Friday, December 29, 2006

Breakin'News (3): Selamat Idul Adha

Pengorbanan, Menyejahterakan...

Untuk segenap sahabat blogger yang merayakannya,
Selamat Idul Adha
Semoga sejahtera untuk kita semua...


Pepih Nugraha
Jakarta, 29 Desember 2006

Tuesday, December 26, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (18)


Jangan Biarkan Kepala Kosong! (1)

Banyak sahabat blogger yang menghendaki saya menuliskan pengalaman saat berkunjung ke Bangalore, India, atas undangan International Business Machine (IBM) Indonesia. Saya menjadi tertantang karenanya. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini mungkin bisa sedikit bermanfaat bagi sahabat blogger yang kebetulan berniat menjadi wartawan, atau bahkan sudah menjadi wartawan betulan. Apa yang saya akan ceritakan ini pada dasarnya juga aplikatif untuk berbagai jenis liputan dimanapun, dalam maupun luar negeri.

Perjalanan ke Bangalore, ibukota negara bagian Karnataka yang berbahasa kannada ini merupakan yang pertama. Kadang karena tugas, saya bisa beberapa kali datang ke suatu negara. Liputan terakhir sebelumnya adalah ke Paris, Perancis, Oktober 2005, saat saya meliput peluncuran Satelit Telkom-2 yang berlangsung di Cayenne, Guyana Perancis, negeri seberang lautan milik Perancis yang berbatatasan dengan Brasil di Amerika Selatan. Ia juga berbatasan dengan Suriname, sebuah negara yang sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia karena sejumlah orang Jawa menduduki jabatan penting di sana.

Apa yang harus dipersiapkan seorang jurnalis untuk meliput ke suatu tempat yang bukan “habitat” liputan sehari-hari? Saya boleh menjawab: jangan biarkan kepala Anda kosong! Tentu saja ini bermakna, isilah kepala Anda dengan informasi dasar yang memadai tentang subyek atau daerah yang akan Anda liput. Ibarat hendak bepergian jauh, ke gunung atau ke pantai, yang harus dipersiapkan pertama-tama adalah sarapan pagi, lantas bekal selama dalam perjalanan.

Sarapan pagi di sini tentu saja informasi dasar, bekal makanan selanjutnya adalah informasi yang lebih detail lagi. Biar tidak bingung, saya ambil contoh sebelum saya pergi ke Bangalore. Pertama-tama, saya isi kepala dengan informasi mengenai Bangalore. “Binatang” apakah Bangalore ini? Ini penting, sebab saya akan berkunjung ke sini, siapa tahu saya punya ide atas bekal informasi dasar itu untuk salah satu sudut menarik dari kota ini. Selanjutnya, saya juga bekali kepala saya dengan subyek mengenai apa yang akan saya liput, yakni IBM sebagai “leader company” dalam urusan layanan teknologi informasi.

Darimana saya peroleh informasi dasar mengenai Bangalore? Dari berbagai ragam informasi, mulai ensiklopedi Britannica, sampai menelusur ensiklopedia online Wikipedia. Buku-buku tentangnya juga saya kumpulkan dan untuk itu saya meminta bantuan rekan-rekan di Pusat Informasi Kompas. Yang bisa saya fotokopi, saya fotokopi, tetapi bila data dalam bentuk klipping elektronik, tinggal saya kopi ke flashdisc atau USB yang hanya seukuran jari kelingking bayi itu. Laptop dan kamera digital saku adalah standar kerja kemanapun saya pergi. Dengan demikian “alat-alat perang” itu sudah saya persiapkan dari Jakarta!

Liputan utama tentu saja mengenai persaingan bisnis teknologi informasi yang sedemikian gencar dan masif di Bangalore, sebagai lembah silikon India. Di sana ada pemain raksasa serupa IBM seperti Oracle, Microsoft, dan Infosys. Tetapi konsentrasi haruslah pada IBM, sebab dialah pihak pengundang 30 wartawan dari tiga benua, Amerika, Eropa dan Asia. Salah satu wartawan Asia dalah wartawan Kompas yang kebetulan saya wakili.

Dari dua hari pertemuan itu, isinya tidak lain pemaparan keunggulan IBM dari puluhan pakar IBM baik yang bekerja di India mapun di luar India, yang kebanyakan “bule”. Hampir semua pembicara berbicara mengenai IBM India dengan bahasa Inggris yang supercepat, yang lebih cepat dari penutur Inggris atau Amerika sendiri. Jadi, “all about India”. Kalau demikian halnya, apa yang bisa saya peroleh untuk pembaca Indonesia? Mana azas kedekatan atau proximity-nya?

Dari sekian banyak pembicara, yang bertaut secara subyektif di kepala saya adalah pembicara Michael Cannon-Brookes. Ia adalah Wakil Presiden Pengembangam Bisnis IBM untuk India dan China. Wajar kalau ia tidak bicara hal-hal teknis yang membosankan, tetapi bicara soal flosofi bisnis global. Makalah dan penuturannya banyak terinspirasi oleh Thomas L Friedman yang menulis buku “The World is Flat” (dunia itu datar/flat world).

Beruntung pula kepala sudah saya isi dengan buku ini, juga resensi dan artikel mengenai “kebenaran” dunia datar, sebagaimana dulu Alvin Toffler dengan ramalan “future shock” dan “third wave”-nya. Beruntung lagi, saya sudah ngegares semua buku-buku penting untuk peradaban moderen itu. Jadi, saat Cannon Brookes memaparkan filosofi bisnis IBM yang mengadopsi pendapat Friedman, saya bergumam, “I got it!” Tentu saja ini ide besarnya yang detailnya tetaplah paparan sekian puluh pakar IBM.

Di Jakarta, saya segera menulis mengenai “dunia datar” ini dan dimuat dalam rubrik Teropong terbitan 21 Desember 2006, bersama dua tulisan lainnya, yakni Kota Bangalore dan IBM Indonesia. Sahabat bisa mengikuti tulisan pertama ini di
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/21/tekno/3190141.htm, atau langsung di bawah ini:



Melaju di Dunia yang Datar
Oleh PEPIH NUGRAHA

Randy Walker, General Manager Layanan Proses Manajemen Bisnis IBM untuk Asia Pasifik, memperlihatkan sebuah ruangan berukuran empat kali lapangan tenis yang tempat duduknya disusun menyerupai kursi teater. Berjajar membentuk lengkungan yang semua mata mengarah kepada enam layar raksasa di depannya.

Keenam layar raksasa diapit saluran televisi CNN di kiri dan BBC di kanan. Ratusan teknisi India di dalam "teater" itu masing-masing tengah menghadapi komputer layar datar.
Dari tempat inilah para tekni- si muda memonitor setiap keganjilan yang terjadi di seluruh jaringan klien IBM India di seluruh dunia. "Keganjilan kecil dapat segera terdeteksi di enam layar itu dan mereka memperbaiki dari komputer mereka masing-masing secara real time," kata Walker di kantor International Business Machine (IBM) di Bangalore, India, Senin (4/12).

Bangalore yang kini bernama Bengaluru merupakan ibu kota negara bagian Karnataka yang dikenal sebagai Lembah Silikonnya India. Selama dua hari, 4-6 Desember 2006, perusahaan teknologi informasi (TI) terbesar di dunia itu mengadakan Global Media Meeting yang dihadiri 30 wartawan dari Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Indonesia.

Dari "teater" yang bisa dilihat dari kaca tembus pandang di ruang kerja Walker, semua mitra bisnis IBM, mulai dari perusahaan telekomunikasi swasta India, Bharti Tele-Ventures, sampai pembangkit tenaga listrik Enel di Italia, dapat terpantau secara real time. Uniknya, para pekerja dan teknisi yang berada di ruangan pengendali itu merupakan tenaga kerja outsourcing bidang TI yang andal, tenaga kerja murah tetapi dengan spesialisasi dan kemampuan yang tidak kalah hebat dibanding teknisi integrasi alias non-outsourcing.

India, khususnya Bangalore, dalam dunia TI terkenal karena tenaga outsourcing yang murah, kompetitif, tetapi andal dibanding tenaga kerja lainnya dari berbagai belahan dunia. Tidak aneh kalau bahasa Inggris sudah menyerap kata bangalored yang padanannya dalam bahasa Indonesia berarti "di-outsourcing".

Dengan penduduk India mencapai 1,1 miliar jiwa, sedangkan Bangalore berpenduduk 6,1 juta jiwa, perusahaan TI besar dunia mau tidak mau harus melirik pasar yang besar ini. Perusahaan TI besar dunia seperti IBM, Oracle, Microsoft, Infosys, atau Yahoo! berkantor di kota Bangalore dengan tenaga outsourcing murah.

"India adalah negara yang unik dalam pusaran bisnis sehingga harus ada perlakuan khusus dilihat dari segi pasar," papar Sukanya Ghosh, pejabat hubungan masyarakat IBM India saat membuka pertemuan itu.

Potensi lokal
Kombinasi unik dan perlakuan khusus itu baru dijelaskan kemudian oleh Shanker Annaswamy, Direktur Pengelolaan IBM India. Dikatakan, dengan 18 bahasa nasional India, 1.652 dialek, lebih dari satu miliar penduduk India, sebagai negara berbahasa Inggris terbesar di dunia, delapan persen pertumbuhan pada tahun 2005, dan dengan 2,1 juta lulusan perguruan tinggi, India layak disebut sebagai "demokrasi terbesar di dunia". "Kombinasi inilah yang kami lihat, manfaatkan dan garap," ujarnya.


Dengan kombinasi ini, IBM India memperlakukan sumber daya manusia India yang besar itu sebagai sumber inovasi. Pertumbuhan itu bisa dilihat dari bertahannya perusahaan raksasa TATA yang kini bahkan semakin berkembang sehingga menjadi kebanggaan nasional. Perusahaan penerbangan yang beberapa tahun lalu hanya ada dua, kini telah berjumlah puluhan.

Bahkan, industri film India dengan film-film Bollywood-nya tidak luput dari garapan IBM India dengan "menangkap" keunikan India sebagai sebuah negara besar, setidak-tidaknya dari jumlah penduduk dan luasan wilayahnya. IBM kini telah menangani 15 negara bagian di India yang bermetamorfosis menjadi e-government.

Dengan "pemerintahan elektronik" ini, India boleh saja dipandang sebagai "negara terbelakang" dan bahkan korup, tetapi kalau urusan pembuatan kartu tanda penduduk, mengurus asuransi kesehatan bagi orang miskin, membuat kartu keluarga, dan bahkan surat izin mengemudi, tidaklah sesulit seperti di sebuah negara Asia lainnya yang sering menggaungkan "kecepatan sebagai sebuah solusi".

Menurut Shanker, karakteristik dalam pasar TI domestik (India) mengalami pertumbuhan amat pesat dan kompetisi yang juga amat ketat. Dengan belanja perangkat keras 53 persen, layanan TI 34 persen, dan belanja piranti lunak 7 persen, katanya, menjadikan IBM sebagai perusahaan IT terbesar di India khususnya dalam pasar layanannya.

IBM baru menjejakkan kaki bisnisnya di India sejak 1992. Hingga 31 Mei 2006, IBM India mempekerjakan 43.000 karyawan yang sebagian besar teknisi dan para inovator TI itu.
Mereka tersebar di 14 kota India dengan 2.500 partner bisnis yang tersebar di 40 lokasi. Meski IBM di mana pun memiliki visi bisnis yang tidak lagi memproduksi barang-barang yang sifatnya "komoditas" dan beralih ke bisnis value, namun IBM masih menguasai pasar server dan storage di India.

Serap filosofi modern
Keseriusan pemerintah negara bagian Karnataka dalam memandang TI sebagai bisnis yang membuat penduduk dan infrastruktur kota Bangalore mengalami kecepatan yang mengesankan, dapat dilihat dari totalitas IBM yang tidak tanggung- tanggung menancapkan tonggak kerajaan bisnisnya. Sampai kini tercatat lebih dari 25 pusat pengembangan dan industri IBM yang sebagian berkantor pusat di Software Technology Parks of India (STPI) di Bangalore.

Totalitas juga terlihat dari bagaimana IBM India pada tahun 2005 saja menginvestasikan dana sebesar 1,1 juta dollar AS di sejumlah perguruan tinggi ternama yang mengembangkan TI. Cara ini dilakukan untuk menjaring SDM berkualitas yang sesuai standar TI yang ditetapkan IBM. Maka, sebanyak 75.000 mahasiswa pilihan dari 300 perguruan tinggi India memperoleh pelatihan.

IBM bukanlah pemain solo dalam menyiapkan human capital India, tetapi pesaing lain seperti Microsoft dan Oracle, juga melakukan hal yang sama. Artinya, semakin banyak SDM terdidik India yang siap menyerbu pasar dunia dengan kecakapan khusus di bidang TI. Moto developed locally, delivered globally menjadi doktrin IBM India yang harus dicerap mereka yang mau berpikiran maju.

Doktrin semacam itu dianggap penting oleh pemikir India terdahulu. Saat Alvin Toffler menulis "gelombang ketiga"-nya yang ditandai kemajuan TI, Bangalore yang sejak 1942 merupakan basis industri berat, melompat cepat ke arah TI sehingga tercapai prestasi seperti sekarang ini.
Michel Cannon-Brookes, Wakil Presiden IBM India yang juga memberi pemaparan, misalnya, telah menerapkan "doktrin" bahwa dunia itu datar (flat word), sebagaimana diungkapkan Thoms L Friedman.

