Monday, August 27, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (30)



Ironi sebagai Berita



MASIH tentang liputan di wilayah konflik, Ambon. Jika pada postingan lalu (Lihat Berbagi Pengalaman Menulis 27: Dibimbing Insting) saya tiba di Ambon Maret 2003, setahun kemudian saya harus kembali ke Ambon, persisnya 25 April saat meledak kerusuhan komunal yang dipicu kelompok FKM yang merayakan ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS).



Pada hari-hari pertama bentrokan komunal, saya masih tetap melaporkan suasana Kota Ambon yang masih mencekam, bertambahnya jumlah korban, dan bergentayangannya para “sniper” alias penembak jitu. Intinya, masih melaporkan pandangan mata, sekalian mengumpulkan data dan fakta untuk menulis feature. Di sini, saya mau berbagi mengenai “Ironi” yang bisa diolah sebagai isu besar, tetapi juga jenial dan orisinal. Bagaimana caranya?



Cuma sekadar blessing saja! Itupun setelah saya bosan melaporkan keadaan Ambon yang itu-itu saja. Kesempatan itu datang pada hari Rabu, 28 April 2004 atau empat hari setelah kerusuhan meledak. Hari itu hadir Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno bersama Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, dan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi.



Di Ambon hari itu saya memasang mata dan telinga. Perkiraan saya, para pejabat itu akan ditampung di Kantor Gubernur dulu sebelum turun ke bawah (turba) menenangkan warga yang bertikai. Nyatanya? Saya dapat kabar, para pejabat terhormat dari Jakarta itu hanya akan “transit” di Bandara Pattimura saja tanpa menyapa langsung warga di kantong-kantong pertikaian, sebelum kembali lagi ke Jakarta. Sekadar piknik? Dalam hati saya berteriak: Ini berita! Berita besar!



Saya menumpang kendaraan militer ke pelabuhan dan menggunakan speed boat yang juga disediakan militer setempat, kendaraan umum belum beroperasi. Wartawan Jakarta dan wartawan lokal Ambon sudah pasti ada semua di sana. Dalam hati saya berbisik: semoga mereka tidak menangkap ironi di balik peristiwa ini. Ya ironi, sebab pejabat yang seharusnya bertatap langsung dengan warga, menenangkan warga kedua belah pihak baik Islam maupun Kristen, ternyata hanya mau cari aman dan selamat sendiri di ruang berpendingin udara di Bandara Pattimura. Enak betul mereka.



Sesampainya di bandara, saya ikuti semua percakapan para pejabat di bawah pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri itu, juga unek-unek tokoh masyarakat kedua belah pihak yang sengaja dihadirkan di bandara itu. Jadinya seperti kelompencapir zamannya Harmoko dulu. Wah, menyebalkan. Saya coba menahan perasaan saya.



Saat wartawan lain merekam segala suasana, diam-diam saya mengikuti Pangdam XVI Pattimura Mayjen Syarifuddin Sumah yang menyelinap ke belakang. Rupanya jenderal bintang dua itu mau ke toilet. Maka saya juga ke toilet. Sebelumnya kami telah saling mengenal selintas karena beberapa kali pasca bentrokan itu saya harus “memepet” Pangdam itu di markasnya.



Saya menyapa sang jenderal. Mungkin suasana hatinya sedang baik, dia mau saya ajak bicara sebentar. Saya tahu dia berasal dari Makassar, maka percakapan basa-basi pun dimulai mengenai kota Anging Mamiri, tempat dimana homebase saya berada.



“Sayang bapak-bapak pejabat itu hanya sampai di Bandara Pattimura saja ya, Pak, tidak langsung menemui warga,” kata saya. Sang jenderal menjawab, “Saya tidak mau ambil risiko, maka pertemuan itu terpaksa saya langsungkan di sini saja.” Saya menyambar lagi, “Boleh saya kutip, Pak?” Dia menjawab cepat, “Ya, tetapi jangan sebut ini dari saya, ya!” Jenderal yang baik!



