Thursday, May 29, 2008

Catatan (51): Mas Tom Pamitan



"Bukan Perpisahan, Tapi Pertemuan Baru"

ITU kalimat yang diucapkan Suryopratomo yang biasa kami sapa "Mas Tom", saat menyampaikan pidato singkat pada acara "perpisahan" di Lantai III Redaksi Kompas, Kamis tadi, 29 Mei 2008 pukul 12.30 WIB. Mas Tom adalah mantan Pemimpin Redaksi Kompas yang mengakhiri masa tugasnya di Kompas mulai 1 Juni 2008 setelah 20 tahun bergabung.

"Saya terlalu menyayangi institusi ini (Kompas). Bagi saya, ini bukan perpisahan, ini adalah pertemuan baru. Jangan ada persahabatan yang terputus," kata Mas Tom seraya menambahkan, acara makan-makan ini sebagai tradisi dalam merayakan hari ulang tahunnya. "Kebetulan pada tanggal 12 Mei, hari ulang tahun saya, saya belum merayakannya. Baru sempat kali ini," kata Mas Tom lagi.

Hadir dalam acara sederhana dengan hidangan utama pecel madiun adalah pemilik Harian Kompas Jakob Oetama. Juga hadir wartawan senior Kompas August Parengkuan, Ninok Leksono, pemimpin perusahaan Agung Adiprasetyo, dan tiga Wakil Pemred Rikard Bagun, Trias Kuncahyono, dan Taufik H Mihardja. Sementara Pemred Bambang Sukartiono tidak hadir karena sedang berada di Korea Selatan dan baru tiba Sabtu nanti.

Kemana Mas Tom setelah ini? Mas Tom bercerita bahwa isu kepindahannya dari Kompas menjadi ramai. Ia misalnya disebut-sebut bertemu Bos Media Indonesia Surya Paloh. Untuk hal ini, Mas Tom tidak menyangkalnya. "Saya katakan (kepada Surya Paloh) bahwa saya tidak mau bekerja lagi di bidang media massa, saya mau bekerja di bidang lain. Tetapi saya tidak akan pernah lupa pekerjaan wartawan, menulis... karena itulah yang saya bisa."

Mas Tom mengungkapkan, kalau dirinya masih bekerja di bidang media massa, hal itu bisa diartikan dirinya sakit hati terhadap Kompas sehingga nantinya dikesankan berhadap-hadapan secara frontal. "Saya terlalu mencintai institusi ini (Kompas), jadi tidak mungkin bekerja di media massa lagi," ulangnya.

Kepada Jakob Oetama dia mengungkapkan, bahwa dirinya mencoba pekerjaan baru bersama anak-anak muda di bidang perikanan, yakni ekspor berbagai jenis ikan ke Vietnam. Tetapi Mas Tom tidak mengungkapkan siapa pemilik perusahaan perikanan itu.

Beberapa teman didaulat memberi kesan tentang Mas Tom, antara lain Romana Fransisca selaku wakil wartawan muda, Dedy P, Wakiman, dan Heru. Sebelumnya, pidato singkat disampaikan Agung Adiprasetyo yang menyatakan terima kasih atas kerjasama Mas Tom selama di Kompas. Sebelum makan-makan, dilakukan salaman kepada Mas Tom yang didahului Jakob Oetama. Saya tentu saja bersalaman dan mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Sunda, bahasa yang biasa kami berdua gunakan dalam berbagai kesempatan santai.

"Hatur nuhun kana sagalana, Kang," kata saya yang berarti terima kasih atas segalanya. Mas Tom membalas dalam bahasa yang sama, "Sami-sami, Pep."

Oke deh Mas Tom, selamat bertugas di tempat baru dan sukses selalu....

Berbagi Pengalaman Menulis (52)


"Grand Launching" Kompas.com

DI bawah ini saya sertakan tulisan saya di Harian Kompas, edisi 29 Mei 2008 hari ini, halaman 14, mengenai "lahirnya kembali" (reborn) Kompas.com. Sebagaimana artikel atau berita lainnya, tulisan ini juga ditampilkan di Kompas.com di sini dan terbuka untuk dikomentari. Selamat mengikuti:

Kompas.com, Lahir Kembali dengan Wajah Baru

Oleh PEPIH NUGRAHA

Kompas.com lahir kembali? Itu pertanyaan yang berlalu lalang lewat surat di berbagai forum diskusi dunia maya. Bagaimana mungkin ia lahir kembali kalau sekarang pun sudah ada? Pertanyaan semacam itu biasanya dijawab sendiri oleh anggota sehingga menjadi diskusi menarik bagi anggota forum itu.

Kamis ini, tanggal 29 Mei 2008 pukul 18.00 hingga 22.00 WIB, di Grand Ballroom Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, jawaban dari pertanyaan itu terjawab sudah. Kompas.com memang lahir kembali. Pengertian ”reborn” atau terlahir kembali di sini, yang kemudian menjadi tag dari grand launching, adalah Kompas.com hadir dengan wajah baru. Wajah yang lebih bersih, namun dengan rubrik-rubrik yang jauh lebih kaya dan beragam. Semua kebaruan itu hadir untuk memuaskan lebih dari tiga juta pengguna yang berkunjung setiap hari ke
http://www.kompas.com/.

Kesadaran bahwa Kompas.com harus lahir kembali itu tidak datang secara tiba-tiba. Persiapannya memakan waktu satu tahun, mulai dari membedah isi Kompas Cyber Media (KCM), yakni nama Kompas.com sebelumnya, merencanakan rubrik-rubrik spesifik, membangun infrastruktur baru berupa penambahan bandwidth yang memungkinkan pengguna lebih cepat berselancar, sampai mengonvergensikan kekuatan sumber daya manusia dalam satu News Room bersama. Hasilnya? Sudah tampak dari pengakuan dua lembaga independen.

Pertama, lima hari sebelum peluncuran Kompas.com ”Reborn” ini, Sabtu (24/5), Kompas.com meraih Penghargaan Cakram (Cakram Award) untuk kategori perusahaan pengelola portal berita. Penghargaan ini sekaligus mengukuhkan Kompas.com mengungguli dua situs berita lainnya, Detik.com dan Okezone.com. Kedua, tiga hari kemudian, Kompas.com kembali meraih New Wave Marketing Award dari perusahaan konsultan pemasaran MarkPlus Inc karena dinilai berhasil membangun relasi partisipatif dan kolaboratif dengan penggunanya.

Dua penghargaan yang disabet dalam jarak waktu tiga hari dan lima hari sebelum grand launching Kompas.com ”Reborn” bukanlah rekayasa. Sebab, dua institusi pemberi penghargaan itu bersifat independen, yang tidak ada kaitannya dengan Kompas.com. Bahwa tahun depan penghargaan beralih ke situs-situs lain atau bahkan masih milik Kompas.com, itu soal lain.

Menjadi megaportal

Pertanyaan umum dan juga pertanyaan mendasar saat awal pembentukan Kompas.com wajah baru ini adalah apakah kata ”megaportal” yang disandang Kompas.com itu akan menjadikan situs ini bermain di ranah yang sudah dikuasai Google dan Yahoo? Atau lebih baik menjadi situs berita semata head to head dengan situs berita lain tanpa harus direpotkan dengan konten lainnya?

Taufik H Mihardja, Direktur Eksekutif Kompas.com, dalam rapat-rapat terbatas persiapan lahirnya situs dengan wajah baru ini meyakinkan bahwa Kompas.com akan menjadi megaportal, suatu tempat maya di mana orang tidak hanya dipuaskan oleh berita semata, tetapi juga oleh kehadiran rubrik-rubrik lain yang beragam. ”Bahwa tekanan masih pada berita, itu benar. Tetapi kebutuhan orang tidak semata-mata pada berita,” katanya.