"Karena dunia datar, India dan China punya kesempatan yang sama sebagai pasar terbuka, sebagaimana negara-negara maju lainnya. Keahlian dan inovasi mutlak dimiliki. Kompetisi inovasi di bidang teknologi informasi, di mana globalisasi dan inovasi saling bertemu, adalah kunci untuk bisa berjalan di dunia yang datar ini," papar Cannon-Brookes.

Cannon-Brookes mencatat adanya tiga gelombang perubahan mendasar. Gelombang pertama, pada akhir abad ke-19, disebut sebagai "era internasional" di mana satu perusahaan di sebuah negara mengekspor komoditas ke negara-negara lainnya.

Gelombang kedua, abad ke-20, disebut sebagai "era multinasional" pada saat perusahaan di sebuah negara menempatkan atau memindahkan usahanya di sejumlah negara lainnya. Sementara itu gelombang berikutnya yang kini menjadi doktrin IBM adalah, bisnis sudah terintegrasi secara global. "Ini era bisnis tanpa batas negara," ujar Cannon-Brookes.

Pepih Nugraha
Jakarta, 26 Desember 2006

Monday, December 25, 2006

Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (8)


Diterima

BELUM pernah saya mengalami jantung yang berdebur keras selain saat saya dipanggil untuk tes wawancara. Menurut PSDM dalam pengantarnya, ini adalah tes final dalam kecakapan bidang, yakni ilmu perpustakaan. Jika lolos tes ini, besar kemungkinan bisa bekerja di Kompas, kecuali gagal dalam tes kesehatan saja. Penguji adalah J. Widodo, wartawan senior Kompas, berlangsung di salah satu ruang di Bentara Budaya Jakarta.

Belakangan saya tahu, J Widodo-lah yang mengembangkan Pusat Informasi dan Litbang Kompas dari semula bernama Pusat Dokumentasi Kompas. Dialah peletak dasar perpustakaan moderen untuk media massa dengan kliping elektroniknya, dimana seluruh berita yang termuat di Harian Kompas bisa disimpan dan diakses di komputer setelah memasukkan kata-kata kunci tertentu. Katalog buku manual diubahnya dan bisa disimpan serta ditemukan kembali dalam waktu singkat dengan hanya memijit papan ketik komputer.

Dari omong-omong dengan teman kemudian saya tahu, kala masih bernama Pusat Dokumentasi Kompas, lembaga ini dipegang dan dikembangkan oleh wartawan Kompas hebat lainnya, Parakitri T. Simbolon. Buku yang ditulisnya, Vademekum Wartawan: Reportase Dasar kelak kubaca dengan sungguh-sungguh.

Saya sendiri sempat tercenung saat itu. Dalam hati berkata heran, bisa juga saya sampai di level ini. Saya membayangkan mainan Nintendo sewaan saat saya SMP dulu dimana prestasi ketangkasan diukur dalam setiap pencapaian level. Bagaimanapun jantung saya berdegup keras meski saya sudah bergumam dalam hati, “Nggak apa-apa tidak diterima, ‘kan belum sarjana!” Tetap saja hasrat untuk dapat diterima mencuat.

Sudah dapat dibayangkan sejak menunggu giliran dipanggil, pertanyaan-pertanyaan Widodo sangatlah tajam. Tidak kenal ampun. Bicaranya seperti peluru yang dimuntahkan dari senapan mesin. Bukan hanya kecakapan khusus alias ilmu perpustakaan saja yang ditanyakan, tetapi ilmu-ilmu pengetahuan umum yang aktual saat itu.

Beruntung saya sudah terbiasa membaca dan berlangganan Kompas, Majalah Tempo, dan Majalah Prisma terbitan LP3ES selagi saya kuliah. Jadi apapun yang ditanyakan Mas Dod, panggilan akrab J. Widodo yang saya tahu kemudian, bisa nyambung sehingga menciptakan percakapan yang lama, panjang, dan seperti tidak berkesudahan.

Akan tetapi. tak urung saya gugup juga ketika J Widodo melempar tanya, “Lha mestinya you melamar jadi wartawan, kenapa you melamar menjadi pustakawan?” Mas Dod rupanya biasa memanggil atau menyapa anak buahnya dengan sapaan “you”.

Saya katakan sejujurnya bahwa saya masih harus menyelesaikan skripsi saya sedikit lagi sehingga saya belum punya ijazah S1 sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadi wartawan. Saya katakan pula, mungkin saya mencoba lagi melamar menjadi wartawan kalau ijazah S1 saya sudah ditangan. “Yo wis kalau begitu, you tunggu saja pengumumannya, ya!”

Saya tinggal tunggu pengumuman lulus-tidaknya hasil wawancara tadi. Kalau lulus masih ada satu rintangan lagi, yakni tes kesehatan. Tetapi menurut informasi yang saya dapat, kalau kita tidak punya penyakit yang parah-parah amat, tes kesehatan kemungkinan besar lolos. Penyakit parah itu antara lain lever alias penyakit kuning.

Setelah itu saya kembali ke Bandung untuk menyelesaikan skripsi. Seminggu berikutnya saya harus sudah melakukan tes kesehatan di RS St Carolus saat saya dinyatakan lulus tes wawancara yang mematikan itu, dan saat saya menyerahkan hasil tes kesehatan kepada Widyarto Adi PS di bagian PSDM, dengan entengnya dia berkata, “Kamu mulai bekerja per 1 April ya.” Maksudnya 1 April 1990.

Saya tercenung, terus terang bingung. Bagaimana mungkin ini terjadi karena saya harus mempertahankan skripsi saya di depan penguji dan kalau lulus harus diwisuda pada 21 April 1990. Saya minta mundur barang satu bulan, paling tidak saya masuk mulai 1 Mei saja. “Kamu ini gimana, sudah lulus kerja malah minta dimundurin! Ya sudah sana, tapi janji ya mulai kerja per 1 Mei,” kata Widyarto.

Kesannya galak dan tegas, tetapi saya tahu dia bercanda. Hemmm… saya tidak boleh ingkar janji atau wanprestasi.

Akhirnya saya memang bisa lulus ujian skripsi, bisa diwisuda tepat 21 April, meski belum bisa mengambil ijazah karena harus memperbaiki skripsi terlebih dahulu. Saya bisa langsung bekerja mulai 1 Mei 1990 sebagai karyawan honorer di Pusat Informasi Kompas dengan tugas sebagai pustakawan.

Tetapi ada satu ganjalan, saya belum bisa memperbaiki skripsi sehingga ijazah asli belum bisa saya dapatkan. Tetapi saya bisa usahakan fotokopian ijazah yang sudah dilegalisir pihak universitas. Sudahlah, saya akan menikmati hari-hari pertama bekerja di sebuah perusahaan pers terbesar di negeri ini: Harian Kompas!

Pepih Nugraha
Jakarta, 25 Desember 2006

Novelet: Mystery of Love (8)



"Mystery Of Love"
Oleh TIA

SUDAH sebulan semenjak kejadian di HK. Aku kembali ke kantorku di New York, menjumpai atasan langsungku Mr John. Dia memberi kesempatan cuti kepadaku, setelah ia melihat ada yang lain dengan laporan-laporan yang aku buat. Sebetulnya dia ingin menegurku, hanya saja setelah melihat mataku yang sembab dan mukaku yang kuyu, dia segan bertanya macam-macam kepadaku.

“Ara, I think that you need a vacation. Meet ur family or your best friend, so you can talk with them.” Dia berkata sambil mengeryit membaca laporanku. “And I hope you can back to work with a fresh brain and heart, how do you think?” dia tersenyum kepadaku.
Thanks sir…I need just a week. I am going to Singapore and maybe if I have time, I am going to Indonesia
.” Kataku sambil tersenyum kepadanya, lidahku kelu sekali, ingin rasanya cepat keluar dari ruangan itu.

Malamnya setelah Mr. John menyuruhku mengambil cuti, aku menelpon Hp Laila, saat ini dia bersama suaminya Haikal, mengelola cottage milik keluarga Haikal di Sentausa Island.

Terdengar nada sambung…
Laila :
Haloo…good morning
Aku : ( menangis ) hiks…
Laila : Ara ? Ada apa sayang?
Aku : ( terisak ) Bagaimana kamu bisa tahu aku yang menelponmu…
Laila : Itulah
best friend
Ara..so…kamu mau aku ke sana, atau kamu yang ke sini ?
Aku : ( masih terisak ) Haikal tidak apa-apa kalau aku kesana ?
Laila : Hahaha, dia akan kucerai kalau tidak memperbolehkan sahabat kesayanganku ke sini. Akan aku siapkan kamar yang paling bagus untukmu sayang.
Aku : ( tersenyum ) Terimakasih Laila….
Laila : Kabari aku ya, kapan mau datang…akan aku jemput ke airport.
Aku : Tidak perlu Laila, aku bisa sendiri ke Sentausa Island.




Di Sentausa Island, Singapura.

Laila, sahabatku yang berdarah Melayu–India membawakan aku segelas fruit punch,”Ara, baru kali ni aku mencoba buat fruit punch, please try it!” dia menyodorkan segelas dingin fruit punch kepadaku.


Aku meminumnya seteguk, ”Hm…its so delicious…Thanks Laila”, “Ara, kamu nak snorkling today? Mumpung tak panas udaranya.” Dia memandangku sambil mengulas senyum.

Aku berteman dengan Laila sudah 10 tahun lamanya, semasa aku masih sekolah di Singapura, Laila adalah roommate ku. Kemudian kami berpisah sewaktu kuliah, dia tetap kuliah di Singapura, sedangkan aku mendapatkan beasiswa di UCLA. Tapi hubungan pertemanan kami tidak pernah putus, kadangkala aku yang mengunjunginya di Singapura atau dia yang aku undang ke tempatku saat aku bertugas. Dia pernah mengunjungiku sewaktu aku bertugas di Milan, Italia. “Aku bisa sambil shopping nih Ara, lagi musim saldi (sale) semuanya, kan mau masuk musim panas…hehehe”

Perempuan, selalu saja shopping yang jadi tujuan utamanya kalau liburan.

“Masih melamun? Jadi tak kita
snorkling
?” Laila mencondongkan badannya ke arahku, “Ah pucatnya mukamu Ara..macam tak pernah kena matahari saja kau ini.”
Aku memandangnya, tersenyum, terpaan angin yang sepoi-sepoi membuatku tergoda memikirkan tawaran Laila tadi.

“Sudah 4 hari kamu disini, kerjaanmu hanya membaca novel di kamar, mendengarkan IPOD, mengedit foto-fotomu, ngobrol denganku di kamar…alamaaak….Ara..Ara, buat apa kamu jauh-jauh ke sini kalau hanya di kamar.” Laila terus menyerocos.

“Ya untuk ketemu kamu dong, lumayan aku sudah tidak menangis lagi kalau malam.” Aku tersenyum kepadanya dan menyeruput fruit punch.
“Kenangan itu jangan di lupakan, tapi jadikan itu pengalaman berharga…Percayalah Sayang, jodoh tak akan lari kemana.” Laila berkata serius kepadaku, tapi malah membuatku tertawa dan menepuk pundaknya. ”Ayo kita
snorkling
…”, tiba-tiba saja Hpku memekik pelan. Dan yang tau nomerku cuman…apakah kamu ?
“Sebentar Laila.” Aku berbalik arah menuju meja tempat Hpku berada. Laila mengikuti arahku dengan matanya.
Aku membukanya…tiba-tiba saja dadaku terasa sangat berdebar.

Maaf Ara, saya Angel, istrinya Nata. Saya sudah tau semua tentang kalian, tentang hubungan kalian. Ara, saya mohon, bisakah kamu datang ke Jakarta ? RS. Bintaro International, saat ini Nata sedang mempertaruhkan nyawanya, dia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan dia koma…sewaktu dia menggigau..yang kami dengar hanyalah namamu. Datanglah Ara…Saya dan anak-anak mohon kepadamu.

Tanganku bergetar ketika membaca e mail dari Angel.


Oh, kekasihku, apa yang telah terjadi pada dirimu, aku pun terjatuh lemas, untung saja Laila menangkapku dari belakang. Didudukkannya aku di sofa kamar. Aku menyodorkan Hpku kepada Laila, dia pun membacanya dan memelukku, ”Tabah ya Sayang, aku akan memesankan tiket ke Jakarta, penerbangan sore ini.”
“Tunggu Laila…aku belum bisa memutuskan aku akan datang atau tidak..” aku masih terisak dalam tangisku.
“Sayang, aku pastikan kamu akan menyesal seumur hidup kamu kalau tidak datang.” Laila berdiri di depan pintu kamarku.

Kami terdiam beberapa saat…..aku memandang Laila dan berkata, ”Baiklah, pesankan satu tiket untukku Laila.”

“Kamu bisa tanpa kutemani Ara? Ijinkanlah aku menemanimu Ara, kamu masih belum stabil gitu..” Laila menatapku seakan meminta persetujuanku.
Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum, ”Tidak Laila, aku akan ke sana sendiri.”

Semoga aku belum terlambat…


Breaki'News (2): Selamat Natal & Tahun Baru


Damai 4Ever...