Usai pertemuan, wartawan pun merancang isu. Rekan wartawan senior dari sebuah stasiun televisi swasta mengangkat isu kemungkinan penerapan darurat militer, yang bagi saya tentu saja terlalu dini. Wartawan lain mengangkat mau diapakan kelompok FKM yang diduga memprovokasi kerusuhan? Apa yang saya lakukan saat itu? Cukup diam menahan diri, tidak harus bertanya lagi. Semua bahan untuk berita besok sudah ada di kepala saya. Sejujurnya, saya ingin segera mengetik dan mengirimkan berita ke Jakarta.



Di hotel tempat saya menginap di kawasan Muslim, saya lalu memberi judul berita saya “Kunjungan Pejabat Jakarta Hanya Sampai di Bandara Pattimura.” Berita yang menggambarkan suasana itu lantas didukung oleh sejumlah fakta yang berkembang di lapangan. Oleh editor di Jakarta disempurnakan dan dipertajam menjadi lebih menukik dengan judul “Kunjungan Menko Polkam ‘Hanya Sampai’ Bandara”, yang dimuat sebagai berita utama (headline) di harian Kompas keesokan harinya, Kamis 29 April 2004.



Sahabat yang budiman bisa membaca berita saya di bawah ini setelah ditambah dengan “sumbangan” rekan-rekan wartawan lain yang mendapatkan sumber berita di luar Ambon, yakni di Jakarta. Sahabat juga bisa mengikuti postingan berikutnya bagaimana berita itu disikapi dan diperkuat dengan Tajuk Rencana (editorial) mengenai “Kepemimpinan” yang ditulis oleh para petinggi dan bahkan pemilik koran. Saya juga tidak menyangka tidak sampainya para pejabat Jakarta menemui warga itu bisa terkait dengan kepemimpinan. Ok, sampai jumpa lagi...



Kunjungan Menko Polkam "Hanya Sampai" Bandara



AMBON, KOMPAS- Akibat tidak adanya jaminan keamanan dari aparat keamanan setempat, rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno yang melakukan kunjungan kerja ke Kota Ambon, Maluku, Rabu (28/4) kemarin terpaksa menggelar pertemuan dengan tokoh masyarakat dan agama serta politisi Maluku di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Hari Sabarno didampingi Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, dan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi.



Rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) ad interim mendarat di Bandar Udara (Bandara) Pattimura pukul 13.45 waktu setempat, menggunakan pesawat khusus. Mereka mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan politisi Maluku di aula khusus Lantai 2 Bandara Pattimura hingga pukul 16.00 sebelum kembali ke Jakarta.



Dalam kesempatan itu Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) XVI Pattimura Mayor Jenderal Syarifuddin Sumah, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Sutrisno, dan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu memaparkan laporan situasi terakhir di Kota Ambon.



Menurut keterangan aparat keamanan setempat, semula rombongan akan mengadakan kunjungan ke lokasi kerusuhan. Namun, karena kondisi kota itu dinilai belum kondusif, rencana tersebut dibatalkan. Bahkan, dialog pun akhirnya hanya dilangsungkan di Bandara Pattimura. "Saya tidak mau pejabat kita terancam keselamatannya," tutur pejabat militer setempat yang tidak bersedia disebutkan namanya.



Kemarin situasi di Kota Ambon masih panas dan eskalasi konflik semakin melebar. Konflik bahkan sudah merembet sampai ke kecamatan lain meski masih di dalam Kota Ambon. Dari Selasa tengah malam sampai Rabu dini hari kemarin, rentetan tembakan dan dentuman bom masih terdengar berkali-kali. Apabila sebelumnya konflik antarwarga terjadi di wilayah Talake Dalam dan Waringin di Kecamatan Nusaniwe, kini konflik sudah merembet ke daerah Karang Panjang, Kecamatan Sirimau.



