Thursday, August 28, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (72)

Beda Pendapat, Why Not?

MAS Pepih, itu 'senjakala blog'-nya dilawan dengan seleb blog, ya:)- Enda.

Itu pesan pendek yang saya terima Kamis (28/8) tadi pagi, saat saya berada di RSI Bintaro menengok tetangga yang sakit jantung. Pengirim SMS adalah Enda Nasution, pelopor blog sekaligus selebritis blog Indonesia. Saya langsung membalasnya sambil berjalan:

Hehe melawan pendapat teman sendiri... Soalnya blogger itu tidak akan pernah mati, Mas, nggak peduli dia pakai blog atau portal gratisan. Saya coba beri second opinion biar para blogger tidak terkena demotivasi.

Terus terang, tulisan di Kompas edisi 28 Agustus halaman 14 ini memang untuk menanggapi tulisan rekan saya, Amir Sodikin, yang menulis artikel berjudul "Geliat Portal Berita dan Senjakala Blog" (Kompas, 14 Agustus 2008). Saya tergerak menulis bukan karena asal beda pendapat meski sesama rekan kerja, tetapi punya misi jangan sampai para blogger merasa demotivasi, padahal pada saat bersamaan Kompas.com lewat kanal Seleb.tv sedang menggarap blog seleb. Inilah tulisan dimaksud:


Menyongsong Blog Seleb Indonesia

Tulisan berjudul ”Geliat Portal Berita dan Senjakala Blog” di rubrik ini, 14 Agustus 2008, cukup mengejutkan para blogger, baik para blogger lawas maupun para debutan yang baru mencoba melangkah ke dunia blog. Pasalnya, blog dianggap sudah di ambang batas senja dan segera masuk ke dunia kegelapan.

Oleh PEPIH NUGRAHA

Namun, tulisan itu ternyata menekankan bahwa yang berubah cuma perwajahan, jubah, atau baju sebuah situs pribadi. Blog dianggap terlalu sederhana jika dibanding portal yang bisa mewujud seperti wajah situs berita. Padahal jika sekadar perwajahan, Wordpress pun sesungguhnya memiliki blog gratisan berformat berita.

Portal maupun blog hanyalah pilihan, toh kedua-duanya bisa didapat secara gratis. Lebih dari sekadar itu, para blogger yang mengisi kontennya di blog atau portal mereka tidak akan pernah mati. Jumlah mereka diperkirakan malah bertambah. Selain membuat blog sendiri dari situs penyedia blog gratisan seperti Blogger dan Wordpress, mereka juga mewujud dalam situs jaringan sosial seperti Facebook, Multiply, Friendster, dan Myspace yang juga menyediakan lahan gratis untuk blogging.

Kini, jagat maya blog bakal semakin disesaki para pendatang baru, yakni para selebritis papan atas Indonesia, mulai penyanyi sampai artis sinetron yang berhasrat ngeblog. Karena yang membuat dan mengisi blog orang- orang ternama di dunia selebritis, nama khusus untuk mereka pun menjadi celeb blog atau blog seleb dalam bahasa Indonesia.

Pada awal kelahirannya, kehadiran blog dilecehkan sebagai media orang-orang narsis, orang- orang yang kelebihan hasrat menonjolkan diri sendiri.

Uniknya, jumlah blogger bukan malah menyusut, tetapi terus membengkak. Sebuah situs penyurvei blog menyebutkan, saat ini sudah ada lebih dari 100 juta blogger.

Penyedia blog gratisan seperti Wordpress, saat tulisan ini diturunkan, sudah mencatat 4 juta pengguna blog. Dari jumlah itu, lebih dari 141.000 posting atau konten yang diunggah (upload) setiap harinya dengan jumlah lebih dari 46 juta kata tercipta sehari itu. Padahal, selain Wordpress, ada puluhan situs penyedia web gratisan, semisal Blogspot, Blogsome, Blogdrive, Movable Type, LiveJournal, dan Dagdigdug. Situs yang terakhir disebutkan adalah penyedia blog milik orang Indonesia.

Bermula dari Sandra

Bagaimana media massa online menyikapi kehadiran blogger yang terus bertambah dari hari ke hari yang di Indonesia diperkirakan lebih dari 300.000-an blogger? Apakah cap narsis yang masih melekat pada para blogger harus dijauhi?

Sebentar, jangan anggap narsis barang kotor. Katakanlah itu barang kotor, jika dipoles pastilah ia bermanfaat, setidak-tidaknya bisa menciptakan peluang bisnis. Jangan sepelekan narsis. Dalam dunia maya, narsis juga berarti peluang bisnis. Tidak percaya? Mari kita cermati kiprah Kompas.com lewat kanal khusus selebritis, Seleb.tv, dalam mengelola narsis ini!

Pesinetron Sandra Dewi merupakan celeb blog pertama yang digarap Kompas.com, setidak-tidaknya sebuah blog yang diasuh secara profesional dan sudah menggaet iklan. Kini Seleb.tv kembali memfasilitasi hadirnya artis papan atas yang ingin ngeblog. Tidak tanggung-tanggung, belasan selebritis siap menyandang predikat blogger seleb dalam waktu dekat.

”Namun, yang benar-benar siap diluncurkan baru enam selebritis,” kata General Bisnis Kompas.com Edi Taslim.

Keenam selebritis yang siap ngeblog itu, antara lain, Cinta Laura, Titi Kamal, Christian Sugiono, Donna Agnesia, dan Darius. Jajaran artis lainnya yang sudah digarap Seleb.tv untuk jadi blogger seleb adalah Nadia Vega, Ahmad Dhani, Afgan, Mulan Jameela, Aura Kasih, Bunga Citra Lestari, Dewi Persik, Ari Lasso, Once, Julia Perez, Asmirandah, Catherine Wilson, dan Carissa Putri.

Ada juga presenter Ivan Gunawan dan Indra Bekti, pesulap Deddy Corbuzier dan Demian Aditya, novelis Zara Zettira ZR, psikolog Sonia Wibisono, Keluarga Chandrawinata, DJ Anton Wirjono, Bondan Winarno, kelompok musik The Cangcuters, Agriculture Band, Andra & The Backbone, dan Dewi Dewi.

Jajaran artis inilah yang bakal melengkapi blog seleb di Indonesia dengan pintu masuk utama melalui http://www.seleb.tv.

Berbeda dengan Sandra yang lebih memublikasikan kegiatannya sehari-hari sehingga membiarkan dirinya ”termonitor” oleh para anggotanya yang mencapai 10.000 itu, sedangkan Christian menunjukkan kegemarannya dalam fotografi dan menulis.

Ada rubrik ”100% Original Indonesia”, berisi hal-hal unik yang hanya ada dan terjadi di Indonesia. Contoh postingan foto sebuah bajaj yang sarat muatan kardus dari atas sampai bagian belakang, yang ia beri judul ”Bajaj Full!”

”Saya ke mana-mana bawa kamera, itu semua hasil jepretan saya,” kata Christian.

Satu contoh lagi blog Cinta Laura. Melihat baju blog seleb yang didominasi warna coklat tua dan gelap, blog ini berselera anak baru gede. Biodata pemilik nama lengkap Cinta Laura Kiehl ini ia ambil dari Majalah Kartini, sedangkan isinya didominasi foto, chat, dan video dirinya. Apakah blog seleb itu hanya sekadar blog dan tidak bisa di-monetize sehingga menghasilkan uang?