Untuk segenap sahabat blogger yang merayakannya,
Selamat Natal dan Tahun Baru 2007...
Semoga damai tetap bersemayam di hati anda, kita, dan seluruh umat manusia penghuni planet ini.

Pepih Nugraha
Jakarta, 25 Desember 2006

Friday, December 22, 2006

Milis Populis: Hari Ibu (1)


Rubrik Baru

Tercetus gagasan untuk mempostingkan setiap mailing list atau biasa disingkat milis yang masuk ke alamat e-mail (imel) saya. Selama mengenal dunia internet, telah sajak lama saya menjadi anggota sejumlah milis. Tentu saja yang akan ditampilkan di Beranda T4 Berbagi ini adalah milis yang bermanfaat, tidak mengandung unsur SARA, dan yang penting masih ada kaitannya dengan belajar menulis.

Subyeknya bisa bermacam-macam, mulai artikel serius mengenai kebahasaan sebagaimana tulisan budayawan kontemporer Seno Gumira Ajidarma mengenai kebahasaan yang kelak akan saya tampilkan, artikel ringan, esai, anekdot, pengalaman sehari-hari, dan bahkan puisi. Saya memberi nama rubrik baru ini "Milis Populis". Artinya, materi tulisan yang di posting di sini mungkin sudah menjadi "populer" karena juga ada di blog lainnya, tersampaikan secara berantai dari milis ke milis, kait-mengait di dunia maya yang tanpa batas ini.

Sebagai materi pertama rubrik "Milis Populis" ini, saya tampilkan sebuah puisi berjudul "Kasih Ibu" bertepatan dengan Hari Ibu yang jatuh pada hari Jumat, 22 Desember ini. Puisi ini hadir dan tersebar di internet tanpa diketahui penggubahnya. Selamat menikmati....

"KASIH IBU"

Ketika usiamu 1 tahun, Ibu dengan penuh kesabaran memandikan dan memberimu makan
Kamu berterima kasih dengan menangis sepanjang hari...

Ketika usiamu 2 tahun, Ibu dengan cinta membimbingmu berjalan
Kamu berterima kasih dengan menjauh ketika ia memanggilmu...

Ketika usiamu 3 tahun, Ibu dengan penuh kasihmembuatkan makanan paling enak untukmu
Kamu berterima kasih dengan mengempaskan piring itu ke lantai...

Ketika usiamu 4 tahun, Ibu memberimu crayon tuk menggambar
Kamu berterima kasih dengan mencoret-coret dinding rumah...

Ketika usiamu 6 tahun, Ibu dengan rajin mengantarmu sekolah
Kamu berterima kasih dengan berteriak, "Aku ngga mau sekolah!"

Ketika usiamu 9 tahun, Ibu membayar uang les pianomu
Kamu berterima kasih dengan malas berlatih...

Ketika usiamu 11 tahun, Ibu mengajakmu dan teman-teman nonton bioskop
Kamu berterima kasih dengan minta duduk di baris terpisah...

Ketika usiamu 12 tahun, Ibu melarangmu menonton acara tertentu di televisi
Kamu berterima kasih dengan berharap ia cepat-cepat pergi...

Ketika usiamu 13 tahun, Ibu menyarankan model rambut yang cocok
Kamu berterima kasih dengan mengatakan seleranya jelek...

Ketika usiamu 15 tahun, Ibu berharap pelukan sepulang bekerja
Kamu berterima kasih dengan mengunci kamar tidurmu...

Ketika usiamu 18 tahun, Ibu menangis terharu pada wisuda SMA-mu
Kamu berterima kasih dengan berpesta hingga subuh...

Ketika usiamu 19 tahun, Ibu membayar uang kuliah, mengantar dan membawakan barang bawaanmu ke asrama kampusmu
Kamu berterima kasih dengan mengucapkan selamat tinggal di luar agar jangan sampai teman-temanmu melihatnya...

Ketika usiamu 20 tahun, Ibu bertanya apakah kamu sudah punya pacar
Kamu berterima kasih dengan menjawab ketus itu bukan urusannya...

Ketika usiamu 21 tahun, Ibu mengusulkan karir yang cocok untukmu
Kamu berterima kasih dengan mengatakan bahwa kamu tak ingin seperti dirinya...

Ketika usiamu 22 tahun, Ibu memelukmu bangga di hari wisudamu
Kamu berterima kasih dengan meminta biaya perjalanan keliling Eropa...

Ketika usiamu 24 tahun, Ibu bertanya apakah engkau dan tunanganmu sudah memiliki rencana masa depan
Kamu berterima kasih dengan menggerutu, "Aduh Ibu, tak usah tanya-tanya itu deh!"

Ketika usiamu 27 tahun, Ibu membiayai pesta pernikahanmu
Kamu berterima kasih dengan memulai hidup baru, di tempat yang jauh dan tak pernah peduli lagi dengan kabar ibumu...

Ketika usiamu 30 tahun, Ibu berbagi pengalaman mengurus bayi
Kamu berterima kasih dengan mengatakan cara itu sudah kuno...

Ketika usiamu 40 tahun, Ibu mengingatkan ulang tahun kerabat
Kamu berterima kasih dengan mengatakan dirimu sibuk tak ada waktu...

Ketika usiamu 50 tahun, Ibu mulai sakit-sakitan dan berharap agar kamu dapat mengurusnya dengan baik
Kamu berterima kasih dengan mengeluh panjang lebar bahwa dirimu sibuk dengan suami, anak, dan pekerjaanmu...

Dan suatu hari, tanpa kausadari, Ibu telah meninggal dunia
Tinggallah dirimu menyesali segala hal yang tak pernah kaulakukan untuknya...

Jika ibumu masih ada, jangan pernah lupa untuk mencintainya
Jika ia telah tiada, ingatlah kasih sayangnya yang tanpa syarat
Ingatlah selalu untuk mencintai ibumu, karena kamu hanya memiliki satu ibu seumur hidupmu.

Puisi yang sangat indah dan menyentuh, setidak-tidaknya saat mengakhiri postingan ini teringatlah saya pada almarhumah ibu, dan tanpa sadar batin berucap lirih... "Maafkan aku, Ibu!"


Pepih Nugraha
Jakarta, 22 Desember 2006

Thursday, December 21, 2006

Catatan (14): Orang Hilang


Hilangnya Orang-orang Tercinta

Pernahkah di antara kita kehilangan saudara dekat atau bahkan keluarga kita karena suatu sebab? Bisa hilang di medan perang, bisa hilang di negeri orang saat berjuang mencari nafkah, atau bahkan hilang di negeri sendiri karena suatu sebab pula. Konon, peristiwa kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan keluarga yang kita kasihi di negeri sendiri!

Mengapa kehilangan orang terdekat sangat menyakitkan? Karena kita seperti digantung seumur hidup tetapi tidak kunjung mati juga. Bila orang yang kita kasihi itu meninggal atau tewas karena suatu kecelakaan, rasa penasaran kita tidak akan digantung sepanjang raga masih bernyawa karena kita tahu persis dimana kuburnya.

Makam atau kuburan adalah bukti perjalanan terakhir hidup manusia. Ia adalah tonggak dimana raga seseorang ditanam di pelukan tanah merah. Sedang orang hilang yang tak tentu rimbanya? Ia akan menjadi malapetaka sepanjang hayat bagi keluarga dekat yang ditinggalkannya. Kita tidak pernah tahu apakah ia sudah meninggal atau masih hidup. Mereka yang kehilangan saudara atau orang terdekatnya, harus menanggung malapetaka itu selama ia membuka mata.

Aku punya tetangga yang sudah setahun lebih ini kehilangan anak gadisnya yang masih muda. Ia hilang tanpa jejak. Kita tidak pernah tahu apakah ia mati terbunuh, korban perdagangan perempuan, atau hal lainnya, mengingat anak tetangga itu tergolong wajah berpunya. Ingin rasanya aku menulis tentang anak gadisnya yang hilang tanpa jejak itu dan mem-posting-kan tulisan serta fotonya di blog ini jika tetangga saya itu mengizinkan. Siapa tahu, di antara kita ada yang mengenalnya.

Aku sendiri pernah akan kehilangan anakku satu-satunya (paling tidak satu-satunya untuk saat ini), saat anakku dan bundanya serta bibinya berkunjung ke Makassar, saat aku bertugas di kota Anging Mammiri itu. Peristiwa terjadi Januari 2003, sebuah momen hidup yang terus kuingat dengan baik.

Sore itu aku masih bekerja memeriksa berita teman-teman di Biro Kompas Indonesia Timur di Kompleks Panakukkang Mas, Makassar. Aku melihat di luar kaca jendela seorang anak bercelana pendek melongok-longokkan kepalanya di luar kaca, melihat ke dalam ruangan. Ia mengenakkan T-Shirt cokelat bergaris putih. Ia mengetuk pintu, tetapi tidak terdengar karena gemuruh lalu lintas kendaraan yang cukup ramai di depan kantor. Untungnya pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang kerja terbuka dan aku duduk di kursi sehingga bisa melihat ke arah luar. Astagfirullah, bukankah itu anakku…

Aku membuka pintu dan anakku memelukku erat sambil menangis. Kudekap dia dan kurasakan jantungnya berdebur keras. Ia tidak bisa menjawab mengapa bisa sampai di kantor, di tempatnya yang tidak ia kenal karena “habitatnya” selama ini adalah Jakarta. Rupanya anakku, Zhaffran, tidak bisa menemukan kendaraan yang diparkir bunda dan bibinya di sebuah toko pakaian, yang jaraknya ke kantor kurang lebih satu kilometer. Padahal, bunda dan bibinya masih berada di toko itu. Anakku menganggap mereka sudah pulang duluan dan ia harus segera menyusul pulang. Pilihannya tidak pulang ke rumah dinas di cluster Gladiol, mungkin dengan pertimbangan sore-sore begini aku masih bekerja. Suatu pertimbangan yang matang!

Syukur, anakku yang kala itu masih berusia enam tahun tidak panik saat berusaha menelusur kantor tempatku bekerja. Beruntung pula ia tidak panik dan kemudian memutuskan naik pete-pete (angkot) yang biasa mangkal di pertokoan itu tetapi tidak pernah lewat depan ke kantor Kompas karena harus berbelok ke Jalan Adhyaksa. Kalau dia sampai naik pete-pete yang pasti akan membawanya ke pusat keramaian lapangan Karebosi, tipislah harapanku bisa bertemu lagi dengan anakku…

Mungkin ia akan hilang tak tentu rimbanya, di kota Makassar yang tentu sangat asing baginya, atau seseorang mengapalkannya ke luar Makassar untuk dipekerjakan di jermal-jermal yang tak terjangkau akal!

Yang akan kuceritakan ini adalah orang hilang di lingkungan dekat mertuaku, pasangan Achmad Suhendi dan Eutik yang berdomisili di Bandung. Suhendi adalah anak tertua dari 14 bersaudara. Ia kehilangan salah satu adiknya, Achmad Sobana bin Muhammad Soelkan yang biasa dipanggil Memed, anak kelima dari 14 bersaudara itu. Bayangkan, ia telah dianggap hilang sejak tahun 1963, saat ia pamit ke Jakarta untuk bekerja sebagai guru.

Ia lahir 9 Juni 1940, dengan demikian saat ia meninggalkan Bandung menuju Jakarta masih berusia 23 tahun. Anehnya, setelah itu ia hilang tak tentu rimbanya, tiada kabar dan berita. Menurut Suhendi, kontak terakhir dengan si orang hilang terjadi pada 1967. Setelah itu, Memed seperti hilang ditelan bumi. Dari dokumentasi fotonya yang aku dapat di Bandung saat lebaran lalu, tampak ia masih sangat muda sebelum berangkat ke Jakarta.

Agar lebih rinci siapa kakak-adiknya, berikut urutan keluarga besar itu: 1. Achmad Suhendi, 2. Siti Maemunah, 3. Siti Hapipah, 4. Achmad Kurnia, 5. Achmad Sobana, 6. Suhud Priyatna, 7. Barnas Setiawan, 8. Dedeh Juaendah, 9. Siti maridah, 10. Tedjaningsih, 11. Herliyani, 12. Herlina, 13. Rohman Suhendar, dan 14. Rohmat Wibisana.

Setiap tahun, saat idul fitri tiba, keluarga besar Suhendi selalu berkumpul memanjatkan doa agar “si hilang” bisa kembali. Doa yang dipanjatkan setiap tahun tanpa bosan dan tanpa harus merasa sia-sia. Dalam kesempatan ini, sengaja kucoba mempostingkan foto Achmad Sobana alias Memed itu di atas. Siapa tahu, di antara sahabat blogger ada yang memiliki rekan, tetangga, saudara, suami, kakek, atau ayah bernama Achmad Sobana yang kini sudah berusia 66 tahun, mengenalnya dan memberitahuku, minimal di blog ini, atau melempar informasi ke alamat imel pepih_nugraha@yahoo.com.

Salah satu doa dan harapan keluarga besar itu yang masih kuingat adalah, “Kembalilah, Saudaraku, kami masih tetap menunggu….”

Pepih Nugraha
Jakarta, 21 Desember 2006

Novelet: Mystery of Love (7)

"Mystery of Love"
Oleh TIA



MAU dinner di mana sih ?

Message sent.

Tak lama, Hpku memekik pelan.

Dragon Boat Restaurant… aku dah di depan kamarmu nih.