Kemarin pagi sekitar pukul 08.00, massa yang berjumlah ratusan orang dari Karang Panjang, yang rumahnya terbakar, mendatangi Markas Polda untuk berunjuk rasa dengan membawa bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda duka. Dalam orasinya mereka meminta pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Maluku ditarik saja karena mereka mengaku melihat adanya oknum TNI berpakaian loreng yang turut memprovokasi massa, bahkan turut membakar rumah penduduk.



Namun, tudingan itu disangkal Syarifuddin Sumah dengan mengatakan sangat mudah mendiskreditkan TNI. Dia berharap semua pihak tidak termakan isu semacam itu atau terpengaruh opini yang sengaja diciptakan karena hanya akan memperburuk situasi. Gubernur Ralahalu menyebutkan, sampai kemarin jumlah korban tewas sudah mencapai 32 orang dengan tambahan tujuh korban baru. Korban seluruhnya berjumlah 203 orang. Sebanyak 84 orang masih dirawat di berbagai rumah sakit dan 87 orang sudah pulang setelah menjalani perawatan. Konflik hari keempat juga menghanguskan atau menghancurkan 430 rumah dan bangunan serta menyebabkan sebanyak 2.150 orang atau 340 keluarga mengungsi.



Musuh bersama



Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan, terdapat satu titik temu dan pemahaman bersama di antara warga masyarakat Ambon bahwa tidak ada satu kelompok pun yang mendukung keberadaan kelompok separatis Front Kedaulatan Maluku/Republik Maluku Selatan (FKM/RMS). Organisasi itu juga tidak identik dengan agama tertentu. Dengan begitu, apabila sudah ada titik temu, sebaiknya FKM/RMS dijadikan musuh bersama yang harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.



"Tidak sepatutnya sebagai orang Indonesia memberi dukungan kepada kelompok separatis. Aparat keamanan akan berbuat maksimal untuk menindak FKM/RMS," kata Panglima TNI tegas, saat bertemu dengan jajaran Pemerintah Provinsi Maluku di Bandara Pattimura. Menurut Endriartono, pihaknya siap memberikan bantuan tambahan personel berapa pun banyaknya apabila hal itu diminta. Meski demikian, pihaknya lebih menyerahkan inisiatif untuk menyelesaikan konflik atau menjaga agar konflik tidak meluas kepada masyarakat Ambon sendiri. "Seberapa pun besarnya jumlah personel TNI, apabila masyarakatnya memang tidak mau berdamai, kedamaian tidak akan pernah terwujud," katanya.



Hari Sabarno dan Hendropriyono tidak menanggapi adanya keinginan sebagian warga Ambon untuk memberlakukan darurat militer. Menurut mereka, proses pemberlakuan darurat militer terlalu lama karena harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan melihat intensitas konflik yang terjadi. "Lebih baik masyarakat sendiri yang berupaya menyelesaikannya," kata Hari Sabarno. Pernyataan senada disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono.



Hendropriyono mengatakan, hasil analisis intelijen mengenai konflik baru di Ambon yang berasal dari peringatan Hari Ulang Tahun Ke-54 FKM/RMS itu sama dengan yang dikemukakan tokoh masyarakat Ambon, pemerintah provinsi, dan jajaran aparat keamanan Maluku.



Meski demikian, lanjut Hendropriyono, apa yang terjadi pada hari Minggu 25 April lalu itu bukanlah suatu bentuk kecolongan, sebab aparat keamanan sudah mengantisipasi sebelumnya. Hanya saja, bagaimanapun kokohnya, sebuah pertahanan tetap akan jebol karena orang lain bersifat aktif menyerang.



Hendropriyono juga mengatakan, kelompok separatis seperti FKM/RMS pasti memiliki sponsor di belakang mereka. Bisa saja sponsor itu negara asing, sedangkan konflik harus diciptakan untuk menarik perhatian dan isu pun terus diembuskan. "Pokoknya masyarakat dibuat bingung, misalnya dengan adanya penembak gelap yang kita tidak tahu siapa pelakunya," katanya.



