Friday, February 29, 2008

Catatan (41): Jepretan Budi Putra



Lelah dan Tua

SAYA terkesan dengan dua karya foto hasil jepretan Mas Budi Putra, blogger rekan saya yang sama-sama ke Belanda Desember 2007 lalu. Ia mengabadikan saya saat berada di Pizza Hut di Stasiun Kereta Api Dusseldorf, Jerman. Perjalanan ke Belanda untuk menghadiri acara Nokia World 2007 memang menjadi menyenangkan karena harus melalui jalan darat, khususnya dari Dusseldorf-Amsterdam, yang tentu saja lintas negara.

Dalam salah satu foto itu, saya berjaket tebal karena cuaca sedang tidak bersabahat. Ransel biru tua yang menyertai saya kemanapun pergi, juga terlihat. Ransel itu sudah melanglang buana sesering saya pergi menginjak negara orang, mulai Bosnia, Kroasia, Serbia, Hongaria, Belanda, Austria, Perancis, Guyana, Jepang, Korea, Finlandia, sampai Amerika. Mas Budi Putra mengabadikan saya dengan Nokia N95 miliknya. Dalam foto kedua, saya berada di depan Hotel Mercure Amsterdam masih dengan pakaian tebal, syal dan bahkan topi Rusia, bersama Andra, wartawan dari kelompok Majalah KG. Hem... di sana saya nampak lelah dan semakin tua saja. Kalau ada satu hal yang tidak bisa ditipu atau dibohongi, itulah usia!

Terima kasih Mas Budi Putra. Mohon izin dua foto hasil karyanya yang ditampilkan dan bisa diklik di http://www.flickr.com/photos/budip/2089433696/, saya tampilkan kembali di blog ini.

Wednesday, February 27, 2008

Catatan (40): Jangan Pernah Mengeluh


Karena "Kompas Update", Daur Hidup Berubah (1)

Anda yang biasa biasa hidup normal, dalam arti bangun jam 6 pagi, berangkat bekerja, pulang jam 5 sore, lalu istirahat bersama keluarga, mungkin merasa terkesiap dengan daur hidup yang tidak sama seperti Anda. Daur hidup yang ekstrem. Bayangkan, berangkat bekerja jam 1 malam, terus bekerja, lalu pulang jam 12 siang. Sesudah itu, Anda mau mau apa? Tidur! Terbalik-balik, bukan?

Uniknya, justru itulah yang terjadi pada saya. Lagi lagi sebagai wartawan, setidak-tidaknya tugas di bidang jurnalistik. Saya harus mengubah pola dan daur hidup ini sejak terbit Kompas Update, 4 Januari 2008 lalu. Bahkan tiga hari sebelumnya, saat Kompas Update masih dalam taraf betha alias percobaan. Kompas Update adalah Harian Kompas yang terbit mulai pukul 12.00 siang. Oleh manajemen dan redaksi, saya diminta mengurus Kompas Update ini, yang kelak akan saya ceritakan terinci dalam judul lain. Tetapi itu tadi, daur hidup saya berubah 180 derajat.

Saat orang terlelap tidur di kamar yang hangat, atau bahkan sebagian masih mendengkur di atas perut, justru saya mulai berangkat bekerja. Pukul 1 malam, saat pergantian hari baru saja dimulai. Saya tidak bisa tidak mandi kalau bepergian, apalagi bekerja. Maka tengah malam saya sudah mandi air panas. Sebelumnya, berangkat tidur mulai jam 9 atau 10 malam. jadi cuma tidur malam sekitar 2-4 jam saja, boleh percaya boleh tidak. Istri biasa menyediakan madu hangat dicampur air jeruk. Setelah minum, saya berlalu. Kadang kasihan juga sama Pak Satpam di lingkungan perumahan yang harus membukakan portal untuk saya. Mungkin mereka bertanya-tanya, apa sih pekerjaan saya?

tetangga saya bilang, kerjaan saya tidak beda dengan maaf, kupu-kupu malam atau perampok, yang biasa mulai bekerja pas pergantian hari. Saya terkekeh mendengarnya dan membalas: saya ini justru bekerja mengikuti daur kerja orang Amerika, meski bergaji rupiah! Saya tidak percaya ocehan tetangga yang dimaksudkan sebagai bercanda. Soalnya, kupu-kupu biasa juga terbang pagi atau siang hari, dan perampok paling ganas justru yang terjadi di siang hari bolong! Ini sekadar intermezo saja.