Kesadaran lain mengenai perlunya penguatan terhadap Kompas.com bukan karena adanya anggapan semua oplah koran cetak menurun yang diiringi menurunnya penghasilan iklan, tetapi lebih karena keharusan konvergensi dari sekian kekuatan yang dimiliki Kompas Gramedia (KG). Oplah harian Kompas cetak, misalnya, stabil dan bahkan Warta Kota, Surya, dan koran daerah yang menyandang nama Tribun mengalami kenaikan oplah fantastis. Lantas mengapa harus membesarkan Kompas.com?

Jawabannya: menyikapi dan mengantisipasi tuntutan zaman! Ketika harga kertas makin menggila, ketika produsen lebih suka memasang iklan interaktif dan mobile, dan ketika harga laptop dan ponsel berinternet sudah semakin terjangkau dan memassa, media massa digital seperti Kompas.com akan menjadi pilihan paling masuk akal.

Salah satu keberhasilan konvergensi paling nyata adalah dalam konten berita, yang kemudian mendapat Cakram Award itu. Berita yang hadir di Kompas.com merupakan kekuatan dari sumber-sumber berita yang dimiliki KG, mulai dari 200-an wartawan harian Kompas, wartawan dari kelompok majalah, persda, serta Surya dan Warta Kota.

Padahal, Kompas.com ”Reborn” masih diperkaya konten Radio Sonora, Kompas Images (foto), KompasTV, SelebTV, sampai VideokuTV, yang mengadopsi situs YouTube, di mana pengguna bisa meng-upload video sendiri.

Tuesday, May 27, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (51)




Seminar sebagai Lahan Berita

INI kelanjutan cerita dari seminar satu hari pada 19 Mei 2008 lalu di Batam, Kepulauan Riau. Seorang wartawan Batam Pos dengan jeli menangkap isu yang menjadi bahasan dalam seminar itu. Seminar yang saya bawakan sendiri membahas media massa digital (lihat postingan "Catatan 49"), tetapi seorang peserta yang kebetulan mewakili salah satu perusahaan penyedia layanan komunikasi seluler, bertanya mengenai sulitnya media massa digital lewat media telepon seluler memassa karena mahalnya perangkat ponsel itu sendiri.

Saya menjawab pertanyaan peserta itu dengan mengatakan bahwa harga barang elektronik apapun, termasuk ponsel, akan semakin murah dari hari ke hari. Selain karena saingan yang bertumbuh, teknologi hanya bisa diterima masyarakat jika harganya sudah sangat terjangkau. Demikian pula dengan ponsel internet.

Saya katakan, setiap ponsel sekarang ini sudah diberi fasilitas internet dengan harga yang terjangkau. "Justru yang mahal ketika kita harus berlangganan ke perusahaan provider. Coba turunkan harga pulsanya, media massa digital yang bisa diakses lewat ponsel pasti akan lebih memassa," kata saya.

Kata-kata saya inilah yang kemudian dikutip dan dikembangkan wartawan Batam Pos tadi menjadi sebuah berita yang bisa diklik di sini atau saya kutip kembali selengkapnya di bawah ini:

Provider Selular Bisa Dorong Media Digital
Selasa, 20 Mei 2008

Dunia media massa akan terus bergerak. Kini kecenderungan media digital semakin nampak Harga kertas yang senantiasa melambung membuat pengusaha media berpikir untuk beralih ke bentuk media lain.

Ditambah lagi budaya budaya teknologi yang semakin merebak di kalangan anak muda.

"Kelak anak kita akan semakin familiar dengan komputer, saat itulah medai digital mendapat pasar yang lebar," ujar Pepih Nugraha, salah seorang pengasuh kompas.com.

Berbicara di hadapan peserta Safari Jurnalistik PWI yang digelar di Hotel Nagoya Plasa, Senin (19/5), Pepih mengatakan kecenderungan ini tidak bisa ditahan.

Perkembangan ponsel pun sangat memungkinkan orang berinterkasi dengan media digital tanpa harus berhadapan dengan sebuah komputer. Cukup dengan ponsel orang sudah bisa membaca koran digital.

Masalahnya, saat ini, adalah harga perangkatnya yang masih dianggap mahal. Namun kelak harganya akan semakin turun. "Kalau sudah diproduksi massal tentu jauh lebih murah," ujarnya.

Masalah lain adalah masih mahalnya biaya pulsa untuk mengakses internet via ponsel.

"Andai para provider menurunkan tarif namun semakin banyak pelanggan yang memakai 'kan sama saja, pendapatan mereka juga semakin banyak," tegas Pepih. (ptt)

Monday, May 26, 2008

Catatan (50): Selamat Jalan Asep Mulyadi



Berpulangnya Ketua OSIS Kami

SEBELUM keberangkatan saya ke Batam, Minggu (18/5) lalu, saya mendapat telepon dari Rindawati, teman seangkatan saya waktu di SMPN 1 Tasikmalaya (angkatan '81). Ia mengabarkan bahwa salah seorang teman, Asep Mulyadi, dirawat di Unit Gawat Darurat RSUD Tasikmalaya karena mendapat serangan jantung. Kondisinya dikabarkan parah karena saat terjadinya serangan sudah tidak sadar diri. "Pepih emut keneh teu ka Asep Mulyadi?" tanya Rinda saat saya berada di balik kemudi, menanyakan apakah saya masih ingat atau tidak kepada teman saya itu.

Tentu saja saya ingat nama itu. Bukan Rinda bermaksud menguji daya ingat saya, tetapi saya tahu persis siapa Asep. Dialah mantan Ketua OSIS kami di SMPN 1 Tasikmalaya saat sekolah itu dikepalai Mumun Darmansyah. Saya juga ingat, saat Reuni SMPN 1 Tasikmalaya angkatan 1981 yang berlangsung pada 24 Juni 2007 lalu di Hotel Crown Tasikmalaya, Asep selaku mantan ketua OSIS diberi kehormatan memberi kata sambutan. Saya tidak melihat keganjilan apa-apa darinya. Bahkan saya sempat berjabat tangan dan ngobrol sebelum acara Reuni dimulai.

Rinda mengingatkan saya, siapa tahu ada kehendak saya untuk sekadar meringankan beban teman yang mendapat kesusahan. Saya meminta satu nomor rekening bank agar saya bisa menyumbang alakadarnya. Tetapi karena esok harinya saya harus ke Batam dan BCA saya belum terisi, saya menunggu kepulangan saya dari Batam saja.

Sepulang dari Batam, saya kirim SMS ke Rinda, mengabarkan bahwa saya sudah mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening bank yang dia beri tempo hari. Rinda membalas, "Hatur nuhun, ke didugikeun ka istrina. Tos terang Asep ngantunkeun?" (Terima kasih, nanti disampaikan kepada istrinya. Sudah tahu Asep meninggal dunia?).

Innalilliahi wa Innailaihi Rojiuun.... demikianlah saya langsung memanjatkan do'a yang biasa kami lakukan kalau mendengar kabar atau menghadapi orang yang meninggal dunia. Saya langsung menelepon Rinda dan mendapat penjelasan bahwa Asep meninggal pada hari Rabu (21/5). "Da tos sehat, Pep, malih tos tiasa nyonyoo bal, namung enjingna ngantunkeun," jelas Rinda (Padahal sudah sehat, Pep, bahkan sudah bisa memainkan bola, tetapi besoknya meninggal dunia).

