karena menjadi penyebab musibah itu.



Carlos Prieto menerima hukuman 10 tahun penjara, tetapi Gary Ceran, pria yang kehilangan tiga anggota keluarganya itu, mengatakan pada hakim bahwa ia cukup puas jika si penabrak tidak di penjara. “Saya ingin Carlos tahu bahwa saya memaafkannya," kata Ceran, menahan tangis beberapa meter di belakang Prieto yang tangannya dibelenggu, Kamis (24/5).



Jaksa penuntut mengatakan Prieto, 25 tahun, dalam keadaan mabuk alkohol dua kali lipat dari ambang batas yang diperbolehkan saat truk berbadan lebar menabrak kendaraan keluarga Ceran. Cheryl Ceran, 47, Ian Ceran, 15, dan Julianna Ceran, 7, tewas seketika. Gary Ceran dan dua anak lainnya selamat.



Beberapa saat setelah kejadian itu Ceran mengatakan bahwa ia memaafkan Prieto, yang kemudian menyatakan rasa bersalahnya di pengadilan.



Prieto berbicara dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah. "Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepad pria yang baik hati yang telah memaafkan saya," katanya. “Saya berharap dapat melakukan sesuatu untuk mengobati rasa bersalah ini, mengobati hati ini.”



Prieto menyatakan bertanggung jawab penuh atas kecelakaan itu dan berjanji tidak akan mabuk lagi.






2

GEORGETOWN, KAMIS- Seorang ibu, Bernice Perreria, dengan anaknya yang berusia lima tahun selamat dari kecelakaan pesawat kecil di hutan Guyana, Amazon. Ibu dan anak itu meninggalkan reruntuhan pesawat mencari jalan keluar dari hutan.



Kecelakaan pesawat itu sendiri menewaskan tiga penumpang lainnya, termasuk satu anak Perreria lainnya. Demikian dijelaskan juru bicara dari perusahaan pesawat carteran tersebut.

Sesaat setelah kecelakaan terjadi Bernice Perreria dan anak laki-lakinya meninggalkan tempat kejadian dan harus bermalam di hutan sebelum tim SAR (search and rescue) menemukan mereka.



Fazal Khan, jurubicara perusahaan Air Services Limited mengatakan, selamatnya ibu dan anak di hutan Amazon yang terkenal ganas itu merupakan suatu keajaiban.



Pesawat bermesin ganda Britten-Norman Islander kehilangan kontak radio dalam kondisi cuaca yang sangat buruk pada hari Rabu waktu setempat, 20 menit sebelum mendarat di landasan yang sengaja dibangun di hutan Amazon, kata Paula McAdam, jurubicara dari otoritas penerbangan sipil.



Kantor berita AP menyebutkan, tim penyelamat menyisir area yang berbatasan dengan Brasil untuk mencari reruntuhan pesawat bertempat duduk sepuluh itu.



Perreria mengungkapkan, bayinya tewas bersama kapten pilot Rohan Sharma (50) dan lima penumpang lainnya yang masih belum teridentifikasi. "Kedua orang yang selamat dan hanya mengalami luka-luka ringan kini ditangani tim medis," kata Khan. Air Services Ltd melayani sejumlah komunitas pertambangan dan masyarakat yang tinggal di wilayah selatan Amerika itu.

Wednesday, May 23, 2007

Catatan (18): Mengisi Waktu Luang





Catur Bart Simpson



SUDAH lama mengincar catur “The Simpsons” (Keluarga Simpsons) di salah satu toko Bintaro Plaza untuk saya jadikan koleksi terbaru. Sekadar klangenan alias untuk main-main atau senang-senang saja. Sayang, catur berisi tokoh Keluarga Simpsons dengan ikon Bart Simpson itu terjual cepat. Rupanya banyak juga peminat Bart.



Saya tidak tahu apakah pembeli itu meminati Bart sebagai tokoh lucu atau meminati papan catur dan buahnya sebagai koleksi. Bagi saya, jelaslah yang terakhir.



Saya tidak terlalu suka Bart Simpson dan keluarganya, tetapi menjadi suka tatkala keluarga itu dijadian buah catur. Warna-warni lagi. Maka ketika di toko lain saya temukan catur “The Simpsons”, saya langsung membelinya. Tidak terlalu mahal, sebab ada diskon 10 persen. Soalnya pada hari yang sama di toko interior, saya menemukan papan dan buah catur unik, tetapi harganya nyaris menyentuh angka satu juta rupiah. Terlalu tinggi buat kantong saya.



Dengan demikian, “The Simpsons” menjadi penghuni terbaru koleksi papan dan buah catur saya. Ia segera menghuni lemari kaca bertingkat tujuh yang sengaja saya buat untuk memajang koleksi saya. Lemari kaca itu berada di bawah tangga dengan bentuk yang mengikuti luasan tangga di atasnya. Keenam sekatnya juga terbuat dari kaca, sehingga transparan saat lampu sorot di bagian atas lemari dinyalakan.