Model bisnis baru

Jika blog Sandra yang sudah lebih awal diluncurkan sudah menggaet sebuah produsen ponsel untuk beriklan, ini berarti sebuah ladang bisnis baru. Bukankah tinggal disepakati saja share antara pemilik blog dengan si desainer blog? Bukankah artis beken akan dikeremuni banyak penggemar dan kerumunan yang masif berarti peluang untuk memasang iklan?

Christian Sugiono tidak menampik kalau kegiatan ngeblog yang sudah lama dilakukannya sekarang saatnya menghasilkan uang. Ia tidak menampik ketenarannya sebagai selebritis akan mudah menarik pemasang iklan.

Jelaslah, blog yang pertama kali dilecehkan sebagai perkara narsis, kini sudah berubah menjadi model bisnis baru di dunia online. Web tidak lagi semata-mata mengandalkan perolehan banner iklan, tetapi juga menjadi bisnis web desain, organisator kegiatan, dan bisnis luar ruang yang akan menjadi tren bisnis online kini dan mendatang. Blog seleb merupakan contoh kecil saja.

Wednesday, August 27, 2008

Citizen Journalism (18)

Bendera Parpol Pengusir Tikus

SAYA berada di desa tempat saya dilahirkan, Ciawi Tasikmalaya, Sabtu, 23 Agustus 2008 lalu. Saya menyempatkan diri melihat sebidang tanah untuk hari tua nanti. Satu hal yang membetot perhatian saya adalah sebuah bendera partai politik, bendera PDI Perjuangan warna merah lengkap dengan banteng gemuk di dalamnya.

Saya bertanya kepada salah seorang "panyawah", penggarap sawah yang masih terbilang saudara, mengapa bendera PDI Perjuangan dipasang di sawah. "Untuk mengusir tikus," jawabnya. "Soalnya tikus takut sama banteng!" Saya pun spontan tergelak mendengar jawabannya yang polos tapi mengena itu.

Saya ambil makna lain dari adanya bendera PDI Perjuangan di atas sawah yang menghijau itu. Boleh jadi PDI Perjuangan sekarang parpol yang disegani dan ditakuti para koruptor. Bukankah para koruptor selalu digambarkan dengan tikus? Jadi, adanya bendera PDI Perjuangan di atas sawah itu pun untuk mengusir para koruptor, eh... tikus-tikus itu! Setuju? (PEPIH NUGRAHA)

Citizen Journalism (17)

Unjuk Ajak Puasa

SAAT saya berangkat kerja, Rabu (27/8) tadi pagi, saya melihat ratusan siswa-siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Auliya berbaris dipinggir jalan, tepatnya di dekat perempatan International School, Bintaro. Semula saya berpikir apakah anak-anak berseragam itu benar-benar menggelar unjuk rasa.

Saya pun merapatkan kendaraan dan segera mengambil kamera ponsel. Lalu saya pun membidik beberapa sekuel. Dengan dibimbing guru, mereka menggelar unjuk rasa... eh bukan, tepatnya unjak ajak puasa, sebab pada spanduk-spanduk panjang yang mereka bentangkan tertulis ajakan untuk berpuasa di bulan Ramadhan yang mulai masuk Senin pekan depan.

Ajakan anak-anak itu antara lain , "Ayah Ibu Ayo Puasa!". Ada lagi ajakan buat kakek-nenek, "Kakek Nenek Juga Puasa". Juga ada, "Om Tante Puasa Dong!", "Kakak Adik Puasa, Yuk!", dan "Puasa is Fun!"

Terus terang saya terharu atas prakarsa adik-adik kita dari SDIT Auliya itu. Rasanya malu kalau tidak memenuhi ajakan itu! Di sini saya sertakan foto-foto unjuk ajak puasa itu, semoga bermanfaat! (PEPIH NUGRAHA)

Tuesday, August 26, 2008

Catatan (61): Diwawancarai Ayongeblog.com

BEBERAPA waktu lalu saya dikontak rekan netter Ibn Ghifarie melalui Yahoo! Messenger untuk sebuah wawancara seputar blog. Beberapa pertanyaan mengenai aktivitas saya ngeblog dikirimkan lewat alamat imel pepih_nugraha@yahoo.com dan saya pun langsung menjawabnya. Hasil dari wawancara Ibn Ghifarie kemudian dimuat di Ayongeblog.com edisi Selasa, 26 Agustus 2008 hari ini. Atas izin Ibn Ghifarie, saya menuliskan kembali hasil wawancara itu di bawah ini:

Pepih Nugraha:
Ngebloglah Yang Bermanfaat!

Kali ketiga, Ayongeblog melalui Ibn Ghifarie berhasil berbagi pengalaman soal ngeblog dengan Pepih Nugraha, pendiri pelatihan gratis Jurnalistik di Sekolah Menengah Atas (SMA), Perguruan Tinggi (PT), dan Pesantren.

Diakui atau tidak, hal tersulit dalam menulis adalah memulai. Maka, jangan pernah ia musuhi. Jadikan memulai sebagai sebuah tantangan, bukan tentangan. Menulis saat bahagia itu biasa, baru luar biasa jika bisa menulis dalam keadaan berduka, tertekan atau bahkan terluka. Biasakan menulis sekalipun dalam suasana hati yang ekstrem, dalam lara maupun suka. Bukankah susah dan senang hanyalah permainan rasa belaka.

Inilah moto yang dipegang teguh oleh pewarta Kompas. Begitupun dalam soal ngeblog. Berikut hasil wawancaranya:

Bisa diceritakan awal perkenalan Anda dengan media online ini?

Tahun 2006 lalu saat bertugas di Surabaya. Mulanya saya agak sedikit mengejek istri saya yang kebetulan sudah ngeblog lebih dulu. Saya bilang itu perbuatan narsis. Tetapi dia jalan terus karena punya banyak teman dari ngeblog. Dia sering blogwalking. Akhirnya saya nyoba di Blogspot dengan nama Blog BERANDA T4 BERBAGI. Sejak awal saya sadar, saya tidak boleh narsis, tetapi blog saya harus bermanfaat bagi orang banyak.

Kenapa memilih blog sebagai tempat mencurahkan segala ide?

Blog adalah media gratisan. Tanpa punya PC di rumah pun kita bisa ke warnet. Blog adalah media demokratis. Anda tidak suka dengan isi blog, jangan usil, silakan cari blog yang lebih baik. Di blog, kita bisa mempraktikkan web berbasis 2.0 yang interaktif. Segala pertanyaan bisa dijawab di sana.

Manfaat apa saja yang dirasakan Anda atas kehadiran catatan harian online ini?

Blog sekarang bisa monetize atau menghasilkan uang. Ada yang pasang banner iklan, ada juga yang sengaja jualan (virtual shop). Ini sah-sah saja selama Anda tidak terganggu. Manfaat bagi saya, saya bisa sharing dan berbagi pengalaman saya sebagai seorang jurnalis, baik pengalaman meliput maupun menulis. Saya mau berbagi karena tidak semua orang berkesempatan sama seperti saya yang bisa menembus Kompas. Selain beramal, saya memungkinkan bisa dekat dengan pembaca saya.

Bisa diceritakan soal pendirian pelatihan gratis jurnalistik di SMA, PT dan Pesantren?

Itu karena saya diajak oleh Diklat Kompas, sebuah divisi tersendiri untuk pelatihan dan perekrutan. Saya mengajar selama empat hari penuh sampai peserta didik bikin koran dinding sendiri. Saya padatkan pelajaran dengan menggunakan audio visual. Umumnya mereka senang bisa langsung diajari wartawan.

Sudah sejauh mana perkembanganya sekarang?