Kepala Polda Maluku Bambang Sutrisno dan Panglima Kodam Syarifuddin Sumah mengakui adanya eskalasi atau peningkatan intensitas konflik. Panglima Kodam, misalnya, menyebutkan, jika pada hari pertama kerusuhan terjadi pada 10 titik konflik yang kemudian menyatu dalam satu wilayah, yakni Talake dan Waringin, kemarin titik konflik sudah menyebar ke wilayah Karang Panjang. "Kondisi Ambon masih tegang," kata Syarifuddin.



Dipindah ke Jakarta



Dalam pertemuan itu Kepala Polda Maluku menyarankan agar anggota FKM/RMS yang kini ditahan di Markas Polda dipindahkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Jakarta untuk dilakukan penyelesaian hukum, sebagaimana pernah dilakukan terhadap Alex Manuputty.



Dalam pertemuan itu, baik tokoh agama Islam seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Idrus Toekan dan Kepala STAIN Muhammad Attamimi, maupun tokoh agama Kristen seperti Uskup Amboina Mgr PC Mandagi dan Ketua BPH Sinode GPM Pendeta IWJ Hendriks, mengutuk tindakan FKM/RMS yang mereka sebut sebagai kelompok separatis.



Muhammad Attamimi menegaskan, jika ada umat Islam yang mendukung FKM/RMS, diultimatum akan dihabisi saja. Dia meminta pihak Kristen memiliki sikap yang sama terhadap FKM/RMS. Sementara itu, Pendeta Hendriks meminta aparat keamanan menindak tegas FKM/RMS sesuai hukum.



Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar mengatakan, tindakan hukum terhadap kelompok separatis seperti FKM/RMS akan dilakukan secara tegas dan transparan agar masyarakat luas mengetahuinya.



Ia juga menyatakan persetujuannya agar seluruh senjata yang ada pada warga masyarakat dilucuti.



Di Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Presiden Megawati agar serius menuntaskan kasus kerusuhan di Ambon.



Menurut rencana, seperti dijelaskan Menko Kesra A Malik Fadjar, sidang kabinet hari Kamis ini memang akan membahas masalah Ambon. (Pepih Nugraha)

Friday, August 24, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (29)



Dibimbing Insting



PADA acara Reuni SMPN I Tasikmalaya angkatan 1981 tanggal 24 Juni lalu di Hotel Crown Tasikmalaya, seorang teman bertanya, “Kamu kok jadi pemberani, perang agama di Ambon dan Poso saja kamu liput?”



Saya tahu arah Yono, teman saya itu, dia ingin mengatakan bahwa semasa di SMP dulu saya lelaki penakut, bahkan cenderung lembek, setidak-tidaknya dalam atletik dan sepak bola. Saya menjawab kawan lama saya itu sekenanya, “Mungkin karena keadaan sajalah yang memaksa saya harus nekat.”



Sebenarnya tidak persis begitu. Apa yang saya lakukan di lapangan, di wilayah konflik, tentu dengan perhitungan matang. Tidak mentang-mentang dan sok jagoan. Ingat, nyawa Cuma satu dan saya perlu membesarkan anak! Saya tidak mau anak saya menjadi yatim hanya karena kecerobohan saya. Lagipula, mati di lapangan saat meliput hanya dikenang orang paling lama satu minggu, setelah itu dilupakan begitu saja.



Saya anggap medan Ambon dan Poso paling berat, dibanding waktu saya ke Bosnia, Kroasia, dan Serbia yang malah dikawal mobil PBB segala. Di Ambon dan Poso kita harus jalan sendiri kalau mau mendapat berita atau tulisan yang menarik. Di sana, mengandalkan percaya diri saja tidak cukup. Perlu trik jangan sampai kita mati konyol gara-gara KTP, misalnya, yang mencantumkan agama seseorang di selembar kertas itu.



