Monday, March 31, 2008

Catatan (45): Jangan Pernah Mengeluh


Hikmah Yang Tersembunyi (2)


TUGAS atau pekerjaan apapun jika dilaksanakan dengan ikhlas, terasa ringan tanpa beban. Teringat ketika sekian tahun lalu saya menandatangani kesediaan diri sebagai jurnalis yang harus bersedia ditempatkan dimanapun, terasa bukan sebagai suatu pengikat, tetapi sebagai tantangan demi tantangan yang ada di depan, yang harus siap kita hadapi. Tidak terkecuali saat saya mendapat tugas baru di Kompas Update.

Memang akan membuat bulu kuduk berdiri. Bagaimana mungkin sebuah pekerjaan harus dimulai pukul 1 dinihari, tanpa tidur, sampai kemudian koran update terbit pada pukul 10.00, dan masih disusul rapat redaksi rutin pukul 10.00 hingga pukul 12.oo? Bagi saya, itu mungkin saja. Apa bedanya kerja jurnalis dengan Pak Satpam atau maaf, perampok, yang biasa bekerja malam-malam? Saya tidak berkeberatan dengan persamaan semacam itu, yang jelas tugasnya tentu saja sangat berbeda. Sekadar rentang waktu kerja saja yang kebetulan sama. Barangkali.

Saya berupaya mengambil sisi positif dari setiap penugasan. Bahasa lugasnya, selalu ada hikmah di balik penugasan apapun. Bukan persoalan bahwa itu sudah digariskan dari "sononya", tetapi lebih karena persoalan pengembangan sumber daya manusia saja di kantor ini, dan saya percaya sepenuhnya. Mungkin saya masuk golongan homo faber, tetapi tidak melupakan homo ludens, manusia yang senang dengan permainan. Permainan apapun, termasuk permainan "nasib" seperti ini. Wah, kenapa juga harus menilai diri sendiri!?

Apa sisi positif atau hikmah di balik penugasan saya sebagai "jurnalis malam"? Mungkin beberapa saja yang ingin saya ungkapkan. Pertama, waktu untuk membaca menjadi jauh lebih banyak. Sehabis bekerja dan tiba di rumah pukul 13.00, saya sudah tenggelam dalam buku atau bacaan lainnya yang bermanfaat, untuk kemudian tak sadarkan diri karena tertidur siang (siesta). Dulu, saya menyempatkan membaca buku di sela-sela pekerjaan meng-upload berita untuk Kompas online, sekarang sambil menunggu berita masuk pun saya selalu membaca.

Kedua, menulis masih tetap terasah karena saya harus menulis berita-berita ringkas mengenai people di halaman pertama Kompas Update. Dengan demikian saya mengasah kembali bahasa Inggris, Jerman, atau Perancis yang sedikit saya kuasai, tergantung berita apa yang mau saya buat. Memang harus dibayar mahal karena saya tidak bisa lagi bertemu sumber atau menulis artikel panjang di Kompas reguler. Bagi saya, asalkan masih bisa menulis, aktualisasi diri tetap terjaga.

Ketiga, ternyata saya bisa lebih dekat lagi dengan Si Kakang, anak saya. Waktu masuk pagi sampai larut malam dulu, tidak ada waktu sedikitpun untuk sekadar tahu pelajaran apa untuk besok. Tidak tahu persis bagaimana anak tumbuh dan berkembang. Sekarang, anak saya biasa bertanya mengenai bahasa Inggris atau bahasa Arab, atau apapun, termasuk matematika, sejauh yang saya bisa. Saat dia pulang sekolah pukul 15.00, saya masih bisa menjemputnya ke sekolah. Terasa lebih dekat lagi. Juga saya bisa leluasa ke J.Co atau Oh Lala sore-sore sekedar memuaskan hobi kami berdua, ngopi! kadang, kami sekeluarga bisa makan malam di resto-resto terdekat jika sudah bosan makan di rumah, yang dulu hanya bisa kami lakukan saat libur saja.

Keempat, saya lebih leluasa bersosialisasi dengan tetangga. Saya punya waktu untuk bermain catur bersama Johny "Roy" Irawan, tetangga saya yang pesintron sekaligus pengacara itu , futsal dengan anak-anak kompleks, atau lari-lari di tempat di trek treadmill sekadar membakar lemak, ditemani dua kucing Si Grey dan Si Jolie. Saya masih sempat mengamati dan mengurus puluhan koleksi papan dan buah catur saya yang saya simpan baik-baik di tempat khusus. Saya masih bisa menghadiri pengajian bulanan bapak-bapak di kompleks. Setidak-tidaknya, saya masih bisa menyaksikan keindahan matahari tenggelam di ufuk Barat.