Banyak sekolah dan perguruan tinggi yang meminta sehingga mereka harus antri. Setelah pelatihan biasanya kami meminta nama, alamat, imel dan nomor HP peserta. Kami janjikan terus berhubungan jika diperlukan.

Pesan apa yang Anda akan sampaikan kepada mereka yang belum ngeblog?

Ngeblog-lah yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain!

Thursday, August 21, 2008

Citizen Journalism (16)

Rendah Hati atau Rendah Diri?


RABU, 20 Agustus 2008 lalu saya menghadiri sebuah seminar tentang dunia komunitas dan kaitannya dengan bisnis di Jakarta. Saya sangat menikmati paparan para "seminaris", maksud saya, pemberi materi dalam seminar itu. Akan tetapi, kerap saya jumpai dalam berbagai seminar atau resepsi, hadirin tidak terlalu antusias untuk menempati tempat duduk barisan paling depan, padahal kursi di DPR dan Istana ramai-ramai diperebutkan! Kalaupun ada, seperti yang terlihat pada foto, hanya satu orang saja, itupun pembicara yang siap menunggu giliran tampil. Umumnya mereka mengambil tempat di belakang tempat duduk terdepan itu, entah kalau yang tampil penyanyi dangdut macam Dewi Persik. Saya tidak tahu apakah ini simbol rendah hati, maksudnya bentuk penghormatan dengan memberi kesempatan kepada orang lain, atau justru bentuk rasa rendah diri plus kurang percaya diri ketika harus tampil paling depan? Entahlah! (PEPIH NUGRAHA)

Berbagi Pengalaman Menulis (71)

Menanti Klimaks

RABU, 20 Agustus 2008 malam, saya hadir di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) untuk menyaksikan soprano Aning Katamsi Asmoro dan tenor Christopher Abimanyu mengalunkan suara emas mereka. Saya tidak bermaksud menulis atau bahkan membuat berita. Akan tetapi karena tidak ada satu pun wartawan Kompas.com yang hadir saat itu, saya merasa terpanggil untuk menulis ulasannya, yang bisa Anda baca di sini. Saya menulis malam itu juga, seusai pertunjukkan mereka.

Terus-terang, seorang jurnalis bisa terhanyut kala menikmati alunan sopran dan tenor Indonesia itu, plus iringan denting piano klasik yang membuai. Tetapi saya tetap "terjaga", tidak terlalu hanyut, dan siap menangkap "gejala aneh" yang mungkin terjadi pada tengah-tengah atau di akhir pertunjukkan. Saya tidak terlalu lama menunggu, sebab "gejala aneh" itu justru muncul di tengah pertunjukkan. Saya tidak harus menunggu klimaks!

Apa gerangan "gejala aneh" yang berhasil saya tangkap itu? Anda bisa membacanya di bawah ini, ditambah foto Aning yang sedang dipeluk ayahandanya, Amoroso Katamsi, yang saya ambil usai pertunjukkan dengan  menggunakan ponsel kamera. Inilah tulisannya:

Dan, Suara Aning Pun Tercekat

Kemana kau pergi sunyilah malamku
Tak bisa kutahu kemana cintamu…

Tiba-tiba suara soprano Aning Katamsi Asmoro tercekat, seakan-akan tak kuasa melanjutkan syair berikutnya… Malam kutidur dalam diri… indahnya tiada arti. Aning tampak mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Penonton yang terduduk rapi di ruang utama Bentara Budaya Jakarta, Rabu (20/8) malam pun semakin terpaku dalam diam, menanti apa yang selanjutnya akan terjadi.

Akan tetapi, Aning melanjutkan lagu “Elegie” gubahan FX Soetopo itu sampai akhir… Alangkah jauhnya hari, alangkah jauhnya hari. Ada apa gerangan, Aning?

Jawaban dari pertanyaan itu baru diketahui saat Konser Musik Tiga Komposer itu berakhir. “Maaf saya tadi terlalu terhanyut, saya terkenang mendiang Ibu,” kata Aning meminta maaf kepada khalayak penonton yang memberi applause setiap kali Aning dan juga penyani tenor Christopher Abimanyu usai melantunkan lagu-lagu tiga komponis besar yang mereka berdua bawakan.

Aning yang lahir di Cilacap 3 Juni 1969 ini adalah anak Pranawengrum Katamsi, penyanyi seriosa kenamaan yang kini telah tiada. Lagu “Elegie” seperti diakuinya kemudian mau tidak mau mengingatkan ibundanya yang telah mewariskan bakat seni kepada dirinya. Ibundanya itulah yang mengajarkan vokal untuk pertama kalinya kepada Aning.

Pada malam itu bersama Christopher Abimanyu, penyanyi tenor kelahiran Bandung tahun 1970 yang sangat konsisten menyanyikan lagu-lagu klasik, Aning tampil sempurna membawakan 24 lagu klasik gubahan Binsar Sitompul (1923-1991), Mochtar Embut (1934-1973), dan FX Soetopo (1937-2006), secara bergantian. Kalaupun ada suara yang tercekat, itu karena kenangan akan ibunya meski tidak mengganggi suaranya yang mengalir bening. Aning dan Christopher malam itu diiring alunan piano yang dimainkan Ratna Arumsari Ansyar.

Aning sering tampil dalam resital tunggal, bekerja sama dengan berbagai orkestra di tanah air seperti Orkes Simfoni Jakarta, Twilite Orchestra, Nusantara Symphony Orchestra dan Jakarta Chamber Orchestra. Sebagai solis sopran, Aning pernah membawakan sejumlah komposisi antara lain “Stabat Mater” (Pergolesi), “Requem” (Mozart), dan “Dixit Domingus” (Handel).

Sedangkan Christopher mulai belajar vokal saat berusia 15 tahun pada penyanyi tenor kenamaan Sudaryanto, Marijke ten Kate dan Avip Priatna. Christopher pernah membuat album seriosa Indonesia “Sebutir Mutiara” bersama Ine Lopulisa. Bersama pianis Iswargia Sudarno, ia pernah tampil dalam Art Song Series yang menampilkan siklus “Die Schone Mullerin” karya F. Schubert. (PEPIH NUGRAHA)

Monday, August 18, 2008

Citizen Journalism (15)

Kompleks Internasional

TERLALU berlebihan kalau harus mengatakan Vila Bintaro Indah, sebuah kompleks perumahan yang dulu bernama Bumi Sudimara, Tangerang, sebagai kompleks perumahan internasional. Apa pasal? Pada perayaan 17 Agustusan lalu seisi kompleks dihiasi bendera berbagai negara, di samping Merah Putih tentunya, seakan-akan bendera itu mewakili penghuni asing yang berdomisili di dalamnya. Padahal, hanya ada satu warga asing yang ada di kompleks perumahan itu, yakni seorang Nyonya dari Jepang.

Berkibarnya bendera berbagai negara di kompleks VBI, demikian perumahan itu biasa disingkat, berkat jasa baik Pak Thomas Panggabean, salah seorang penghuni yang merelakan koleksi bendera berbagai negara itu dikibarkan. Dia pernah bekerja di pelayaran, sehingga bisa mengumpulkan bendera-bendera itu dari berbagai negara yang dia singgahi. Tentu bukan bermaksud makar. Masak iya makar mengibarkan puluhan bendera asing sekaligus di Bumi Pertiwi ini. Ini hanya salah satu kreativitas warga saja, seperti yang terlihat pada dua foto di atas yang saya ambil dengan kamera ponsel. (PEPIH NUGRAHA)

Bintaro, 18 Agustus 2008

Citizen Journalism (14)

Dua Gadis Manis

SAYA "menangkap" dua gadis manis seperti yang terlihat dalam foto ini saat perayaan 17 Agustus 2008 di Perumahan Vila Bintaro Indah, Tangerang, Minggu kemarin. Salah satu gadis manis itu sedang digendong kakeknya yang saat itu asyik menyaksikan lomba bagi anak-anak. Saya menggunakan ponsel kamera kesayangan Nokia N95 8GB.