Inilah bagian kerja wartawan! Ini kunci yang saya pegang, sehingga saya tidak harus mengeluh atau merasa dibuang lewat penugasan yang memungkinkan melakukan rutinitas yang terbalik-balik itu. Kalau mengeluh atau menolak tugas, berhenti jadi wartawan!

Kadang terpikir oleh saya hal-hal yang menyeramkan saat saya menyetir sendiri. Apalagi kalau hujan turun deras. Wah, jangan-jangan di jok belakang atau di samping kiri saya sudah berganti-ganti makhluk halus yang ikut tanpa sepengetahuan saya, hiiiiiyyyyy... Untuk yang satu ini, saya sudah tidak takut karena pengalaman saya di rumah dinas dan kantor Makassar yang full hantu beberapa waktu lalu. Jadi, saya tenang saja berada di balik kemudi. Kadang ditemani suara Nicky Astria atau "Munajat Cinta"-nya The Rock. Jam 1 atau 2 dinihari, saya menjadi raja jalanan. Bintaro-Palmerah pun saya lalap tak sampai 30 menit. Bayangkan, jika siang hari kena macet, saya bisa sampai ke kantor 2 jam lebih.

Masih banyak lagi yang ingin saya ceritakan, tetapi mungkin lain kali saja... (Bersambung)

Tuesday, February 12, 2008

Catatan (39): Mas Tom Diganti...


Kebaikan Yang Tak Terlupakan (1)

RASANYA baru saja terngiang di telinga, malam Natal 2000 ketika suara diujung ponsel sana berkata, "Besok Kompas terbit, meskipun hari libur. Ikuti terus perkembangannya!" Itulah suara Suryopratomo, Pemimpin redaksi Kompas.

Hari ini, Senin 11 Februari 2008, Mas Tom, demikian kami biasa memanggil, harus bertugas di tempat lain. Tempatnya digantikan Bambang Sukartiono. Pengumuman berlangsung sederhana, juga singkat. Hal biasa terjadi dalam sebuah organisasi pers. Setiap datang dan pergi, selalu menyisakan haru.

Ijinkan, saya mengenang kebersamaan saya dalam bekerja, dalam urusan profesional, dengan Mas Tom, sejak saya meliput di desk politik, kepala biro, sampai di tempat saya sekarang...

Saya harus mencatat penugasan saya sebagai kepala PO Lebaran dan Natal 2000 sebagai tonggak bekerja di struktural. Tidak sampai setahun setelah peristiwa "Bom Natal 2000", pada 1 Oktober 2001 saya diminta Mas Tom bertugas di Makassar sebagai Kepala Biro Kompas untuk Indonesia Timur. Saat itu, Anwar Hudiono (Ano), satu dan lain hal memilih mengundurkan diri sebagai kepala biro Indonesia Timur, meski baru bertugas enam bulan, dan kembali ke Surabaya. Saat itu, sehabis liputan di DPR, Mas Tom meminta saya duduk saat saya melintas untuk menyeduh kopi. "Minggu depan kamu ke Makassar, ya!"

Sebagai "prajurit", saya artikan itu sebagai penugasan. Tidak ada bantahan, apalagi penolakan. Menolak tugas, berarti menolak meliput. Tidak meliput, berarti tidak ada berita. Saya seorang wartawan, dan itulah harga mati yang harus saya bayar. Saya menjawab pendek, "Baik, Mas!"