Sebelum “The Simpsons” datang, penghuni terbaru lemari kaca itu ialah catur mungil terbuat dari bahan kaca warna-warni. Indah sekali. Apalagi kalau tersorot cahaya lampu (lihat foto bawah).




Setiap hari, sebelum atau sehabis bekerja, saya selalu menyempatkan diri untuk menikmati benda-benda tidak bergerak hasil kreasi berbagai bangsa itu. Memang kalau kebetulan ke luar negeri, saya selalu menyempatkan diri untuk mencari papan dan buah catur yang unik-unik. Tentu saja koleksi saya itu murah meriah, terjangkau koceklah, sekalipun harus saya beli di luar negeri. Tetapi, catur lokal seperti dari Bali, Pasuruan, Klaten, dan Yogyakarta, pun tidak kalah uniknya.



Kembali ke “The Simpsons”. Bart, ikon utama kartun itu, dalam catur seri Keluarga Simpsons menjadi bidaknya. Artinya, seluruh tokoh Bart ada 16, masing-masing delapan dengan warna hijau melawan biru. Grampa Simpson menjadi dua benteng yang mengapit seluruh perwira, ratu dan raja di belakang Bart. Kuda diperankan Maggie Simpson yang benar-benar sedang naik kuda. Pengen tertawa melihatnya. Lisa Simpson bertindak selaku gajah. Ratu diperankan Marge Simpson dan Raja Homer Simpson. Yah, mereka memang sekeluarga!

Friday, May 18, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (22)







Jika Tertekan Waktu



WARTAWAN akan selalu ditekan waktu. Ini hukum yang harus dipahami secara baik oleh mereka yang hendak terjun di profesi ini. Ditekan editor atau atasan kita, itu biasa. Paling tidak konduite akan anjlok jika kita mengerjakan tidak sesuai harapan mereka. Ini subyektif. Tetapi jika ditekan waktu? Ini baru luar biasa.



Sang Waktu bukanlah makhluk hidup seperti halnya editor yang bisa memelototkan mata sampai nyaris keluar atau berkacak pinggang, tetapi ia (waktu) lebih berkharisma dan disegani karena ia obyektif. Ia punya otoritas untuk menilai apakah seseorang mampu atau tidak menjadi wartawan yang baik. Dengan sendirinya waktu menjadi sang penentu. Tidak ada yang lebih membahagiakan hati seorang wartawan jika ia bisa melepaskan diri dari tekanan waktu.



Dulu semasa Orde Baru berkuasa, muktamar atau kongres sebuah organisasi harus diliput secara penuh, sampai sang ketua organisasi tersebut terpilih. Pernah saat pemilihan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Asrama Pondok Haji tahun 1996-1997, saya tidak cukup waktu untuk pulang ke kantor di Palmerah, apalagi menulis, sebab waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 tengah malam alias koran sudah nyaris "tutup warung".



Akan tetapi, editor politik saya saat itu, James Luhulima, memberi peluang proses terpilihnya ketua KNPI baru itu di halaman pertama, sehingga masih ada sedikit waktu. Darimana sedikit waktu itu? Dari Handi Talkie alias HT! Maklum, saat itu ponsel belum memasar, sehingga hanya alat komunikasi dua arah itulah yang bisa saya pergunakan. Maka, bikinlah saya berita di kepala hanya dengan mengandalkan coretan di notes, lalu saya komunikasikan ke editor. Di sana, James akan menuliskan kata-kata saya di atas papan ketik komputernya. Kapan lagi bisa memerintah editor dengan daulat sebesar itu? Mendikte!



Kadang dalam kesempatan lain, misalnya saat ada tamu penting ke kediaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, saya harus nongkrong di sana sampai larut malam. Ketika sampai di kantor, editor dengan enteng mengatakan, "Waktumu sepuluh menit!"



Bayangkan, belum juga rasa capek mengemudi dari Ciganjur-Palmerah yang lumayan berbilang jarak itu, kita harus menyelesaikan satu berita hanya dalam tempo sepuluh menit hanya karena waktu sudah menjelang tengah malam. Anehnya, entah ada kekuatan darimana, berita bisa diselesaikan dengan baik. Disebut dengan baik, toh berita itu bisa dan layak muat di koran yang besok akan dibaca jutaan pembaca itu.



Kelak saya akan berbagi pengalaman darimana "kekuatan" menulis dalam ketersediaan waktu yang sangat minim itu datang?



Di sini ada tips bagaimana menerjemahkan berita dari wires atau kantor berita asing jika dipandang berita itu sangat penting, atau menarik perhatian karena akan dibaca oleh komunitas yang besar. Mengapa harus diambil dari wires, banyak alasannya. Mungkin wartawan tidak memperoleh berita atau itu memang berita luar negeri yang punya pengaruh di negeri ini. Kalau dari kantor berita Antara yang berbahasa Indonesia, itu tinggal copy paste saja. Urusan selesai. Tetapi kalau berita berbahasa Inggris atau Perancis, jelas harus dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.



