Tuesday, October 23, 2007

Citizen Journalism (9)





Teh Ida


REFRESHING tidak harus mahal. Tidak pula harus jauh-jauh. Cukup di sekitaran kita saja. Tidak harus ke tempat hiburan atau tempat wisata artificial alias buatan, tetapi bisa ke tempat-tempat yang asli. Tempat yang tidak dibuat-buat, tempat yang tidak dikerangkeng pagar pembatas, tempat yang tidak dipajaki. Langit luas adalah atapnya, tanah yang dipijak adalah alasnya.



Inilah tempat refreshing terbuka dengan segenap warganya yang bisa kita sapa. Tempat itu bernama “Dimana Saja” dan dapat kita kunjungi “Kapan Saja”.



Minggu, 21 Oktober lalu, saya bersama keluarga menyempatkan diri berangkat ke Karawang, wilayah yang dulu disebut sebagai “lumbung padi Jawa Barat”, kurang lebih 70 kilometer arah timur Jakarta. Saya tahu, itu adalah hari dimana puncak mudik balik sedang terjadi dimana-mana. Ada potensi terjebak kemacetan. Tetapi kami jalan terus, sekalian menjemput Dani, teman anak saya yang tinggal serumah. Postingan ini baiknya saya bagi dua bagian, biar tidak terlalu panjang.



Pertama saya akan bercerita tentang Teh Ida, ibu rumah tangga yang kami jumpai di kawasan Ranggon. Kedua, saya akan bercerita tentang Pak Tarsan, yang pekerjaannya menarik sampan bolak-balik di sungai irigasi. Saya akan mulai cerita tentang Teh Ida.



Bertemu dengan Teh Ida tidak sengaja, saat kami menepikan kendaraan untuk membeli kelapa muda (duwegan) di pinggir jalan. Ruas jalan amat lurus. Kelapa muda teronggok begitu saja. Per butirnya Rp 4.000. Di tepi kiri-kanan jalan hamparan sawah yang siap dipanen, terbentang luas, yang hanya terbatasi gunung membiru di ujung sana. Seorang perempuan tengah tidur-tiduran, menahan kantuk karena terpaan angin semilir yang membelai, memerangkap khayalan. Kami bertiga; saya, Kakang (anak saya), dan ibunya anak saya terbenam dalam kesibukan menikmati lezatnya kelapa muda.



Baru kami sadar bahwa perempuan yang sedang tidur-tiduran dengan nikmatnya itu adalah perempuan yang modis, perempuan berpenampilan kota, bukan penampilan perempuan desa yang apa adanya. Dandanannya bagus. Rambut bekas di-rebounding. Bulu matanya lentik karena mascara. Kedua bulu alisnya ditata rapi, setidak-tidaknya dibikin simetris. Eye shadow seperti bayangan yang terpatri dengan polesan wajah agak tebal. Ia dandan dan menjaga penampilan, lengkap dengan polesan gincu merah di bibirnya. (lihat foto di atas). Dandanan yang kontras di tengah suasana pedesaan yang asri.



Bahkan saya menilai, dagu perempuan yang kemudian saya tahu bernama Ida itu telah dipermak menjadi lancip, setidak-tidaknya bulatan dagu itu berwarna kemerahan karena kepanasan. Mungkin hidungnya yang mancrit juga hasil polesan ahli bedah wajah. Lantas percakapan berlangsung dalam bahasa Sunda. Ia menggunakan bahasa Sunda dengan fasih, salah satu bahasa yang saya kuasai cukup baik (sahabat bisa lihat blog berbahasa Sunda saya di
http://www.nyunda.wordpress.com/).



Teh Ida, demikian nama perempuan itu, bisa dengan enteng bercerita tentang suaminya yang “cunihin”, yang suka melirik perempuan lain. “Padahal, suami saya penampilannya diem, kalem, meskipun kumisnya baplang (kumis melintang). Kalau lihat perempuan, matanya bisa melirik terus sampai perempuan itu menghilang,” cerita Teh Ida.



Suaminya bekerja sebagai bandar padi . Sehari bisa mengumpulkan 20 ton gabah atau setara dua truk. Perputaran uangnya cepat, tetapi menurutnya, pekerjaan itu dilakukan dengan keras bahkan dengan kekerasan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang dikuasai bandar tertentu, seperti halnya suami Teh Ida. Tidak boleh sembarangan orang bisa masuk untuk membeli gabah, kendati harga beli yang ditawarkan lebih tinggi.



Pernah, katanya, ia diajak suaminya mencari gabah. Ada orang Majalaya yang mau membeli beras di wilayah garapan suaminya. Yang terjadi adalah, suaminya siap berkelahi sampai mati dan mengusir orang Majalaya itu seperti mengusir binatang. Merasa iba, Teh Ida menghardik suaminya, "Naha maneh teh taya ras-rasan ngusir sasama jalma nu sarua keur neangan pakasaban?" (kenapa kamu tega mengusir orang yang sama-sama mencari makan?). Sang suami enteng saja menjawab, "Lamun teu kitu mah urang nu moal dahar." (kalau tidak begini justru kita yang tidak bisa makan). "Itulah dunia suami saya,” kata Teh Ida.