Satu gadis manis lainnya saya "tangkap" di TB Gramedia Matraman, saat berlangsungnya pertunjukkan Kompas.com Music Corner, dimana Bams Samsons manggung, akhir Juni 2008 lalu. Saat itu, saat saya sedang mengabadikan Bams dan kawan-kawan beraksi, pundak saya ada yang menarik dari belakang. Oh, ternyata ia gadis manis dengan tangan mungil, yang saat itu sedang digendong susternya. Kemana ibunya, ya?

Saya tidak tahu apakah ia ingin "meminjam" ponsel Nokia N78 yang saya gunakan saat itu untuk mengabadikan momen atau ia memang ingin kenalan dengan saya. Saya langsung saja mengarahkan mata kamera kepada gadis manis itu. Yang saya sesali, saya tidak sempat bertanya siapa nama dua gadis manis itu. Mungkin kalaupun bertanya, mereka belum bisa menjawab namanya sendiri-sendiri. Nah, dua foto gadis manis itu saya tampilkan di sini. (PEPIH NUGRAHA)

Bintaro, 18 Agustus 2008.

Friday, August 08, 2008

Catatan (60): Tentang Harmoko (3)

Dimarahi, Dimaki, Itu Biasa!

PADA hari berita itu dimuat, saya selaku wartawan Kompas kembali ditugasi mengikuti Harmoko ke Kota Malang, Jawa Timur. Saat saya usai meliput kegiatannya dan siap-siap menulsi beritanya, saya secara khusus dipanggil Harmoko ke kamar hotelnya. Di sana sudah ada beberapa wartawan lainnya, yang tidak usahlah saya sebutkan namanya di sini. Harmoko langsung menyemprot:

"Mengapa kamu menulis berita bahwa Golkar bisa menang 100 persen? Saya memang bicara begitu, tetapi tidak seharusnya kamu menulis begitu!"

Mendapat semprotan seperti itu saya kaget bukan kepalang. Yang memprihatinkan, teman-teman wartawan bukannya membela saya sebagai sesama wartawan, malah ikut-ikutan memanas-manasi Harmoko agar terus mencecar saya. Asal tahu saja, lumrah wartawan pada masa itu berlaku "amat santun" (untuk tidak mengatakan menjilat) Harmoko dengan harapan dapat terjaring sebagai calon legislatif (DPR), setidak-tidaknya namanya tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Golkar dengan nomor urut "peci" (calon jadi).

Sebagai jurnalis, boro-boro saya berpikir ke arah itu. Bagi saya sekali jurnalis, ya tetap jurnalis! Makanya saya selalu siap dimarahi dan dimaki, kapanpun. Pada masa itu Jenderal Feisal Tanjung biasa memaki wartawan, "Taik, Kau!" Terus terang saat itu saya tidak dapat membedakan: ini makian jenderal atau preman! Sedihnya, kami, para wartawan, tidak bisa membalas kuasa Sang Jenderal yang tergolong kesayangannya Soeharto itu, meski hanya dengan sepatah katapun. Sebagai gantinya, kami biasa mendoakan Pak Jenderal biar cepat-cepat masuk surga saja!

Setelah agak tenang, saya menjawab pertanyaan Harmoko dengan lugas, "Bukankah Bapak mengatakan demikian?" Mendapat pertanyaan begitu Harmoko langsung menyambar, "Saya memang bicara begitu, tetapi tidak seharusnya you tulis begitu!" Hem... pelajaran baru jurnalistik di Era Soeharto! Bikin bingung, bukan?

Hening sejenak, Harmoko pun melanjutkan, masih dengan pertanyaan bernada menyelidik. "Siapa editormu sekarang, Si James-kah?" Maksudnya James Luhulima, editor politik saat itu. Saya jawab bahwa editornya memang James dengan wakil Myrna Ratna. "Okelah, nanti saya telepon mereka. Sudah, you tulis berita sana sesuai dengan apa yang saya katakan tadi di depan wartawan! Ingat ya, you harus menulis berita yang bener!"

Belakangan saya dengar Harmoko dipanggil Soeharto gara-gara berita yang saya tulis itu, sebuah pernyataan yang memperkuat bukti bahwa Golkar sebagai mesin politik utama waktu itu benar-benar arogan. Sebagai orang Jawa, Soeharto yang pinisepuh Golkar itu konon tidak suka cara-cara takabur seperti itu.

Dalam wawancara dengan wartawan sebelumnya, Harmoko secara khusus membantah berita Kompas yang saya tulis, yang dimuat 27 November 1996, bahwa dia tidak pernah mengatakan "Golkar bisa meraih 100 persen suara"! Tentu saja saya punya rekaman suara Harmoko saat dia bicara begitu di Makassar. Tetapi inilah realitas politik yang berlaku pada saat itu, rekaman pun menjadi tidak ada maknanya jika digunakan sebagai alat bukti. Kuasa adalah kuncinya. Inilah berita bantahan itu:

HARMOKO:
Target Perolehan Suara Golkar 70,02 Persen

Malang, Kompas
Ketua Umum DPP Golongan Karya Harmoko mengemukakan, target perolehan suara Golkar dalam pemilu 1997 mendatang tetap 70,02 persen. "Tidak pernah Golkar menyatakan target sampai 100 persen," katanya seraya mengingatkan, kekuatan sosial politik di Indonesia tidak hanya Golkar tetapi juga ada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Hal tersebut dikemukakan Harmoko kepada wartawan dalam kunjungan kerjanya di Malang dan Surabaya, Kamis (28/11).

Seperti diberitakan Kompas (27/11), di depan massa Golkar di Stadion Mattoangin, Ujungpandang hari Senin malam, Harmoko mengemukakan kemungkinan Golkar bisa memenangkan 100 persen suara.

Dijelaskan oleh Harmoko bahwa ungkapan 100 persen itu muncul dari antusiasme massa kader Golkar ketika ia bertanya, berapa target perolehan Golkar di Sulawesi, yang kemudian disahuti massa 100 persen.

"Anda tahu di Sulawesi Tenggara ada pernyataan target 96 persen, dan itu bisa saja. Kalau kader mentargetkan sebesar itu sebaiknya jangan diturunkan, katanya, kalau kader-kader Golkar melakukan kerja keras, penggalangan secara simpatik, pengembangan kompetisi sehat sesuai persatuan dan kesatuan mudah-mudahan bisa berkembang lebih dari target nasional 70,02 persen," jelasnya.

Juga dituturkan, Golkar bakal menyelenggarakan Diklat Jurkam Nasional (Pendidikan dan Latihan Juru Kampanye) Golkar. Sehingga setiap jurkam yang turun akan dibekali program-program secara nyata. Diklat akan diselenggarakan dalam sepuluh gelombang dan dilakukan juga di daerah-daerah. Pesertanya para jurkam Golkar, fungsionaris, termasuk para calon legislatif.