Saya tidak tahu sampai berapa lama lagi saya bertugas di Kompas Update. Satu, dua, atau tiga tahun lagi, atau malah besok lusa harus diganti. Well, saya harus selalu siap. (Selesai)

Friday, March 28, 2008

Catatan (44): Mos Tom Diganti...


Memberi Kopian "Interpretative Reporting" (3)


SEKALI waktu saat sedang duduk santai di Kantor Biro Kompas Indonesia Timur di Makassar, pada suatu sore yang cerah, saat bersiap-siap berangkat mandi sinar mentari sore yang memerah di barat Pantai Losari, saya mendapat telepon dari Jakarta. Dari kantor. "Pak Ias mau bicara," kata operator perempuan, menyebut sebuah nama singkatan yang tidak lain Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana.

"Hem, tidak biasanya beliau mengontak saya," kata saya dalam hati sambil menunggu suara di seberang sana. Ponsel Motorola lipat warna perak masih dalam genggaman. Setelah berbasa-basi cukup lama, Pak Ias langsung mengutarakan keperluannya. "Surabaya menunggu Mas Pepih!" Saya tahu, artinya saya harus segera meninggalkan Makassar. Wow, Surabaya!

Tentu saja berat meninggalkan Makassar, sebab meski "hanya" bertugas selama 2,5 tahun di Kota Anging Mammiri ini, saya sudah merasa memiliki kota ini. Banyak teman dekat yang saya kenal, tidak hanya di Makassar, tetapi juga sampai menembus Ambon dan Kota Palu. Apa boleh buat, seminggu kemudian saya sudah harus berkemas lagi untuk bertugas di Surabaya sebagai wakil kepala biro, mendampingi Pak AW Subarkah yang saat itu menjadi kepala biro Kompas Jawa Timur.

Turunkah jabatan dari kepala biro menjadi wakil kepala biro di Kompas? Dilihat dari namanya memang turun, tetapi dari strata maupun penggolongan tidak demikian. Kalau tidak sedikit ada kenaikan, paling tidak ada tambahan pendapatan lainnya. Alasannya, biro Jawa Timur yang besar tidak sekelas dengan Biro Indonesia Timur yang kecil, yang tidak memiliki lembaran daerah. Kalau biro Jawa Timur kelas A, biro Indonesia Timur kelas B.

Bagi saya pribadi, naik atau turun pun tidak jadi soal. Bahkan harus kehilangan jabatan pun tidak jadi soal, asal jangan kehilangan pekerjaan sebagai wartawan saja. Bukankah saat di Makassar saya sudah meminta mengundurkan diri hanya karena mengikuti perasaan bersalah?

Di Surabaya, saya hanya beberapa kali saja bertemu Mas Tom, antara lain saat peresmian Gedung Kompas Biro Jawa Timur yang baru, juga saat ada pameran Kelompok Kompas Gramedia di Surabaya. Saat itulah saya memberi mas Tom sebuah kopian buku "Interpretative Reporting". Saya merasa harus memberinya buku itu bukan karena lancang ingin mengajarinya bagaimana menulis laporan interpretatif. Tidak lain hanya ingin sekadar berbagi saja, berbagi ilmu, karena saya merasa buku ini sangat baik dan praktis untuk gaya penulisan berita "yang tidak biasa".

Saya tidak tahu apakah Mas Tom tersinggung atau tidak, tetapi harapan saya tetap agar Mas Tom membaca buku kopian itu. Syukur kalau sudah membacanya, sehingga kita bisa langsung bertukar pikiran saja. Nyatanya, dia dengan rendah hati mau menerima buku kopian itu, meski tanpa komentar sedikit pun. Ya sudah, tidak mengapa!

Memberi buku kepada atasan, bukan berarti menjilat. Sebab kalau mau menjilat, kalau budaya itu memang ada di Harian Kompas, bukan dengan cara memberi buku, kopian pula! Mungkin dengan cara lain yang saya tidak tahu. tetapi tidak ada pikiran ke arah sana. Lurus-lurus saja, bahwa harapan saya adalah bisa bertukar pikiran dengan Mas Tom mengenai buku kopian itu. Memang diskusi itu tidak pernah terjadi. Tetapi, saya tidak harus menyesal karenanya.