Saya tidak menyangka kalau pada tanggal 24 Juni 2007 itu adalah hari terakhir saya bertemu "Pak Ketua OSIS", sosok yang sangat berwibawa dan pintar. Beruntunglah saya sempat memotretnya saat dia berpidato untuk terakhir kalinya (lihat foto di atas), plus potongan keterangan mengenai dirinya yang ada di buku Reuni SMP Negeri 1 Tasikmalaya Angkatan 1981. Saat ngobrol, ia mengatakan bahwa pekerjaannya guru swasta di SMK swasta. "Saya sudah bisa menebak kalau kamu akan menjadi penulis, setidaknya jadi wartawan yang bisa melanglang buana," katanya saat bersalaman.

Saya tahu, Asep terlalu menyanjung saya. Padahal saya tahu persis, saat pelajaran drama sebagai salah satu mata pelajaran Sastra Indonesia, ia begitu memukau kami di muka kelas dengan skenario drama yang diciptakan dan dipentaskan bersama kelompoknya. Untuk soal ini, ia jauh di atas kami semua, sebab pada dasarnya ternyata saya tidak bisa ber-acting di hadapan banyak orang!

Saat saya duduk di kelas II-D, Asep yang lahir 15 Juli 1964 itu berada ranking ke-2 di bawah Yeni Rostiana Rasyad, sementara karena saya baru pindahan dari SMPN Ciawi, saya masih berada di ranking 5 dan harus mengejar ketertinggalan saya. Tetapi ketika semester dua usai, saya yang kemudian menggantikan posisinya di ranking-2, sementara Yeni masih tetap nomor satu dengan selisih satu angka, dimana saya kalah di nilai kesenian!

Ah, apalah artinya ranking! Itu sekadar menjalin kembali ingatan saya. Saat Reuni, panitia mengumumkan adanya 10 teman seangkatan yang sudah meninggal dunia mendahului kami semua. Mereka yang telah meninggal adalah Roby Robanus (I-C), Lucy Setiawati (III-G), Ratu Aas Apriyani (I-G), Euis Ida Nuraida (I-B), Iim Rahmina (I-A), Kurnia Suwendi (I-F), Tini (III-G), Tiara (I-A), Erdi Herdiansyah (I-B), dan Ana Diana (I-B).

Saya berdoa buat mereka, teman-teman seangkatan di SMPN I Tasikmalaya yang sudah meninggal dunia, khususnya kepada Asep Mulyadi yang baru beberapa hari menyusul ke-10 teman kami terdahulu. Selamat jalan, Asep...

Palmerah, 26 Mei 2008

Wednesday, May 21, 2008

Catatan (49): Seminar di Batam



Tentang Media Massa Digital

BEBERAPA waktu lalu saya mendapat telepon dari Mas Hendry Ch Bangun, Redpel Wartakota. "Pep kamu ke Batam ya, kamu jadi pembicara tentang media massa digital. Saya sudah minta bosmu," kata Mas Hendry. Yang ia maksudkan dengan "bosmu" adalah Taufik Mihardja, Redpel Kompas.com. Saya menjawab singkat ala serdadu, "Siaaaap!"

Senin, 19 Mei 2008, saya terbang dengan Sriwijaya Air yang tertunda dua jam. Jadwal saya bicara pukul 13.00, sementara saya baru terbang pukul 11.40 dan perjalanan Jakarta-Batam 1 jam 25 menit. Saya pasti terlambat, begitu gumam saya. Untuk amannya, saya telepon Ibu Taty, panitia seminar, minta jadwal bicara diundur. Yang bersangkutan menyanggupi, tetapi saya belum tahu berapa jam diundurnya.

Dari Bandara Internasional Hang Nadim, saya menggunakan taksi ke Hotel Nagoya Plaza, tempat seminar dilaksanakan, sekaligus tempat saya menginap. Setelah check in dan mendapat kamar yang luas dan cukup mewah di lantai 5, saya diminta Mas Hendry ke lantai 3. Rupanya ini seminar yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Peserta seminar tidak lain wartawan dan pegawai kehumasan se-Provinsi Riau Kepulauan.

Bahan-bahan seminar sudah saya kirim sebelumnya dalam bentuk power point, sehingga saya tinggal meminta moderator, Mas Hasan dari Batam Pos, untuk memindah-mindahkannya sesuai saya bicara. Pada praktiknya, saya hampir tidak membahas garis besar makalah di power point yang saya susun dengan gaya Q/A itu. Materi itu sudah saya kuasa, sehingga saya tinggal bicara saja. Penyampaian materi cukup lancar, tidak gagap, meskipun saya bicara di hadapan para senior dan wartawan kawakan Pulau Batam dan sekitarnya

Well, latar belakang saya yang "orang komunikasi" cukup jitu mempraktikkan teori yang saya pegang selama ini, yakni "know your audiences"! Ketahuilah siapa gerangan khalayakmu, kepada siapa kamu berbicara... Setelah trik jadul tapi ampuh ini saya tempuh, saya cukup menguasai jalannya seminar. Peserta antusias bertanya, bahkan jatah waktu saya tidak mencukupi sehingga dihentikan moderator. Peserta yang masih penasaran, masih bertanya saat seminar telah usai. Saya ladeni saja mereka, sebab pada dasarnya saya senang berbagi ilmu.

Untuk mengetahui apa yang saya bawakan dalam seminar itu, di bawah ini saya muat pointer bahasan saya. Siapa tahu bermanfaat bagi rekan mahasiswa, dosen, dan teman wartawan. Saya tidak keberatan naskah seminar saya itu dikutip, asalkan menyebut sumbernya dengan jelas. Silakan...

Media Massa Digital

Bagaimana Pengertiannya?
Belum ada definisi yang secara umum dapat diterima mengenai istilah media massa digital. Digital biasanya dilawankan dengan analog. Ada jam digital yang menggunakan bateri dengan tampilan LCD, ada jam analog dengan tampilan angka biasa dengan mesin biasa dengan cara memutar tuas. Akan tetapi dalam media massa digital, pakar sering melawankannya dengan media massa cetak atau media massa elektronik sekaligus. Media massa digital atau umumnya disebut media massa online, adalah penyampaian berita melalui “media baru” yang disebut internet.

Apakah Media Internet Berarti Media Massa Digital?
Ya. Internet yang digunakan untuk kepentingan penyampaian berita inilah yang biasanya disebut media massa digital. Di Indonesia, istilah “Media Dotcom” menjadi lebih popular untuk menyebut media massa digital karena umumnya domain sebuah koran online diakhiri dengan .com. Misalnya Kompas.com, Detik.com, dll.

Apakah Media Massa Digital Mengancam Media Massa Analog?
Perlahan tapi pasti, media massa online ini semakin menjadi kebutuhan sehari-hari “masyarakat digital” atau digital society, yakni satu kelompok masyarakat yang sudah sangat tergantung kepada media internet. Mereka umumnya generasi muda sampai batas usia 40 tahun, yang berada di persimpangan antara media massa konvensional dengan media massa internet. Tetapi generasi berikutnya, yakni anak-anak muda yang kini sedang bertumbuh, dan tentu saja generasi berikutnya, umumnya sudah akrab dengan media internet untuk berbagai kepentingan. Apakah ini sebagai suatu ancaman? Bisa ya, bisa tidak. Di AS dan Eropa mungkin sudah menjadi ancaman media massa konvensional. Tetapi di Indonesia, kelihatannya belum begitu terasa, meski koran-koran cetak dan elektronik sekarang sudah membuat versi online-nya masing-masing. Ini tidak lain untuk mengantisipasi beralihnya satu generasi dan generasi berikutnya ke media massa digital.

