Friday, September 29, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (6)

Ibarat Langit dan Comberan

Dunia jurnalistik memang unik. Setidak-tidaknya ini yang pernah saya rasakan. Dulu waktu ditugaskan di Desk Politik, mengharuskan saya bertemu dengan para pejabat, baik zaman Rezim Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, sampai Megawati. Mulai sang presiden, para menteri, anggota Dewan, sampai broker-broker politik.

Tentu saja mereka datang dari dunia gemerlap; mobil keluaran baru, pakaian gemerlap, sepatu mengkilat, sampai bau parfum menyengat. Untuk menyentuh mereka, sulit bukan main, sebab para penjaga tubuh (bodyguard) siap mengusir siapapun di kala mendekat, termasuk wartawan. Saya sudah terbiasa dengan suasana menyebalkan seperti ini. Tetapi ini tugas jurnalistik, sudah harus teken kontrak sejak awal: tidak boleh ditolak.

Dalam waktu yang sama, saya juga harus mengunjungi tempat-tempat paling kumuh di seputaran Jakarta, yang mungkin sulit dibayangkan lewat imaji liar sekalipun. Pernah dengar lokalisasi prostitusi "kelas teri" di Bongkaran Tanah Abang? Saya pernah ditugaskan oleh editor ke sana hanya sekadar melihat-lihat keadaan dan menangkap suasana. Juga pernah selama sebulan "ditanam" di kamar mayat RSCM. Semua bagian dari tugas dan panggilan hati.

Mungkin sahabat bertanya, apa menariknya menulis dunia prostitusi yang kotor itu? Juga apa gunanya "menginap" di kamar mayat? Oke, mungkin tidak menarik. Tetapi di sini kita bisa melihat kehidupan yang sesungguhnya. Kita bisa berlajar, bagaimana mereka berjuang untuk hidup dengan mencari penghidupan di sana. Pada akhirnya kita yang bisa berselancar di dunia maya (internet), membaca atau membuat blog, rasanya kita harus lebih banyak bersyukur. Selain kita sudah diberi nikmat kehidupan, perjuangan untuk melanjutkan kehidupan tidaklah seberat mereka.

Tetapi tetaplah saya kadang berpikir "kelas" (mungkin terlalu banyak membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau Dominique Lapier), yang gemar mempertentangkan dua kelas kehidupan berbeda: dunia gemerlap (para pejabat) dan dunia muram (prostitusi, penjaga kamar mayat, dan kantong kemiskinan lainnya). Saya selalu menyebut perbedaan itu bukan lagi "bagai langit dan bumi", tetapi "bagai langit dan comberan".

Kembali pikiran "kelas" saya tumbuh setelah menyelami kehidupan para pemulung barang-barang bekas di Desa Jombang, Ciputat, Tangerang. Di sana ada "markas" seluas 1.000 meter persegi. Terdapat 25 bedeng tripleks ukuran 2 x 1,5 meter, mungkin lebih luas dari kamar mandi atau WC kita yang nyaman, yang kadang masih enak buat baca-baca sambil buang hajat. Tetapi di sini 20 keluarga hidup pada masing bedeng yang rekat satu sama lain. Tidur tanpa kasur, tanpa lemari pakaian. Saya pernah mengunjungi tempat-tempat pengungsian di Aceh, Poso maupun Ambon, rasanya tempat-tempat mereka jauh lebih baik.

Hal yang membuat pikiran "kelas" saya tumbuh, sebab bedeng-bedeng mereka itu terpisahkan oleh tembok panjang setinggi tiga meter, tembok yang melingkupi perumahan mewah Bintaro Jaya. Hemmm…. Inilah kehidupan. Barangkali para penghuni rumah mewah itu tidak pernah melongok sekalipun apa yang terjadi di balik tembok betonnya, tidak pernah meraba denyut kehidupan sesamanya, bahwa di balik tembok juga ada orang-orang yang baru bisa hidup setelah mengorek-ngorek sampah mencari-cari barang bekas.

Ironisnya, tempat-tempat sampah di beberapa perumahan kini sudah digembok dengan alasan sampah mereka takut berantakan diacak-acak anjing dan… pemulung! Mungkin sahabat bisa lebih lanjut mengikuti penelusuran dan kisah saya ini di dua tempat: Di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/16/Fokus/2955116.htm, atau juga di http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/25/nasional/2973294.htm. Selamat mengikuti.