Kurang lebih saya dua tahun bertugas di Surabaya, kemudian pada suatu hari saya mendapat telepon lagi. Kali ini langsung dari Mas Tom lagi... (Bersambung)

Tuesday, March 25, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (44)


Jadilah Diri Sendiri!

MENULIS dan membaca ibarat suami-istri atau remaja yang saling jatuh cinta. Saling kasmaran. Saling membutuhkan. Saling merindukan. Menulis tanpa membaca, membuat tulisan hampa, kosong, dipaksakan, dan tidak bermutu. Membaca tanpa diakhiri dengan menulis, juga akan sia-sia. Ilmu yang Anda baca hanya sekadar beredar di kepala, menjadi konsumsi bagi diri sendiri. Setelah kita mati, lenyap pulalah ilmu yang kita punya.

Bayangkan sedikit saja kita menulis dari apa yang telah kita baca, maka Anda meninggalkan ilmu pengetahuan bermanfaat bagi banyak orang. Saat saya mati kelak, saya tidak meninggalkan apa-apa buat Anda kecuali tulisan dalam blog ini yang akan bisa Anda baca terus-menerus, Anda akses sebebas-bebasnya dan bagikan lagi kepada yang lainnya yang kebetulan belum tahu. Kelak tulisan di blog ini akan menjadi bermanfaat selama bisa diakses. Tidak usah merasa berutang budi dengan tulisan ini, sebab saya melakukannya dengan senang hati dan ikhlas. Berbagi ilmu adalah kesenangan tersendiri.

Akan tetapi, yang ingin saya ketengahkan di sini adalah "pengaruh buruk" dari apa yang sudah kita baca terhadap gaya kepenulisan. Maksud "pengaruh buruk" di sini bukan berarti tidak boleh membaca. Ini pemahaman keliru. "Pengaruh buruk" di sini tidak lain karena kita merasa "harus" menulis seperti yang ditulis para penulis itu, yang bukunya begitu mengesankan kita, sehingga kita "ingin menjadi" dirinya. Maaf kalau saya potong langsung saja: jangan menjadi orang lain, jadilah diri sendiri!

Ini umum terjadi pada dunia kepenulisan fiksi, atau kadang-kadang menulis artikel. Setelah membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer, maka si penulis sudah merasa hebat kalau menulis dengan gaya Pram, Muchtar Lubis, Arswendo Atmowiloto, Ahmad Tohari, atau Putu Setia. Beruntunglah saya yang ditempa khusus hanya untuk menulis berita "hard news" yang tidak boleh ada bunga-bunga tulisan, kata-kata bersayap, kiasan, atau kata-kata tersembunyi. Maka tulisan saya adalah lurus-lurus saja, sesuai fakta apa adanya.

Menulis berita, apakah itu berita "soft news" atau "hard news", bagi saya tetap harus menggunakan gaya kepenulisan yang standar, yang kadang terasa "garing" dan tidak bertenaga. Ada yang bilang dan bahkan setengah mendewakan "jurnalisme sastrawi", tetapi itu bukan berarti menggunakan bahasa yang mendayu-dayu, memanjang-manjangkan hal yang sesungguhnya pendek saja. "Jurnalisme sastrawi", apapun namanya, tetap harus menyampaikan fakta dan kebenaran kalau dimaksudkan sebagai menulis berita.

Tetapi apa boleh buat, yang ingin saya sampaikan dalam menulis berita adalah sebuah fakta dan kenyataan, bukan fiksi atau khayalan. Untuk yang satu ini, pembahasan berhenti di sini. Mari kita lihat menulis fiksi atau artikel, yang kadang-kadang rentan dengan pengaruh gaya bahasa atau gaya bertutur orang lain!

Menjadi Pram, Ahmad Tohari atau Jakob Oetama, tidak masalah. Tidak ada yang melarang, tidak ada hukum yang menjerat kalau Anda melakukannya. Just do it! Tetapi yakinlah, setelah itu Anda akan merasa hampa sendiri. Anda tidak akan puas hanya karena telah menjadi orang lain, sebagus apapun tulisan, cerpen, novel, atau artikel Anda. Bukankah lebih baik menjadi diri sendiri sejelek apapun tulisan kita?