Bagaimana Kecenderungan Anak Muda terhadap Intenet?
Mereka lebih akrab dan lebih banyak mencari informasi dari internet dibanding mencari informasi dari koran. Pergeseran ini pulalah yang menjadikan oplah media massa cetak, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa, cenderung menurun. Sebaliknya, seiring memassanya penggunaan internet berkecepatan tinggi, media massa digital semakin dinikmati. Anakanak muda terbiasa mencari informasi lewat situs jejaring sosial seperti Friendster.

Dirangkul atau Dimusuhi?
Kehadiran media massa digital sebaiknya tidak dimusuhi, tetapi dirangkul. Tidak harus nyinyir dengan mengatakan, “Toh koran cetak masih tetap survive kendati sudah ada radio, toh radio tetap ada kendati sudah ada televisi”. Betul, tetapi bila tidak disikapi dengan arif, media massa digital ini akan “menggerogoti” media massa analog, yakni Koran, radio, dan bahkan televisi. Dirangkul, yakni dengan cara membuat konvergensi antara media massa analog dengan media massa digital. Misalnya Harian Kompas memiliki Kompas.com, CNN punya CNN.com, bahkan kantor berita Reuters juga memiliki Reuters.com.

Dapatkah Digambarkan Metamorfosa Sederhana Media Massa?
MESSENGER --> ACTA DIURNA --> BERITA PELABUHAN --> KORAN --> RADIO --> TELEVISI --------------> MEDIA MASSA INTERNET.

Bisa Disebutkan Kelebihan Media Massa Digital Dibanding Media Massa Digital?
MESSENGER --> hanya berupa pesan lisan
ACTA DIURNA --> Berisi catatan pemerintahan yang sulit diakses
BERITA PELABUHAN --> Terbatas pada kepentingan orang-orang dagang
KORAN--> Terbaca namun tidak terdokumentasi, ada jarak waktu dari saat diterbitkan sampai kepada pembaca.
RADIO --> Terdengar tapi tidak terbaca, bersifat selintas dan tidak terdokumentasi, bisa melaporkan langsung on the spot.
TELEVISI --> Terdengar, terlihat, dalam batas-batas tertentu terbaca (running text), sulit terdokumentasi, bisa siaran langsung.
MEDIA MASSA INTERNET ---------> Bisa menggabungkan seluruh karakteristik yang dimiliki media massa terdahulu. Selain teks berita, bisa dilengkapi suara (voice streaming), gambar (video streaming), dan terdokmentasi (minimal via Google search).

Apakah Bentuk Media Massa Internet Berubah dan Mengubah Cara Peliputan?
Ya. Bermula media massa online hanya dapat menggunakan desk top, tetapi kemudian berubah menjadi laptop, palmtop, personal data assistant, dan sekarang ponsel internet. Dengan demikian, peralatan wartawan dan cara peliputan pun berubah. Lebih simple dan bisa lebih cepat, bahkan bisa menyiarkan berita secara langsung.

Pepih Nugraha,
Batam, Senin 19 Mei 2008.

Saturday, May 17, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (50)


Menteri Tetaplah "Public Figure"


HARI Jumat (16/5), saya menghadiri pertemuan MDGs di Hotel Santika. Bukan karena untuk meliput, tetapi mendapat tugas khusus dari Pemred Kompas.com, Taufik Mihardja, agar saya menemui Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Noeh yang akan memberi sambutan dalam acara tersebut. "Tolong ingatkan Pak Menteri bahwa besok saya dan tim akan menemuinya," pesannya.

Meski hadir bukan untuk meliput, aya tetap membawa "peralatan perang", yakni palmtop Fujitsu, kamera/video Nokia N95 8GB, dan kamera pocket Canon. Saat acara berlangsung, saya tetap membuka palmtop dan mencatat ucapan para pembicara, antara lain Mantan Pemred Kompas Suryopratomo dan presenter Desy Anwar dari MetroTV. Tetapi apa yang terjadi di ruangan itu, tetap menjadi perhatian saya, karena kemudian Menteri Noeh hadir. Di situ juga ada pesenandung dangdut Ikke Nurjanah, yang didaulat menjadi duta MDGs.

Tidak terlalu penting memang, tetapi saya tetap "merekam"-nya dan membuat berita lunak mengenai kejadian Pak Menteri yang rupanya tidak sadar kalau perempuan mungil yang ada di sampingnya itu seorang artis dangdut papan atas. Sekarang, anak-anak SD barangkalli tidak hapal nama-nama menteri, tidak seperti zaman saya bersekolah dulu. Selain menterinya hebat-hebat, dulu menteri tidak pernah ganti-ganti. Tetapi bukan berarti Menteri Noeh tidak hebat. Bagaimanapun, seorang menteri tetaplah public figure, setidak-tidaknya menarik untuk diberitakan.

Di bawah ini adalah hasilnya yang saya tulis untuk rubrik Entertainment Kompas.com. Anda juga bisa mengikutinya di langsung sini.

Pak Menteri Lupa Ikke

JAKARTA, KOMPAS - Bukan karena pamor Ikke Nurjanah, pesenandung lagu-lagu dangdut, sudah melorot sehingga tidak dikenali lagi, tetapi karena ia selalu ingin tampil di belakang. “Celaka”-nya, Menteri Komunikasi dan Informasi Mohammad Nuh pun tidak mengenalinya.

Ini terjadi saat peserta pertemuan berkala Millennium Development Goals (MDGs) di Hotel Santika, Jakarta, Jumat (16/5), meminta foto bersama Sang Menteri.

Adalah Duta Besar Khusus PBB untuk MDGs Asia Pafisik Erna Witoelar yang punya inisiatif berfoto bersama. “Ayo kita berfoto bersama Pak Menteri,” ajaknya kepada peserta.

Tanpa diminta pun peserta sudah ingin berfoto bersama, baik dengan Mohammad Nuh maupun dengan Ikke Nurjanah. Karena Ikke masih “bersembunyi” dan belum beranjak, maka Erna pun memanggilnya. Kali ini artis duta MDGs yang punya misi menghapuskan kemiskinan di seluruh dunia ini menurut. Ia pun berfoto di samping Pak Menteri.

Rupanya Mohammad Nuh tidak cukup mengenali kalau perempuan yang berada di samping kanannya itu seorang artis mungil berparas manis. “Ini Ikke toh, Masya Allah saya sampai tidak mengenali,” kata Pak Menteri serius. Ikke pun tersipu, dan sesi foto bareng pun berlangsung dengan lancar. (PEP)

Wednesday, May 14, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (49)


Menimbang Buku, Menulis Resensi

DULU, sewaktu masih duduk di bangku perguruan tinggi, saya belum berani menulis resensi buku. Dalam arti menulis di atas mesin tik (waktu itu), lalu dikirimkan ke redaksi harian atau majalah. Belum, belum berani. Namun demikian, sehabis membaca satu buku, saya selalu "menceritakan kembali" (retold) apa-apa yang saya ingat di dalam buku... catatan harian!

Ketika buku catatan harian itu saya buka kembali, saya masih bisa menemukan berbagai "resensi" saya. Tidak hanya buku, bahkan artikel di majalah pun. Saat itu tahun 1987-an majalah yang saya baca Tempo dan Prisma, saya bikin semacam ringkasannya, membuat komentar, membandingkannya dengan artikel yang lain, dan bahkan berani men-judge artikel itu. Dulu, saya merasa menulis resensi buku untuk dimuat di koran atau majalah sesuatu yang sangat "high" dibanding sekadar menulis artikel atau fiksi. Makanya hanya termuat di catatan harian saja, buat dibaca sendiri.