Pepih Nugraha
Jakarta, 29 September 2006

Monday, September 25, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (5)

Belajar dari J.CO dan Wong Solo

KARENA tugas jurnalistik untuk membedah konsumtivisme sebagian orang Indonesia yang gila-gilaan, mengharuskan saya bertemu dua tokoh bisnis makanan dan minuman. Satu Johnny Andrean, satunya lagi Puspo Wardoyo. Mengapa meski mereka berdua? Semula saya skeptis untuk bertemu keduanya.

Pertama, Johnny Andrean selama ini "hanya" dikenal sebagai pemilik salon dengan nama merek namanya sendiri. Puspo Wardoyo, dikenal sebagai pemilik waralaba ayam bakar “Wong Solo”. Untuk urusan pemberitaan, terus-terang rekan-rekan cenderung menyarankan “lebih baik pilih sumber yang lain”. Mengapa?

Selidik punya selidik, Wong Solo rupanya telah diboikot sebagian perempuan, khususnya mereka yang dikenal sebagai aktivis perempuan, karena sikapnya yang poligamis alias memiliki lebih dari satu istri. Memang di salah satu minuman Wong Solo tersedia “Jus Poligami”, yang dinilai keterlaluan karena dianggap promosi “legalisasi” poligami.

Tetapi dalam jurnalistik, dalam menulis berita, jurnalis harus punya sikap skeptis alias ragu-ragu. Karena ragu-ragu, maka wajib bagi kita untuk membuktikannya. Itulah berita yang akan kita sampaikan kepada pembaca kita. Bayangkan kalau dalam berita itu penuh dengan kata-kata “katanya”, “katanya”, “katanya” karena jurnalis tidak membuktikan kebenarannya, karena hanya mendengar cerita orang.

Setelah skeptis dan coba membuktikannya, maka saya mengontak mereka berdua untuk sebuah wawancara. Wawancara dengan Johnny Andrean berlangsung Selasa (19/9) di Senayan City. Dengan Puspo Wardoyo keesokan harinya di salah satu warung Wong Solo di Bintaro. Yang mengejutkan, mereka berdua punya visi dan senses of business yang tinggi, yang selama ini barangkali belum banyak terungkap.

Johnny Andrean misalnya, pria beristerikan Tina ini sebelumnya dikenal sebagai pemilik salon yang boleh dibilang terbesar dengan 202 cabang di seluruh Indonesia. Johnny juga pemegang hak waralaba perusahaan roti Singapura, BreadTalk yang sangat sukses. Sekarang Johnny memiliki J.CO, gerai donat dan minuman ringan, yang sampai saat ini masih diantri orang.

Tetapi yang mengejutkan, ternyata Johnny menciptakan (create) donat dan minuman sendiri dengan maksud untuk ditawarkan ke luar negeri. Bukan membeli hak waralaba (franchise) asing, tetapi menciptakan dan menjual waralaba ke luar negeri! “Sudah waktunya bangsa Indonesia belajar menciptakan sesuatu, jangan hanya pasrah menerima serbuan merek asing,” katanya.

Untuk lebih mengenal apa dan siapa Johhny dengan kiprahnya, saya ajak sahabat membacanya di sini: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/23/Fokus/2971699.htm. Sedangkan untuk kiprah Puspo Wardoyo yang diam-diam kini menciptakan waralaba "Wong Solo kelas kakilima, saya ajak sahabat membuka jendela di sini: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/23/Fokus/2971935.htm.

Bayangkan kalau tidak punya sikap skeptis, barangkalai saya tidak akan punya cerita untuk koran dimana saya bekerja. Setidak-tidaknya, keduanya sudah membuka peluang tenaga kerja yang jumlahnya ribuan itu. Mereka juga dengan tangkas menjawab kritik bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah mendorong sikap konsumtivisme warga untuk berbalanja, untuk menghabiskan waktu dan uang di cafe-cafe. Menurut mereka, mereka hanya menangkap peluang dari sebuah gaya hidup (life style), atau kalau dibalik, "gaya hidup adalah peluang", dalam hal ini tentu saja peluang bisnis yang bisa beromzet milirian rupiah.

Tetapi jangan sampai kita terperangkap pada konsumerisme dan konsumtivisme para orang-orang kaya kita yang menghabiskan uang di butik-butik ternama di Paris, sebagaimana saya saksikan sendiri saat saya berkunjung ke sana. Tidak ada devisa yang masuk buat negara kita, sebab mereka membeli Euro atau Dollar AS untuk dibelanjakan di negeri asing. Mungkin sahabat bisa juga mengikuti pengalaman lengkap saya di sini: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/23/Fokus/2971964.htm.