Menarik adalah prilaku “cunihin” suaminya kepada perempuan lain. Pernah, katanya, Teh Ida harus menjemput suaminya yang sedang asyik indehoy (pacaran) dengan sinden di suatu sanggar tari jaipongan. Sanggar semacam ini tersebar di Karawang dan lebih hidup manakala panen padi datang menjelang. Suami Teh Ida belum juga pulang ke rumah kendati sudah pukul 23.00. Biasanya, jam tujuh malam dia sudah di rumah.



Pas kapanggih teh kasampak manehna keur ngalahun sinden. Teu loba carita, kuring menta konci motorna, keun we sina leumpang peuting-peuting. Isukna kuring menta dipegatkeun, tapi pokna teh moal pernah megatkeun kuring masing iraha wae oge. Toloheor pisan boga salaki teh,” katanya. Artinya, pas ketemu ia sedang memangku sinden. Tidak banyak cerita, saya ambil kunci sepeda motornya biar dia pulang jalan kaki malam-malam. Besoknya saya minta diceraikan saja, tapi ia mengatakan tidak akan pernah menceraikan saya. Mata keranjang sekali suami saya itu.



Teh Ida bercerita banyak. Mengenai kehidupan rumah tangganya, anaknya yang lahir prematur tetapi baru kelas dua SD beratnya sekarang sudah 67 kilogram, tentang tanah dan rumahnya yang berharga tinggi dibanding pada saat dia membelinya 20 tahun lalu, tentang para tetangganya di Karawang Kota yang tidak mau kenal satu sama lain, dan tentang segala hal yang tidak bisa saya paparkan dalam postingan yang terbatas ini. Bukan apa-apa, nanti terlalu berkepanjangan.



Baiknya diakhiri saja cerita tentang Teh Ida ini. Postingan berikutnya, saya akan bercerita tentang Kang Tarsan, tukang perahu tarik yang saya temukan saat saya refreshing di Karawang. Sampai jumpa…

Friday, October 19, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (38)





Apa Syarat Menulis Opini Kompas? (Bagian 3)








DALAM dua postingan terdahulu, Berbagi Pengalaman Menulis (34 & 35), selintas saya memaparkan syarat-syarat menulis artikel untuk Kompas. Mengapa tidak syarat menulis cerita pendek (cerpen) atau tulisan lainnya? Barangkali soal waktu dan pilihan saja. Ke depan, saya juga akan menyentuh hal itu.



Anggapan umum mengatakan: jangan lepaskan peristiwa atau wacana terkini, lalu tulis dan cepat kirimkan tulisan kepada Kompas (atau mungkin media lainnya), jangan biarkan penulis lain memangsa isu mutahir itu! Begitu kira-kira.



Maaf bukan maksud mematahkan anggapan ini. Untuk Kompas, main ambil peristiwa mutahir untuk kemudian sesegera mungkin kita tulis, tidaklah cukup. Ada hal lain dari sekadar main cepat-cepatan seperti itu, yakni kepakaran penulis.



Pakar bukan berarti doktor atau professor. Menunggu doktor atau professor menulis, sama saja menunggu Godot tiba karena tidak sedikit professor dan doktor Indonesia yang malas menulis. Kepakaran dengan sendirinya mematahkan anggapan ‘ambil secepatnya peristiwa/isu mutahir’.



Kalau ada peristiwa terkini, katakanlah ledakan bom di Pakistan saat menyambut Benazir Bhutto, tentu saja tidak sembarang penulis yang akan mengambil peristiwa hot itu untuk dijadikan sebuah opini maupun artikel. Anda yang bukan pakar Pakistan, tentu cukup tahu diri untuk tidak akan membuat analisis berita atau artikel mengenai peristiwa berdarah di negerinya Ali Bhutto ini.



Sebaliknya, Kompas akan melihat kepakaran penulis, apakah dia orang yang tepat (prominent) dalam menulis Pakistan, atau sama sekali tidak. Beda misalnya dengan Anda yang mahasiswa S1 Jurusan Hubungan Internasional yang sedang menyusun skripsi mengenai politik kontemporer Pakistan, Anda adalah orang yang tepat. Setidak-tidaknya Anda menulis atribusi Anda sebagai ‘mahasiswa, sedang menyusun skripsi mengenai politik kontemporer Pakistan’.