Kuncinya adalah pertemanan dan mengandalkan jaringan! Jadi saat konflik masih membara, jangan coba-coba jalan ke wilayah dimana agama warga setempat tidak sama dengan agama yang tercantum di KTP kita. Bisa mati kita. Caranya? Saya Muslim. Saat saya harus meliput di wilayah Kristen, saya ajak teman (bisa penduduk lokal atau sesama wartawan) yang beragama Kristen. Saya pun bisa leluasa menggali berita. Kalau di wilayah Muslim, ya saya jalan sendiri saja.



Tetapi kalau harus melintas lautan dari Bandara Raha ke Kudamati, misalnya, saya sewa saja tentara atau polisi yang bersenjata lengkap, plus sewa perahu motornya. Soalnya saat itu kerap terjadi penembakan di lautan. Intinya: jangan kehabisan akal. Kita dikirim kantor ke sana bukan untuk piknik melihat keindahan dan ketenangan Pantai Netseffa, tetapi untuk bekerja. Di wilayah liputan, kita bakal dibimbing insting kita sendiri sebagai wartawan!



Di bawah ini saya sertakan satu tulisan feature (tulisan khas) yang dimuat Harian Kompas, 5 Maret 2002 lalu. Tulisan sederhana berjudul “Kawasan Damai Tanpa Rekayasa”, benar-benar berdasarkan apa yang saya lihat dan rasakan.



Pasar Kaget Ambon

Kawasan Damai Tanpa Rekayasa



SIAPA bilang masyarakat Kristen dan Muslim di Ambon tidak pernah bisa berbaur lagi? Datanglah ke pasar kaget di sepanjang Jalan Pantai Mardika, persis di depan Hotel Ambon Manise (Amans). Di sana, masyarakat Muslim dan Kristen berbaur menjadi satu dalam kegiatan ekonomi di pasar yang sesungguhnya tanpa rekayasa.



Di pasar kaget itu warga masyarakat Muslim menjadi pedagang, sementara warga Kristen menjadi pembeli. Tidak ada tanda-tanda keraguan di kedua belah pihak. Transaksi dilakukan secara wajar, bahkan penuh canda. Tidak berbekas peristiwa Sabtu pekan lalu saat terjadinya kericuhan pada pawai massa.



Senin (4/3) pukul 04.30, pedagang Muslim sudah berdatangan untuk menggelar dagangannya. Trotoar dan badan jalan sepanjang Jalan Pantai Mardika dipenuhi sayuran, buah-buahan, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Pada pukul 05.00, dari lorong-lorong perkampungan muncul calon pembeli yang sebagian besar adalah warga Kristen. Oleh warga masyarakat, kawasan itu disebut Transaksi Zona Baku Bae yang memang dijaga aparat keamanan.



"Namun, tanpa kehadiran aparat pun, karena kami saling membutuhkan (maksudnya Kristen dan Muslim), kami akan berbaur terus tanpa ragu. Torang saling membutuhkan," kata Charles Boloman, pegawai TVRI yang beragama Kristen, yang dijumpai Kompas saat berbelanja di Zona Baku Bae.



Bagi August Mairuhu (34), kehadiran aparat keamanan membuat dirinya lebih tenang berbelanja di tempat itu. Katanya, "Tanpa aparat, mungkin beta ragu ke sini. Namun, beta akan tetap ke sini karena beta perlu kebutuhan hidup dari teman Muslim."



Selain untuk dikonsumsi sendiri, warga Kristen membeli berbagai kebutuhan di pasar kaget juga untuk didagangkan kembali di wilayah Kristen. Mairuhu misalnya, bersama istrinya, Iyos, membeli berbagai kebutuhan untuk dijual kembali di Batumeja yang merupakan kawasan Kristen. Jarak Batumeja dengan Zona Baku Bae kurang lebih dua kilometer dan ditempuh menggunakan becak. Dari transaksi dagangnya dengan rekannya yang Muslim, suami-istri Mairuhu bisa menangguk untung rata-rata Rp 50.000 perhari.