Aku mematut diriku lagi…ah lumayan deh, senyum sekali lagi, muter-muter sekali lagi. Tiba-tiba Hpku memekik lagi.

Cantik..cantik Hun…kalau pun kamu keluar dalam bentuk nenek-nenek aku tetap cinta kamu.

Aku pun menyeringai malu dan berjalan ke arah pintu. Dan membukanya. Kulihat kamu nyengir di depanku,” Bener kan? Tadi itu kamu lagi ngaca.”


Aku hanya menanggapimu dengan senyuman. Kamu memberikan pelukan erat kepadaku, mencium keningku dengan penuh rasa sayang dan mencium bibirku sekilas.

“Hei, lipstikku menempel tuh di bibir kamu.” Ujarku sambil membersihkan bibirmu dengan jari telunjukku. Kamu pun cuma tersenyum, aku tau kamu menikmati sentuhan jariku.

Dragon Boat Restaurant adalah restoran yang terkenal di Hongkong, tidak hanya di Asia, tapi juga seluruh dunia. Banyak turis yang bilang, kalau belum makan di Dragon Boat Restaurant, belum ke Hongkong namanya.

“Aku memesan tempat di sudut ruangan yang agak privasi, malas saja kalau nanti aku bertemu dengan klien di sana, klienku yang dari Hongkong terkenal dengan keramahan dan rasa persaudaraannya Hun, jangan-jangan nanti kita disuruh gabung makan sama mereka barengan, padahal kita kan mau melepas rindu berdua saja, hehehe.”

Kamu menarik bangku tempatku akan duduk dan mempersilahkan aku duduk. Kemudian, kamu pun duduk di depanku. Setelah memesan makanan, kita pun menunggu dalam diam, hanya mata yang saling berpandangan.

“Mata berbicara banyak yah.” kataku, merasa jengah dengan pandanganmu yang seakan menusukku.

Kamu tersenyum kepadaku,”Di dalam mata, kamu akan melihat suatu kejujuran Hun,…”

Aku teringat akan sesuatu, aku ambil bungkusan yang sudah kubungkus rapi dengan plastik hias transparan dan berpita, ”Ini untukmu Cinta, gajah-gajah dari Thailand.”

Kamu tersenyum, meraih bungkusan tersebut, membukanya dan berkata,” So nice hunI love it, thanks a lot.”

Kamu memberiku kode untuk melihat ke pemandangan malam kota Hongkong dari arah restoran, aku pun mengikuti kodemu dan melihat,” Banyak permata-permata di sana Hun, jamrud…giok…safir…mirah…berlian, tapi kamu permata yang paling bercahaya di sini.”

Aku melihat ke arah lampu-lampu kota Hongkong yang berwarna-warni.

Sekilas aku bayangkan lampu-lampu tersebut laksana batu-batuan permata seperti yang kamu sebutkan. Aku pun kembali mengalihkan pandanganku ke arahmu, sekilas aku melihat kamu mengambil sesuatu dari saku kemejamu. Saat itu juga lagu Moon River dari Andy Williams mengudara di ruangan tempat aku dan kamu duduk. Suasana yang semula hiruk pikuk menjadi syahdu. Bergantian aku menatapmu dan kotak kecil yang berada di genggamanmu.

“Ada apa ini Cinta?” aku menatapmu tak mengerti.
“Hun...” sebelum kamu melanjutkan kata-katanya, aku langsung menukas, ”Aku tak bisa Cinta, kamu masih punya istri.”
“Minimal kita tunangan, dan cincin ini sebagai tanda pengikat dariku.” Matamu menatapku. Dan dia lanjutkan lagi kata-katamu. “Aku akan berbicara kepada istriku Hun, aku akan berterus terang kalau aku jatuh cinta kepada dirimu, dan akan menikahimu.” Kamu berkata mantap.
“Kamu sudah gila apa? Kamu akan menyakiti perasaannya sekaligus anak-anak kamu.” Cetusku pelan, aku memberanikan diri menatap matamu, mata yang indah, yang selalu mejadi impianku untuk selalu dipandangmu, agh…
“Aku juga tak bisa kehilanganmu Hun… apalagi melepasmu, aku tak bisa…kamu bagai pemuas dahagaku di kala kehausan, kamu melengkapi hidupku Hun, memberikan warna cinta dalam hidupku yang kosong.”


Ada getar dalam nada suaramu.

“Kamu bisa mendapatkan makna cinta yang sesungguhnya dari anak-anakmu, dan cintailah istrimu lagi, berilah kesempatan bagi dia untuk mencintaimu lagi, maaf, aku harus pergi Cin…maaf aku tak bisa menerima semuanya ini.”

Aku berdiri dan kemudian berlari keluar restoran, oh..kutahan air mataku yang hendak tumpah, aku menolak kesungguhan dan keseriusan dari Mas Nata, laki-laki yang sangat kucintai dan kusayangi, semua ucapanku tadi sangat bertolak belakang dengan apa yang aku inginkan.

Hanya satu saja yang bisa membuatku berkata seperti itu…Nisa dan Lia, anak-anak Mas Nata. Mereka sangat mencintai papanya, dan aku tidak ingin mereka bisa berubah membenci papanya kalau Mas Nata menikah lagi denganku. Memikirkan hal itu saja aku sudah tidak sanggup.

Semalaman aku tidak menerima e mail dari kamu…agh…mungkin kamu sudah membenciku. Hancurnya hatiku , aku menangis pilu meratapi semuanya, bercampurnya rasa penyesalan, aku sendiri yang sering bilang kepadamu untuk mengikuti kata hatimu, tapi aku sendiri pula yang mematahkan keinginanmu untuk mengikuti kata hatimu dengan ingin bertunangan denganku.

Malam itu kuhabiskan dengan membiarkan hatiku merintih sendu…
(Bersambung)

Monday, December 18, 2006

Novelet: Mystery of Love (6)


"Mystery of Love"
Oleh TIA

Ginza, Tokyo di hari Minggu. Aku berjalan kaki bersamamu. Kamu bercerita banyak mengenai gaya hidup orang Jepang yang sangat kecanduan bekerja. Sesekali aku tidak mengindahkan omonganmu, kalau sudah melihat objek yang menarik untuk di foto.

“Ah, istirahat dulu yuk, disana.” Kamu menunjuk ke arah restoran sushi.
Aku pun mengikuti langkahmu.


Sambil menyantap sushi dan ditemani minum bancha ( japanese green tea ), kita memulai obrolan kita.

“Nisa, anakku yang sulung sudah bisa menulis e mail untukku, dia bercerita banyak mengenai sekolahnya, nilai raportnya kemarin bagus loh Hun, aku bangga banget dengan dia.” Tatapan matamu berbinar-binar ketika menceritakan anakmu.
“Papanya saja smart banget.” Ujarku sambil tersenyum.
“Dia tanya kapan aku pulang lagi ke Jakarta, bisa anterin dia dan Lia sekolah, nemenin mereka jalan-jalan sewaktu weekend.” Kamu menyeruput banchamu.
“Trus, kamu bilang apa Cin?” tanyaku sambil menyumpitkan sushi ke mulutku.
“Aku janji kepada dia, liburan sekolah nanti ajak mereka berdua jalan-jalan ke Tokyo, sekalian mereka bisa juga menemani aku bekerja disini.” Kamu membuka mulutmu lebar-lebar menerima suapan sushi dariku.
“Istrimu tidak kamu ajak?” tanyaku sambil meminum bancha seteguk.
Kamu menatapku dan berkata,”Dia tidak punya waktu kalau ke sini, dia sibuklah ama urusan bisnis garmentnya di Jakarta.”

Dalam hati, aku sungguh heran kepada istri Mas Nata, sesungguhnya dia wanita yang bagaimana sehingga tega membiarkan suaminya bekerja sendirian di luar negeri, bukankah kodrat wanita itu melayani suami dan anak-anaknya, apalagi Mas Nata sudah berlebihan dalam urusan finansial. Kelihatan banget Mas Nata sangat membutuhkan perhatian dari seorang wanita. Aku tatap kembali Mas Nata, dan kamu kemudian membalas tatapanku,”Ada apa Hun?”, aku tersenyum kepadamu dan menggelengkan kepalaku,”Tidak ada apa-apa, sushinya enak?”

Kelak aku akan membahagiakanmu Cinta…

**
DARI Sukhumvit, Bangkok, aku menikmati jalan-jalanku di daerah pusat kota Bangkok itu. Dengan ditemani alunan suara merdunya Celine Dion dari IPODku. Padatnya daerah itu membuatku memilih busana casual hari ini. Celana camel selutut berkantong banyak, kaos oblong putih bertuliskan Hard Rock CafĂ© Milano, kaos kaki pendek dan sepatu kanvas berwarna crème, tak lupa aku membawa tas cangklong kesayanganku, sudah rada buluk emang, sampai-sampai sewaktu aku dan kamu berjalan-jalan di Ginza beberapa waktu yang lalu, kamu memaksaku untuk membelikanku tas yang baru. Sempat terjadi perlawanan besar-besaran dariku ketika kamu hendak menarik tanganku masuk ke dalam butik Moschino. Dan dalam urusan tas cangklong kesayanganku, sudah saatnya bagimu untuk menyerah. “Ya sudahlah terserah kamu Hun, biar disangka abege terus ya, pake tas anak SMA kayak gitu.” Katamu tersenyum pahit.


Di Sukhumvit banyak terdapat penjual makanan, pakaian dan handicrafts. Aku melihat-lihat dan sekaligus mengambil beberapa gambar yang aku anggap bisa untuk menambah koleksi portofolioku. Dan kemudian mataku terarah ke toko Handicrafts, sejenak mataku tertumpu pada patung dua gajah berwarna hitam bersepuh warna keemasan dan ditaburi berlian imitasi berukuran kecil, dua gajah yang aku tebak itu adalah sepasang gajah jantan dan betina, setelah aku tanya kegunaannya kepada penjual di sana, dia menjawab biasanya digunakan utuk menahan kertas-kertas dokumen di meja kantor.

Aku langsung saja teringat kepada kamu, mudah-mudahan gajah ini bisa mempercantik meja kerjamu. Setelah menawar dan menyepakati harga yang diputuskan, aku segera memasukkan patung gajah tersebut di tas cangklongku. Wah, lumayan berat juga nih.
Sambil menikmati iced lemon tea, di sebuah warung kecil. Aku membuka Hpku, oh ternyata ada e mail dari kamu.

Hun, aku dengar kamu akan ke Hongkong akhir Minggu ini, kita bertemu di sana ya, menikmati malam romantis di HK bersamamu menjadi agenda utamaku minggu ini. Pagi sampai sore memang aku sibuk sekali, banyak meeting dengan beberapa calon klien, ah padahal hari Minggu yah, tapi gak ada libur2nya. Tapi memang hanya Minggu waktuku bisa ke HK. Oke aku kabari lagi nanti yah. Ohya, aku dengar Bangkok lagi panas-panasnya nih...jangan lupa bawa air mineral dingin ke dalam tas cangklong bulukmu, hehehe, muach..Luv n Miz U

Aku pun tersenyum lebar dan membalasnya, sehabis menyeruput iced lemon tea.

Insya Allah aku sampai HK Sabtu. Sukses deh meetingnya. Ohya, tas bulukku tidak cukup nih menerima botol mineral lagi, karena di dalamnya udah terisi 2 gajah untukmu, semoga kamu suka gajah2 itu yah, kan sama lucunya ama kamu Cinta. Luv n Miz U 2

Aku pun tertawa pelan sampai message tadi benar-benar sent.

Tak lama kemudian, e mail mu masuk.

Thanks ya Hun, aku tambah cinta kamu nih….

Aku juga Cinta…aku juga…
(Bersambung)

Friday, December 15, 2006

Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (7)


BAB 3
Khilaf dan Panik

KARENA kurang tidur, saya agak terkantuk-kantuk ketika berada di Mikrolet 08 jurusan Kota-Tanahabang yang kemudian bersambung naik Mikrolet 09 Tanahabang-Kebayoran Lama. Saya sudah sekalian pamitan kepada pengurus Wisma PGRI setelah membayar uang penginapan penuh, sebagaimana saya menginap di kamar biasa.

Sebelum meninggalkan wisma, saya tidak menceritakan pengalaman “mengerikan” tadi malam kepada si petugas wisma, khawatir dikira mengada-ada yang ujung-ujungnya dikira meminta potongan harga. Saya teringat film-film Hongkong dimana orang yang mau makan gratis di restoran dengan sengaja mencemplungkan lalat atau cicak di sisa makan mereka, lalu melancarkan protes kepada si pemilik restoran dan ujung-ujungnya tidak mau membayar. Saya tidak mau dikira seperti itu.

Biar sajalah, ini menjadi rahasia pribadi. Tetapi saya sangat hormat kepada si penjaga wisma. Selain karena saya sudah diberi tumpangan menginap, petugas juga menyediakan sarapan pagi berupa telur rebus dan sepotong roti tawar, plus teh manis panas, yang asapnya masih mengepul menerbitkan selera. Makanan untuk sarapan itu digeletakkan begitu saja di lantai tanpa membangunkan saya yang sempat tertidur.

Semula saya ragu-ragu memakannya, jangan-jangan ini sesaji buat mengusir hantu. Tetapi saya yakinkan sendiri bahwa sarapan itu buat saya. Saya pun menyantap makanan itu tadi, sebelum mandi. Nikmat sekali!