Pepih Nugraha
Palmerah, 25 September 2006

Monday, September 18, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (4)

Mulailah dengan Catatan Harian

Menulis bukanlah hobi semata, tetapi banyak orang bisa hidup dari menulis. Menulis bukan pula monopoli orang-orang tertentu, misalnya wartawan. Siapa saja bisa dan boleh menulis, sepanjang menulis tidak dipajaki. Menulis apa saja: buku, novel, berita, catatan harian, memoar. Dimana saja: di rumah, di internet, dalam perjalanan wisata, atau saat terbaring sakit.

Percayalah, menulis itu gampang, memulai menulis itulah yang sulit. Padahal kalau sudah mulai menulis, tulisan mengalir bagaikan air tanpa sampah dan limbah di atasnya, lantas siapapun bisa kecanduan, barangkali termasuk kita-kita…

Saya baca majalah Fortune (edisi 18/9), mantan Presiden AS Bill Clinton berutang US$ 10 juta (Rp 100 miliar) saat meninggalkan Gedung Putih. Tetapi dia menutup utangnya dengan menulis memoar “My Life” yang menghasilkan US$ 10 juta. Clinton masih mendapat US$ 20 juta lagi dari honor berbicara di berbagai forum diskusi bergengsi. Kini Clinton menghabiskan masa pensiun dengan menjadi filantrofis sejati, mendorong orang-orang kaya dunia menyumbangkan sebagian kekayaannya untuk kemanusian, mulai dari memerangi HIV/AIDS, kemiskinan global, sampai obesitas anak-anak.

Ah, cerita Clinton pun saya dapatkan dari hasil tulisan seorang wartawan Fortune, bukan? Jadi, betapa asyiknya menulis. Joan Katherine Rowling, penulis tokoh Harry Potter, kini tercatat sebagai salah seorang manusia terkaya di jagat ini. Lagi-lagi dari menulis. Oh ya, jangan jauh-jauh deh, saya bisa menghidupi diri dan keluarga juga dari menulis, sebagai wartawan tulis!

Mari kita berbagi tips di sini, tetapi bukan berarti saya sok tahu... Pasti di antara sahabat ada yang jauh lebih tahu, lebih mahir, dan lebih profesional dalam menulis. Tips sederhana yang ingin saya sampaikan di sini... mulailah menulis catatan harian (diary). Tentang apa saja, tentang perasaan kita: marah, sebel, kecewa, kaget, bahagia, senang, dan masih banyak lagi perasaan lainnya.

Mulailah menulis dari apa yang kita lihat, saksikan, rasakan, alamai dan selami... pasti akan menghasilkan sebuah catatan, minimal catatan kecil buat kita nikmati sendiri. Sahabat tahu, kata "jurnal" (harian) itu berasal dari bahasa Latin, acta diurna, yang pada masa Romawi kuno itu berisi cacatan sehari-hari, baik catatan di balaikota (pemerintahan) ataupun catatan tentang para korban perang yang disampaikan seorang kurir.

Sekarang dengan maraknya weblog, orang menulis catatan harian di internet, ya kita-kita ini. Tetapi ke depan, selain menuliskan perasaan yang kita alami semata, cobalah menulis apa yang kita lihat atas sebuah peristiwa: kecelakaan maut di jalan, menemukan anak hilang, melihat demonstrasi, menyaksikan kerusuhan, melihat kekerasan dalam rumah tangga, memergoki perampokan, dan sejuta peristiwa lainnya... lalu tuliskan di blog kita, seperti yang biasa kita lakukan. Besar kemungkinan salah satu di antara kita, para sahabat, kelak menjadi pewarta warga (citizen reporter).

Di belahan dunia lain, pewarta warga ini begitu tren. Popularitas koran internet Ohmynews.com di Korea Selatan milik Oh Yeong Ho yang memiliki ribuan pewarta, kini mengalahkan koran-koran cetak mainstream. Suatu saat, saya akan cerita tentang sukses Oh Yeong Ho yang pernah saya tulis di Kompas. Tetapi sebagai pemanasan untuk sama-sama belajar menulis, saya sajikan tulisan mengenai citizen journalism yang juga sudah saya tulis di Kompas dengan judul "Kita Semua Wartawan". Sahabat bisa mengkliknya di: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/15/teropong/2652478.htm.