Akan tetapi, upaya saya mengingat kembali dan menuliskan ringkasan apa yang telah saya baca dan menuangkannya ke dalam catatan harian, sungguh pelajaran yang sangat berharga, meski saat itu tidak ada yang membimbing saya. Barangkali, saya terlalu sayang, jangan-jangan apa-apa yang sudah saya dapatkan di kepala akan cepat hilang tergerus masa kalau tidak diingat kembali. Lantas saya menorehkannya dalam sebuah "prasasti" bernama catatan harian.

Setelah saya bekerja di Harian Kompas, jauh-jauh hari sebelum menjadi wartawan, saya sudah mulai memberanikan diri menulis resensi dan... dimuat! Mungkin bukan karena resensi saya bagus, tetapi karena buku yang saya resensi masih aktual dan sedang hangat diperbincangkan. Saya mulai merenung dan menimbang-nimbang, ternyata tidak selalu buku baru saja yang berhasil saya resensi. Uniknya, setelah salah satu resensi buku dimuat Kompas, saya mendapat buku-buku gratis dari penerbit setiap menerbitkan buku baru. Ketika saya tanya mengapa saya dikirimi buku-buku "fresh from the oven", penerbit bilang, bukunya terjual signifikan setelah saya resensi. Tentu bukan faktor saya, tetapi faktor Kompas sebagai harian terbesar dan berpengaruh.

Saya mau berbagi pengalaman menulis resensi di sini. Mungkin hanya berdasarkan intuisi saja, tanpa referensi. Cara orang lain mungkin jauh lebih canggih. Tetapi saya punya pengalaman sendiri.

Pertama, saya selalu menghabiskan seluruh buku itu sampai selesai dari A sampai Z. Jangan sekali-kali meresensi buku hanya melihat kesimpulannya atau setelah membaca resensi orang lain dari buku yang sama! Itu sama saja dengan menipu diri sendiri. Tamatkan buku itu, lalu pahami inti persoalan yang dibicarakan atau dibahas buku itu. Adakah keseimpulan yang tidak sejalan dengan pikiran Anda berdasarkan referensi yang sudah diperoleh sebelumnya? Adakah bahasan buku itu sesuatu yang baru (novel) atau sekadar mengulang-ulang cerita/bahasan lama dengan kemasan baru?

Kedua, bandingkan dengan buku lainnya yang senada! Perbandingan itu bisa menyangkut isi buku atau topik yang dibahas (misal masalah kelas menengah), bisa membandingkan si penulis dengan penulis lain dengan kepakaran dan bahasan yang sama, atau membandingkan kesenjangan waktu persoalan yang dikemukakan, misal membandingkan timbulnya kelas menengah zaman penjajahan dengan masa kini. Perbandingan ini terkait dengan poin pertama di atas.

Ketiga, Jangan menyimpulkan isi buku dari kata pengantar atai preface sehingga belum apa-apa sudah mengutip kata pengantar. Bagi editor yang berpengalaman, ia segera tahu bahwa resensi yang Anda tulis dangkal isinya dan Anda terkesan (baca sudah terjebak) sejak di awal perjalanan membaca buku itu.

Keempat, Kutipan seperlunya saja dan menyangkut hal-hal penting. Terlalu banyak kutipan dari buku mengesankan penulis resensi tidak bisa memformulasikan pikirannya sendiri dan terkesan hanya memperpanjang-panjang tulisan saja.

Kelima, kenali si pengarang buku. Dengan mengenali si penulis buku, kita menjadi tahu buku apa yang pernah ditulisnya dan kita bisa memberi judgement. Misal kalau kita sudah membaca buku Laskar Pelangi dari Andrea Hirata, saat kita meresensi buku Sang Pemimpi atau Edensor dari penulis yang sama, kita bisa memberi perbandingan. Dengan demikian memperkaya resensi Anda.

Keenam, formulasikan resensi dengan bahasa sendiri, bukan terseret meniru bahasa si pengarang yang bukunya sedang kita resensi. Sekali lagi, jadilah diri sendiri (be youself).

Ketujuh
, upayakan menulis resensi dari buku yang baru terbit. Bahkan jika Anda sudah mengenal dan akrab dengan penerbit, bisa membaca terlebih dahulu draf akhir buku itu sebelum diterbitkan. Sehingga, Andalah yang pertama meresensi buku itu sebelum diresensi orang lain. Editor yang menerima naskah Anda pun akan senang mendapat resensi buku baru dan mutakhir. Tetapi sekali lagi, ini tidaklah mutlak. Batasan waktu sangat fleksibel.

Kedelapan, menulis resensi buku adalah menolong orang mempermudah memahami suatu isi buku. Atau, mengajak orang untuk membaca buku yang Anda resensi. Maka, jangan sekali-kali menggunakan bahasa yang rumit dan sulit dimengerti hanya karena kita ingin menonjolkan kehebatan diri sendiri dalam berbahasa. Anggaplah para pembaca resensi Anda itu orang awam dimana Anda sedang bercakap-cakap kepada mereka. Lihat media massa yang Anda tuju. Kalau harian umum, tentu saja bahasanya juga harus yang umum-umum saja. Tetapi, sekalipun Anda menulis resensi buku untuk dimuat di jurnal ilmiah, saya sarankan tetap gunakan bahasa yang mudah dimengerti. Percayalah, Anda tidak akan turun gengsi hanya karena menggunakan bahasa yang umum.

Barangkali masih ada tips atau kiat lainnya dalam menulis resensi. Anda bisa belajar dari para penulis resensi lainnya yang berpengalaman. Hanya saja, itulah pengalaman yang saya dapatkan dan bisa saya praktikan dalam menulis resensi. Sekedar memberi contoh, saya sertakan dalam tulisan ini salah satu resensi saya yang pernah dimuat di Harian Kompas, Jumat 10 Februari 1995 halaman 12. Sebuah buku novel klasik :

FRANKENSTEIN, "DOMBA" DEWA ILMU-ILMU SESAT

Mary Shelley, Frankenstein (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1994),
370 halaman.

TERBIT pertama kali 11 Maret 1818, Shelley memberi judul novelnya Frankenstein Or the Modern Prometheus. Cerita dimulai dengan surat-menyurat antara R Walton, seorang ilmuwan yang pada awal abad ke-18 menjelajah Kutub Utara dengan adiknya Mrs Saville. Dalam keterasingannya di ujung benua beku, R Walton bertemu dengan manusia yang nyaris mati membeku terapung dalam sebuah kereta es.

Jarak yang memisahkan belahan dunia paling utara - yang beku berselimutkan salju abadi - dengan Inggris yang hiruk-pikuk tidak membuat komunikasi kakak-beradik ini putus. Dari penuturan R Walton inilah aksi dendam membara antara Frankenstein (manusia yang hampir mati beku itu) dengan makhluk berwajah buruk ciptaannya bergulir.

Soal penjelajahan R Walton dalam usahanya mencari dan menemukan ilmu pengetahuan tentang kutub utara, boleh jadi Shelley terilusi gejolak ilmuwan pada masanya atau pada masa Frankenstein "hidup", yang sama-sama menaruh perhatian serta minat dalam membongkar rahasia kebekuan alam kutub. Sekadar menyebut beberapa nama, antara lain Sir John Franklin (1786-1847) penjelajah kutub utara, atau Nathanael Palmer (1799-1877), dan Fabian von Bellingshausen (1779-1852) yang mencoba mencari jalan ke kutub selatan.