Saat mikrolet tersendat di sekitar Slipi, saya sempat teringat adik perempuan kesayangan keluarga kami, Tania, yang kala itu masih berusia sembilan tahun, masih kelas lima SD. Alangkah senangnya kalau saya bisa membelikan sesuatu atau oleh-oleh kalau saya sudah mendapat penghasilan sendiri. Tetapi saya tidak yakin akan keputusan saya melamar di Kompas ketika orangtua justru berharap saya menjadi dosen. Jangan-jangan mereka tidak berdoa atas usahaku.

Padahal kalau lulus, alangkah bahagianya saya sebab setelah diwisuda tidak harus mencari-cari pekerjaan lagi. Saya juga bisa membantu uang kuliah Dadang, adik saya yang saat itu kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Bukankah saya juga bisa membeli buku sesuka saya, atau pergi kemana saya suka dengan gaji yang kelak akan saya terima. Alangkah, alangkah….

Juga kepada teman-teman kuliah, barangkali bisa menjadi inspirasi bahwa jurusan baru pun, yakni jurusan ilmu perpustakaan, bukanlah jurusan yang lulusannya bakal jadi “calon penganggur” atau sarjana yang menenteng-nenteng map keluar masuk kantor untuk melamar bekerja. Tidak. Saya ingin membuktikan bahwa sebelum diwisuda pun jurusan baru itu bisa dibutuhkan, bisa siap pakai. Apalagi kalau pembuktiannya adalah bisa diterima bekerja menjadi pustakawan Kompas. Bangga, barangkali.

Nyatanya, saat tes yang menentukan itu saya terserang kantuk berat. Padahal ini tes kecakapan khusus, sudah memasuki tes bidang, yakni bidang ilmu perpustakaan. Wah, ini gara-gara semalam didatangi hantu sehingga saya tidak bisa tidur. Saya memaki diri sendiri, mengapa harus takut makhluk halus kalau jadinya begini.

Materi yang diujikan pagi itu adalah meresensi atau membuat intisari (summary) dari artikel tentang politik dalam negeri Filipina, khususnya kinerja pemerintahan Corazon Aquino. Artikel panjang itu diambil dari Majalah Asiaweek serta Far Eastern Economic Review (FEER) dan harus dibahasakan menurut pemahaman sendiri dalam bahasa Indonesia. Jadi bukan menerjemahkan. Penguji sudah mewanti-wanti ini sebuah kerja meringkas, bukan menerjemahkan.

Sesungguhnya saya tidak kaget-kaget amat dengan laporan utama sebuah majalah berbahasa Inggris. Selama menjadi mahasiswa, saya kerap datang ke perpustakaan universitas untuk meminjam buku-buku berbahasa Inggris. Juga membaca-baca majalah berbahasa Inggris di British Council, dan bahkan majalah-majalah berbahasa Jerman di Goethe Institut. Jelas sudah terbiasa membaca dalam bahasa asing yang sulit-sulit.

Satu hal lagi yang menolong saya, selama satu tahun terakhir saya bergabung dengan tabloid mingguan Memorandum yang terbit di Yogyakarta. Ceritanya saya diajak teman sekelas saya, Mohammad Toha, yang lebih dahulu bergabung sebagai reporter yang ditempatkan di Bandung. Maksud saya bergabung di situ bukan karena materi alias mencari uang, tetapi sekadar mencari pengalaman. Toh saat itu cerpen-cerpen saya sudah menjadi langganan majalah anak dan remaja, juga koran-koran dewasa.

Benar saja, selain tahu bagaimana meliput dan mewawancarai (salah satunya wawancara dengan pakar linguistik Dr Jus Badudu), saya juga berkesempatan menerjemahkan majalah-majalah berbahasa Inggris seperti New Scientist. Tidak persis menerjemahkan, hanya memindahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan susunan kalimat yang tidak sama persis, kecuali kutipan-kutipan.

Ternyata kebiasaan itu sangat membantu mengerjakan soal yang diberikan dalam tes kecapakan khusus itu. Apalagi waktu yang diberikan cukup panjang, empat jam. Saya bergumam, bukankah saya biasa mengerjakan tiga lembar soal seperti ini cukup satu jam setengah saja.

Ah, saya terlalu percaya diri. Mungkin juga sombong. Saya tidak ngeh dan kurang teliti kalau soal itu sebenarnya enam halaman, karena difotokopi secara bolak-balik. Pantas orang lain tekun mengerjakannya dan bahkan beberapa di antaranya berkeringat di ruang berpenyejuk udara, tetapi saya tenang-tenang saja dan sudah saya kerjakan dalam waktu satu setengah jam saja. Meski demikian, saya tetap memutuskan untuk tidak keluar lebih dahulu untuk menyerahkan hasil tes itu.

“Kalau sudah selesai, silakan kumpulkan saja,” kata penguji ketika waktu tinggal setengah jam lagi, seakan-akan tahu kalau saya sudah tidak betah duduk di situ. “Jangan lupa lho, lembaran itu bolak-balik, seluruhnya enam halaman.”

Astaga!

Saya menjerit dalam hati. Dalam hidup ini saya pernah merasa kaget dan terpukul dua kali, yakni saat dinyatakan tidak lulus Sipenmaru tahun 1984 dan saat saya diputuskan pacar pada hari dimana saya dinyatakan tidak diterima di universitas negeri alias tidak lulus Sipenmaru! Itu saja. Sekarang terpukul yang ketiga kalinya.

Keringat dingin mulai keluar. Apa artinya saya membaca majalah-majalah berbahasa Inggris dan menuliskannya kembali dalam Bahasa Indonesia kalau saya tidak tahu bahwa dua berita utama itu seluruhnya enam halaman. Saya hanya mengerjakan tiga halaman saja tanpa melihat apalagi membaca halaman sebaliknya pada masing-masing lembar. Huh, sekarang sudah bukan kening saja yang berkeringat, tetapi seluruh badan sudah berlumur keringat. Satu kata yang saya teringat kala itu: gagal!

Ah, tidak boleh gagal!

Pada sisa waktu tigapuluh menit terakhir, saya pura-pura menyalin kembali apa-apa yang sudah saya tulis dengan alasan agar lebih baik dan bisa terbaca. Penguji pun terheran-heran. “Waktunya sudah hampir selesai lho, kenapa harus disalin kembali, itu buang-buang waktu,” kata si penguji. Saya menerima kalimat itu sebagai vonis: kamu tidak bakal lolos! Saya tetap menyalinnya sambil menyisipkan kalimat-kalimat yang saya dapat dari sisa tiga lembar sebaliknya yang belum saya sempat baca.

“Apakah ada penambahan waktu?” tanya saya putus asa ketika waktu tersisa sepuluh menit lagi.
“Tidak ada!”

Penguji, dibantu beberapa asisten, malah sudah mulai mengumpukan kertas-kertas kerja ujian dari peserta lainnya. Saya membaca cepat dengan teknik scanning dan bahkan jamming, teknik membaca cepat yang pernah saya baca dari buku perpustakaan.

“Ya, waktunya habis. Kumpulkan!”

Usai si penguji sekaligus pengawas itu mengetukkan kalimatnya, saya sudah hampir membuat tulisan revisi. Benar-benar revisi karena selain ditulis ulang, juga harus menyisipkan kalimat-kalimat penentu yang ternyata banyak bertebaran di tiga lembar yang justru tidak saya baca.

Bagaimanapun, saya harus bersyukur kepada Allah SWT, sebab rasanya mustahil mengerjakan ulang resensi saya dalam waktu 30 menit. Ah, nyatanya bisa. Saya merasa ada invisible hands atau tangan-tangan yang tidak kelihatan yang meringankan tangan saya mengerjakan soal-soal resensi itu. Paling tidak, dalam dua atau tiga hari lagi saya sudah menerima putusan diterima atau tidak. Saya hanya bisa menunggu.

Pepih Nugraha
Jakarta, 15 Desember 2006

Thursday, December 14, 2006

Novelet: Mystery of Love (5)



Mystery of Love"
Oleh TIA

Dari kamar hotel di Prague, aku mengedit gambar-gambarku. Ah, untung saja ada yang menciptakan gadget-gadget canggih seperti Laptop, HP, XDA, dan IPOD. Kalau tidak, bagaimana aku bisa bekerja. Tuntutan pekerjaan yang selalu mobile seperti aku sangat membutuhkan piranti canggih tersebut.Terdengar lagu Nothings Gonna Change My Love for You yang dinyanyikan oleh Peppi Kamadhatu dari portable speaker nya IPOD. Sesekali sambil mengedit gambar aku ikut menyanyikan lagu tersebut. Aku sangat asyik dengan pekerjaanku, tidak sadar kalau ada e mail masuk ke Hpku.

E mail dari HP sudah kupastikan dari kamu. Semenjak kita jadian, semua e mail dari kantor aku pindahkan ke XDA. Aku tidak mau nanti ada kejadian salah kirim e mail.
Kemudian aku buka inbox nya :

Hun, saat ini aku lagi di jalan dekat Malostranské Bridge, kalau intuisiku tak salah, aku pasti bertemu dengan orang yang kurindukan sesaat lagi.

Aku memekik pelan…bagaimana kamu bisa tahu aku di Prague…
Aku membalasnya langsung,

Sepertinya aku tidak perlu menanyakan kenapa kamu bisa tau, saat ini yang akan aku lakukan adalah siap-siap menemui kekasihku…muach muach

Kubaca sekali lagi sebelum kukirim, ah norak…tapi biarlah.
Message Sent.

Turun dari taksi, aku sudah disambut dengan Mas Nata…hmmm, kamu tambah gemuk saja, pipimu yang tembem jadi kelihatan seperti roti ketika kita tertawa.

“Hm..betah nih di Jakarta…jadi tambah subur aja Cinta.” Kataku tersenyum padamu.
“Hahaha, kangen ama masakan Indonesia, jadi rada kalap aja, aku juga sempat lumayan lama di Tokyo.” Kamu tertawa sambil mengelus rambutku.
“Sehat kan Hun ?” Kamu menatapku lekat dan kedua tanganmu memegang bahuku.
“Seperti yang kamu lihat.” Aku berkacak pinggang dan memiringkan kepalaku.
Tiba-tiba saja kamu memelukku,”Aku kangen banget Hun…kangen…!”
“Hmmm, sama…” Aku pun mempererat pelukanku dan mengelus punggungmu.

Kita menikmati siang itu dengan berjalan di Malostranské Bridge, sesekali kamu menyarankan aku untuk mengambil gambar di sudut-sudut yang indah dari jembatan tersebut. Selanjutnya kita selalu berjalan dengan bergandengan tangan, kamu menggandengku erat, seakan aku ini milikmu yang sangat berharga.

“Aku cinta kamu Hun…” tatapmu ketika kita berdiri bersebelahan.
Aku menyenderkan kepalaku di atas bahumu,”Aku juga.”
Aku tau kamu pasti tersenyum tanpa aku melihatmu, karena aku pun juga tersenyum.
“Aku belum pernah merasakan perasaan ini…debaran ini…” katamu pelan.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapmu tajam,”Bagaimana kamu bisa menikah dengan istrimu.”
“Awalnya pernikahan kami bahagia, sehingga kami dikaruniai Nisa dan Lia, dulu aku dikenalkan oleh Mamaku, dia anak sahabat Mama. Namun semenjak pekerjaanku menuntut aku mobile, aku semakin jarang ketemu dengan dia, kemarin adalah waktu terlamaku di Jakarta setelah 10 tahun aku bekerja melanglang buana seperti ini dan…” kamu berhenti sejenak, menarik napas…
“Dan apa Cin? “ tanyaku tanpa melepaskan tatapanku ke kamu.
“Dan aku merasa hambar dengan pernikahanku, yang aku pikirkan hanya kamu...kamu…dan kamu.” Kamu balas menatapku.
“Karena kamu sedang kasmaran denganku…bisa saja perasaanmu hanya sesaat.” ujarku sambil melemparkan pandanganku ke burung-burung dara yang mencari makanan.
Kamu menghela napas lagi,”Sekarang kamu mulai tidak percaya lagi kepadaku Hun, kamu ingat gak dengan kata-katamu dulu, Ikuti saja kata hatimu…sekarang aku bercerita berdasarkan itu, kamu malah menyangsikan omonganku.” Nada suaramu terdengar agak kesal.
Aku menatapmu lagi, tersenyum,”Kamu marah ?”
Kamu tidak menatapku,”Gak, aku gak bisa marah denganmu.”
Aku mencium pipimu sekilas…kamu menatapku dan berkata,”Percayalah dengan kata-kataku Hun, hanya kamu sekarang yang ada di hatiku, setelah anak-anakku.”
Aku memberikan senyuman yang termanis untukmu,”I’ll try deh, hehehe.”
Kamu pun tertawa,”Ye…kok akan mencoba…harus percaya dong.”
Aku berjalan cepat meninggalkanmu, menengok ke arahmu dan berkata,”Kamu tau tujuan aku selanjutnya ?”
“New York…” kamu memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantelmu, “Ya kan Hun?”
Aku menghentikan langkahku dan berbalik arah sehingga berhadapan denganmu.
“Who are you Cinta ?”
“Belum saatnya kau tanya siapa aku Hun….yang penting kau tau perasaanku…” kamu berjalan mendekat ke arahku, membelai pipiku, dan mencium bibirku.