Lananu (23), pedagang Muslim, tengah memilah-milah bawang merah. Menurut dia, harga bawang merah sedang tinggi dan sebanding dengan bawang putih. "Kalau jahe beta terpaksa jual mahal, sebab didatangkan dari Kendari. Sekilo beta jual Rp 12.000, tidak bisa kurang," katanya. Seorang ibu dengan kalung salib emas ukuran besar datang dan membeli jahe. "Mahal sekali, tidak bisa kurangkah?" Lananu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Sudah murah, nyarinya susah." Transaksi pun berjalan. Dengan cepat uang Rp 12.000 beralih untuk ditukar jahe dari Kendari.



Saling membutuhkan



Sebelum terjadinya konflik, warga Muslim umumnya memang pedagang, dengan pembeli beragam. Warga etnis Tionghoa juga pedagang, namun umumnya dalam partai besar atau menguasai ruko dan pertokoan.



Setelah meledaknya konflik, warga Muslim tetap menjalankan profesinya sebagai pedagang. Warga etnis Tionghoa banyak yang mengungsi keluar Ambon dan belum ada tanda-tanda kembali menempati rukonya. Sebagian besar ruko dan pertokoan yang pernah terbakar menjadi penampungan pengungsi atau markas tentara. Kerusuhan menjadikan warga Kristen "terpaksa" berdagang. Mereka kulakan di pasar kaget Zona Bakubae dan menjualnya di kawasan Kristen.



"Masyarakat Kristen dan Muslim memang saling membutuhkan. Tidak ada yang bisa mencegah mereka untuk berbaur. Jujur saja, saya lebih senang berbelanja di Zona Bakubae ini karena harganya jauh lebih murah. Anda tahu sayuran yang saya beli ini di kawasan beta yang Kristen, dijual dua kali lipat. Sebab penjual di sana membeli kebutuhan pokok dari sini juga. Tidak ada fanatisme suku atau fanatisme agama di sini, beta cari yang paling murah. Ini hukum ekonomi yang wajar saja," kata Charles Boloman.



Sisa keterbelahan



Geliat perdagangan rakyat sudah menunjukkan gairahnya di Ambon, khususnya pasca perjanjian Deklarasi Malino. Transaksi serupa, yakni Zona Bakubae terbatas, juga berlangsung di kawasan Rumah Sakit Tentara, meski yang dijual kebanyakan sandang berupa pakaian.



Namun di beberapa tempat seperti di Jalan Baabullah, perdagangan rakyat juga berlangsung, meski aktivitasnya dimulai setelah waktu Maghrib. Minggu (3/3) malam, misalnya, sekumpulan orang berdiri memenuhi Rumah Makan Padang Roda Baru. Waktu menunjuk pukul 21.10 WIT. Pandangan mereka terpusat pada sebuah pesawat televisi berwarna ukuran 21 inci yang dipajang hampir menyentuh atap. Mereka sedang menonton Berita Daerah yang disiarkan TVRI Ambon. Durasinya cukup singkat, dari 21.00 sampai 21.30. Namun 15 menit kemudian, kumpulan orang itu membubarkan diri. Selesaikah Berita Daerah? Bukankah masih tersisa 15 menit lagi?



Lima belas menit terakhir berita yang semula tentang aktivitas masyarakat Muslim memang diganti berita tentang kegiatan gereja. Rumah Makan Padang Roda Baru yang terletak di Jalan Baabullah atau samping masjid Al Fatah itu dipenuhi masyarakat Ambon yang beragama Islam. Maka ketika berita diganti oleh kegiatan gereja, mereka membubarkan diri.



"Beginilah Ambon. Kenyataan ini tidak bisa ditutup-tutupi. Anda akan melihat hal yang sama di wilayah Kristen. Mereka tidak akan menonton aktivitas rekannya yang beragama Islam yang ditayangkan televisi," kata R Tompo, pegawai TVRI yang pada malam itu turut nangkring di antara kerumunan orang.



Sejak konflik pertama pecah pada 19 Januari 1999, Ambon menjadi terbelah. Fasilitas umum, kantor pemerintahan, bank, sarana transportasi, menjadi terbagi dua bagian. Demikian pula siaran televisi yang ditayangkan TVRI Ambon. Ada jam tayang khusus untuk warga Obet (dari kata Robert/Kristen) dan ada jam tayang untuk warga Acan (Hasan/Islam).