Sampai jumpa di forum Berbagi Pengalaman Menulis (BPM) berikutnya.

Bintaro, 18 September 2006

Thursday, September 14, 2006

Catatan (10): Karangan 24 Tahun Lalu

Yang Ter….

Iseng-iseng berkunjung ke Yahoo lalu memasukkan kata kunci Pepih Nugraha, namaku sendiri, eh ada karangan dalam bahasa Sunda karyaku yang dimuat Majalah OSIS SMA II Tasikmalaya, “Lugu”, tahun 1987/1988. Sebenarnya karangan itu kutulis saat kelas dua SMA tahun 1982/1983, sudah 24 tahun lalu, tetapi baru termuat di edisi 1987/1988 saat sudah duduk di semester lima Universitas Padjadjaran. Mungkin saat aku menulis karangan itu di antara sahabat malah ada yang belum lahir.

Karangan itu berjudul “Pangpangna” (artinya: “yang ter…”). Karangan humor itu maksudnya mau mengundang tawa, tapi boleh jadi tidak lucu sama sekali. Tetapi bagaimanapun itu karya 24 tahun lalu. Karya tulisku semasa SMA dulu antara lain cerpen dimuat Suara Karya Minggu edisi Mei 1982, cerita mini di majalah Gadis, dan… lupa lagi.

Biar sahabat mengerti apa arti “Pangpangna” itu, baiklah sekarang kuterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Bisa juga ditengok di http://sukapura.blogsome.com/. Maaf kalau sedikit rasis karena menyebut warna kulit, juga menyebut-nyebut surga-neraka, sebab waktu itu persoalan SARA belum menjadi isu sensitif dan dalam batas-batas tertentu boleh dipakai banyolan. Berikut terjemahannya:

Pangpangna:

Panghideungna: Urang negro turunan keling nu can mandi salila sataun, nyumput na tungtung guha meneran keur poek bulan, nyumput na luhureun areng tutung teuing bari diharudum sarung hideung, nempona bari peureum.
(Yang TerHITAM: Orang negro keturunan keling yang belum mandi selama setahun, sembunyi di ujung gua pas lagi gelap bulan, sembunyi di atas arangyang gosong sambil dibalut sarung hitam, dilihat sambil merem) .

Pangbodasna: Urang eskimo nu boga kasakit kurang darah, tas manggih kareuwas, tuluy gugulingan na luhureun apu bari diwedak camerok aya kana sadimna. Ti ditu-ti dieu dicaangan ku lampu neon sababaraha siki meneran keur moncorong panonpoe.
(Yang TerPUTIH: Orang Eskimo berpenyakit anemia yang kaget, lantas berguling-guling di atas kapur sambil dibedak tebal. Dari sana-sini diterangi beberapa neon pas matahari lagi bersinar terang).

Pangbadagna: Gajah bareuh keur reuneuh salapan bulan. Eta gajah teh boga kasakit busung lapar nu komplikasi jeung beri-beri, jaba geus meh saminggu tilelep ka walungan. Upama hayang leuwih gede nempona make mikroskop.
(Yang terBESAR: Gajah bengkak pas hamil sembilan bulan, punya penyakit busung lapar yang komplikasi dengan penyakit beri-beri, sudah seminggu tenggelam di sungai. Kalau mau lebih besar harus dilihat menggunakan mikroskop).

Pangleutikna: Anak virus nu pangbungsuna teu manggih dahar meh sabulan, boga kasakit TBC jeung tekanan batin. Ditempona ulah jauh teuing, upama urang aya di Pulo Jawa, eta virus teh tunda di Pulo Irian).
(Yang TerKECIL: Anak virus paling bungsu yang tidak makan hampir sebulan, punya penyakit TBC dan tekanan batin. Dilihatnya jangan jauh-jauh, kalau kita ada di Pulau Jawa, virus itu harus berada di Irian)

Pangpanasna: Cicing di naraka bari ngaleot na luhureun seeng anu dikurilingan ku durukan. Saencana, awak dibalur ku tarason jeung ditempelan ku tempel koyo. Nginum bandrek nu kakara meunang nyait. Komo upami bari make jaket bari dirangkep ku wol beureum euceuy. Ret ka lawang surga, kabogoh direbut batur.
(Yang TerPANAS: Berdiam diri di neraka sambil nyetrika di atas seng yang dikelilingi api unggun. Sebelumnya, seluruh badan diolesi obat gosok tarason dan dilapisi tempel koyo. Minum bandrek yang baru saja matang dijerang. Apalagi kalau sambil mengenakan wol warna merah menyala. Melirik ke pintu surga, terlihat pacar direbut orang).