Satu hal yang harus menjadi catatan, bahwa kita membaca, Anda membaca tulisan orang lain, bukan untuk menirunya, sekuat apapun pengaruh tulisan yang Anda baca itu merasuk ke seluruh sel darah Anda. Kita membaca untuk sekadar memperluas pengetahuan kita, memperkaya kepala kita dengan ilmu pengetahuan bernas yang mungkin didapat setelah Anda membaca buku atau tulisan seseorang. Bukan dimaksudkan untuk meniru lantas menjadi orang lain. Bukan!

Membaca adalah memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Ini memperkaya diri yang baik, daripada memperkaya diri dengan harta yang tak akan ada habis-habisnya. Hiasilah wajah Anda dengan pengetahuan yang bermanfaat, yang bisa Anda curahkan kapanpun untuk kepentingan diri, saudara atau orang lain. Niscaya Anda tidak akan terasuki penyakit macet saat menulis, kehilangan kata-kata dan frasa, lalu menjadi afasia sebelum kata-kata itu keluar dari ujung-ujung jari Anda di atas tuts ketikan atau pena.

Membaca berarti Anda mengisi amunisi isi kepala Anda dengan pengetahuan yang siap dimuntahkan saat Anda perlukan dalam menulis. Ini berlaku baik dalam menulis fiksi maupun nonfiksi. Amunisi itu harus tetap Ada. Novel atau cerpen tanpa riset bacaan, hanya bualan yang sama sekali tidak bermanfaat, buang-buang energi saja bagi yang membacanya. Menulis artikel tanpa membaca hanya menjebak Anda dalam pikiran kuda, maunya menang sendiri, seperti diri sendiri saja yang benar. Menulis berita dimana isi kepala sarat dengan pengetahuan dari bacaan, membuat berita tidak sekadar "melaporkan", tetapi sekaligus "memberi pengetahuan".

Itulah selintas mengenai pentingnya membaca untuk menulis. Membaca di sini adalah menggali ilmu pengetahuan, baik itu dari cara membaca dalam arti sesungguhnya, atau "membaca" saat kita mendengarkan ceramah cendekiawan, ilmuwan, agamawan, teman, atau siapapun yang bermanfaat. Membaca di sini bisa juga diskusi atau bertukar pikiran dengan siapapun. Pokoknya membaca dalam arti seluas-luasnya demi sebuah tulisan yang berbobot dan bermanfaat.

Saturday, March 22, 2008

Catatan (43): Mas Tom Diganti...


Niat Mundur Ditolak Mas Tom (2)

MENDAPAT pesan singkat peringatan dari Mas Tom membuat saya menjadi tidak enak hati. Jarak Jakarta-Makassar sedemikian jauh, tetapi saat itu terasa wajah Mas Tom ada di depan saya dengan rona kecewa. Kecewa atas keisengan saya yang membuat geger Jakarta, setidak-tidaknya pihak PSDM. Bukan karena saya takut lalu tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu, tetapi karena Mas Tom sudah terlalu baik kepada saya.

"Jangan kamu pikir semua orang suka kepada kamu. Siapa tahu ada orang yang tidak suka sama kamu, lalu apa yang kamu lakukan menjadi bumerang buat kamu sendiri", demikian SMS susulan dari Mas Tom yang benar-benar mendesak saya harus berbuat sesuatu: saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan iseng saya itu dengan cara saya sendiri: mengundurkan diri!

Saya tidak perlu berpikir panjang untuk memutuskan ini, meninggalkan jabatan ini, toh awal-akhir jabatan akan hilang juga. Itu cuma soal waktu. Mundur bukan berarti disersi atau patah arang menghadapi tugas. Ini bentuk pertanggungjawaban saja, meski kesannya bisa saja diartikan sengaja menghindari tugas di Makassar. Tidak, ini konsekuensi bahwa saya harus kehilangan jabatan, saya harus mundur. Makassar terlalu indah untuk segera saya tinggalkan. Kalau boleh meminta, bahkan saya ingin selamanya bertugas di Makassar sampai pensiun. Saya terlalu mencintai kota ini dengan segenap isinya. Maka saya membalas SMS Mas Tom, pendek saja, tanpa ada keraguan: "Saya siap mundur untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya ini, Mas Tom! Saat itu tahun 2003, artinya baru dua tahun saja saya bertugas di Makassar.

Saya pikir Mas Tom akan lama membalasnya, karena beliau harus mempertimbangkannya juga. Tetapi tidak lama kemudian SMS jawaban saya terima. "Tidak perlu mundur! Kamu tetap di Makassar. Selamat bekerja..."