Taksi



Kalau Anda mendarat di Bandara Pattimura Ambon, maka "keterbelahan" itu sudah membayang di depan mata. Taksi pun harus terbelah dua, untuk warga Muslim dan untuk warga Kristen. Padahal, tidak ada garis "demarkasi" yang memisahkan kedua jenis taksi yang sama-sama akan menuju pelabuhan Wayame itu.



"Jangan salah pilih taksi," kata seorang warga penjemput di bandara. Namun ada lagi yang bilang begini, "Sekarang sudah tak ada masalah, asal percaya diri saja." Kompas percaya pada yang terakhir. Dengan menumpang taksi untuk warga Obet, saya yang Muslim, bisa sampai ke pelabuhan Wayame untuk warga Acan. Harga disepakati Rp 50.000 untuk jarak 10 kilometer.

"Beta seng pilih-pilih penumpang. Beta cuma cari uang," kata sopir taksi bandara yang Kompas tumpangi.



Pelabuhan Wayame yang merupakan tempat bersandar speedboat, juga harus terbelah, meski keduanya hanya berbilang jarak sekitar 200 meter. Dari Wayame, warga Obet akan dibawa ke Gudang Arang, sementara warga Acan dibawa ke Belakang Kota. Jalan yang dulu menghubungkan Bandara Pattimura dengan kota Ambon, kini "terputus" oleh sejumlah garis demarkasi. Maklum ruas jalan yang mengikuti alur garis pantai itu dikenal daerah "belang", yakni selang-seling antara warga Muslim dan Kristen. Katakanlah Tawiri yang daerah Kristen dan Laha yang wilayah Islam.



Batas keduanya ditandai dengan "garis demarkasi" berupa penghalang jalan yang tidak memungkinkan kendaraan darat bisa lewat. Maka jalur laut lewat speedboat itulah yang menjadi satu-satunya pilihan. Pelabuhan besar untuk mendaratkan kapal besar pun harus terbelah. Pelabuhan Yos Sudarso untuk masyarakat Islam dan pelabuhan TNI AL di Halong dengan kapal Dobonsolo untuk warga Kristen.



Namun di pasar kaget Transaksi Zona Bakubae di Jalan Pantai Mardika, "keterbelahan" itu tidak nampak sama sekali. Masyarakat Muslim dan Kristen berbaur menjadi satu. Mereka dipersatukan oleh pasar karena alasan paling dasar, bahwa mereka saling membutuhkan. Bahwa pasar, wilayah yang mempersatukan mereka, benar-benar bebas dari sentimen suku atau agama.



Alangkah indahnya kalau zona-zona bakubae semacam ini terus diperluas dan diperlebar dengan inisiatif sendiri, tanpa rekayasa. (Pepih Nugraha)

Tuesday, August 21, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (28)









Menulis Berita Olahraga






JELANG berakhirnya pelatihan Neuro Language Program (NLP) yang berlangsung 13-15 Agustus di Hotel Santika Jakarta, rekan saya, wartawan senior Harian Kompas Hendry Ch Bangun, membagi-bagikan buku kepada peserta. Itu buku karyanya, berjudul Wajah Bangsa dalam Olahraga: 100 Tahun Berita Olahraga Nasional. Diterbitkan Pustaka Spirit tahun 2007 ini.


Setelah mendapatkan satu eksemplar gratis, tidak lupa saya meminta tandatangannya, juga minta izin mengambil gambarnya (lihat foto). Dengan antusias Mas Hendry yang kini bertugas di Harian Warta Kota bercerita, bahwa menulis berita olahraga bukanlah barang baru, setua koran itu sendiri.