Ke Makassar, ringan-ringan saja, tanpa beban. Saya hanya membawa satu kopor pakaian plus buku-buku di dalamnya. Saya berpikir, setidaknya saya berpisah dengan anak-istri untuk tiga tahun lamanya. Anak-istri tidak ikut serta dan saya harus berjuang melawan kesendirian di Makassar, Sulawesi Selatan.

Sebagai Pemred Kompas, Mas Tom tidak terlalu sering mengontak saya di Makassar, kecuali kalau saya berbuat "nakal" atau berbuat sesuatu yang "bukan jalur Kompas". Tujuannya baik, mengingatkan, dan karenanya saya menjadi lebih hati-hati. "Jangan lupa, siapa tahu ada orang yang tidak suka dengan tindakanmu," katanya mengingatkan, suatu waktu saat saya masih di Makassar. Apa yang terjadi?

Gara-garanya sederhana saja, dan sama sekali tidak terduga. Dengan estimasi dan sedikit naluri, saya waktu itu "membocorkan" para calon wartawan yang lulus yang tengah digembleng di bangku diklat selama enam bulan, tanpa menyebut siapa-siapa yang gagal. Lantas prediksi itu saya tampilkan di mailing list karyawan Kompas. Uniknya, prediksi itu 100 persen benar!!! Banyak komentar rekan-rekan wartawan di milis itu menyebut bahwa saya punya bocoran jitu dari PSDM, atau jangan-jangan saya punya link dengan PSDM. Wah, saya orang independen, apalagi saat itu jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta!

Mengapa saya bisa menebak dengan tepat calon wartawan yang lulus dan yang tidak. Sederhana saja, dengan logika. Inilah barangkali pelajaran bagi Diklat dan PSDM untuk memperbaiki mekanismenya secara lebih luwes dan cerdas. Waktu itu tebakan saya berdasarkan intuisi dan sedikit logika saja, yakni hanya calon wartawan yang gagal saja yang dipanggil ke Jakarta, sementara wartawan lainnya yang berhasil atau lulus dan sudah disebar di seluruh Indonesia, tidak dipanggil.

Betapa sederhananya, bukan? Saya waktu itu saya iseng merinci wartawan-wartawan yang lulus tanpa menyebutkan wartawan yang gagal. Wartawan yang lulus, ya wartawan yang tidak dipanggil ke Jakarta alias tetap menjalankan tugasnya di tempat masing-masing yang kemudian akan menjadi tempat penempatan pertama mereka. Bukankah seharusnya PSDM atau Diklat kala itu memanggil seluruh calon wartawan ke Jakarta untuk mengaburkan, baik yang lulus maupun yang gagal? Nah, kalau begini caranya saya pasti tidak bisa iseng-iseng menebak!

Meski awalnya iseng dan mendapat tanggapan ramai di milis, rupanya itu tidak mengenakkan pimpinan di Jakarta, temasuk Mas Tom. Saya mungkin dianggap lancang dan dianggap mendahului apa-apa yang belum diputuskan PSDM, sebab PSDM baru memutuskannya beberapa hari kemudian setelah milis itu tersebar. Itu tadi, hasilnya 100 persen tebakan saya tidak meleset!

Saya langsung mendapat SMS dari Mas Tom, "Tidak demikian caranya seorang pemimpin kalau menyatakan rasa tidak puas. Kita bisa duduk dan diskusikan bersama..." (bersambung)

Friday, February 01, 2008

Tips (1): Jangan Abaikan Kontak Personal


Sepele, Tetapi Berguna

BOLEH dibilang sebagian besar kerja wartawan di lapangan selain menulis, adalah berhubungan dengan sumber. Tanpa menemui berbagai sumber di lapangan, tidak mungkin suatu berita peristiwa akan hadir dan "hidup" di pikiran pembaca. Karena berita bukan karangan atau fiksi, sumber pun harus ada dan jelas. Tidak boleh ada sumber fiktif alias karangan. Sekali wartawan mengingkari kesepakatan ini dengan dirinya sendiri, gantung alat-alat tulismu dan cari kerja kantoran saja!