Hatiku mau meledak saja rasanya….
Kemudian aku bernyanyi pelan untukmu,…
Nothings gonna changes my love for you, you oughta know by now how much I love you…One thing you can be sure of, I ll never asking more than your love. Nothings gonna changes my love for you, you oughta know by now how much I love you, the world will change my whole life thru but nothings gonna changes my love for you…

Kamu menciumku bibirku lagi dan lama…


**

DI hotel, New York aku mempersiapkan semuanya sebelum berangkat, bahan untuk presentasiku sudah siap, kali ini aku membawa tas dokumen bersamaku, dan tentu saja, tas cangklongku yang sudah sangat setia menemaniku. Ah, semoga hari ini presentasiku berjalan dengan lancar.

E mail masuk ke XDA ku, dari Mr. John, atasanku langsung.

Good Luck Ara, but be carefull with Matthew, he is really perfectionist, maybe he will trap you with his questions about ur projects

Ruangan direksi terletak di lantai 55, ah jantungku terus berdegup kencang, dan aku tenangkan dengan membaca takbir, tahmid dan tahlil. Lift terasa begitu lambat saja. Satu persatu bule amrik yang tidak kukenal sudah mulai turun dari lift, di lantai 40, aku bertemu dengan Evelyn, dia sekretaris Mr. Matthew, dia tersenyum ramah kepadaku, “Good luck with your presentation today Miss. Samudra, there are Mr . Matthew and his friend, I heard that he is candidate of the vice president for our branch company in Asia.”
“Oh really…” kataku pelan.


Ting…lantai 55, pintu lift pun terbuka. Dan Evelyn mempersilahkan aku keluar terlebih dahulu. Aku menunggu dulu di sofa kulit berwarna hitam yang sangat empuk, di samping meja kerja Evelyn, sambil mengecek sekali lagi berkas-berkas yang aku bawa.

Lima menit kemudian Evelyn menyilahkan aku masuk, Mr. Matthew menyambutku sangat hangat dan ramah, dia pria kaukasian berumur sekitar 45 tahun, berwajah tampan ala Harrison Ford, dan bertubuh atletis, setelah beramah tamah dengan dia, pandanganku aku alihkan kepada sosok di belakangnya dan aku terpana.

“Miss Samudra, may I introduce to you…he is candidate of the vice president for our branch company in Asia, I can say that he is our best candidate...Miss Samudra, his name is Mr. Nata Pradhita, his from Indonesia too, same like you.”

Kamu menjabat tanganku erat, “How do you do…” kamu menatapku sambil tersenyum.
“How do you do Sir.” Aku pun membalas senyumanmu dengan senyum canggung.
Presentasi yang berjalan kurang lebih 1,5 jam serasa berjalan lebih dari setahun, aku menjaga intonasi suaraku agar terdengar mantap dan meyakinkan, hanya saja ketika mataku tanpa sengaja bertatapan dengan matamu, aku tiba-tiba saja menjadi grogi. Tetapi kemudian kamu memberikan senyuman untukku dan berkata tanpa suara..melalui gerak bibirmu, ”Kamu bisa Hun”


Ah, akhirnya presentasi berjalan dengan sukses, Mr. John benar, Mr. Matthew bukan orang yang mudah untuk diyakinkan, sempat beberapa kali dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mengenai proyekku. Tetapi akhirnya dia berkata juga kepadaku sambil menjabat tanganku,”Congratulation Miss Samudra, Asia is for you”, Alhamdulillah akhirnya proyek yang akan kugarap mengenai Asia di setujui juga oleh Mr. Matthew. Artinya bulan depan, aku sudah merambah ke Asia untuk mulai mengerjakannya.

Setelah keluar dari ruang direksi, aku terduduk lemas di sofa kulit yang nyaman tadi, aku lihat Evelyn memberikan kode kepadaku dengan jari tengah dan telunjuknya, membentuk kode Victory. Aku tersenyum lebar kepadanya,”Thanks..”
Hpku bergetar, rupanya masih aku silent.

Hun…aku tau kamu hebat, temui aku di Central Park 1 jam lagi yah, ada beberapa hal yang harus aku diskusikan dulu dengan Matt, Luv U

Matt? Kamu memanggil big boss hanya dengan sebutan Matt? Aku pun membalasnya,

Thanks buat pujiannya, aku traktir hotdog deh ntar, hehehe, c u 1 jam lagi, Luv U 2

Message Sent

Central Park terlihat begitu ramai siang itu, ada kunjungan anak-anak elementary school. Aku memilih bangku kosong di bawah pohon rindang. 30 menitan aku duduk dan menikmati suasana yang ada, Hpku memekik pelan.

Hun, dimana? Aku sudah membawa hotdog nih…
Aku tersenyum, membaca dan membalas
Pake dong intuisinya, biasanya kamu bisa menemukanku.
Semenit kemudian kamu membalas.
Kalau ketemu, kamu mau kasih apa ? hotdog sudah aku belikan.
Aku pun langsung membalas.
Apapun yang kamu mau

2 menit tidak ada balasan dan tiba-tiba kamu sudah berdiri di samping kananku,
“Apapun yang aku mau ya?”
Aku memandangmu dan tersenyum,”Yang aku bisa memenuhinya.”

Kamu tersenyum, duduk di sampingku, dan memberikan hotdogmu satu kepadaku.

“Hm…makan hotdog ama calon wakil direktur untuk Asia enak juga ya…” kataku menggodamu.
“Please deh, jangan ada yang berubah, aku tetap Cintamu yang sama.” Kamu menyipitkan matamu yang memandangku, salah satu cirimu kalau sudah kesal.
“Hahaha, kenapa sih tidak mau terus terang kepadaku, kalau kita bekerja di bendera perusahaan yang sama.” Kataku sambil mengunyah pelan hotdogku.
“Gak papa, lagian kalau aku bilang aku punya jabatan di atasmu, nanti kamu segan lagi” ujarmu sambil menatapku.
“Pantas aja, kita sering bertemu yah Cin…kamu disuruh mematai-mataiku oleh Matthew ya?” tanyaku penuh selidik.
Menghabiskan gigitan terakhirnya kamu berkata,”Semua itu kebetulan aja kali, kebetulan yang menyenangkan.”
Aku membersihkan remah hotdog yang tertinggal di sudut mulutmu,”Aku percaya kamu deh Cin”.

Siang itu kita banyak membahas tentang proyekku di Asia, kamu memberikan banyak masukan kepadaku…sembari kamu menjelaskan kepadaku, aku terus menatap lekat-lekat wajahmu.

Semoga Tuhan memaafkan aku karena aku sangat mencintaimu
.
(Bersambung)

Monday, December 11, 2006

Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (6)



Digoda Makhluk Halus

MALAM itu saya seperti berada di gurun pasir yang luas, seakan-akan saya tidak melihat batas ruangan karena lampu yang menyala hanya cukup menerangi seputaran velbed saja. Saya bersilonjor kaki di velbed setelah mengambil wudlu untuk shalat Isya. Ada beberapa buku yang saya bawa dengan maksud untuk dibaca, tetapi nyatanya buku-buku itu cuma membebani tas ransel saya saja. Dipaksa untuk membaca pun susah. Lagi pula, perasaan kok aneh, tidak seperti biasanya. Resah.

Batin saya bertanya, ada apa ini?

Dulu sebelum ibu meninggal, saya termasuk lelaki penakut. Saya bahkan takut mayat (nekrofobia). Saya tidak tahu kalau menjadi wartawan itu salah satunya harus bukan orang penakut, apalagi takut hantu. Akan tetapi setelah menjadi wartawan, saya justru di tempatkan oleh wakil kepala desk metro saya di kamar mayat RSCM, yang dalam keseharian harus akrab dengan mayat yang terbujur kaku dalam kadaver .

Saya juga pernah “digilai”, lebih tepat “disukai” hantu perempuan saat saya menempati rumah dinas di Makassar, Sulawesi Selatan, ketika menjadi Kepala Biro Kompas untuk Indonesia Timur. Kelak akan saya ceritakan dua peristiwa itu.

Kembali ke ruang aula Wisma PGRI yang besar… Baru tersadar, hanya saya sendirilah yang ada di ruang itu. Waktu sudah menunjuk pukul 22.00. Meski suara klakson kendaraan dan suara mesin bajaj yang khas dan ramai di luar, tetapi saya merasa kesepian. Asli kesepian.

Akhirnya saya bisa tertidur juga di atas velbed karena rasa capek yang mendera. Tetapi saya terbangun kemudian saat saya merasa aula itu menjadi gulita. Memang ada beberapa berkas sinar dari penerangan lampu jalan umum di luar menerabas tirai jendela aula, tetapi itu malah menyuguhkan suasana mengerikan.

Hawa panas tiba-tiba menyergap. Saya mencoba bangkit mendekati berkas sinar dari luar agar bisa melihat jam. Tirai tersibak. Jam 02.00 dinihari. Astagfirullah! Keadaan gelap begini! Lampu mati semua atau ruang ini senagaja dimatikan? Keterlaluan petugas itu kalau begitu. Tetapi saya tidak mau berprasangka buruk kepada resepsionis atau petugas wisma lain yang jelas-jelas sudah menolong saya, sudah menyediakan tempat buat saya untuk menginap.

Terpikir untuk pergi keluar menemui resepsionis itu di lobi ruang depan. Tetapi saya pikir, tidak enak melancarkan protes kepada mereka. Lagipula, ini sudah pukul 02.00, sebentar lagi adzan Subuh berkumandang. Sabar sedikit kenapa, pikir saya saat itu. Akhirnya, saya menyerah saja untuk bertahan dalam kegelapan… apapun yang terjadi.

Betul saja, tatkala saya mulai merebahkan diri di velbed yang mendadak dingin, saya mulai mendengar retsleting tas saya dibuka, tetapi sebentar kemudian ditutup kembali. Begitu seterusnya berulang-ulang. Perasaan sudah lain saja, bulu kuduk sudah mulai berdiri. Saya bangun untuk memeriksa. Ternyata retsleting tas ransel saya masih tertutup, bahkan terkunci karena memang saya menguncinya. Lalu saya berbaring lagi.

Salah satu ketakutan saya paling menekan saat itu adanya penampakan. Soalnya, saat saya SD dulu, saya pernah diberi kemampuan melihat makhluk halus sekaligus merekam peristiwa itu dalam benak saya, setidak-tidaknya dua kali.

Peristiwa pertama terjadi saat saya libur catur wulan di Kelurahan Tambora, Jakarta Barat, di kontrakan kakek-nenek saya dari pihak ibu. Mereka sudah almarhum semua. Rumah kontrakan berupa bedeng terbuat dari bilik bambu yang dilapisi kertas semen benar-benar membuat keadaan dingin malam itu. Angin leluasa menerabas ram kawat, mendorong gorden tipis berkibar-kibar terkena hantaman angin dinihari. Saya tertidur di atas dipan tanpa kasur. Awalnya saya tidur bersama kakek, Maknun Iskandar, tetapi kakek lebih suka tidur di langgar (mesjid) bersama tetangga, meninggalkan saya tidur sendirian.

Nah, pada malam yang dingin itu, saat di luar hujan turun deras dengan kilat menyambar-nyambar dan guntur yang menggelegar, saya terbangun karena merasa angin begitu kencang menerpa. Suasana gelap gulita. Lampu gantung bersumbu bertenagakan minyak tanah bergoyang kencang membentuk elips. Angin yang berembus dingin itu ternyata bukan yang menerabas ram kawat, tetapi angin dari arah pintu depan yang sudah terbuka. Saat itulah saya melihat sesosok perempuan muncul berpakaian putih dengan rambut yang tergerai melambai, sebagian menutup wajahnya.

Saya tidak mengenali wajahnya, tetapi jelas dia bukan nenek saya, sebab nenek tidur di belakang, di ruangan tempat tidur berkelambu, tempat tidur sekaligus dapur. Ia masih sangat muda dengan wajah yang teramat pucat… Saya tahu itu hantu, tetapi saya tidak bisa berteriak atau menjerit. Mulut saya rapat terkunci.

Saya baru terasadar ketika saya sudah terjatuh ke lantai tanah, terguling dari dipan itu dan merasakan sakit luar biasa. Rupanya kepala membentur tanah. Saya menangis sebelum kemudian nenek terbangun dan menemani saya tidur di dipan itu.

Saat kelas SMP, tahun 1978, baru saya ceritakan pengalaman itu kepada kakek dan nenek saat saya liburan.

“Oh, itu mah hantu Si Siti, Kakek juga sering menemukan dia jalan melayang ke arah bong,” kata kakek sambil tertawa. Bong yang dimaksudnya adalah peti mati bekas orang Cina. Nenek juga tidak menyangkal, bahkan ia baru memberi tahu bahwa di bawah tempat tidurnya terdapat dua bong bekas. Astagfirullah, jadi selama itu saya harus tidur di atas bekas peti mati orang Cina!

Peristiwa penampakan makhluk halus yang kedua, yaitu saat saya kelas dua SD tahun 1973, saat itu saya tidur bersama ayah. Saya menderita demam yang luar biasa parah, sampai-sampai suhu tubuh meninggi tak terkendali. Tiba-tiba pada tengah malam saya terbangun dan melihat di belakang ayah sesosok bayangan perempuan dengan rambut tergerai. Saya masih mengingat percakapan saya dengan ayah saat itu.