Ia lantas menunjukkan berita olahraga yang termuat di koran Pantjaran Warta yang terbit hari Rabu, 7 September 1910 (nyaris seabad lalu!). Dalam berita berjudul Finalewedstrijd Lawerkrans Antara V.I.O.S I - Hercules 0-0 yang selain diceritakan duel di lapangan, si wartawan telah menyertakan susunan pemain, siapa kiper, siapa gelandang, siapa penyerang dan seterusnya.


"Lihatlah, wartawan dulu sudah sadar betul akan visual dengan menampilkan susunan pemain. Ini bukan barang baru," kata Hendry.


Menurut pria kelahiran 26 November 1958 ini, ia melakukan riset pustaka selama tiga tahun sebelum buku ini lahir. Ia mengklasifikasikan sendiri bukunya sebagai buku jurnalistik. "Ini perlu dibaca oleh mereka yang berminat pada jurnalistik, khususnya wartawan khusus olahraga, " pesannya. Kadang wartawan dulu mengabaikan rumus lawas "5W+1 H" begitu saja, tetapi dalam melakukan penggambaran suasana dan detail sangat kuat.


Namun demikian, peminat bahasa, khususnya bahasa Melayu lama yang banyak digunakan di koran-koran tempo dulu, juga dapat menarik manfaat dari cara dan gaya wartawan bertutur saat itu. Juga tulisan-tulisan wartawan saat itu yang tentu saja belum menggunakan EYD. Tidak heran, Hendry yang lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1982) ini juga gemar akan hal-hal berbau bahasa Indonesia, sebab dia juga penulis cerpen dan puisi jempolan.


Selain menampilkan berita-berita lawas di koran-koran yang boleh jadi setua kakek-nenek kita (80-90an tahun), juga disertai foto-foto lama, seperti foto lima pebulutangkis putri tahun 1930 yang berprose dengan berpakaian kebaya lengkap dengan raket kayu di tangan (halaman 22). Lebih lengkapnya, silakan baca buku Hendry ini, bagaimanapun caranya.

Thursday, August 09, 2007

Catatan (24): Adik Kelas



Hanny Tanujaya




Hai, Pepih, saya Hanny alumni SMA Negri 2 juga, saya adik kelasmu, kebetulan saya membaca tentang anda di internet, wah satu alumni nich... saya sangat terkesan membaca tulisanmu "SURAT LILI" , lalu saya ingat-ingat wajah Lili dan Pepih, jadi agak kebayang juga. Oh ya ini no hp saya 0811211xxx saya minta no tlp Pepih juga ya.




ITU surat elektronik yang saya terima beberapa hari lalu. Surat dari Hanny Tanujaya, adik kelas saya setahun sewaktu di SMAN 2 Tasikmalaya. Saya mencoba-coba mengingat-ingatnya. Gagal. Tak terlintas bayangannya sedikit pun. Pun ketika ia memberi "hint" bahwa ia menjadi tim bola basket sekolah bersama Yen Yen. Gagal lagi.


Jadi setelah saya telepon dia, saya minta maaf karena tidak bisa mengingat wajahnya. Jangankan wajah adik kelas, wong teman yang seangkatan saya saja sudah lupa-lupa. Keterbatasan kita sebagai manusia! Maklum, saya masuk SMA 26 tahun lalu. Jadi, saya minta saja fotonya. Hanny berjanji akan memenuhi permintaan saya.


Di telepon, dia mengatakan senang bertemu satu alumni, tidak terkecuali saya yang sebetulnya beda angkatan. Kalau sudah begini, saya juga tidak mempersoalkan angkatan, tetapi persahabatan. Akhirnya, kami berjanji untuk bisa saling bertemu, entah di Tasikmalaya, Jakarta, atau di Bandung, tempat dimana selama beberapa tahun terakhir dia tinggal bersama keluarganya.


Tadi pagi, saya menerima foto yang dijanjikannya. Tanpa harus meminta izinnya, saya tampilkan foto Hanny di blog ini. Siapa tahu ada teman-temannya, baik satu alumni maupun bukan, mengenalinya. Sehingga, tali silaturahmi terjalin kembali dan persahabatan menjadi tidak terhalang sekat jarak dan waktu.