Secara sengaja atau tidak, Shelley terkesan telah terjebak dalam cerita berbingkai ala sastra Melayu kuno. Artinya si tokoh bercerita tentang tokoh lain di mana tokoh lain ini juga punya cerita, tetapi ungkapan emosional seperti marah, gembira, putus asa, semangat jiwa, dendam membara, dan segala permainan rasa menemukan bentuknya yang paling menawan, yakni bahasa yang teramat puitis.

Efek psikologis dan ajaran filsafat moral yang dikandungnya amat melelahkan untuk dipahami, tetapi Shelley tidak sekadar mengobral penguasaan bahasa puitisnya (kebetulan Shelley juga seorang penyair). Dalam kalimat-kalimat terpilihnya, ia justru hendak menerangkan makna kehidupan, paling tidak bagi tokoh-tokoh yang terlibat dalam ceritanya.

Ilmuwan sejati

Victor Frankenstein, demikian nama lengkap si empunya tokoh cerita, adalah tipe seorang anak muda yang cerdas dan ambisius, yang rasa hausnya akan ilmu pengetahuan tidak pernah terpuaskan. Semenjak kanak-kanak Victor kecil sudah gemar mengamati gejala-gejala alam. Petir yang menyambar-nyambar menghanguskan pohon eik, perubahan siang-malam, pergantian musim, dan rahasia-rahasia alam yang menakjubkan adalah pemandangan sehari-hari.

Tetapi dalam perjalanan hidupnya, Frankenstein terjerumus dan terpenjara oleh ajaran-ajaran ilmuwan-ilmuwan purba dewa pujaannya, yakni Cornelius Agrippa (1486-1535), Paracelcus (1493-1541).

Ilmuwan-ilmuwan ini bukan ilmuwan fiktif. Mereka pernah menyumbang serta memperkaya khasanah jenis "ilmu pengetahuan baru" pada masanya, meski ilmu-ilmu mereka lebih condong ke ilmu klenik dan magic daripada ilmu filsafat atau kedokteran. Di sini terlihat usaha Shelley yang tidak main-main, tidak asal menulis novel fiktif, melainkan merujuk pada ilmu-ilmu lain, yang membuat novelnya layak menempati posisi terhormat dalam ajaran fiksi-fiksi ilmiah.

Pada usia 17 tahun, Frankenstein harus meninggalkan kotanya dan saudara-saudaranya untuk menuntut ilmu di Ingolstadt. Kemalangan menimpanya sejak awal perjalanan menuju kota pusat ilmu pengetahuan itu, yakni dengan kematian ibunda tercinta. "Anak-anakku, harapan terbesarku untuk memperoleh kebahagiaan di masa mendatang terletak pada ikatan antara kalian berdua," pesan ibunya sebelum meninggal seraya mempersatukan tangan Frankenstein dengan Elizabeth Lavenza, "saudara sepupu" yang kelak bakal menjadi calon istrinya.

Dengan perasaan tegar, harus ia tinggalkan ayahnya yang berselimutkan nestapa, Elizabeth yang berduka, juga Henry Clerval, sahabat setianya yang kecewa karena tidak memperoleh izin ayahnya untuk sama-sama bersekolah.

Berbekal teori dewa-dewa ilmu pengetahuan pujaannya yang berjejalan di kepalanya, Victor Frankenstein berangkat menuju negeri impian. Tetapi yang ia dapatkan di Ingolstadt adalah kekecewaan demi kekecewaan. Ia harus berhadapan dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan alam (terutama ilmu kimia dan faal) yang asing baginya, yang benar-benar berbeda dengan ajaran-ajaran dewa-dewa ilmu pengetahuan pujaannya. Apalagi ia harus berhadapan dengan Prof M Krempe, yang sejak semula sudah melecehkan otak Frankenstein yang menurutnya sudah terjejali teori-teori sampah.

"Setiap waktumu kau gunakan untuk mengisi otakmu dengan teori-teori sesat. Ya Tuhan, di gurun pasir mana kau tinggal, sehingga tak ada seorang pun yang bisa memberimu nasihat? Tuan Frankenstein yang terhormat, kau harus belajar dari permulaan lagi!" Bagai petir menyambar, Frankenstein amat geram atas pelecehan profesornya.

Memutar logika

Frankenstein melihat bagaimana kematian selalu berhasil mengalahkan kehidupan. Ia hendak memutar logika yang telah sejak lama diakui sebagai kebenaran mutlak ini, yakni kematian juga bisa menciptakan kehidupan. Dari usaha kerasnya yang tanpa batas inilah kemudian tercipta sesosok makhluk baru yang mengerikan. Ukuran tubuhnya di luar batas ukuran tubuh manusia normal, karena kesulitannya membuat bagian-bagian tubuh manusia yang amat rumit.

Boleh dibilang, hanya "manusia" dengan anggota-anggota tubuh kasar sajalah yang tercipta dari usaha kerasnya. Seperti inilah gambaran makhluk ciptaan Frankenstein: kulit kuning yang hampir tidak dapat menyembunyikan jaringan otot dan pembuluh darah di bawahnya, rambut sehitam beledu panjang dan lebat, mata sewarna dengan lekuk mata, wajah keriput dan bibir lurus berwarna hitam.

Apa yang terjadi kemudian pada diri Frankenstein adalah kekecewaan mendalam. Setelah makhluk ciptaannya hidup (dihidupkan), ia membayangkan kengerian yang menyesakkan napas serta rasa jijik yang mencekik, apalagi di kemudian hari makhluk ciptaannya - yang kekuatannya berpuluh-puluh kali kekuatan manusia biasa - itu menunjukkan sifat-sifat jahat dan pendendam.

Pada awal kehidupannya, makhluk tanpa nama ini menganggap Frankenstein adalah tuan dan sekaligus penciptanya yang layak dihormati. Tetapi karena rasa ngeri, Frankenstein cenderung menghindarinya. Puncaknya adalah tatkala si makhluk ciptaannya menuntut untuk menciptakan makhluk baru sebagai pasangan hidupnya, setelah ia ditolak dan dicampakkan manusia karena ukuran tubuhnya yang mengerikan.

Frankenstein menolak, sebab ia merasa kelangsungan seluruh hidup manusia terancam hanya oleh sesosok makhluk mengerikan ini. Bagaimana pula kalau ada pasangan yang kelak akan menghasilkan keturunan. Penolakan ini berakibat fatal, sebab orang-orang terdekat Frankenstein menemui ajal di tangan makhluk ciptaannya, seperti William, Justine, Henry Clerval, dan bahkan Elizabeth Lavenza, calon istrinya. Frankenstein sendiri menemui ajal dalam usahanya mengejar makhluk ciptaannya di kutub utara, sampai R Walton kemudian menemukannya.

"Manusia" tercabik

Ada gambaran beberapa watak manusia yang saling berbeda dan bertentangan dalam novel Shelley ini. Misalnya, tokoh Elizabeth Lavenza yang penyabar dan penuh perhatian, Henry Clerval yang hangat, Frankenstein yang serius dan keras kepala, serta karakter makhluk ciptaannya yang sedemikian jahat dan pendendam.

Tetapi benarkah ia makhluk yang jahat? Bertentangan dengan penilaian sementara orang, makhluk ciptaan Frankenstein ini justru makhluk yang lembut dan selalu ingin berteman. Makhluk ini ditolak lingkungannya karena bentuk tubuhnya yang tidak proporsional. Ia terusir karena manusia tidak pernah menerima dan mencintainya. Ia adalah potret "manusia" yang tercabik-cabik, yang merasa hanya orang buta totallah yang dapat menerima keberadaannya.
Novel Frankenstein ini mencapai sukses luar biasa, sehingga boleh dikata novelis wanita Inggris yang lahir 30 Agustus 1797 ini menambah kata baru (Frankenstein) untuk kamus dalam bahasa mana pun, sama seperti novelis Bram Stoker dengan Dracula-nya.