Nah, apa kubilang, tidak lucu ‘kan… Tapi sekali lagi, itulah karya tulis 24 tahun lalu yang dimuat di majalah SMA. Mohon tidak ada yang tersinggung, apalagi dikait-kaitkan dengan SARA.

Pepih Nugraha
Palmerah Selatan, 14 September 2006

Tuesday, September 12, 2006

Catatan (9): Kekerasan Kata-kata

Benarkah?

TANGGAL 1 September lalu aku menyempatkan diri menghadiri seminar “Vitalisasi Spiritualitas dalam Pemberdayaan Ekonomi” di Bentara Budaya Jakarta. Bingung ‘kan bagaimana spiritualitas yang biasanya berkaitan dengan hal-hal pencapaian agung harus bersanding dengan ekonomi yang mengenal istilah “homo economicus” untuk merujuk pada ketamakan. Kalau dalam ilmu politik, mungkin sandingannya Machiavelis, yakni menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Pembicara antara lain Gede Prama, Anton J Supit, Moeslim Abdurrahman, dan Jansen Sinamo. Tetapi yang mau kucatat di sini adalah pendapat Gede Prama yang cukup menyentak, tetapi masuk akal. Dia mulai dengan mengungkapkan ketakutan dan kengeriannya atas kekerasan kata-kata dan kekerasan pikiran. Kekerasan dengan kata-kata lebih menyakitkan dari kekerasan fisik,” katanya.

Istri yang cerewet, suami yang suka memaki-maki, anak-anak yang saling ledek, pacar yang membentak-bentak pasangannya, pemimpin yang menyalahkan dengan kata-kata tak pantas hanya untuk menyembunyikan ketidakmampuannya, pengemis yang mengumpat karena tidak diberi, adalah contoh bagaimana kata-kata yang hanya berupa rangkaian huruf lantas membentuk kalimat bisa lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik.

Gede Prama menyarankan, seorang ibu yang memaki-maki anaknya yang nakal lebih baik melakukan “kekerasan fisik” dengan menjewer atau mencubit anak itu daripada menghamburkan kata-kata yang tidak hanya menyakitkan hati si anak itu sendiri, tetapi juga merembet menyakitkan suami, saudara, dan bahkan tetangga.Itu sebabnya saya menyukai Mahatma Gandhi dengan gerakan ahimsa atau violence movement-nya, gerakan tanpa kekerasan, tanpa mengeluarkan kata-kata apalagi perlawanan fisik, tetapi mampu mengusir penjajah,” paparnya.

Gede Prama juga tidak setuju dengan kekerasan pikiran yang kalau dilakukan akan sama menyakitkannya dari kekerasaan fisik, bahkan lebih. Elang memangsa makanannya, katanya, hanya sebatas memenuhi perutnya. Setelah kenyang berhenti, dan setelah lapar mulai mencari lagi. Tetapi tidak manusia, katanya lagi, Diberi kesempatan menebang pohon di hutan satu hektar, timbul kekerasan dalam pikirannya untuk menebangi seluruh hutan.”

Aku tercenung. Boleh juga pendapatnya. Tetapi untuk tindakan kekerasan fisik seorang ibu terhadap anak daripada mengumpat tanpa henti, apakah itu sebuah solusi? Bukankah kekerasan fisik terhadap anak hanya mengajarkan anak itu berbuat kekerasan terhadap yang lainnya karena meniru ibunya?

Pepih Nugraha
Palmerah Selatan, 12 September 2006

Friday, September 08, 2006

Catatan (8): Lirik Lagu Bimbo



Lirik Lagu Bimbo



KALA senggang, biasanya Sabtu sore atau malam, kadang aku ambil gitar dan bersenandung lagu apa saja di beranda rumah. Biasanya kubawakan lagu oldiest dan kebanyakan lagu-lagu dari negeri sendiri. Kadang juga lagu daerah, seperti Sunda dan Makassar yang kuhapal di luar kepala.