Wah, saya terpukul untuk kesekian kalinya. Padahal, saya sudah persiapkan mental saya untuk pulang ke Jakarta dengan wajah menunduk penuh kekalahan, kegagalan, dan ketololan. Tetapi itu tidak terjadi. Mas Tom tetap menghendaki saya bertugas di Makassar sampai waktu yang tidak ditentukan. Saya boleh saja saat itu mengartikan, Mas Tom memaafkan kelancangan saya. Tetapi dari kejadian itu, saya bertekad untuk bertindak lebih bijak, khususnya menyangkut kepentingan pekerjaan dan sensitivitas kantor. Saya tidak akan main-main dengan urusan kantor meski sekadar iseng. Benar kata Mas Tom, "Jangan kamu pikir semua orang suka kepada kamu!" Nasihat bijak yang akan terus terngiang sampai kapanpun, kemanapun kaki ini melangkah.

Sejak saat itu boleh dibilang saya jarang berkontak-kontakan lagi dengan Mas Tom. Pun saya jarang ke Jakarta, sehingga kesempatan bertemu secara fisik pun tidak ada. Sampai kemudian pada suatu waktu, Mei 2004, saya mendapat telepon dari Trias Kuncahyono, Redaktur Pelaksana Kompas saat itu, bahwa saya harus segera meninggalkan Makassar yang saya cintai untuk bertugas di tempat baru: Surabaya. (Bersambung)

Friday, March 21, 2008

Catatan (42): "Kompas Update"


Kompas Update, 4 Januari 2008

TANGGAL 4 Januari 2008 lalu harus saya jadikan tonggak sejarah hidup, paling tidak sejarah hidup saya. Bukan karena pada hari itu, Jumat, telah lahir bayi mungil bernama Kompas Update, tetapi karena saya merupakan orang pertama yang diserahi tugas oleh manajemen mengelola bayi yang baru lahir itu. Sejelek apapun sejarah itu dibuat -baik atau buruk, berhasil atau tidak Kompas Update kelak- nama saya akan terus tercatat.

Tidak ada yang aneh dalam penugasan ini. Juga tidak ada yang istimewa. Biasa saja sebagaimana layaknya penugasan pada umumnya. Ketahuilah, penugasan dalam institusi koran, berarti "kewajiban yang harus dilaksanakan", tanpa perlu berdebat. Itu rumus mekanisme koran. Maka ketika daur hidup saya harus berubah 180 derajat sekalipun: siang dijadikan malam dan malam dijadikan siang, saya tidak ambil peduli.

Tidak sedikit pun protes dan tidak merasa diri dibuang atau dicampakkan! Bahkan saya agak sedikit "mengingkari" adanya sebuah hadits yang bunyinya kira-kira begini: telah kujadikan siang sebagai hari untuk bekerja... Apa boleh buat. Biarlah, yang satu ini urusan saya dengan Tuhan saya.

Maka menyambut hari "H" terbitnya Kompas Update, seminggu sebelumnya saya sudah mengondisikan diri untuk selalu bangun pukul 1 tengah malam, berangkat setengah jam kemudian, dan sampai di kantor paling cepat pukul 2 atau setengah 3. Begitu setiap hari. Mulai edisi percobaan atau betha pada tanggal 2 dan 3 Januari. Hanya dua kali pekerjaan dummy tanpa dicetak, Jumat 4 Januari 2008 sudah muncul edisi pertama Kompas Update, Sejarah pun lahir.

Seperti yang dijelaskan Pemred Suryopratomo dalam pengantar pada Kompas Update edisi pertama, keberadaan Kompas Update ini untuk memberi dignity atau martabat kepada pembacanya. Sekarang, pembaca Kompas yang biasa memperoleh Kompas yang dijual siang dengan harga Rp1.000, mendapat sesuatu yang baru, yakni berita yang di-update pada halaman 1 dan halaman sambungan, yakni halaman 15. Terbit tetap 32 halaman dengan harga Rp 1.000 dari Senin sampai Jumat.

Nama Update sendiri dijelaskan, bahwa nama itu merupakan istilah jurnalistik yang sudah dikenal umum sebagaimana halnya deadline, lead, stop press atau breaking news. Kelak nama ini menjadi keberuntungan tersendiri setelah lahirnya pengekor Kompas paling jempolan, Media Indonesia, dengan nama Media Indonesia Siang. Koran ini mungkin malu hati kalau harus mengambil nama "Update", sehingga mencantumkanlah embel-embel Siang yang tentu saja mengesankan berita basi atau berita kesiangan. Berbeda dengan update yang berarti berita terbaru, terkini, atau berita yang ditindaklanjuti. Sama sekali bukan berita basi atau berita siang. Kita lihat, apakah koran ini juga akan nekat mengganti embel-embel Siang dengan Update!