"Dari pengalaman yang lampau tutornya kita siapkan dari dapur kampanye kami. Itu sudah dibentuk dua tahun lalu menyiapkan tema kampanye, program kampanye, materi dan isi kampanye," jelas Harmoko. (PEP)

SAYA masih mau berbagi cerita mengenai Harmoko dalam beberapa postingan lagi. Juga mengenai Akbar Tandjung, Hamzah Haz, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Habibie, Jusuf Kalla, dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks peliputan dan penulisan berita mengenai mereka, dalam konteks pertemuan langsung saya dengan mereka. (Bersambung)

Catatan (59): Tentang Harmoko (2)

Menulis Tanpa Disetir

SENIN, 25 November 1996, saya berada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang dulu masih bernama Ujungpandang. Sebagai wartawan "kemarin sore" di bidang liputan politik, saya berupaya membuka mata dan telinga terhadap kejadian, gejala, dan bahkan pernyataan apapun, tanpa berpretensi melebih-lebihkan (bombastis). Keberadaan saya di Kota Anging Mammiri itu atas ajakan Golkar yang saat itu diketuai Harmoko.

Sudah lumrah terjadi saat itu, kemanapun Harmoko pergi, rombongan wartawan menyertainya. Sebagai jurnalis, saya berupaya membuka mata dan telinga saat Harmoko berpidato di Stadion Mato Anging, di depan para kader partai dalam acara yang dikemas sebagai "Temu Kader" itu. Nah, dalam pidatonya itulah saya "menangkap" pernyataan politis yang amat menarik jika deletakkan pada konteks waktu saat itu, saat Soeharto berkuasa penuh, yakni saat Harmoko menyatakan bahwa Golkar bisa menang 100 persen!

Tentu saja ini pernyataan yang menarik, yang barangkali luput dari pendengaran wartawan lainnya yang juga menyertai Harmoko seperti Antara, Suara Karya, Pelita, Merdeka, dan media massa lainnya yang saya lupa mengingatnya satu persatu. Saya lantas berlari ke Biro Kompas (kelak lima tahun kemudian saya bertugas sebagai Kepala Biro di kota ini), mengetik berita dan mengirimkannya ke Jakarta menggunakan modem FTP. Saat itu Reny Sri Ayu yang dulu masih berinisial "rr" dan Buyung Wijayakusuma (Boy), juga ikut meliput sehingga inisial mereka pun masuk karena memberi konstribusi masing-masing.

Saya tidak menyangka, bahwa berita yang saya sertakan di bawah ini, yang dimuat pada keesokan harinya, 26 November 2006, membuat marah Harmoko. Mengapa Harmoko marah besar sehingga memanggil saya secara khusus saat saya berada di Kota Malang? Jawaban singkatnya tidak lain: saya tidak mau disetir dan diarah-arahkan dalam menulis berita! Saya tahu apa arti kebebasan menulis bahkan itu di era Soeharto!Sebelum bercerita lebih jauh, kita ikuti berita yang membuat Harmoko marah itu di bawah ini:

Harmoko:
Kalau Mau, Sebenarnya Golkar Bisa Menangkan 100 Persen

Ujungpandang, Kompas
Ketua Umum DPP Golkar Harmoko mengemukakan, kalau mau, sebenarnya Golkar bisa memenangkan pemilu dengan 100 persen suara. Namun kalau hal itu sampai terjadi, berarti partai politik tidak kebagian suara.

Hal itu dikemukakan Ketua Umum DPP Golkar Harmoko di depan sekitar puluhan ribu massa Golkar yang memadati Stadion Mattoangin, Senin (25/11) malam.

Massa Golkar yang datang dari berbagai penjuru kota Ujungpandang bahkan daerah-daerah kabupaten di Sulsel, berkumpul dalam acara temu kader yang dirangkaikan dengan Resepsi HUT Golkar ke-32. Turut hadir dalam acara tersebut, Gubernur Sulsel HZB Palaguna, Wali Kotamadya Ujungpandang H Malik B Masry, Ketua DPD Tingkat I Golkar H Amin Syam, Fadel Muhammad, Marwah Daud Ibrahim, Tanri Abeng serta unsur Muspida Tingkat I dan II, serta kader-kader Golkar lainnya.

Harmoko mengaku cukup puas melihat masyarakat Sulsel bukanlah orang-orang yang buta politik. "Masyarakat Sulsel ternyata melek politik. Banyaknya massa Golkar di daerah ini satu bukti bahwa masyarakat Sulsel tidak buta politik. Tahun 1997 ini diharapkan dari keseluruhan wajib pilih di Sulsel, 90,34 persen diantaranya adalah warga Golkar," ujar Harmoko.

Ditambahkan Harmoko, "Sebenarnya kalau mau, Golkar bisa menang 100 persen suara. Tapi kalau itu sampai terjadi berarti parpol tidak kebagian suara."

Dikatakan, sebagai salah satu organisasi politik yang cukup besar, Golkar selalu ingin berkarya dan berbuat yang terbaik bagi warganya. Hal itu mengingat bahwa Golkar ingin memenangkan mayoritas tunggal.

Golput

Dalam kesempatan itu, Harmoko juga mengemukakan, Pancasila tidak mengenal apa yang disebut Golongan Putih (Golput). Kalau ada orang yang menjadikan Golput sebagai salah satu alternatif pilihan berarti orang tersebut adalah orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memikirkan masa depannya.

"Saya tahu, ada segelintir orang-orang yang Golput. Tolong dicatat bahwa orang seperti itu adalah orang yang tidak bertanggung jawab, sebab tidak memikirkan masa depannya dan masa depan bangsanya. Mereka adalah orang-orang yang buta politik dan tidak mau menggunakan haknya, walaupun Golput itu tidak ada sanksinya, namun falsafah Pancasila tidak Golput. Karena itu saya berharap warga Golkar mau mengajak orang lain untuk ikut memilih," katanya. (PEP)

SAYA sama sekali tidak menyangka kalau berita yang saya tulis secara jujur ini membuat Harmoko marah. Benar-benar marah. Judul dan lead  bisa saja dipoles editor politik saat itu, yakni James Luhulima atau wakil editor Myrna Ratna. Tetapi pesan yang disampaikan Harmoko di Makassar itu persis seperti yang saya tulis. (Bersambung)

Catatan (58): Tentang Harmoko (1)

Berani Menyapa

BERANILAH menyapa! Itu salah satu senjata jurnalis. Maka ketika saya bertemu dengan Harmoko, mantan menteri penerangan di era Soeharto di lobi Gedung Harian Kompas, saya langsung menyapa dan mengajaknya bercakap-cakap. Peduli amat dia tidak lagi mengenal saya. Akan tetapi, saya tetaplah seorang jurnalis yang masih menganggap Harmoko sebagai seorang prominent people.

Saya punya catatan khusus tentang Harmoko selama saya diminta meliput Partai Golkar di tahun 1996-1999, juga tentang Akbar Tandjung sebagai penggantinya. Saya akan menceritakannya dalam postingan berikutnya, tetap dalam konteks how to cover and to write it! Baiklah, di bawah ini adalah hasil sapaan saya kepada Harmoko yang saya tulis untuk KOMPAS.Com, Jumat 8 Agustus 2008. Tulisan juga bisa dibaca di sini, dengan fotografi karya Priyambodo:

Harmoko:
Bukan Soal Sehat, Yang Penting Waras

JAKARTA, JUMAT- Masih ingat Harmoko? Dialah mantan Menteri Penerangan di Era Soeharto yang kondang dengan seruan khasnya, “Menurut petunjuk Bapak Presiden”, setiap kali ia memberi keterangan pers. Pada usianya yang menjelang 70 tahun, politisi kelahiran Nganjuk yang mantan ketua umum DPP Partai Golkar itu masih nampak segar.