Rupanya senandung dan petikan gitarku secara diam-diam dinikmati oleh tetangga sebelah kanan rumah. Ibu Aziz namanya. Ibu yang kuperkirakan berusia di atas 60 tahunan. Memang ia pernah bilang kepada kusendiri dan juga pembantuku, Bi Amah, bahwa ia senang mendengar senandungku. Jadi pengen ketawa, karena suaraku sejujurnya hancur-hancuran…
“Saya sering dengar Pak Nugraha nyanyi, khususnya lagu Bimbo,” katanya suatu waktu. Wah, coba Ibu Aziz ini seorang gadis belia dan aku jejaka yang lagi giat-giatnya mencari cinta, ceritanya bisa lain. Omong-omong lagu Bimbo, aku menghapalnya beberapa lagu di luar kepala, lagu-lagu yang pernah kudengar saat aku duduk di SD atau SMP, sekitar tahun 1977-1979-an. Uniknya, sekarang aku tak punya satupun kaset atau cakram Bimbo.



Oh ya, Bimbo adalah grup musik balada dari Bandung. Beranggotakan Sam, Jaka, dan Acil. Mereka bertiga kakak beradik. Makanya dulu bernama Trio Bimbo. Setelah Iin Parlina gabung, grup musik yang dominan gitar itu bernama Bimbo saja. Lagu-lagunya banyak disuplai oleh Iwan Abdulrachman dan Wandi Suwandi.
Belakangan lagu-lagu bernafaskan Islam dihisasi puisi-puisi religi Taufik Ismail yang diberi nada dan musik.

Aku mencoba menuliskan kembali beberapa lirik lagu Bimbo yang hapal di luar kepala. Maaf kalau judul atau beberapa bait liriknya salah, mohon dikoreksi. Kumulai dengan lagu-lagu balada…



Balada Seorang Gadis Desa



Bunga manis yang tumbuh di desa

Kini mekar dan harum mewangi

Banyak kumbang yang datang mengganggu

Dengan membawa impian



Tergodalah imanmu akan khayalan

Hidup bertabur cahya di ibukota

Tanpa doa tulus dua orangtua

Berbekal khayal engkau berangkat juga

Tiada sadar kenyataan khayalan jauh berbeda



Satu tahun terlewatlah sudah

Harapan tinggal harapan

Ibukota tumpuan harapan

Kepalsuan yang kaudapatkan



Hujan mengiring dikau menangis pilu

Senyum pahit kini tersungging memelas

Malu kembali kepada orangtua

Bunga indah dari desa kini layu

Kini tinggal bayi kudus yang ada dalam rahimmu



Terbayanglah sejuta kekasih

Tak satupun menampakkan diri

Jalan akhir yang kini kautempuh

Putus asa bunuh diri



Bunga desa yang kini telah tiada

Engkau salah satu korban kepalsuan

Ibukota bukan tumpuan harapan

Sama seperti kota-kota dunia

Kepalsuan selimut indah asmara hidup seketika




Bimbo memulai lagu ini dengan sabetan gitar elektriknya yang menyayat, sesuatu yang jarang dilakukannya yang kadung kental dengan gitar akustiknya. Tahun 1977 saat aku bepergian ke Bandung yang diguyur hujan, lagu ini terus mengalun dari tempat ke tempat.



Balada Seorang Biduan



Dari sebuah desa berbekal gitar tua

Datang di ibukota dengan penuh harapan

Jadi sorang biduan, jadi sorang biduan



Oh biduan pujaan, pujaan tua muda

Kauditaburi cahya dan sinar kekaguman

Dan riuhnya tepukan dan riuhnya tepukan



Meskipun kautersenyum


Namun orang pun tahu

Apa isi hatimu tatkala kaulagukan

Lagumu lagu sendu perjalan hidupmu

Ditinggal kekasihmu, ditinggal kekasihmu




Kita mungkin setuju, isi pesan lagu ini masih relevan untuk masa sekarang ini, atau mungkin juga untuk masa mendatang. Beribu-ribu gadis berbondong-bondong pergi ke kota-kota besar untuk bertarung nasib, menjajakan suaranya baik lewat caranya sendiri-sendiri, pemandu bakat, atau bertarung lewat panggung AFI, Indonesian Idol, dan semacamnya.