Bagaimana mengalihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan cepat saat ditekan waktu? Saran saya: terjemahkan apa adanya! Tidak perlu bumbu-bumbu pemanis kata, persis seperti apa yang tertulis saja, bila perlu kutipannya pun sama. Niscaya, satu berita dari wires bisa selesai hanya dalam tempo kurang dari sepuluh menit!



Di bawah ini adalah berita tentang tinju dari kantor berita asing AFP (Agance France Press) yang saya alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu kurang dari sepuluh menit itu dan dimuat untuk Kompas.com atau Kompas Cyber Media (KCM) edisi Jumat, 18 Mei, hari ini pukul 05.00.








Taylor Pertahankan Mahkota Tinju Melawan Spinks



TENNESSEE, KAMIS- Juara tinju kelas menengah World Boxing Council (WBC) tak terkalahkan Jermain Taylor akan mempertahankan mahkotanya melawan juara kelas menengah ringan Cory Spinks, Sabtu mendatang atau Minggu waktu Indonesia, dalam pertandingan 12 ronde.



Taylor yang membukukan kemenangan 26-0, hanya satu kali seri dengan 17 knockouts (KO) lebih difavoritkan menang atas Spinks yang kini menorehkan prestasi 36-3 dengan 11 KO, dalam upayanya mempertahankan gelar juara yang keempat kalinya.



Putra mantan juara dunia tinju kelas berat Leon Spinks ini adalah juara tinju kelas menengah ringan International Boxing Federation (IBF) dan mantan juara kelas welter yang naik kelas untuk mencoba merebut mahkota Taylor.



“Cory petinju yang sangat bagus dan saya sangat menghormatinya," kata Taylor. Ia menambahkan, “Kami sudah saling mengenal sejak kami di amatir. Saya tahu ia akan mempersiapkan diri dengan baik untuk merebut sabuk juara saya dan saya tidak akan menganggapnya enteng."



“Ia juga seorang juata dunia dan Anda harus hormat kepada petarung seperti ini," kata Taylor.



Taylor menang angka tipis dalam pertarungan 12 ronde melawan Bernard Hopkins tahun 2005, mengakhiri pemegang juara selama 12 tahun. Ia juga bertarung melawan Winky Wright dengan hasil seri sebelum menang atas petinju Uganda Kassim Ouma Desember lalu.



“Semua pertarungan itu membuat saya menjadi petarung yang lebih baik dan saya belajar dari mereka semua,” kata Taylor.



Bagi Spinks ini akan menjadi pertarungan legendaris seperti yang dilakukan ayahnya dulu. Leon Spinks mengalahkan Muhammad Ali tahun 1978 dan menggenggam mahkota juara dunia tinju kelas berat selama tujuh bulan sebelum Ali mengumumkan keinginan pertarungan ulang.



“Ayah memberi saya inspirasi bahwa saya merasa dapat melakukannya,” Cory Spinks mengatakan. “Berkesempatan melawan dia (Taylor) akan memberi saya tambahan tenaga. Itu akan membuat saya bertarung lebih keras."



“Ia mengalahkan juara tinju yang lebih besar dan itulah yang akan saya lakukan melawan Jermain," pungkas Spinks.

Tuesday, May 15, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (21)



Merekam Suasana




KETIKA kita tidak dapat memotret detail suasana rumah Farid Firman Syah, juara dunia catur KU 15, saya tidak harus kecewa. Bagaimanapun, tulisan itu harus jadi. Jangan hanya terhenti hanya karena kita tidak bisa merekam suasana rumahnya yang dianggap dramatis, kontras, karena Farid anak seorang tukang rokok.


Kita juga tidak bisa memaksakan diri kalau sumber kita, yakni Farid dan keluarganya, hanya bisa bertemu hari Kamis (10/5) di Kantor PB Percasi di Senayan, Jakarta, sebelum ia bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana.


Sejujurnya, saya tidak tahu kalau Farid diundang Presiden dan Wapres untuk makan siang di Istana, dua jam sebelum wawancara dengan saya dimulai. Itupun saya tahu saat wawancara sedang berlangsung. Mulailah insting saya menangkap "sesuatu" yang bisa saya kembangkan sebagai awal sebuah tulisan. Tidak harus menunggu lama, saya langsung bertanya kepada Farid, "Apa pendapatmu mengenai Presiden SBY?" Maka, keluarlah jawabanya yang lugu dan apa adanya, yang kemudian saya jadikan awal tulisan untuk rubrik Sosok di Kompas.


Selagi saya mewawancarainya, saya tangkap suasana Kantor PB Percasi itu. Ada orang-orang Percasi, ada staf Humas Percasi MN Sebastian Simanjuntak, ada pelatih catur yang bergelar master nasional, ada Amaroh ibunda Farid, ada Abrori ayahanda Farid, dan Faria Desi Arianda adik Farid. Tentu saja saya tahu nama-nama mereka setelah saya bertanya langsung kepada Farid siapa mereka.