Novel-novel karya Mary Shelley lainnya adalah Mathilda (1822), Valperga (1823), The Last Man (1826), dan Lodore (1835). Tetapi Frankenstein-lah yang melambungkan namanya. Sukses Frankenstein berlanjut menjadi film-film dalam berbagai versi dan kisah lanjutan yang terkesan "dihubung-hubungkan", yang tentu tidak diinginkan Shelley. Bila ada yang pantas dikecewakan Shelley di luar mega sukses novelnya, itu adalah adanya dugaan orang yang menganggap karyanya adalah novel horor. Padahal ia seratus persen fiksi ilmiah. (Pepih Nugraha)

Thursday, May 08, 2008

Catatan (48): Mengenang Mantan Wartawan Kompas [2]


Asep Setiawan

SAYA sangat suka membaca berita mengenai politik luar negeri. Untuk itulah saya terkesan dengan sebuah tulisan mengenai sosok Mikhail Gorbachev, yang ditulis di halaman belakang, plus foto hitam putih besar. Penulisnya adalah Asep Setiawan. Kelak di kemudian hari, saya banyak belajar dan meniru Asep, terutama meniru kesantunan, kesopanan, dan keluwesannya bergaul. Soal meniru tulisan, kami sebagai wartawan punya gaya tersendiri, yang khas, dan tidak saling meniru.

Kang Asep, demikian biasanya saya memanggil, adalah senior saya di Universitas Padjadjaran meski dari jurusan berbeda. Kalau tidak salah dia mengambil jurusan hubungan internasional di FISIP. Karena latar belakang pendidikannya itulah tulisannya menjadi sedemikian "bernyawa" dan "berjiwa". Disampaikan dengan bahasa yang mudah, meski persoalan relasi luar negeri itu umumnya sangat pelik dan berliku, yang semestinya tidak bisa dijelaskan secara ringkas. Tetapi nyatanya, Asep bisa.

Pada tahun 1997 atau 1998-an, Asep merupakan salah satu wartawan Kompas yang turut membidani lahirnya Kompas Cyber Media (KCM), yakni Kompas Online untuk keredaksiannya. Karena saat itu wartawan KCM terbatas dalam hal jumlah, maka Asep sesekali menelepon saya untuk meminta kabar sekaligus berita mengenai perkembangan terakhir di lapangan, yakni di DPR dan Departemen Dalam Negeri, dimana saya bertugas saat itu. Saya membuat berita di kepala dan diucapkan secara lisan, Asep mengetiknya di news room. Begitulah, sampai kemudian saya mendengar Asep keluar dari Kompas untuk pindah kerja ke Radio BBC. Itu terjadi tahun 2000 dan ia bersama keluarga harus mukim di London.

Sebagaimana orang Jawa Barat, kebetulan sama dengan saya, kami menyenangi hal-hal baru dan berusaha mengikutinya. Contohlah dunia cyber dan online ini, meski Asep lebih dahulu melek, saat cikal bakal internet muncul dan belum booming seperti sekarang ini. Dalam hal tertentu, saya mengikuti perkembangan dunia online ini meski terbatas pada perkembangan media massa online yang selalu saya benturkan dengan media massa konvensional (baca: media cetak). Dulu saat blog belum mewabah, saya terkagum-kagum karena Asep sudah memiliki situs pribadi sendiri yang kalau tidak salah beralamat sesuai namanya, yakni di http://www.asepsetiawan.com.

Tahun 2004 lalu, Asep sempat berkunjung ke kantor Harian Kompas Biro Indonesia Timur di Makassar, dimana saat itu saya bertugas. Sempat mengobrol sedikit karena dia ingin menggali suatu masalah di kota Anging Mammiri. Ia datang dengan kesantunan dan kesopanannya yang khas dan masih melekat. Setelah itu saya tidak pernah berjumpa lagi. Ada berita Asep kembali ke Inggris karena harus menyelesaikan studi S3-nya, yang berarti sebentar lagi dia akan menjadi Doktor. Ah, jangan-jangan Asep judah menjadi Doktor. Well, belum atau sudah menjadi Doktor, tidak ada salahnya kalau di sini saya mengucapkan: "Selamat ya, Kang..."

Kegemarannya akan teknologi internet membuat beberapa tulisannya tidak jauh-jauh dari dunia itu. Orang dibuat tercenang-cengang karena mungkin pemahamannya atas dunia cyber belum mencapai ke arah sana. Katakanlah mengenai mal virtual yang Asep tulis di Kompas 12 Februari 2000 halaman 1 di bawah ini:

BUKA TOKO GRATIS DI "VIRTUAL MALL"

KEHADIRAN Internet banyak membuka peluang bisnis baru. Misalnya, jika Anda memiliki toko dan perlu promosi, jalan yang mudah untuk memajukannya antara lain melalui medium Internet. Sejumlah situs di Indonesia dalam jaringan global ini bahkan menawarkan buka toko gratis, tanpa biaya sama sekali. Itulah model bisnis baru terutama bagi para pelaku ekonomi menengah dan kecil.

Caranya mudah. Mula-mula cari beberapa situs dalam Internet yang menawarkan buka toko, mulai dari penjualan bunga sampai mebel. Lalu barulah mendaftarkan diri, di antaranya tanpa dipungut bayaran apa pun kecuali jika jumlah barang yang dijual dalam jumlah besar.

Pedagang partai kecil bisa memulai dengan situs pointahead. "Kami memang mengarahkan situs ini untuk kalangan pedagang kecil dan menengah," ujar Sampoerno menyinggung soal situs www.pointahead.com yang dikelola bersama Iwan dan tiga orang lainnya. Situs yang baru diluncurkan Agustus 1999 ini sudah dipenuhi 250 toko, mulai dari para pedagang batu mulia sampai penjual komputer di London dan toko yang dibuka oleh orang Puerto Rico.

Namun, tentu saja tidak semua gratis. Virtual mall Webstore yang dikelola Kompas Cyber Media (KCM), selain menjual dan menyalurkan produk sendiri, menampung sembilan toko. Namun, sebagian dari toko yang dibuka di www.kompas.com itu pada awal tahun 2000 omsetnya mencapai Rp 500.000-Rp 1 juta. Menurut Direktur Eksekutif KCM Andrey Handoko, untuk memajang toko di Webstore KCM dikenakan biaya berbagai versi, mulai dari Rp 150.000 per bulan sampai Rp 450.000 per bulan setiap halamannya. Namun, tentu saja keuntungan sudah di pelupuk mata jika hits (tingkat kunjungan) situs itu tinggi. Maka seperti memajang toko di pinggir jalan raya, pengunjung pun bisa keluar masuk toko seraya memborong barang.

Selain pointhead dan Webstore, situs lain yang juga menawarkan bentuk seperti mal atau toko penyalur dan penjual antara lain radioclick.com, jeruk.com, i-2.co.id, glodokshop.com, KantongKresek.com, smole.com, eplasa.com, dan capella.co.id.
***
SEPANJANG hari toko buka tanpa takut dijarah, kebakaran atau dicuri barangnya. Begitulah alam dari Internet, barang dipajang tanpa batas waktu, bisa diakses lokal dan bisa pula global. Bisa dibayangkan betapa besar potensi yang tercipta karena Internet sebagai medium untuk mendekati pasar. Pembeli tidak hanya berarti perorangan tetapi juga lembaga bisnis atau toko lainnya jika memang barangnya murah.