“Ayah, itu ada Bi Cucu!” kata saya menunjuk sosok perempuan yang sedang tergolek tidur dengan santai.
Ayah terloncat dari tidurnya karena saya mengguncang-guncangkan badannya yang atletis. “Mana? Mana?”
“Itu, di belakang ayah!”
“Ah, tidak ada, Nak!”

Jelaslah bahwa itu adalah penampakan makhluk halus.

Siangnya saya memeras otak apa kiranya salah saya. Mungkin tanpa izinnya saya telah duduk di atas sebuah batu saat mancing ikan. Saya teringat, siang harinya sebelum saya jatuh sakit panas-dingin, saya memang memancing dengan Asep Wahyu, salah seorang teman yang masih terbilang saudara. Saya memancing di sungai yang rimbun di Jati, di atas sebuah batu besar.

Pancingan saya laris manis waktu itu, bukan hanya ikan mujahir, ikan mas merah pun saya dapat. Tetapi itu tadi, rupanya saya telah duduk tanpa izin di atas batu besar itu dan si penguasa batu, kata “orang pintar” memang kuntilanak berujud perempuan, marah atas tindakan saya sehingga sengaja membuat saya jatuh sakit demam. Belum puas, ia pun datang pada malam-malam itu, yang membuat ayah terloncat dari tidurnya.

Nah, dua peristiwa itu menghantui saya. Ini aula yang cukup mewah, adakah makhluk halus atau hantu mau menampakkan diri di sini? Memang tidak menampakkan diri. Tetapi baru saja saya ngelangut untuk berusaha tidur lagi, “seseorang” yang tidak tampak mencekik saya sehingga saya susah bernafas. Saya merasakan adanya jari-jemari yang hangat yang melingkari leher saya. Tetapi akal mengatakan tidak ada orang mati dicekik hantu, kecuali dicekik manusia!

Saya melafalkan ayat kursi yang saya hapal sambil memegang leher. Tidak lama kemudian, saya merasakan tangan-tangan yang tak tampak itu mulai mengendurkan cekikannya, untuk kemudian saya pun terbebas. Jujur saja, saya tidak bisa tidur lagi selepas kejadian itu, sampai adzan Subuh ramai berkumandang, sampai kemudian lampu terang kembali.

Setelah selesai sarapan, saat saya pamitan sambil membayar uang penginapan, saya bertanya kepada resepsionis yang kemarin memberi saya peluang menginap di aula, apakah ia mematikan lampu tadi malam.
“Mati lampu? Tidak, tidak ada mati lampu! Saya tidak mematikannya,” katanya.

Ya, sudahlah! (Bersambung)
**

Pepih Nugraha
Jakarta, 11 Desember 2006

Novelet: Mystery of Love (4)


"Mystery of Love"
Oleh TIA

PAGI Hun…masih capek karena perjalanan semalam? Sayang sekali, padahal aku sudah menyiapkan tour ke Altes Rathaus atau semacam old town hall untuk kamu, cepat mandi gih, aku tunggu di sana jam 10, please jangan telat, Miz U so much!

Aku baca e mail dari Cintaku dengan mata setengah terpejam, aku tatap langit-langit kamar sambil mengumpulkan nyawa yang masih belum menyatu dengan tubuhku.
Sepuluh menit sudah cukup waktuku untuk bengong di atas kasur, dan kemudian bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu.


Selesai Subuh, Hpku yang masih aku silent, bergetar lagi.

Masih bobok? Gak subuhan ya? Gimana dengan tawaran tour privatnya? Reply ASAP please

Aku pun menggelengkan kepalaku dan membalas,

Sabar, aku lagi melipat mukena nih, iya jadi Insya Allah…Oke, ga usah dibalas deh, aku mau tidur dulu 1-2 jam, ngantuk banget Cinta…c u

Jam 10.15 menit, aku baru sampai ke Altes Rathaus, Vienna, aku lihat Cintaku bergegas menuju arahku dan merentangkan tangannya.

“Maaf Cinta, aku te….” Belum selesai kalimat itu aku ucapkan, kamu sudah memelukku erat dan menciumi rambutku.
“Aku rindu kamu Hun…Rindu sekali” Kamu mengelus-ngelus rambutku dan mempererat pelukanmu.
“Iya sama Cinta, aku pun rindu….hmm, kamu bau Zeus.” Kataku sambil melonggarkan pelukanmu.

Kamu tertawa memandangku, ah semakin tampan saja kamu apalagi dengan penampilan barumu, kumis tipis di atas bibirmu. “Rambutmu juga bau es krim mint.” Katamu sambil mengambil beberapa helai rambut sampingku dan menciumnya.

“Kukira dengan kumismu, daya penciumanmu berkurang Cinta…” kataku memandangnya usil.
Kamu tersipu malu,”Kalau tak suka, akan aku cukur…”
Aku berbisik di telingamu,”Aku suka kamu Cinta, apa adanya…” dan memberikan kecupan di pipimu.

Selesai mengitari Altes Rathaus, kita pun duduk di café yang berada di dekat situ.

“Ada apa?” kataku, merasa jengah kamu memandangku lama.
“Tidak...hm…” kamu mempermainkan gelas mungil black coffee mu.
“Ada apa Cinta ? aku mengulangi lagi pertanyaanku.
“Hun, selama sebulan aku harus kembali ke Jakarta, aku harus memeriksa pertanggungjawaban cabang di Jakarta dan sekaligus aku ingin bertemu dengan anak-anakku.” Kamu berkata pelan agar aku benar-benar memahami setiap ucapanmu.

Aku terdiam beberapa saat, meneguk cappucino caramelku dan berkata, “Okay Cinta, aku mengerti. Kamu tentunya juga akan melepas kangen dengan istrimu kan…” suaraku rada tercekat pada kata ‘istrimu’.

“Hun, maaf, tapi yah, mungkin aku juga akan melepas kangen dengan dia, tapi kan bukan itu tujuan utamaku ke Jakarta kan?” kemudian kamu meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Aku mengerti Mas…ngerti banget, posisiku…statusmu...itu semua sudah risikoku ketika aku memutuskan untuk berhubungan denganmu.” Kuusap tanganmu lembut.
“Terimakasih Hun…Kamu tahu perasaanku kepadamu” kamu pun tersenyum kepadaku.

Dan aku memaksakan senyumku kepadamu.

Menjelang tidur malamku, air mataku terus bercucuran, aku tak tahu perasaan sebenarnya yang ada dalam hatiku, membayangkan kamu dengan perempuan lain yang merupakan istri sahmu. Terus teringat kata-kata yang pernah diucapkanmu sewaku pertama kalinya kita mengobrol ”Aku kangen dengan anak-anakku”.

Berbagai perasaan campur aduk dalam hatiku, perasaan bersalah, cemburu, rindu, ah..tidurku tak tenang malam itu.

Hpku yang telah kusilent bergetar, e mail dari Mas Nata.

Maafkan aku Hun…kamu tidak marah kepadaku kan ?

Aku tidak membalas e mailmu.



**
PANDANGANKU menyapu bangunan-bangunan tua yang berada sepanjang sungai di Amsterdam. Setelah dari pagi tadi aku mengambil gambar bangunan-bangunan tua tersebut dengan menggunakan kamera digitalku, rasanya asyik sekali sampai-sampai tidak terasa beberapa kilometer terlewati dengan berjalan kaki (bisa saja sih aku menyewa sepeda, tapi aku ingin sekali-sekali napak tilas dengan kakiku), dan akibat berjalan kaki rasanya kedua kakiku mulai terasa pegal.


Di atas water bus yang aku naiki dari central station Amsterdam, rasanya impas sudah rasa capek akibat berjalan kaki tadi, tergantikan oleh pemandangan yang kudapat dari atas water bus ini. Mendengar pemandu yang berbicara dua bahasa, dutch dan english membuatku teringat akan kamu. Kamu yang serba tahu akan sejarah berdirinya suatu bangunan kuno. Ah, aku rindu sekali kepada Cintaku itu. Saat ini sudah larut malam atau pagi di Jakarta, aku kurang tahu dan ketika water bus ini melewati Stadhuis semacam town hall, aku pun menulis e mail kepadamu.

Malam Cinta, sudah lama kamu tidak mengirimkan kabar untukku…sibuk sekali ya? Dapat salam cinta dari atas water bus. Luv n Miz U

Message Sent

Ketika water bus melewati Rijks Museum, Hpku pun memekik pelan.
Balasan e mail darimu.

Ah…Amsterdam yah, salah satu negara yang paling bagus tata kotanya. Hun, aku memang sibuk sekali akhir-akhir ini, maaf tidak sempat menghubungimu. Tapi percayalah dalam setiap tarikan nafasku dan debaran di dadaku yang ada hanyalah namamu…Aku rindu sekali Hun.

Aku tersenyum membaca balasanmu, andai kamu tau Cinta, sebelum tidur malam pun, aku selalu menyebut namamu, berharap akan mimpi indah denganmu.
Ketika water bus di depan Beurs yang merupakan Stock Exchangenya Belanda. Hpku memekik lagi, namun kali ini ada telepon masuk. Aku lihat layarnya…hm…siapa ini yah.

Aku : Hello….
Suara di seberang : Hello Hun…
Aku : (Sumringah) Mas Nata?
Suara di seberang : Kok Mas Nata sih…tumben…biasanya Cinta.
Aku : (Tertawa) Hehehe, iya Cinta, aku kaget aja kamu telpon…belum tidur ?
Mas Nata : Ingin mendengar suaramu sebelum tidurku.
Aku : (Tersenyum) Ini di rumah ? Bagaimana keluargamu Cinta ?
Mas Nata : Aku di balkon hehehe, anak-anakku sehat, mereka sudah tidur dari tadi.
Aku : Istrimu sehat ?
Mas Nata : Iya Hun, dia juga sudah tidur. Bagaimana kamu Hun, kabarmu.
Aku : Sehat Cinta, hatiku saja yang rada lelah.
Mas Nata : Tau kok hun…tau
Aku : (tersenyum) Kok tau….
Mas Nata : Lelah karena menunggu kabarku kan ? hehehe…maaf Hun
Aku : (menghela nafas) Nevermind…I understand kok.
Mas Nata : Good Gal…
Aku : (terdiam)
Mas Nata : Kok diam ? Ohya, aku taruhan, kita pasti akan ketemu lagi secepatnya.
Aku : Kok kamu bisa yakin gitu Cin ?
Mas Nata : (tertawa) Lihat saja nanti Hun, okay…aku dah puas dengar suara kamu.
Aku : Bobok gih…mimpiin aku yah, hehehe
Mas Nata : Gak usah disuruh…I love you
Aku : Love you too
Mas Nata : I Miss you
Aku : Miss you too
Mas Nata : I need you
Aku : Need you too
Mas Nata : Oke..see you soon Hun...Muacchhhh
(terdengar suara kecupan di seberang sana)
Aku : (mengecup pelan) muach….
Klik..sambungan terputus...

Hatiku tenang sekaligus hampa, kekasih yang kupuja jauh di negeri seberang.
(Bersambung)

Saturday, December 09, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (17)


Menjadi Diri Sendiri (2)

Masih cerita tentang pelatihan penulisan di lingkungan santri. Ternyata saya memang harus menghadapi kejutan demi kejutan. Santri, tidaklah “sekolot” yang saya bayangkan. Mereka agresif dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat, juga terang-terangan dalam mengungkapkan ketidaksetujuan akan satu atau beberapa hal. Suasana begini yang saya suka di ruang kelas. Hidup.

Juga masih cerita tentang penulisan feature atau tulisan khas. Selaku tutor, saya punya kewenangan untuk bertanya di dalam kelas. Maka saya meminta seorang peserta untuk menjelaskan apa yang ditemuinya saat meliput suasana Mal Ambasador. “Saya tertarik melihat cewek-cewek cantik,” kata seorang peserta. Tentu saja ia berjenis kelamin pria.

“Punya cerita dari cewek-cewek cantik yang keluar masuk Mal Ambasador?” tanya saya.
“Tidak. Saya hanya terpukau melihat mereka. Jadi saya tidak punya cerita.”
“Oke. Setidaknya, apakah cewek yang masuk Mal Ambasador itu semua cantik?”
“Tidak juga. Ada juga yang biasa-biasa.”
“Mana yang lebih banyak, cewek-cewek cantik atau cewek yang berparas biasa-biasa seperti katamu?”

Peserta ini berpikir sejenak sebelum menjawab, “Sepertinya lebih banyak cewek-cewek cantiknya.”
“Hemm, kamu kurang yakin? Kenapa tidak dicatat saat itu kalau itu menarik perhatianmu? Bukankah kamu bisa menyimpulkan sementara waktu kalau cewek-cewek yang datang ke Mal Ambasador cantik-cantik?” kata saya dan masih melanjutkan tanya, “Kamu wawancara salah satu di antara mereka?”
“Tidak,” jawabnya jujur.

Saya potong, “Berarti kamu tidak punya cerita!”

Peserta pelatihan masih nampak bingung. Saya tidak mau menyiksa mereka terlalu lama dan melanjutkan, “Seandainya kamu tanya beberapa cewek yang menurutmu cantik-cantik dan kamu mendapatkan kenyataan, misalnya, bahwa cewek-cewek itu datang dari luar Jakarta, hemmm… bukankah kamu punya cerita di sini…”

Suasana hening. Saya tekankan lagi bahwa menulis feature bukanlah menulis cerita pendek yang bisa karang sana karang sini. Menulis feature harus melihat fakta dan bahkan melakukan peliputan partisipatif kalau memungkinkan.