Tulisan saya pasti tidak hanya berisi wawancara Farid semata yang membuat tulisan menjadi kering dan tidak menggairahkan, tetapi semua yang melintas dalam pikiran saya. Saya rekam semua aktivitas mereka dalam ingatan saya, dalam coretan di notes saya, dan saya sudah punya rancangan kasar penulisan sebelum wawancara usai!


Bagaimana kemudian jadinya tulisan itu, sahabat bisa membacanya di bawah ini, sebuah tulisan sosok yang dimuat Kompas, Senin (14/5). Tulisan untuk blog ini dilengkapi foto karya kawan saya, Humas PB Percasi Kristianus Liem. Sahabat juga bisa membacanya di alamat: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/14/Sosok/3527793.htm




Anak Pecatur Lapak yang Menjadi Juara Dunia

PEPIH NUGRAHA


"Saya suka Pak SBY karena dia gagah." Itu penilaian Farid mengenai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama lengkapnya Farid Firman Syah. Dialah juara dunia catur pelajar kelompok usia 15 di Halkidiki, Yunani.



Kami menemuinya, Kamis (10/5) di Kantor PB Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi) Senayan, Jakarta, satu jam sebelum ia ke Istana. Bertemu orang nomor satu di negeri ini menjadi kebanggaan sebagian orang, termasuk Farid, siswa kelas II SMP PGRI Rawalumbu Bekasi.



"Mimpi pun tidak bakal bertemu Pak SBY, saya cuma melihatnya dari teve," katanya. Saat itu Farid mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan celana jins. Mata kanannya agak merah. Kena angin, katanya.



"Mau ketemu Presiden kok pakai jins. Kami belikan dulu celananya," salah seorang pengurus Percasi mengingatkan. Tetapi, ibunda Farid, Amaroh, meminta izin untuk membawa Farid berganti pakaian. "Saya bawakan dia baju resmi dari Bekasi," katanya.



Tak sampai 10 menit, Farid sudah mengenakan setelan jas hitam, siap berangkat ke Kantor Menpora sebelum bersama Menpora Adhyaksa Dault diantar ke Istana. Hari itu sang juara dunia diantar lengkap sang ibu, Amaroh; ayah, Abrori; adik, Faria Desi Arianda; dan pengurus Percasi Bekasi. Mereka makan siang bersama Presiden dan Wakil Presiden.



Farid, yang 26 November 2007 nanti genap berusia 14 tahun, adalah satu dari tiga juara dunia catur yang dimiliki Indonesia. Sebelumnya ada Irwin Irnandi juara dunia kelompok umur (KU) 10 dan Aston Taminsyah juara dunia KU 9. Farid juara dunia catur pelajar KU 15. Memang ada perbedaan dengan Irwin dan Aston yang juara dunia tanpa embel-embel "pelajar".



"Tetapi, meski juara dunia pelajar, lawan-lawan yang dikalahkan Farid di Halkidiki memiliki elo rating tinggi," kata Sebastian Simanjuntak, manajer merangkap pelatih yang menemani Farid ke Halkidiki.



PB Percasi kali ini tak hanya mengirim Farid. Ada Masruri Rahman dan Chelsie Monica Sihite. Rahman mampu menduduki peringkat ketiga di KU 11, di bawah Yuksel Atila Koksel dari Turki dengan 7,5 poin, dan Maxim Lugovskoy dari Rusia dengan 7 poin.



Anak sopir bajaj ini juga mengumpulkan 7 poin, tetapi kalah dalam nilai tie-break yang dihitung berdasarkan hasil head to head, di mana Masruri dikalahkan Maxim pada babak kedua. Satu lagi kekalahan Masruri diderita dari sang juara Koksel.



Masruri juga diundang ke Istana bersama Farid. Dia sempat nyaris ditolak protokol karena mengenakan sandal jepit!



Pecatur lain, Chelsie Monica Sihite, bermain di KU 13 putri dan mampu menduduki peringkat keenam. Chelsie yang asal Balikpapan mencetak 5,5 angka. Di kelompok ini gelar juara disabet Baciu Diana dari Moldova dengan 7,5 poin.



Bagaimana dengan prestasi Farid, bocah yang bergelar master nasional sejak usia 12? Boleh dibilang luar biasa sebab baru dialah yang melakukannya.



Murid Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) itu sudah memastikan diri menjadi juara dunia satu babak sebelum babak terakhir. Ini karena angka yang dia kumpulkan tak mungkin dilampaui peserta lain sekalipun ia kalah pada babak terakhir. Hebatnya, ia justru menggilas musuhnya tanpa ampun di babak terakhir itu.



Simanjuntak menggambarkan bagaimana tercekamnya kubu Indonesia saat harus menghadapi babak delapan. Bila Farid sampai kalah, hapuslah harapannya sebagai juara dunia karena mungkin ia kalah head to head atas saingan terdekatnya, pecatur Yunani. Ini suasana yang menegangkan dan bikin pikiran buyar. "Tetapi saya main plong saja," ungkap Farid.