Pemilik toko di kota kecil yang jauh dari kota besar, sepanjang memiliki akses ke Internet melalui Telkom misalnya, bisa mengenalkan produknya langsung ke pembeli di seluruh dunia. Tentu saja lebih efektif bila produk atau jasa itu dikenalkan dalam bahasa Inggris dan disertai foto produk yang ditawarkan.

Jika produk sudah tampil dalam jaringan Internet maka persoalan berikutnya bagaimana konsumen bisa melakukan transaksi. Ada beberapa tipe jual beli melalui virtual mall. Pertama, pembeli memesan barang melalui alamat e-mail yang ada di toko tersebut. Kedua, bisa saja pembeli langsung bertransaksi melalui kartu kredit. Barang akan dikirim ke rumah oleh kurir. ***

BILA pemilik toko bisa berbisnis lalu dari mana keuntungan yang diperoleh penyelenggara mal? Tidak murah memang menawarkan sebuah mal yang bersifat maya bagi para pelaku bisnis. Apalagi bila Internet baru dikenal sebagian masyarakat perkotaan.

Menurut Sampoerno, satu bulan sedikitnya menghabiskan Rp 10 juta untuk merawat dan mengembangkan mal di Internet. Dana itu dihabiskan untuk mengoperasikan server yang disimpan di Telkom. Dana operasi akan berbeda jika server seperti yang dimiliki KCM Webstore ditempatkan di luar negeri agar aksesnya lancar.

Biaya operasional mal ini mahalnya bukan terletak pada sumber daya manusia, tetapi keterlibatan teknologi tingkat tinggi. Jalur telepon dan server merupakan biaya paling mahal selain persoalan promosi situs itu sendiri. Nemun demikian, bisnis mal di dunia maya ini menjanjikan.

Menurut Ivandeva Irwantoro, Country Manager Software & Solution IBM Indonesia, ada sederet keuntungan yang akan diperoleh pemilik toko. Pertama, branding karena e-business itu. "Bila mereka memiliki fasilitas transaksi melalui Internet, itu berarti saya mengikuti trend dunia," tuturnya. Kedua, mereka melihat ini sebagai cara mereduksi biaya transaksi. Ketiga, mereka bisa mengenal perilaku pelanggan karena pelanggan memberi data. Keempat, pedagang bisa memulai langkah business to business.

Sedangkan untuk keuntungan pemilik mal adalah bisa membentuk komunitas pengunjung. Bila perlu, mal itu bisa dijual kepada orang lain. Tentu dengan harga sepadan.

John Tumiwa, CEO radioclick.com, menjelaskan, situs dalam bentuk toko memberi keuntungan karena menjadi sarana yang lebih luas dan tak terhingga jangkauannya. Radioclick yang dikelolanya memiliki kiat mensinergikan lima radio (Prambors, Female, M97, Bahana dan Delta) dengan jaringan Internet.

"Radio adalah bisnis komunitas dan Internet pun demikian, maka yang kita ciptakan adalah suatu kerja sama di mana radio mempunyai komunitas yang tadinya pendengar/pembeli. Sementara Radioclick sebagai fasilitator yang memberikan dukungan bagi netter yang mau berbelanja di Internet," jelas Tumiwa.

Budiono Darsono, salah satu pendiri dan redaktur pelaksana detikcom, menguraikan tentang keuntungan toko di Internet. Ia menilai Internet merupakan jembatan bagi pengusaha menengah kecil untuk memasarkan produksinya ke pasar lokal dan bahkan ke pasar global dengan biaya murah.

Menurut dia, para pengusaha kecil menegah Indonesia yang memproduksi barang-barang unik dan khas serta mengincar pasar global akan sangat diuntungkan dengan membuka toko di virtual mall. "Barang kerajinan mulai dari tenun sampai mebel model antik yang dipasarkan di kawasan Ciputat (selatan Jakarta) sangat berpeluang besar meraih konsumen dari luar," lanjutnya.

Dengan demikian virtual mall akan menjadi jembatan bagi produsen Indonesia dengan pasar global. Tinggal sekarang bagaimana pengetahuan para pengusaha ini ditingkatkan dalam pemanfaatan jaringan Internet. Siapa tahu, ekspor bisa digalakkan melalui promosi di Internet. (ASEP SETIAWAN)

Wednesday, May 07, 2008

Catatan (47): Berakhirnya "Kompas Update"



Habis "Kompas Update", terbitlah "Kompas 16 Halaman"

PERCAYA atau tidak, barangkali sayalah karyawan Kompas yang paling sering menerima surat penugasan baru. Sejak kepindahan saya ke Jakarta April 2006 lalu, terhitung saya sudah mendapat 5 kali surat penugasan dari kantor. Mulai dari Wakadesk Investigasi, Wakadesk Multimedia, News Director Kompas.com, Editor Kompas Update, dan kini Chairman of Community Commission Proyek Mega Portal Kompas.com. Saya jalani semuanya dengan senang hati, saya pegang amanah di semua tempat dengan berusaha bekerja tanpa cacat.

Selasa, 6 Mei 2008 kemarin, atau bertepatan dengan hari ulang tahun adik saya tersayang, Siska Taniadewi, saya mendapat penugasan baru sebagai "chairman" yang merupakan bagian dari Mega Portal Kompas.com. Surat penugasan diberikan langsung Pemred Kompas Bambang Sukartiono di ruangannya. Tidak hanya saya tentu, ada Andi Suruji, Banu Astono, Atika Walujani, dan Tri Haryono, dengan tugas masing-masing. Di tempat itu secara khusus Mas SK, demikian kami memanggil Bambang Sukartiono, mengucapkan terima kasih atas penugasan saya sebelumnya di Kompas Update.

"Tentunya hidup kamu terganggu dengan penugasan di Kompas Update, sebab kamu harus selalu bangun dan berangkat kerja malam hari. Tapi kamu sudah mendapat pengalaman dari penugasan itu sehingga tidak sulit bagi kami kalau suatu saat meminta bantuanmua lagi," kata Mas SK. Saya tentu saja membalasnya dengan senyum puas, sebab bagaimana pun saya masih dipercaya berada di struktural yang semakin menyempit itu. Karena satu dan lain hal, Kompas Update harus dihentikan dan diganti dengan "Kompas 16 Halaman". Apa itu "Kompas 16 Halaman", nanti akan saya ceritakan dalam kesempatan terpisah.

Saya selalu senang menghadapi tantangan dan tidak pernah menolak penugasan. Tugas di Kompas Update yang selalu bekerja "ngalong", saya hadapi dengan menyiapkan fisik yang kuat, juga pikiran yang jernih. Sekarang, tugas saya harus berhadapan dengan orang banyak, selebritis, karena kaitannya dengan pekerjaan "memelihara" pengunjung Mega Portal. Ini tantangan yang tidak ringan, sangat-sangat berat. Tetapi, saya selalu melihat cahaya optimisme di setiap ujung lorong yang gelap, yang saya sendiri tidak tahu bagaimana harus melangkah.

Saya percaya, dalam bekerja selalu dituntun naluri. Naluri itu tidak lain Tuhan, dalam keyakinan saya. Saya sudah cukup banyak "melahap" buku dan bahkan menulis di Harian Kompas mengenai dunia online, media online dengan segala perkembangannya. Tidak ada hal yang sulit kalau kita mau memulainya, dan kini saya sedang memulainya....