Balada Seorang Minta-minta



Kisah seorang minta-minta

Yang hampir-hampir meninggalkan dunia

Di suatu pinggiran jalan yang sepi

Perut kelaparan terasa nyeri



Terdengar tangisan merana

Si buyung yang selalu dibawa-bawa

Yang tak pernah kenal akan ayahnya

Hanya satu kasih sayang ibunya



Siang dan malam hanya minta-minta

Demi kasihnya pada anaknya



Menghadapi saat akhirnya

Ia berdoa pada tuhan yang esa

Agar sudi melimpahkan rahmatnya

Kepada anak yang ditinggalkannya



Tak tahan menanggung derita

Pengemis itupun meninggal dunia

Diiringi tangis sedih anaknya

Tak seorangpun sudi menolongnya



Oh kasihan dia tiada yang menolongnya

Insan mengasih ulurkan tangannya




Kepada mereka yang bermobil dan kebetulan laju kendaraan tertahan lampu merah, boleh jadi peminta-minta seperti yang tertoreh dalam lagu Bimbo ini ada di sini. Kadang kita berpikir, ah mereka itu pemalas, sebenarnya mereka kaya hanya pura-pura miskin, dan lain-lain. Tetapi bisa jadi ada di antara mereka yang sedang mengalami penderitaan sebagaimana digambarkan lirik Balada Seorang Minta-minta itu…



Nah, sekarang kucoba kutuliskan kembali sebuah lagu indah yang juga pernah kuhapal. Tetapi ini susah payah kususun karena nyaris lupa-lupa ingat. Anakku, Kakang, berkomentar, “Ayah sedang apa kok lagunya diulang-ulang!” Mungkin juga judulnya salah. Tetapi tak apalah, mohon dikoreksi kalau memang salah….



Dunia Hitam



Dia seorang ibu

Mendapat julukan pelacur

Punya anak gadis cantik dan manis

Dan bercita-cita tinggi



Dia seorang ibu

Dari sebuah kota kecil

Ingin anaknya maju dan senang

Seperti ibu yang lain



Di kota-kota besar tertumpu harapan

Cita-cita cita harta terbayang mudah

Terbayang mudah terbayang indah



Dia seorang gadis yang cantik

Lebih cantik dari ibunya

Sama-sama telah jatuh cinta

Pada seorang pria



Seorang pria yang kaya raya

Lebih senang gadis yang segar

Si ibu kini patahlah hatinya

Bersaing dengan anaknya



Di kota-kota besar penuh kenangan

Sedih sedih sedih sedih luka dalam hati

Seorang ibu yang sakit hati



Dia seorang ibu

Kini kembali ke kampungnya

Anak durhaka ibu berdosa dari dunia hitam



Adakah lirik lagu Bimbo ini pernah terjadi dalam dunia nyata? Atau hanya terjadi di dunia sandiwara, film, sinetron, dan sebangsanya. Kalau aku sih percaya, kisah ini pernah terjadi dalam dunia nyata. Akan tetapi, semoga itu bukan kita, juga bukan saudara dan teman-teman kita.



Pepih Nugraha


Palmerah, 8 September 2006

Friday, September 01, 2006

Catatan (7): Kematian

Menyakitkan, Tapi Pasti Datang

TERKEJUT dan terkesima mendengar kematian Inong yang mendadak. Inong seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Ia seorang blogger, ibu dari dua anak yang masih kecil, sekaligus pecinta puisi. Ia merasakan kematiannya lebih cepat dari kedatangan el maut itu sendiri, seperti dalam puisi yang ia tulis dua hari sebelum kematiannya.

Dua hari berturut-turut Inong menulis kematiannya saat ia sudah merasakan kematiannya sendiri dan saat ia “bertemu” Tuhan lewat “perjanjian” sebelumnya.
Perhatikan puisi yang ditulis Inong tanggal 27 Agustus 2006, tiga hari sebelum maut menjemputnya:

biar kuakui pada dunia
bahwa rasa itu sudah tak ada
mati bersama angin
hembus keringkan airmata
hilang bersama angan
melayang pada awan
biar kuakui pada dunia
perlahan aku mati bersama cinta

Akan tetapi yang lebih spektakuler dan lebih mendekati kebenaran akan datangnya kematian adalah puisi Inong yang ia tulis 28 Agustus 2006, saat kematian sudah semakin mendekat.

Tuhan, Kau masih ingat janjiku malam itu?
Aku sudah menepatinya bukan?
Lalu...
Mengapa kabut semakin tebal menggigitku
dan tiada setitik pun berkas sinar di kejauhan
Aku semakin kedinginan, Tuhan
Jangan biarkan ku membeku.