Alhasil, setelah menyelesaikan semua sembilan babak, Farid unggul satu setengah angka dari peringkat kedua dan ketiga, yaitu Mustafa Yilmaz dari Turki dan Ivan Aldokhin dari Rusia, yang membukukan 7 angka. Ia mencetak delapan kemenangan dan hanya sekali seri. Padahal, di KU 15 tahun ini terdapat 56 pecatur dari 14 negara!



Telat



Farid termasuk telat mengenal catur, yakni saat usia delapan tahun pada tahun 2001. Bandingkan dengan GM Susanto Megaranto yang bermain catur sejak usia lima tahun. Ia baru dimasukkan ayahnya, Abrori, setahun kemudian. Sang ayahlah yang mulai mengajarkan dasar- dasar catur kepadanya.



"Saya ini sekadar pecatur lapak. Tetapi, saat saya mau menyekolahkan Farid di sekolah catur Pak Utut, saya ragu karena gedungnya bagus, bayarannya mahal, Rp 75.000 sebulan. Beruntung saya dapat diskon 10 persen, tetapi itu pun saya harus puasa," kata Abrori, pedagang rokok asal Tegal yang mangkal 24 jam di depan SCUA, Jalan Siliwangi, Bekasi.



Abrori dan istrinya, Amaroh, yang asal Kendal, mendukung sepenuhnya Farid bermain catur. Ia berharap suatu saat anaknya dapat meraih gelar grand master, gelar tertinggi dalam catur. Simanjuntak tak meragukan tekad Farid yang ingin meraih gelar itu. Tetapi, mantan pecatur nasional ini memperkirakan Farid baru bisa meraih gelar terhormat itu empat atau lima tahun lagi. "Ia masih harus dibekali pengetahuan catur yang matang," ujarnya.



Farid berterima kasih kepada kepala sekolahnya, Gaya Sutardi, yang memberikan kompensasi waktu untuk belajar catur. Gemblengan terhadap Farid memang berat. Setiap hari ia harus belajar teori dan praktik bermain catur mulai pukul 09.00 sampai pukul 16.00. Ia, antara lain, dilatih FM Maksum Firdaus, GM Edie Handoko, GM Utut Adianto, dan MN Aji Hartono. Simanjuntak yang juga melatihnya berkomentar, "Farid punya talenta luar biasa, mungkin akan seperti Susanto."



Susanto Megaranto adalah pecatur idola Farid, selain Utut. Bahkan, ia mengaku motivasinya ingin menjadi pecatur sehebat Susanto. "Ia (Susanto) punya mobil dan rumah dari main catur. Kalau saya ingin membantu orangtua," katanya.



Tentang membantu orangtua, Farid mungkin telah melakukannya. Saat pertama kali bermain di luar negeri, yakni Thailand, dan meraih medali perak kejuaraan beregu ASEAN, Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih menghadiahinya Rp 10 juta. Menurut Abrori, uang itu ia belikan laptop yang oleh Kristianus Liem dari PB Percasi diisi berbagai program dan database catur. "Setelah punya laptop, kemajuan anak saya meningkat pesat," tutur Abrori.



Atas prestasinya menjadi juara dunia, saat diundang ke Istana, Presiden memberi Farid uang Rp 25 juta, plus dari Wapres Rp 10 juta. Oleh PB Percasi, Farid diproyeksikan meraih grand master. Ia, misalnya, akan menjalani delapan turnamen di Eropa pada Juni-Juli mendatang.


Soal target tersebut, Farid berkomentar, "Insya Allah saya bisa."

Friday, May 11, 2007

Catatan (17): Profil Farid Firman Syah



Juara Dunia Yang Rendah Hati



KAMIS, 10 Mei kemarin seharusnya saya berada di Semarang, mewakili Harian Kompas untuk bertanding catur melawan GM Utut Adianto. Tentu saja Utut yang akan melakukan simultan, sementara saya hanyalah salah satu dari sekian puluh pecatur yang akan mengeroyok Utut. Saat saya bertugas di Surabaya tahun 2005 dan sebelumnya di Jakarta tahun 1992, saya juga pernah melawan Utut. Dari dua pertandingan itu, tentu saja saya dilibas habis tanpa ampun.



Adalah Mbak Retno Bintarti, Sekretaris Redaksi, yang meminta saya ke Semarang saat mengantar undangan ke meja. "Kan hanya kamu yang bisa ngelawan Utut. Pertimbangan saja, kalau bisa kamu berangkat, kalau tidak ya nggak apa-apa," katanya tiga minggu lalu.



Tentu saja saya bukan pembangkang kalau kemudian tidak berangkat ke Semarang. Saya memilih tetap di Jakarta, tetapi saya juga berkegiatan masih dalam urusan catur, yakni mewawancarai MN Farid Firman Syah. Siapakah dia?
Usianya belum genap 14 tahun, tetapi dia sudah menjadi juara dunia catur pelajar Kelompok Umur (KU) 15 di Halkidiki, Yunani. Saya mewawancarainya di Kantor PB Percasi di Pintu VI Senayan, Jakarta. Saya pikir, pantaslah kalau saya membuat biografi dia untuk boks halaman Kompas. Bayangkan, anak tukang rokok yang menjadi juara dunia!