Jumat (8/8) pukul 10.00 tadi, ia berdiri menunggu sopir yang siap menjemputnya di kantor sebuah harian di Jakarta. Kamipun menyapanya, “Apa kabar, Pak Harmoko?” Mendapat sapaan demikian, iapun menjulurkan tangan mengajak berjabat tangan. “Ah you rupanya, masih kelihatan segar. Masih meliput politik?” tanyanya. You adalah sapaan akrabnya kepada jurnalis yang dikenalnya, yang biasa terlontar begitu saja.

Ditanya soal kesehatannya, ia mengaku sehat walafiat karena secara teratur berolahraga, khususnya tenis. Meski demikian, kolumnis sekaligus pemilik Harian Pos Kota yang pernah meminta Soeharto lengser di awal Era Reformasi ini mengatakan, seakrang yang lebih penting bukan sekadar kesehatan saja.

“Lho apa lagi, Pak, bukankah itu (kesehatan) yang paling penting sekarang ini?” kami bertanya. Harmoko melanjutkan, “Bukan sekadar sehat, lebih penting lagi waras. You tahu, sekarang ini lagi banyak-banyaknya orang yang tidak waras.”

Sayangnya, percakapan dengan Harmoko harus berakhir karena kendaraan Toyota Land Cruiser warna hijau gelap sudah menantinya. Harmoko pun pamit. Kamipun belum sempat menanyakan siapa-siapa saja sekarang ini orang-orang yang disebutnya “tidak waras” itu. Kamipun berani mengutip pernyataannya itu karena Harmoko tidak meminta, “Ini off the record ya!” (PEP)
***

DEMIKIANLAH sapaan saya terhadap Harmoko. Tanpa berani menyapa karena alasan gengsi, karena "dia (Harmoko) sudah tidak jadi apa-apa" dan karena dia "sudah bukan siapa-siapa" lagi, maka niscaya tidak akan ada berita di atas tadi. Saya tidak peduli sebagian orang membencinya. Bagi saya, Harmoko tetaplah tokoh, lebih karena "kelihaiannya" berpolitik, sehingga kekesalan orang yang sedemikian menumpuk menjadi sirna sama sekali hanya karena dia pernah "meminta Soeharto mundur"!

Sedemikian lihainya, bukan. Dan memang ajaib, ketika para pejabat Orde Baru kena hujat, termasuk  mereka yang hengkang dari kabinet saat-saat kejatuhan Soeharto sekalipun, Harmoko tidak pernah dihujat. Mahasiswa pun tidak pernah menyentuh dan menghujatnya. Benarkah Harmoko selamat karena kelihaiannya berpolitik atau semata-mata blessing in disguise saja? (Bersambung)

Thursday, August 07, 2008

Catatan (57): Naskah Ganda dan Plagiat (2)

Tak Dimuat, Tak Aktual (2)

SAYA bertemu dengan Yulyanto, seorang blogger dalam suatu kesempatan di Plaza Senayan, Rabu 6 Agustus 2008 lalu. Rupanya dia salah seorang dari sekian netter yang kebetulan membaca postingan saya beberapa waktu lalu ("Kompas First, Please!"). Dia menyatakan setuju dengan sikap tegas Kompas yang memberi sanksi kepada pengirim artikel ganda. "Persoalannya, kalau harus menunggu selama dua minggu, masalah yang ditulis sudah tidak aktual lagi kalau dikirimkan ke media massa lain," katanya.

Saya berpikir sejenak, ada benarnya! Tetapi segera saya menjawabnya sambil sedikit bercanda, "Itulah risiko perjuangan!" Harus saya akui, memang berat dan sulit menembus Halaman 6 Kompas. Tetapi sekali Anda mampu menembusnya, honor yang diterima seperti tidak berarti apa-apa jika nama kita terpampang di halaman opini itu. Mungkin Anda akan membaca berkali-kali tulisan sendiri!

Satu hal lagi, ketika satu artikel Anda termuat, Kompas memiliki divisi pusat informasi sendiri yang dengan mudah mem-file nama Anda. Sekali tembus, setelah itu mengalir terus! Bahkan Mas Yulyanto sendiri yang kemudian mengatakan, "Rasanya kalau satu kali artikel kita dimuat di Kompas, mungkin untuk dimuat di media lain akan lebih mudah! Wallahualam...

Kembali ke soal artikel yang tidak aktual lagi jika dikirim ke media lain karena harus menunggu dua minggu, saya hanya mengatakan bahwa dalam keseharian kita dihadapkan kepada berbagai pilihan yang harus diambil dan ditempuh. Intinya, hidup adalah pilihan! Bagi saya, ketika Anda mempertimbangkan sebuah artikel untuk dikirimkan ke Kompas atau ke media lain, itu adalah pilihan. Tidak ada intervensi pihak lain, bukan?

Namanya juga pilihan, pasti ada yang tepat dan ada pula yang meleset. Yang tepat, tentu saja itu sesuai pilihan. Yang meleset, itulah risiko kita hidup yang selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Jadi kalau tidak mau kecewa karena artikel dikembalikan oleh desk opini Kompas, ya harus sudah siap dengan risiko yang akan dihadapi, termasuk sudah tidak aktualnya lagi artikel yang ditolak Kompas jika dikirimkan ke media massa lain.

Tentu saja bola ada di tangan Anda. Siap menerima risiko naskah dikembalikan atau langsung dikirimkan ke media lain? Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya ingat kata-kata saya ini selalu: "Kompas First, Please!" (Bersambung)

Wednesday, August 06, 2008

Surat Anda (2): Menulis Sosok

Bagaimana Memulainya? (2)

SURAT kedua Pak Suwidyo berbunyi sebagai berikut, tanpa saya edit:

Ass wr wb

Mas Pepih..

Saya ingin menulis sosok seorang ibu rumah tangga di RW 12 VBI, sangat aktif mengurusi orang tua jompo yang hidupnya sudah sangat susah, disekitar Jombang. Kegiatan ini sudah berjalan 2 tahun, dan seminggu terakhir ini, ibu tsbt mengirim report kegiatan lengkap dengan lap keuangannya kepada saya. Menurut saya, apa yang ibu ini lakukan sangat luar biasa dan mulia.

Sebagai referensi: status ibu rumah tangga dengan 3 putra/pi. Strata pendidikan S2 alumni Belanda. Peduli ngurusi pendidikan ( beliau ngasih les gratis bhs inggris) kepada anak2. Taat beribadah. Atas hal tersebut, saya mohon saran dari Mas Pepih:

- Bagaimana cara menulis profil ibu dengan aktivitas seperti ini, dan menyentuh bagi pembacanya?
- Apakah layak saya tulis dalam buletin VBI.
- Hal2 apa saja yang harus saya tulis ; judul? Pemikat awal tulisan (teaser) ? isi dan penutup tulisan.?

Mohon arahan , bantuan dan terima kasih.

Salam/wid

Jawaban saya:

Waalakum salam...

Aduh, saya kok jadi orang kuper ya di VBI, padahal ada seorang Ibu dengan hati mulia yang mau berbagi dengan sesama. Dari penjelasan yang Pak Wid berikan, saya sudah menangkap bahwa Ibu ini seorang sosok menarik. Bayangkan, lulusan S2 yang seharusnya "bekerja secara profesional" (menghasilkan uang), masih bersedia bekerja charity yang tanpa dibayar, bahkan justru mengeluarkan uang sendiri. Saya langsung katakan: Ibu ini layak disosokkan, bukan hanya untuk buletin, bahkan mungkin untuk Kompas juga!