“Cerita Buat Orang Yang Lupa”, adalah salah satu judul lagu Iwan Abdulrachman yang juga mengingatkan kita tentang kematian yang datang tak terduga. Berikut penggalan lirik lagunya:

cerita ini kita mulai
buat orang-orang yang lupa
bahwa mati ‘kan datang suatu waktu
menyergap dirimu dikala kau lengah

pulanglah segera
pintu yang sejuk menantimu
tak seorangpun yang dapat menduga
bila saat itu ‘kan datang padanya

Dalam beberapa literatur dikatakan, sesungguhnya orang sudah merasakan kematiannya beberapa hari sebelum kematian itu benar-benar datang. Perilaku yang aneh dan tak biasanya yang dilihat orang lain, pertanda bahwa kematian mungkin telah menantinya.

Ini cerita nyata tentang kisah kepergian ibuku, almarhumah Ny Enok Suhayah yang “diminta” oleh-Nya 20 Oktober 1999. Beberapa hari sebelum anfaal karena kanker mulut rahim yang dideritanya, ibu mengumpulkan seluruh koleksi foto-foto hitam-putihnya yang tercecer. Mengguntingnya, membersihkannya, lalu menempelkannya di album baru, album khusus. Aku yang sempat melihat karya ibu terakhir itu, juga sempat menelusur sejarah hidupku yang terpotong-potong lewat foto-foto masa kecilku itu. Semua tidak menduga bahwa “insting” kematian sesungguhnya sudah datang saat mengumpulkan foto-foto hitam putih itu.
Tanggal 12 Oktober 1999, atau seminggu sebelum kepergian ibu, aku yang dalam perjalanan ke Bali untuk tamasya, aku, anak yang dikandungnya, belahan hatinya, sudah merasakan kepergian ibu lebih cepat. Selama dalam perjalanan sampai kemudian berada di Bali, sesungguhnya aku hanyalah seonggok daging yang ditopang belulang yang tak berjiwa! Jasadku boleh saja berada di Bali untuk suatu kesenangan dunia, tetapi rohku sesungguhnya sudah berada di sisi ibu yang sedang menghadapi sakaratul maut di rumah Bumi Panyawangan dan kemudian RS Hasan Sadikin.

Aku, anak kandungnya, yang telah menyusahkannya mulai saat ibu ngidam, melahirkan, mengurusku, membesarkanku, sampai kemudian menjadi aku yang sekarang ini ada, mestinya ada di sisinya, sama-sama merasakan sakitnya el maut itu datang menjemput. Tetapi itu tidak. Ibu menyambut detik demi detik kematiannya tanpa kehadiranku. Alhamdulillah, di dunia ini ada banyak malaikat penolong yang jasa-jasanya tak akan pernah kulupakan sepanjang jasad ini ada. Merekalah yang justru sangat dekat dengan ibu dan terus menemaninya sampai saat-saat akhir. Nama mereka hanya ada dalam catatan emas batinku saja dan telah kusediakan salah satu pintu kamar hatiku yang paling baik buat mereka tempati.

Aku hanya diberi kesempatan dua jam saja sebelum ibu mengembuskan nafas terakhirnya, itupun kutemui sudah dalam keadaan koma. Tiba di RSHS pukul 19.00 dan pukul 21.00 ibu pergi setelah aku meminta maaf sebesar-besarnya. “Mih, ini Aa dari Jakarta,” panggil ayahku seperempat jam sebelum ibu pergi. Ibu seperti menahan nafas dan saat itulah aku meminta maaf. Ibu mengangguk!

Beberapa menit kemudian ibu memberi isyarat agar semuanya mendekat. Nafasnya sudah satu-dua. Ibu meninggal dengan air mata yang menggenang di kedua pelupuk matanya, yang dengan cepat kuusap sambil meminta maaf sekali lagi. Aku bahkan masih merasakan embusan nafasnya yang terakhir, sampai sekarang.
Hal yang paling menyedihkan dalam hidupku adalah saat menyaksikan suster harus menggunting gaun batik warna oranye cerah saat akan membungkus ibu untuk dimasukkan ke ambulans. Itu adalah gaun terakhir yang dipakainya sebagai oleh-oleh dari Bali.

Suatu saat, aku pasti akan datang untuk bersujud dan bersimpuh di kakinya, memeluknya dan meminta maaf sekali lagi atas kezaliman yang kulakukan semasa aku hidup di dunia. Menyakitkan memang, tetapi cepat atau lambat, waktu itu akan datang juga....

Pepih Nugraha
Palmerah, 1 September 2006