Kepada MN Sebastian Simanjuntak yang memfasilitasi saya untuk bertemu Farid, semula saya ingin bertandang ke rumah orangtua Farid di Bekasi. Tetapi karena kebetulan Farid dan keluarga diundang makan siang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, Simanjuntak menyarankan agar bertemu langsung Farid dua jam sebelum ia ke Istana. Saya setuju saja, tetapi sebenarnya saya ingin melihat rumah orangtua Farid yang pedagang rokok itu di Bekasi. Saya ingin menggambarkan suasana rumah konrakannya biar tertangkap dalam tulisan saya. Siapa tahu bisa memperkaya tulisan.



Apa boleh buat, yang penting saya bisa berhadapan dengan seorang juara dunia asal Indonesia. Sahabat bisa melihat foto Farid di atas, karya MN Sebastian Simanjuntak, yang dikirim langsung dari Halkidiki, Yunani.



Bagaimana kiat mewawancarai anak-anak atau remaja, bagaimana hasil tulisan itu kemudian, dan bagaimana saya bisa menyimpulkan si juara dunia itu rendah hati? Kelak uriannya akan saya postingkan dalam kesempatan lain, jika tulisannya sudah dimuat di Harian Kompas. Sekarang, saya sudah menyelesaikan tahap akhir tulisan tentang Si Juara Dunia itu, tinggal mengirimkannya ke penanggung jawab Sosok, Mbak Chris Pujiastuti. Tunggu saja, ya...

Friday, May 04, 2007

Catatan (16): "Ngeblog" Lagi





Setelah Suasana Terkuasai....



BANYAK teman bertanya mengapa selama satu bulan lebih, sepanjang bulan Maret hingga April, blog Beranda T4 Berbagi tidak pernah diisi? Malas, bosan atau sudah capek menulis?



Tentu saja tidak. Tidak ada kata "malas", "bosan", apalagi "capek" dalam menulis. Memang sepanjang April itu, artikel saya tidak muncul pula di Harian Kompas. Ini pun orang bertanya-tanya, setidaknya sahabat-sahabat dekat saya.



Benar, saya tidak mengisi blog ini, tetapi bukan berarti saya berhenti menulis. Saya tetap menulis. Ada kerinduan saya untuk kembali menulis cerita bersambung atau novel, seperti yang pernah saya lakukan 13 tahun lalu. Cerber saya antara lain dimuat di majalah remaja "Hai" dan "Aneka Yesss". Entah kerinduan macam apa yang menggerakkan jari saya untuk mencoba menulis cerber kembali. Sekarang cerber remaja itu sudah selesai seperempat jalan. Tidak ada salahnya kalau bagian "Prolog" atau bagian pembuka sebuah cerita remaja ini saya tampilkan di sini, di bawah ini.



Akan tetapi yang tidak terhindarkan, selama tiga bulan terakhir ini, saya menjadi "gila" membaca dan bahkan nyaris tidak terkendali. Ketika ada pameran buku di Istora Senayan, dompet saya terkuras habis untuk membeli sekitar 50-an buku, belum dari toko-toko buku. Seakan-akan berlomba dengan Mbak Sri Hartati Samhadi, kolega saya di pekerjaan, yang kebetulan sama-sama menghadiri pameran.



Sekadar menyebut beberapa judul buku yang saya baca selama tiga bulan terakhir itu antara lain "The Kite Runner", "Sang Sejarawan", "Biografi Muhammad", "Abrahamic Faiths", "Perang Suci", "Judas Iskariot", "Perang Salib dari kajian Islam", "The Historty of Arabs", "Intel", "Taliban", "Misteri Angka", "Dewa 19", "Bagito", dan masih banyak lagi, yang tidak bisa saya sebutkan semuanya di sini. Di perpustakaan kecil pribadi saya, masih ada belasan buku yang belum dikupas sampul plastiknya, masih tersusun rapi dalam rak buku, tetapi tidak lama lagi akan saya lahap semuanya, antara lain "Jilbab", "Haji", dan "Great Transformation"!