Apakah hanya karena menulis skripsi Anda dianggap cukup pakar soal Pakistan? Dewan redaksi opini yang akan menentukan, toh setidak-tidaknya Anda punya perhatian dan minat khusus pada politik Pakistan dibanding penulis lain yang baru mengenal Pakistan "kemarin sore". Anda pasti membaca banyak buku referensi mengenai Pakistan dalam menyusun skripsi. Anda pasti lebih “berharga dan berilmu” dibanding penulis yang menggunakan atribusi ‘pemerhati Pakistan’ atau ‘peminat masalah Pakistan’. Dengan demikian tulisan Anda bakal dilirik editor opini karena kepakaran Anda yang dalam hal ini intensitas Anda dalam mendalami Pakistan.



Anda yang professor, doktor , atau pengkaji khusus masalah-masalah Pakistan, dengan sendirinya “seharusnya” menulis mengenai politik Pakistan mutakhir pasca pengeboman dahsyat. Asal tahu saja, editor Opini sering menelepon pakar tertentu hanya untuk menanyakan apakah bersedia menulis mengenai peristiwa terkini. Nah, bukankah ini peluang yang baik jika Anda yang memiliki kepakaran tertentu segera menulis artikel atau opini mengenai peristiwa mutahir ini.



Apa yang harus Anda tulis dari peristiwa bom Pakistan? Bukan bermaksud mengajari bebek berenang, Anda setidak-tidaknya harus menjelaskan siapa Benazir Bhutto? Apa hubungannya dengan ‘Bapak Pakistan’ Zulfikar Ali Bhutto? Mengapa Benazir kembali ke Pakistan? Mengapa dia dibuang atau mengasingkan diri di negeri orang? Apa maksud Benazir kembali ke Pakistan? Bagaimana reaksi Parvez Musharraf? Apa yang kemungkinan akan dia lakukan terhadap Benazir: dirangkul atau ditentang?



Mengapa pelaku bom disebut-sebut Al Qaeda? Apa betul organisasi pimpinan Osamah bin LAden itu yang melakukannya? Apa tidak ada kemungkinan lain, misalnya intelijen Pakistan? Apa hubungan Benazir dengan Al Qaeda? Mengapa Al Qaeda begitu marah kepada Benazir? Coba jelaskan situasi politik Pakistan ke depan pasca kehadiran kembali Benazir dan aksi-aksi Al Qaeda yang semakin massif ke depan! Cermati pula peran Amerika Serikat yang berkepentingan menjadikan Pakistan sebagai penangkal teroris dalam kemelut Pakistan ini!



Satu hal yang perlu diingat, Anda harus menuangkan semua persoalan di atas dalam sebuah tulisan yang concise, ringkas, dan padat. Tidak lebih dari 5.000 karakter.



Ada beberapa hal lain yang akan saya ceritakan, tetapi baiknya di postingan mendatang saja. Masih tema yang sama soal menulis artikel di Kompas, tetapi dalam tema yang lain, yakni soal atribusi. Sampai bertemu lagi.

Friday, October 12, 2007

Catatan (29): Selamat Idul Fitri





Minal Aidin...



SAHABAT, di bulan yang penuh berkah ini, saya mengucapkan Selamat Idul Fitri 1428 Hijriyah, mohon maaf lahir dan bathin.



Pepih Nugraha



Thursday, October 04, 2007

Catatan (28): Click of The Week



Penilaian Maverick Indonesia


PERISTIWA sudah lama terjadi, 14 Agustus lalu. Saat itu saya diberitahu teman-teman bahwa blog Beranda t4 Berbagi menjadi Click of The week versi Maverick Indonesia. Meski terlambat, saya ingin mengucapkan terima kasih atas penilaian tersebut. Setidak-tidaknya ada juga yang mengklik blog yang saya maksudkan sebagai tempat belajar menulis bersama ini.


Di bawah ini saya kutipkan kembali "penobatan" Maverick Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris:


Click of The Week: Pepih Nugraha


Where can you learn to write? Well, if you aspire to write in Indonesian check out Pepih Nugraha’s Beranda t4 Berbagi (Verandah for Sharing). Pepih, who’s a senior journalist at Kompas, describe’s his blog as a “place for everyone who wants to learn about writing, especially if you work for the print-media.


His first lesson in writing is where to get the ideas for writing an article. Some people, he says, think that you have to go somewhere, to the beach or up a mountain, to be inspired. That’s a luxury for writers of fiction but not for journalists who have to write to deadlines. Story ideas, he says, are in fact everywhere in our daily lives - from our chats with other people, attending seminars or discussions or even when we’re window shopping in the mall.


His blog has interesting accounts of his daily life as a journalist, including interviews with the famous to traveling overseas on assignment.



Pepih is also an active member of Indonesia’s blogosphere. After starting his own blog in February 2006, Pepih joined Blogfam and contributes iarticles for its online Blogfam Magazine. You can check out his writing for the on-line magazine here. He also contributes articles to mediacare, a discussion group on the Indonesian media.



Keep on blogging Pepih.