Dalam kaitan interaksinya dengan sumber, setiap kali wartawan bertemu mereka, yang pertama wajib diminta adalah kartu nama alias identitas. Teknisnya, bisa diminta di awal atau di akhir wawancara. Akan tetapi lebih baik jika wartawan yang memberi pertama-tama kartu namanya kepada sumber. Otomatis, sumber akan membalasnya dengan pemberian kartu nama serupa. Permintaan kartu nama sebagai identitas sumber sangat mudah dilakukan apabila wawancara empat mata. Tetapi wawancara "keroyokan" pun bisa dilakukan. Caranya, minta saja di akhir wawancara "keroyokan" itu.

Mengapa harus meminta identitas sumber dengan jelas? Ini untuk menghindari salah tulis nama atau jabatan. Kadang nama dan jabatan ini sangat sensitif. Salah menulis pangkat "Mayjen" yang seharusnya "Letjen", si Letjen yang baik biasanya menyindir yang punya koran, yang sebenarnya ini sebagai tamparan. "Wah, pangkat saya kok diturunkan lagi ya oleh koran Anda!" Salah menulis pangkat dengan dinaikkan pun tetap jadi bumerang. "Waduh, pangkat saya kok jadi sama dengan komandan saya, nanti bisa dimaki saya!"

Jangan tanya kalau salah nama. Pasti lebih heboh lagi. Bagaimana kalau nama Jenderal Kentot Harseno Anda tulis salah dengan "Kentut Harseno"? Atau kalau Anda tulis "Mbak Tutut" dengan, maaf, "Mbak Titit", apa mau terima dia? Dulu zaman Orde Baru, nama "Presiden Soeharto" harus ditulis seperti itu, tidak boleh "Soeharto", "Presiden Suharto", atau "Pak Harto".

Jangan puas hanya karena menerima nama sumber dari apa yang ia katakan! Sumber bilang, "Nama saya Ahmad Subehi", Anda mau tulis bagaimana? Menulis "Ahmad", "Achmad", atau "Akhmad"? Menulis "Subehi", "Subechi", atau "Subekhi"? Anda jangan sok tahu atau mengira-ngira. Sekali Anda salah sebut nama, siap-siap menerima sindiran seperti ini, "Orangtua ngasih nama saya pakai bubur merah bubur putih, kok Anda tega-teganya mengubah nama saya begitu saja!"

Juga jangan puas hanya karena melihat nama yang tersemat di dadanya. Biasanya nama yang tersemat itu hanya nama panggilan atau nama ringkas saja, bukan nama lengkap. Maka yang paling aman, mintalah kartu nama! Jika sumber tidak punya kartu nama? Minta dia menuliskannya di notes kita. Kalau dia malas menulis karena jabatannya tinggi, ya kita tulis saja namanya, lalu kasih lihat kepadanya dan Anda katakan, "Betulkah nama bapak (ibu) begini?" Kalau betul, aman. Kalau keliru, pasti dia akan mengoreksinya. Simpel bukan.

Jangan anggap sumber itu hanya orang gede saja, orang kecil alias rakyat biasanya yang dijadikan sumber pun harus ditulis namanya dengan tepat. Tentu mereka jarang punya kartu nama. Kita tulis saja namanya di notes, atau dia yang diminta menuliskannya.

Penutup, sebelum pulang dari wawancara, tanya kontak personal mereka, baik itu telepon rumah atau telepon genggam. Jangan sampai ada data atau hal yang lupa ditanyakan, Anda kelabakan sendiri di kantor saat hendak menulis berita, sementara sumber yang kita wawancara sudah susah dijangkau. Dengan memiliki kontak personal, Anda bahkan bisa menambahkan wawancara Anda dan kalau itu hasil wawancara keroyokan, bisa-bisa Anda malah berhasil menemukan angle atau isu baru in disguise dari hasil bertanya tambahan.

Banyak cara, banyak trik, yang penting mencoba. Itu saja!