Oh, ya... soal pekerjaan di kantor. Mulai 1 April lalu, kantor menugaskan saya untuk mengurusi Kompas Online (KCM). Itu berarti, persis satu tahun saya bertugas di Desk Investigasi (Fokus) . Sekarang saya bekerja sebagai wakil kepala desk multimedia, desk yang mensuplai berita untuk KCM. Jelas, setiap penugasan adalah amanah, dan amanah itu saya jalankan dengan sepenuh hati. Tentu saja saya juga menulis berita di www.kompas.com itu. Saya diberi kebebasan untuk memberi atau menciptakan konten baru dan saya enjoy karenanya...
Dengan berbekal alat kerja dari kantor berupa palmtop yang bisa berfungsi sebagai PC Tablet, plus sambungan internet nirkabel, itu memungkinkan saya bisa bekerja di rumah atau dimanapun saya berada, selagi palmtop Fujitsu saya tersambung dengan internet. Bahkan selagi berada di kendaraan, saya bisa meng-upload berita dan memeriksa berita dari 100 wartawan Kompas yang semuanya dibekali communicator Nokia, khusus untuk Kompas Online.
Sungguh suatu situasi kerja yang sangat ideal dan menyenangkan, setidak-tidaknya yang saya rasakan sendiri. Tentu saja kenikmatan kerja yang saya rasakan ini berkat konsistensi saya menulis, khususnya menulis tentang perkembangan media massa online akhir-akhir ini.



Oke deh... agar tidak lupa, sebagaimana saya janjikan tadi, saya tulis bagian "Prolog" dari cerita bersambung saya yang masih saya kerjakan, meski tentu saja masih kasar. Saya tidak berpretensi untuk membukukannya, hanya senang menulis saja. Mungkin setelah selesai saya baru mempertimbangkannya, apakah menerbitkannya sendiri atau mengirimkan ke majalah, siapa tahu mereka berminat. Silakan....



PROLOG



SITI baru yakin diri kalau ia kini berada di sebuah ruang tertutup. Ruang isolasi sebuah penjara. Di ruangan dua kali satu setengah meter itu, layaknya ukuran luas sebuah kuburan, tidak ada perlengkapan apa-apa selain tembok dingin sekelilingnya.




Sewaktu usia enam, oleh teman-teman sepermainannya ia pernah dikurung dan dikunci dari luar di sebuah leuit, peti penyimpanan beras. Gelap dan pengap, seolah-olah hanya dia sendirilah yang hidup sebatang kara di dunia ini. Ia berontak, berteriak, dan menggedor-gedor peti itu dari dalam sebelum teman-temannya membuka kembali penutup peti itu sambil cekikikan. Sebaliknya, batin Siti menjerit dalam, tetapi tidak pernah ia ungkapkan dalam tangisan. Ini cuma permainan.



Tiga belas tahun kemudian trauma lama terulang kembali. Dulu ia bisa menggedor-gedor peti beras dari dalam, dalam kegelapan. Kini ia tidak bisa menggedor-gedor tembok dingin penjara yang melingkupi tubuhnya. Terlalu keras untuk sekedar ia gedor. Lagipula, siapa yang akan peduli dan membukakan pintu besi penjara untuknya. Tidak ada teman-teman yang dulu membukakan leuit untuknya setelah beberapa saat ia menderita.



Memang menderita, tetapi itu hanya dalam permainan anak-anak desa. Sekarang bukan lagi permainan. Ini dunia nyata.




Di ruang isolasi ini tidak ada daun jendela, yang ada hanyalah sebuah jeruji besi yang letaknya terlalu tinggi sebagai jendela biasa. Sebuah pintu besi yang sedikit lebih besar dari ukuran tubuh mengurungnya rapat. Lampu listrik yang menggantung di atas langit-langit hanya berkekuatan lima watt, yang mungkin hanya mampu menerangi jarak pandang sejauh tiga meter.



Gadis usia sembilan belas itu berupaya mengingat kejadian beberapa waktu lalu yang mengantarkannya ke sel isolasi penjara Polda Metro Jaya sel khusus wanita. Persisnya kejadian tadi malam, beberapa jam sebelum ia diseret ke tahanan isolasi karena dianggap berbahaya. Ya, gadis yang sangat berbahaya sehingga hanya ruang isolasi ini sajalah yang pantas untuknya!



Di luar penjara, puluhan wartawan koran cetak maupun media massa elektronik menunggu dengan tidak sabar kesempatan polisi memperlihatkan tersangka yang membunuh seorang mucikari ternama, setidak-tidaknya di kalangan pria hidung belang berkantong tebal. Mucikari yang selama ini dikenal sebagai pensuplai perempuan-perempuan muda pekerja seks kepada para pejabat, pengusaha, juga orang asing.



Siti adalah koleksi terbaru si mucikari. Tidak terlalu cantik, tetapi ia berparas manis. Perempuan belia itu kini harus mendekam di ruang isolasi dengan tangan yang masih tersaput darah kering. Tadi malam si mucikari menemui ajal secara mengenaskan dengan belasan luka tusukan di tubuh gemburnya. Kini gadis itu menekuk lutut di sudut sel yang gelap. Pikirannya berusaha mencerna apa yang telah terjadi sesungguhnya.

***

Thursday, May 03, 2007

Citizen Journalism (3)







Legenda Hidup Lagu Balada



DAHULU saat saya jatuh cinta kepada seorang gadis, tahun 1982, lagu kenangan bersama kami adalah Bimbo. Gadis itu bukan cinta pertama saya, tetapi saya mampu mengenangnya dan bahkan "menghadirkannya" sekarang hanya dengan mendengarkan senandung Bimbo, grup musik bersaudara dari Bandung. Secara sadar, saya menikmati lagu-lagunya, belajar menyenandungkannya dengan petikan gitar yang kebetulan sedikit saya kuasai.