Dulu rekan wartawan senior saya, Hendrowiyono, menyaru menjadi sopir taksi selama seminggu dan berusaha menyelami kehidupan sopir taksi di Jakarta. Dia gambarkan bagaimana sopir taksi itu makan, istirahat, dan bahkan buang air kecil kalau sedang bekerja di jalan. Hal-hal sepele yang tidak terpikirkan oleh kita, tetapi dapat ditangkap dengan baik lewat peliputan partisipatif. Menarik, bukan?

Masih rekan senior saya, DJ Pamoedji. Dia menyaru sebagai kernet truk jurusan Merak-Surabaya hanya untuk mengetahui kehidupan sopir truk selama perjalanan, yang konon punya banyak pacar di hampir setiap tikungan. Selain memotret kehidupan sopir truk dan “perjalanan batinnya” di warung-warung remang-remang, tulisan itu juga memotret prilaku polisi yang memalak sopir di hampir semua daerah.

Pokoknya tulisan itu begitu hidup. Kedua rekan yang saya hormati itu sekarang sudah pensiun, tetapi sesekali masih menulis untuk Kompas.

Waduh, sampai dimana ya saya bercerita, kok jadi ngalor-ngidul. Begini… saya masih memancing peserta pelatihan dengan pertanyaan, siapa di antara mereka yang sudah membaca salah satu dari empat novel Dan Brown yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ini karena ada pertanyaan dari peserta sulitnya mereka menentukan laporan utama untuk membuat majalah atau buletin intern pesantren. Sayangnya, belum ada seorang peserta pun membaca novel-novel Dan Brown.

Mereka terlihat keheranan mengapa tiba-tiba saya bertanya seperti itu. “Andai saja kalian membaca ‘The Davinci Code’ atau “Angels and Demons’, pasti ada hal yang menarik untuk kalian diskusikan di bilik-bilik pesantren. Sayangnya kalian tidak ada satupun yang membacanya… Jadi, mari kita diskusikan ke hal lain saja!” ajak saya.

Waw, saya sampai lupa kalau saya hendak menceritakan tentang bagaimana pentingnya menjadi diri sendiri saat menulis feature. Saya katakan, menulis berita, itu bisa diseragamkan oleh para editor. Ada standar berita tertentu. Inilah gaya Kompas, inilah gaya koran lain, misalnya. Tetapi bila wartawan menulis feature, itulah gaya si wartawan yang bersangkutan. Editor pun memberikan kebebasan dalam mengeksplorasi masing-masing gaya itu.

Tetapi memang harus saya akui. Kadang kita terpengaruh gaya bahasa penulis lain hanya karena kita sangat mengagumi penulis tertentu. Katakanlah pada saat mahasiswa dan awal-awal saya bekerja di Kompas saya sangat mengagumi kepenulisan Pramoedya Ananta Toer. Tetapi di sisi lain, saya juga terpengaruh gaya penulisan Mary Shelley yang menulis novel “Frankenstein”. Tetapi untungnya saat itu saya belum menjadi wartawan, hanya sebatas menulis cerpen atau cerita bersambung saja.

Akan tetapi setelah selama setahun penuh di ruang pendidikan Kompas, saya bisa memahami arti penting gaya bahasa masing-masing wartawan dalam menulis feature.

Waktu saya menjadi bagian desk politik, saya pernah mendapat penugasan untuk menulis sosok KH Ali Yafie. Saya pelajari sebelumnya siapa tokoh ini. Tentu saja dari buku, hasil karya, dan ucapan serta tindakannya di koran-koran. Hanya satu hari persiapan, dan itu berarti saya harus ngebut semalaman hanya untuk "mengenali" siapa tokoh yang akan saya temui besok dan saya wawancarai itu.

Setelah dirasa saya punya bekal, saya menemuinya dan menuliskan hasil wawancara itu. Hasilnya, saat itu sejumlah editor menganggap tulisan tentang kyai berkharisma ini sebagai “Gaya Bahasa” saya, yang bisa dibedakan dari gaya bahasa wartawan-wartawan lainnya. Sahabat ingin membacanya? Silakan ikuti feature yang kemudian dimuat Kompas, Rabu 17 September 1997 hal 24 ini...



KH ALIE YAFIE: MUARANYA KEPENTINGAN UMAT

PROFESOR Quraish Shihab, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, punya cerita tentang ulama kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah. Kalau KH Ali Yafie, ahli fiqih ini menyuruh orang untuk mengantarkan surat ke kantor pos, dia tidak terkesan menyuruh. Ali Yafie akan berkata, "Apakah engkau akan lewat jalan Z? Kalau memang lewat, tolong sekalian titipkan surat ini ke kantor pos."

Contoh lain, pada peluncuran bukunya Wacana Baru Fiqih Sosial, yang dikaitkan dengan peringatan 70 tahun kelahirannya, awal September lalu. Saat itu ia sudah 71 tahun, karena ia dilahirkan 1 September 1926. "Yang dititikberatkan bukan perayaan ulang tahun saya, tetapi penyajian buku ini untuk kepentingan ilmu dan mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Ali Yafie.

Ia tidak mengatakan bahwa itu kesalahan teknis panitia, meski belakangan panitia mengaku "salah"!

Bijaksana. Itulah kesan yang kita tangkap manakala secara langsung berhadapan dengan kiai yang dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu fiqih oleh Institut Ilmu Al Quran (IIQ) 12 Oktober 1991 itu. Pengusaha Probosutedjo berkata, "Mendengar namanya saja sejuk rasanya hati ini, apalagi membaca pemikirannya."

Menteri Agama Tarmizi Taher menilai Ali Yafie sebagai kiai yang lembut dalam bertutur, mendalam isi bicaranya, dan membawa keteduhan bagi lingkungannya. Pemikirannya yang berusaha membumikan Islam di Tanah Air, khususnya ilmu fiqih, patut diteladani.
**
ORANG menyebut keberhasilan Ali Yafie menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu yang toleran, ramah, dan penuh pertimbangan matang. Komentar Ali Yafie, "orang mengatakannya demikian."

Ilmu fiqih yang dalam bahasa Arab disebut al-fiqh (paham yang mendalam), merupakan salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam, yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun hubungan manusia dengan penciptanya.

Anggapan bahwa ilmu fiqih angker, kaku, beku, dan ketinggalan zaman, menurut Ali Yafie merupakan bagian dari opini untuk menampilkan citra fiqih secara negatif sehingga melemahkan potensi Islam. Oleh karenanya sedikit banyak berpotensi pemecah belah.

"Itu semua merupakan satu rangkaian yang tidak lepas dari strategi global," kata cucu Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama Indonesia terkemuka yang menjadi guru besar pertama di Masjidil Haram (Arab Saudi) ini.

Yafie mengajak untuk melihat fiqih secara integral. Katanya, ada tiga lingkaran dalam ilmu fiqih, di mana menurut Ali Yafie tuduhan hanya dialamatkan pada lingkaran terakhirnya saja. Lingkaran pertama, fiqih dalam pola dasarnya, yakni berpikir sistematis dan rasional untuk memahami norma-norma. Lingkaran kedua, pola umum dari fiqih, yakni memberikan garis-garis besar norma-norma dasar dan umum mengenai tatanan hidup yang diinginkan. Lingkaran ketiga, yakni norma-norma dijabarkan dalam materi hukum yang rinci, dalam arti bagaimana teknik orang melakukan ibadah agar dapat diterima Allah.

Atas anggapan ini, studi fiqih menjadi tidak berkembang, yang berkembang hanya mengenai ibadahnya saja. Setiap orang menyebut fiqih, terbayang soal pengaturan ritual beragama, sementara masalah-masalah sosial tidak berkembang.

"Sekarang faktor ini sudah mulai tersingkirkan dengan keberhasilan pembangunan. Sudah saatnya kita memberdayakan ilmu fiqih untuk mendorong peningkatan wawasan umat," kata suami Siti Aisyah ini.
**
YAFIE yang bernama asli Muhammad Ali, belajar ilmu fiqih dari ayahnya, KH Muhammad Yafie, dengan metode sorogan. Sang ayah membacakan kitab kuning dan menerjemahkannya, Ali Yafie kecil dan murid-murid lain menghafalkannya. Pada usia 12 tahun Ali Yafie sudah mampu membaca kitab kuning yang diajarkan ayahnya sejak dia berumur lima tahun. Saat beranjak dewasa, ia bertekad meluruskan pandangan orang terhadap ilmu fiqih yang sudah dibiaskan sedemikian jauh itu.

Ali Yafie menunjuk kemunduran umat Islam selama lima abad terakhir, diperparah dengan merasuknya faktor eksternal, yang menjadi penyebab tertekannya perkembangan dunia Islam. Penjajahan dan penaklukan yang dilakukan orang-orang Eropa, di mana dalam petualangannya kemudian turut melumpuhkan potensi Islam, juga turut menciptakan lahan subur tumbuhnya dugaan miring terhadap ilmu fiqih.

Dari sinilah wawasan keagamaan dijadikan sasaran. Pada dasarnya, kata tokoh Ikatakan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) ini, agama Islam membangkitkan satu dinamika dalam diri manusia, termasuk ajaran fiqihnya. Dinamika ini terdeteksi, sehingga orang Belanda mengatakannya maacht van de Islam, kekuatan Islam. Katanya, "Ada kekuatan di dalam Islam. Kekuatan itulah yang dilumpuhkan."

Maka selain melalui penguasaan ekonomi, Belanda (baca: Eropa) juga melakukan penguasaan kultural. Dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di negeri jajahan, juga ditempuh pendidikan sekuler, di mana agama (Islam) sama sekali tidak diberi tempat di dalam pendidikan formal. "Tujuannya, bangsa yang dididik lewat lembaga mereka itu, paling sedikit diharapkan jauh dari agamanya. Bahkan yang ideal buat mereka, orang Islam membenci agamanya sendiri."
**
BAGAIMANA usaha Ali Yafie meluruskan opini orang terhadap ilmu fiqih? Salah satunya lewat organisasi. Keterlibatannya dalam berbagai organisasi, dari organisasi DDI (Dar-ud Da'wah wal Irsyad), Nahdlatul Ulama (NU), ICMI, sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI), semua dikatakannya untuk kepentingan umat.

Bahkan Yafie "rela" masuk dunia politik. Maka sejak tahun 1971-1987 ayah empat anak ini berkantor di Senayan sebagai anggota DPR, setelah sebelumnya DPR-GR Sulawesi Selatan 1963-1969.

Ali Yafie yakin, bahwa dari pemahaman agama yang dinamakan jamaah, yaitu kebersamaan, seseorang haruslah mencari kawan. Maka ia tidak segan-segan menyampaikan syi'ar agamanya, khususnya dalam usahanya meluruskan opini orang soal ilmu fiqih, kepada orang-orang dari berbagai kalangan yang dianggapnya kawan tadi, termasuk petinggi negeri ini. "Hakikatnya yang mendorong saya bukan semata-mata politik, tetapi masalah agama, yakni untuk kepentingan umat."

Ciri penting sikap politik Ali Yafie digambarkan Rektor IIP Prof Ryaas Rasyid sebagai mengutamakan keharmonisan, atau paling tidak menghindari konfrontasi terbuka dengan pemerintah. Namun keulamaan Yafie lebih menonjol dibanding politisi. Pada diri pria yang beribukan Maccaya ini, tersimpan sifat lembut, tenang, sederhana, dan berwibawa, demikian Ketua PP Muhammadiyah Lukman Harun menulis dalam salah satu bukunya.

Namun Yafie, penulis buku Menggagas Fiqih Sosial (1994) ini, pernah "meledak" juga. Sebagai Wakil Rois Aam PB NU, ia menyatakan diri keluar 5 November 1991. Berdasarkan dokumen yang dia temukan, ia sampai pada satu kesimpulan bahwa PB NU positif menerima "santunan" dari yayasan pengelola SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Tiada seorang pun yang mampu menghentikan langkahnya.

Ribut-ribut soal kriteria pimpinan nasional, juga tidak luput dari perhatiannya. Boleh jadi sekadar merendah apabila Ali Yafie mengaku, "Saya tidak punya kriteria". Nyatanya dia punya, meski kriterianya tidak lepas dari pandangan fiqih. Dikutiplah pandangan Imam Mawardi yang bicara soal lima kriteria pimpinan tertinggi dalam komunitas Islam yang menurutnya masih relevan.

Ali Yafie juga gundah dengan maraknya korupsi-kolusi. Tetapi ia mengajak orang berpikir jernih dalam persoalan ini, melihat kembali kepada watak kehidupan yang dikatakannya sebagai pertarungan antara yang benar dan yang tidak benar. Kolusi-korupsi pada masyarakat manapun tetap dianggap sebagai kejahatan, tetapi tidak pernah akan hilang. Al Quran juga mengabadikan nama penjahat semacam Firaun, misalnya. Maksudnya mengajak kita berpikir, inilah watak kehidupan.

"Dunia ini perjuangan. Maka yang perlu kita ciptakan adalah dominasi kebaikan," katanya. (pepih nugraha)

Pepih Nugraha