Bagaimana cara menuliskannya agar menyentuh, tentu saja setiap wartawan/penulis punya alat canggih yang dinamakan Data dan Deskripsi. Dengan data, kita menjadi tahu siapa ibu itu. Dengan Deskripsi --dan ini yang penting-- kita bisa menggambarkan keseharian, tujuan, dan harapan si Ibu itu atas apa yang dia kerjakan. Apa pengorbanan yang diberikannya dengan dia mengurusi orang-orang jompo?

Deskripsi tidak semata-mata hasil wawancara dengan mengutip omongannya saja, tetapi lebih menggambarkan apa yang dia lakukan. Syukur kalau Pak Wid mengikuti Ibu itu saat dia bertemu warga jompo, gambarkan bagaimana "care" dan pedulinya dia kepada sesama yang memerlukan perhatian.

Gambarkan besarnya pengorbanan dia (misalnya rela tidak bekerja formal) hanya untuk beramal. Bagaimana awal mula ketersinggungan si Ibu ini dengan orang-orang jompo. Adakah karena dia "merasa bersalah" karena tidak memedulikan orangtuanya yang sudah meninggal, misalnya. Pasti ada latar belakang dan sejarahnya, bukan. Maka, cobalah gali latar belakang ini!

Judul biasanya didapat setelah kita mendeskripsikan tulisan dan bahkan menutup suatu cerita. Kalau judul sudah ditetapkan, kadang kesulitan bercerita secara bebas karena harus selalu merujuk ke judul. Judul yang datar bisa saja "Rela Berkorban demi Kaum Jompo", atau "Kepedulian Tanpa Batas Seorang Ibu", atau "Si Polan, Bekerja Tanpa Pamrih", dan sebagainya.

Teaser sebagai pemikat tentu saja ada pada penonjolan-penonjolan Si Ibu, misalnya dia Lulusan S2, ngajar bahasa Inggris gratis, pernah bekerja di mana (misal perusahaan besar dengan gaji besar tapi keluar hanya untuk ngurus jompo), dll. Tulisan biasanya ditutup dengan harapan atau cita-cita Si Ibu di masa datang yang mungkin sekarang belum kesampaian. Oke, selamat mencoba.... (Selesai)

Tuesday, August 05, 2008

Surat Anda (1): Menulis Sosok

Bagaimana Memulainya? (1)




SAYA menerima dua surat elektronik dari Pak Suwidyo melalui alamat e-mail saya pepih_nugraha@yahoo.com, Senin 4 Agustus dan Rabu 6 Agustus 2008. Pak Wid tinggal di Perumahan Vila Bintaro Indah, Tangerang, dan menjadi pengasuh buletin yang beredar di perumahan itu, Buletin VBI. Surat dan jawaban kedua imel kemudian saya taruh di rubrik baru, "Surat Anda", sehingga kalau ada surat lainnya berkaitan dengan dunia tulis-menulis dan jurnalisme akan saya taruh di rubrik ini. Baik, saya tampilkan imel pertamanya yang berbunyi begini:


Ass wr wb

Mas Pepih YSH,



Minggu 03 Agustus 2008, saya kehilangan ( telah meninggal dunia - namanya Pak Rachmat, warga blok A dekat masjid VBI) sahabat saya sesama aktivis di masjid Baiturrahman VBI. Mengingat, peran dan begitu aktiv dan semangatnya mengurusi Masjid Baiturrahman, saya berkeinginan menulis tentang beliau dan mungkin akan saya muat dalam buletin VBI.



Sebagai referensi tambahan saya berdua sangat sering komunikasi via SMS dan E-mail, tidak ada kata lain kecuali membicarakan bagaimana meningkatkan pelayanan dan manajemen yayasan/masjid baiturrahman.



Atas hal2 tersebut, saya mohon Mas Pepih bersedia memberi arahan kepada saya mengenai:

1. bagaimana caranya menulis sosok warga yang punya profil seperti ini.

2. apakah beberapa info dalam SMS dan e-mail dapat kita ramu menjadi penguat tulisan?

3. Saya pingin tulisan ini dapat memberi manfaat lebih bagi pembaca, sehingga menjadi contoh yang baik.

4. Atau hal2 lain yang mendukung tulisan nanti.



Demikian atas bantuan dan arahannya, saya ucapkan terima kasih.



Salam/wid



Karena surat itu saya terima saat saya masih membuka komputer, maka saya pun langsung membalas surat Pak Wid sebagai beikut:



Waalaikum salam....



Sebelumnya saya mengucap Innalilahi wa Innailaihi Rojiun. Saya mendengar ada tetangga berpulang saat saya berada di Cirebon, saya baru kembali ke VBI Minggu pukul 22.00, sehingga saya tidak bisa melayat beliau.



Wah, kalau Pak Wid masih menyimpan SMS-nya, itu akan menjadi bahan-bahan berharga untuk penulisan sosok beliau yang kelak bisa disajikan teaser (pemikat) awal tulisan. Apalagi, SMS itu berisi mengenai kegiatan masjid semata. Bayangkan, bukankah dia "saksi hidup" atas kebaikan yang bukan saja mutlak diketahui Allah semata, tetapi juga "monumen" bagi manusia hidup, manusia yang ditinggalkannya?



Kalau Pak Wid mau membuat judul yang umum dan datar-datar saja, Pak Wid bisa beri judul "Berpulangnya Aktivis Baiturrahman". Artinya, awal tulisan di aliena pertama harus bercerita mengenai Pak Rachmat sebagai seorang aktivis Masjid Baiturrahman.



Coba alihkan pada isi SMS atau imel-nya yang Pak Wid punya. Mana sekiranya pesan yang menarik dan menggugah. Menarik dan menggugah itu bisa jadi SMS Pak Rachmat yang terakhir sebelum beliau berpulang. Isi dari SMS terakhir itu bisa juga menjadi kalimat pembuka sebuah tulisan. Saya tidak tahu pesan terakhir di SMS itu. Misalnya saja pesan itu berbunyi: "Pak Wid, titip masjid dan anak-anak aktivis masjid, saya hendak pergi sebentar...."



Nah, SMS yang terakhir atau yang paling menarik itulah yang bisa dijadikan teaser sebuah tulisan, yang menggugah orang untuk membaca tulisan itu. Judul tulisan pun bisa diambil dari salah satu kalimat dalam SMS itu.



Itu saja yang bisa saya sarankan, Jangan lupa deskripsi Pak rachmat (CV beliau), kesehariannya seperti apa, pekerjaan utamanya, anggota keluarga yang ditinggalkannya, cita-citanya yang belum kesampaian, komentar tetangga dan keluarga, dan seterusnya.



Keesokan harinya Pak Wid kemudian membalas kembali balasan surat saya sebagai berikut:



Terima kasih mas Pepih telah menjawab begitu cepat e-mail saya. Advis dan konsultasi saya ini akan sangat berharga dan saya masih dalam "emosi" atas kehilangan salah satu sahabat saya.Saya akan segera memulai menulis tentang profil Alm Pak Rachmat. Sekali lagi terima kasih mas, mudah-mudahan saya mampu menuliskannya. Jangan bosan bantu saya ya....



Salam/wid



(Bersambung)

Monday, August 04, 2008

Catatan (56): Naskah Ganda dan Plagiat (1)

"Kompas First, Please!" (1)





UNTUK memeriksa 3.000-an artikel setiap bulannya, mustahil bagi desk opini Kompas mendeteksi apakah setiap artikel yang masuk itu naskah orijinal, jiplakan, atau naskah ganda yang juga dikirimkan ke media lain. Saya ingatkan, jangan sekali-kali mengirimkan naskah artikel yang sama secara bersamaan ke dua atau lebih media massa lain! Maaf, mungkin terdengar angkuh kalau saya terpaksu harus mengatakan, "Kompas first, setelah itu baru yang lainnya...!