Sebagaimana kelahiran bayi pertama, kami menunggu dengan berdebar di percetakan setelah deadline berakhir. Berita yang kami angkat saat itu kebetulan hari pertama pemilihan calon presiden Amerika Serikat lewat Kaukus Iowa. Pemenangnya di Partai Demokrat adalah Barack Obama yang unggul atas Hillary Clinton, sementara di Partai Republik John McCain sebagai pemenangnya. Saya pilih foto ekstrem Obama untuk ditampilkan pada headline foto halaman pertama, dengan berita utama tentang Obama pula. Berita itu menggeser berita jebolnya tanggul Lapindo pada saat-saat akhir. Pilihan yang sangat tepat, sebab menangnya Obama saat itu merupakan berita ter-update, terkini dan paling hot.

Ada beberapa foto yang saya ambil saat hari pertama Kompas Update terbit. Dalam kesempatan ini saya tampilkan satu buah foto di atas sebagai tonggak sejarah, saat Mas Tom, demikian Suryopratamo biasa dipanggil, mengamati Kompas Update edisi pertama yang baru diambil dari gilingan percetakan.

Monday, March 03, 2008

Tips (2): Jangan Abaikan Kontak Personal


Urutkan Kartu Nama Sumber Anda


SAYA termasuk orang yang buruk dalam memperlakukan kartu nama para narasumber. Seakan-akan kartu nama itu barang sekali pakai, setelah itu dibuang. Jadi ingat pepatah habis manis sepah dibuang. Padahal, kartu nama itu berisi informasi penting mengenai nama tepat narasumber, dan yang penting adalah... personal kontak yang ada di dalamnya, baik nomor telepon maupun alat surat elektronik.

Tetapi itu dulu, saat saya masih belum menyadari arti penting sebuah personal kontak. Setelah merasakan kesulitan akibat kecerobohan atau mungkin ketidaktahuan sendiri, akhirnya saya mulai sistematis dalam hal kartu nama. Saya mulai mengumpulkan seluruh kartu nama yang tercecer. Saya beli tempat plastik khusus untuk menyimpan kartu nama, menggunakan sel-sel yang sudah dilengkapi abjad dari A hingga Z. Cara ini lumayan efektif, sehingga saya tidak kesulitan lagi kalau mau menghubungi narasumber.

Lama kelamaan, cara inipun dirasa kurang efektif. Sebab, saya tidak mungkin membawa-bawa kotak penyimpan kartu nama yang lumayan berukuran besar itu. Dulu, istri saya pernah membelikan semacam personal data assistant awal dari Casio. Tetapi karena belum tahu kegunaannya, saya abaikan saja barang elektronik itu sampai rusak dan tidak berfungsi. Sekarang, bahkan saya tidak tahu bangkai barang itu.

Belakangan, saya menggunakan fasilitas phonebook telepon seluler sejak saya punya alat komunikasi itu pertama kali, yakni tahun 1996. Sebuah ponsel S4 Siemens yang saat itu sudah cukup canggih karena sudah bisa mengirimkan pesan singkat (SMS). Untuk back-up-nya, saya menyalin kembali personal kontak itu di komputer, disusun berdasarkan abjad, lalu saya kopi ke laptop. Sayangnya, ketika saya diberi amanah untuk duduk di struktural sejak 2001, perlahan-lahan personal kontak menjadi semakin berkurang, sementara yang sudah ada pun tidak saya pelihara dengan baik. Meski demikian, semuanya tercatat sebagai catatan pribadi saya.

Jika punya alamat dan nomor telepon narasumber yang disusun sistematis, kita tidak sulit untuk membuat janji wawancara, meminta pendapat lewat telepon, atau bahkan sekali-kali jalan-jalan sambil ngopi di tempat-tempat tertentu. Sekadar melancarkan lobi dan diskusi. Kadang kalau berita yang turun dari langit sedang sepi, dengan melihat nama-nama narasumber saja, saya mendapat inspirasi... Oh, lebih baik saya bikin isu ini atau isu itu, atau saya follow up berita kemarin dengan isu update... Begitu seterusnya.

Terasalah, betapa pentingnya sebuah benda mati bernama kartu nama bagi kehidupan wartawan.