Bagi saya, Bimbo adalah legenda hidup lagu-lagu balada. Sungguh suatu kebetulan yang mencengangkan saat saya berkesempatan hadir menikmati langsung keempat personelnya di Bentara Budaya. Samsudin, Acil, Jaka dan Iin, mereka masih bertenaga dan punya greget luar biasa saat menyanyikan lima buah lagu. Dulu saat saya remaja membayangkan, bagaimana Bimbo memetik gitar dalam lagu "Balada Seorang Minta-minta" atau raungan gitar elektrik Bimbo dalam "Balada Seorang Gadis Desa". Kini, sang legenda hidup grup musik balada itu ada di depan saya, tidak lebih dari dua meter jaraknya.



Adalah pemilik sekaligus pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama dalam sambutan pembukaan pameran lukisan Sam, yang mengatakan bahwa musik Bimbo sudah masuk kategori "klasik" dari genre yang jelas. Jakob terkesan dengan lagu "Tuhan". Di sini saya terkesan kepada Sam, pemilik nama lengkap Muhammad Samsudin Hardjakusumah, yang selain penyanyi hebat, pemetik gitar handal, juga pelukis agung. Inilah pameran lukisan Sam yang dibuka dengan lagu-lagu abadinya.



Seusai acara pembukaan dan Sam menyerahkan sebuah lukisan untuk Jakob, keempat personil Bimbo membawakan lagu-lagu baladanya. Jaka memukau dengan petikan gitar akustiknya, plus iringan gitar Sam. Acil yang bersuara bas hadir tanpa alat musik. Iin masih dengan senandungnya yang "ngaheos" alias sesayup sampai. Baru saya tahu, Jakalah sang maestro gitar yang menjadi "jantung" dari permainan musik Bimbo.



Bagi saya, sesaat kenangan kembali berpaling ke masa-masa silam, ke masa seperempat abad lalu. Konon, tidak baik mengenang masa lalu karena jam sejarah tidak bisa diputar mundur. Katanya pula, mengenang masa lalu hanya buang-buang waktu dan sama sekali tidak berguna. Bagi saya, kenangan masa lalu tetaplah bagian dari hidup dan nilai dari keberadaan kita. Bukankah hanya saat kita hidup saja kita bisa mengenang masa lalu dan membayangkan masa depan? Kadang, kenangan masa lalu bisa membuat hidup ini lebih bermakna, bergairah penuh passion. Maka, berdamailah dengan masa lalu yang indah...



Bimbo membuka sebuah lagu balada, "Balada Seorang Biduan".... Dari sebuah desa, berbekal gitar tua, jerit Sam benar-benar ditaburi tepukan hadirin yang menyesaki Bentara Budaya. "Flamboyan" kemudian mengalun sebagai lagu kedua. Acil yang bersuara berat menyebutnya "Lagu Saudara saya, Iwan Abdulrahman" sebelum menyanyikan lagu itu. "Flamboyan" memang digubah Iwan Abdulrahman, selain lagu "Melati dari Jaya Giri". Sejumlah lagu "Abah" Iwan dinyanyikan kelompok Bimbo ini.



Berikutnya lagu "Tante Sun" yang konon bikin heboh. Sam bercerita, saat itu lagunya sudah tersedia, tetapi liriknya belum ada. Dibuatlah liriknya dalam sepuluh menit. "Tetapi hasilnya bikin heboh," kata Sam. Maklum, lagu itu merupakan kritik sosial pada zamannya, zaman Orde Baru, dimana Tante Sun diidentikkan dengan ibu-ibu para pejabat Orba yang suka berfoya-foya. Hemm... jangan-jangan "Tante Sun" masih relevan dengan kondisi nyonya-nyonya pejabat pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono kini!



Bimbo menjawab pidato Jakob yang sedikit mengupas lagu "Tuhan". Pada malam itu, Bimbo menyanyikannya persis seperti versi aslinya, dengan kekuatan menyanyi mereka yang sarat greget. Lagu penutup mereka adalah "Sajadah Panjang", perpaduan syair bikinan Taufiq Ismail dan nada yang mengalun sungguh mengunci kenangan hadirin, termasuk saya. "Saya terpaku dan merinding mendengarnya," kata seorang rekan yang kebetulan beragama Katolik. Ya, meskipun ada kata "sajadah", tempat umat Islam bersujud dan berserah diri pada-Nya, universalitas lagu itu sangat terasa: melampaui batas atau sekat-sekat agama!



Pendeknya, peristiwa pada Kamis, 3 Mei 2007 pukul 20.00-21.00 tadi itu akan terus terpatri dalam ingatan, dengan petikan gitar dan alunan suara Bimbo yang samar-samar tetapi pasti akan terbawa dalam mimpi. Terima kasih Bimbo, semoga Allah memberi kalian usia panjang...