Bukan apa-apa, ini demi kebaikan bersama. Soalnya sanksi (moral)-nya sangat berat jika ketahuan. Jika seorang penulis mengirimkan naskah artikelnya ke lebih dari dua media massa secara bersamaan, lalu ketahuan kemudian setelah artikel itu dimuat di Kompas dan media massa lain, sanksi sudah menunggu. Mulai sanksi ringan, yakni tidak memuat artikel si penulis selama satu bulan, sampai di black list selamanya! Berdasarkan catatan, tidak kurang dari 20 nama penulis sudah di black list gara-gara berulang-ulang berbuat hal yang sama, yakni mengirimkan naskah ganda dan melakukan plagiat alias menjiplak.



Harian Kompas tentu saja tidak punya pengawas atau polisi yang memeloti setiap artikel yang dimuat di media massa lain. Hanya saja, justru para pembaca sendirilah yang melaporkannya di surat pembaca atau sengaja menelepon langsung ke redaksi Harian Kompas. Jika apa yang dilaporkan benar, pihak sekretariat menelepon langsung kepada si penulis artikel dan menanyakan apakah benar naskah yang sama dimuat di media lain, mengapa ia melakukan "pembohongan publik" seperti itu, dan seterusnya.



Saran saya, jangan sekali-kali mengirimkan naskah ganda (naskah yang sama atau senada) ke media lain selagi Anda mengirimkan naskah itu ke Redaksi Kompas! Bersabarlah menunggu sampai ada pemberitahuan dari sekretariat desk opini bahwa naskah tidak dapat dimuat! Saya bertanya kepada sekretariat desk opini berapa lama biasanya naskah dikembalikan? "Paling lama dua minggu," jawabnya.



Jadi, bersabarlah dalam dua minggu sebelum naskah artikel Anda dikirmkan ke media lain!



Mengapa harus ke Kompas yang pertama baru setelah itu ke media lain? Maksudnya tidak lain untuk menjaga reputasi Halaman 6 itu sendiri sebagai rubrik yang menjadi salah satu acuan dunia akademis di negeri ini. Selain itu, inilah aturan main yang diterapkan desk opini Kompas. Saya tidak bermaksud membelah pendapat Anda dengan "setuju" atau "tidak setuju" dengan aturan itu. Saya hanya sekedar memberitahu Anda saja, khususnya mereka yang ingin mencoba mengirimkan artikelnya ke Harian Kompas.



Berani mencoba? (Bersambung)

Berbagi Pengalaman Menulis (70)

Pesan Mas Ton (2)


SATU hal yang saya ingat baik-baik pesan Mas Tony Widiastono, editor desk opini harian Kompas, adalah penegasannya: "Tidak ada belas kasihan dalam meloloskan satu artikel agar bisa dimuat di Halaman 6 Kompas. Profesional sajalah, yang penting bisa lolos seleksi karena artikelnya memang layak muat!"


Saya bertanya, "Apa maksud 'tidak ada belas kasihan dalam meloloskan satu artikel' itu?" Mas Ton, demikian kami biasa memanggil, mengungkapkan bahwa ada seorang penulis yang mengirimkan lebih dari 200 artikelnya dan... tidak ada satupun yang layak muat alias tidak bisa dimuat!



"Menulis lebih dari jumlah itupun (maksudnya lebih dari 200 artikel), tetap tidak ada bisa dimuat kalau memang tidak layak muat. Dikira kalau menulis sebanyak itu kami para editor akan menjadi kasihan dan meloloskan satu dari ratusan tulisan itu. Tidak!" tegas MasTon.



Saya terus bertanya, "Apa yang sesungguhnya membuat lebih dari 200 artikel dari seorang penulis itu tak satupun bisa dimuat?" Mas Ton langsung menjawab, "Kredibilitas dan kepakarannya! Bagaimana mungkin seorang lulusan ilmu keperawatan, misalnya, menulis apa saja yang sekiranya bisa dia tulis; politiklah, ekonomilah, budayalah... jadi gado-gado. Padahal kalau dia menulis sesuai bidang atau kepakarannya, pasti kita pertimbangkan!"



"Sesederhana itukah, Mas Ton?" tanya saya.



"Ya, itu saja dulu!" jawabnya. Ia melanjutkan, "Dalam setiap kesempatan saya selalu menekankan mengenai perlunya aktualitas sebuah artikel. Masalah aktualitas ini kadang sering dibikin bingung para penulis, sebab pemahaman akan makna 'aktual' itu sendiri kurang begitu dipahami."



Oke deh, saya tulis lain waktu saja ya pesan-pesan dari Mas Ton ini... (Selesai)

Friday, August 01, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (69)

Pesan Mas Ton (1)



JUMAT, 1 Agustus 2008 hari ini, saya menerima surat dari Hendra Kadarma yang berdomisili di Cibubur, Jakarta. Begini bunyi suratnya:


Yth Pak Pepih,




Saya ingin menanyakan aturan teknis jika saya ingin mengirim artikel ke harian Kompas (menyangkut ukuran kertas, spasi, jenis huruf , dsb.)



Terima kasih banyak.



Hendra Kadarma



Saat rapat rutin redaksi, saya langsung mendekati Mas Toni Widiastono, editor desk opini Kompas. Saya minta kesediaan Mas Ton, demikian wartawan senior ini biasa dipanggil, untuk menjawab pertanyaan Pak Hendra Kadarma ini. Sungguh surprise, bukan sekedar menjawab pertanyaan Pak Hendra semata, tetapi dia memberi sejumlah pesan kepada para penulis yang bermaksud mengirimkan artikelnya ke Halaman 6 Kompas.



Soal aturan teknis yang ditanyakan Pak Hendra, Mas Ton menjelaskan, bahwa tidak ada aturan teknis yang baku menyangkut ukuran kertas, spasi, atau jenis huruf. Menulis dengan ketikan di atas kertas pun, saat surat elektronik mewabah, masih tetap bisa diterima. Tidak ada masalah. "Pak Daoed Joesoef dan Pak Satjipto Rahardjo kalau membuat artikel itu selalu diketik manual, tidak pernah dikirim melalui alamat e-Mail," katanya.



Di bawah diingatkan kembali cara-cara teknis mengirim artikel untuk lebih mempermudah para penulis, sebagaimana yang ditanyakan Pak Hendra:



1. Tulisan dikirim melalui surat elektronik dalam bentuk soft copy atau dikirim langsung ke redaksi jika dalam bentuk hard copy.

2. Tulisan soft copy dalam bentuk file Microsoft Word dikirimkan ke alamat opini@kompas.co.id atau opini@kompas.com dengan jenis huruf apapun, yang penting sesuai banyaknya karakter yang ditentukan.

3. Tulisan dalam bentuk hard copy menggunakan kertas ukuran A4, folio, atau kwarto dan diketik spasi ganda, dikirmkan ke alamat Redaksi Harian Kompas, Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta, 10270.

4. Jika menggunakan ukuran kwarto spasi rangkap, panjang karangan antara 4 sampai 5 halaman.

5. Panjang karangan upayakan tidak lebih dari 5.000 karakter.

6. Beri keterangan atau identitas penulis, alamat jelas, nomor telepon dan nomor faksimil (kalau ada).

7. Tulisan dibubuhi tandatangan si penulisnya. Bahkan lebih baik diberi keterangan bahwa tulisan ini belum pernah dimuat sebelumnya di media manapun dan tidak sedang dikirmkan ke media manapun. (Bersambung)