Tuesday, December 25, 2007

Catatan (36): Selamat Natal


Natal dan Damai di Bumi


TERUS terang, saat malam dan hari Natal tiba, saya selalu teringat peristiwa malam Natal tahun 2000 lalu. Saat itu saya yang kebetulan mendapat kepercayaan dari kantor dimana saya bekerja sebagai Kepala PO Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, tengah berjaga-jaga sepanjang siang dan malam. Saat itulah peristiwa yang tidak mungkin hilang dalam ingatan saudara-saudara kita, Umat Kristiani, terjadi dengan meledaknya puluhan bom di sejumlah gereja di tanahair.

Tanggal 25 Desember 2000 seharusnya hari libur, juga libur bagi koran. Akan tetapi karena ini peristiwa besar (meski sangat tidak kita harapkan terjadi), Kompas tetap harus terbit saat libur, cukup empat halaman saja. Saya sebagai Kepala PO saat itu langsung mengontak Suryopratomo, biasa dipanggil Mas Tom, yang saat itu sudah menjabat Pemimpin Redaksi.

"Kamu ikuti terus, kerahkan teman-teman yang bertugas, besok Kompas terbit," perintahnya lewat telepon genggam saat saya hubungi.

Ini prosedur biasa. Saya harus taat pada perintah itu. Sejumlah wartawan yang rata-rata masih gress dari dapur pendidikan, dikerahkan. Juga wartawan-wartawan lama. Hanya saja, dua wartawan "mangkir" dalam peristiwa besar itu. Satu calon wartawan dan satu lagi wartawan di sebuah desk yang sudah cukup lama menjadi wartawan.

Saat saya menelepon si calon wartawan lewat ponselnya, mengejutkan... dia tengah berada di dalam keretaapi menuju Bandung. "Siapa yang menugaskanmu ke Bandung?" tanya saya waktu itu. Terus terang, saya membutuhkan banyak tenaga wartawan saat itu karena saya harus terus berada di ruang redaksi untuk jaga gawang.

Ia menjawab, "Tidak ada." Inikah kelakuan calon wartawan, pikir saya. Saya tanya apakah dia tahu apa yang sedang terjadi beberapa menit lalu, ia menjawab tidak. "Bom meledak di sejumlah gereja!" suara saya mulai meninggi. Ia yang beralasan ke Bandung karena mengantarkan calon tunanganya tetapi tanpa minta izin tampak mulai mencari celah. Katanya, "Baik, kalau begitu saya meliput di Bandung saja." Wah, saya seperti diledek saja. Saya langsung bilang, "Tidak usah! Saya sudah meminta wartawan lain meliput Bandung. Selamat bersenang-senang!"

Satu wartawan lagi, yang sebetulnya sudah cukup lama bergabung di Kompas dan menjadi salah satu anggota desk, saya kontak dan memintanya meliput salah satu gereja di Bekasi yang juga jadi sasaran ledakan bom. Jawabannya, "Saya tidak bisa meliput." Saya balik bertanya, "Kenapa?" Dia langsung menjawab, "Saya harus mengantarkan mertua saya ke gereja tengah malam ini!" Saya mematikan telepon. Lalu saya mencatat dua perisiwa itu dan melaporkannya kepada Redpel Trias Kuntjahjono. Ini prosedur biasa.

Beberapa hari kemudian saya mendengar calon wartawan itu tidak jadi wartawan karena diminta untuk tidak melanjutkan pekerjaannya. Dia dianggap mangkir dan indispliner. Sedangkan si wartawan Kompas yang menolak tugas karena lebih memilih mengantar mertuanya, tidak lama kemudian dipindahkan ke divisi lain yang tidak memungkinnya menjadi wartawan Kompas lagi.

Konsekuensi selanjutnya adalah cap yang tertera di jidat sampai saat ini, bahwa saya adalah wartawan "killer" yang telah menjatuhkan seorang calon wartawan dan membat seorang wartawan pensiun selamanya dari kegiatan wartawan. Saya bilang masa bodoh, saya hanya menjalankan prosedur biasa sebagai Kepala PO. Yang menentukan nasib kedua orang itu bukan saya, tetapi pimpinan tertinggi koran ini.

Keesokan harinya, Kompas terbit khusus empat halaman. Karena para pengecer dan agen masih libur, saya pun harus mengedarkan koran gratisan itu di sejumlah tempat di daerah dekat-dekat kediaman saya, yakni di pom-pom bensin dan Bintaro Plaza. Umumnya mereka bingung, kok hari libur Natal Kompas malah terbit.

Saya berterima kasih kepada teman-teman yang memang menjadi anggota, plus teman-teman rekrutan saya serabutan yang tidak menjadi anggota tim yang saat itu bertugas di kepolisian seperti NIC (kini di desk olahraga) dan FER (kini bertugas di Batam). Mereka adalah wartawan, meski tidak menjadi anggota tim, tetapi saat peristiwa besar terjadi, tenaga mereka siap digunakan. Itulah wartawan!

Namanya juga perencanaan yang telah dibuat sebelumnya, itulah implikasi dan aplikasi dari sebuah perencanaan. Kategori berita yang bisa memaksa koran terbit meski hari libur, sudah ditentukan. Salah satunya kategori terjadinya "peristiwa besar". Dan, ledakan bom di sejumlah gereja pada malam Natal itu masuk ketegori itu.

Ini sekadar catatan saja. Selamat Natal bagi yang merayakan, damai di bumi damai di hati...

1 comment:

Anonymous said...

salam simpati tugas wartawan,
memang berat kerja sebagai wartawan. saya merasa tidak nyaman kerja di bagian corporate affairs sebuah perusahaan tambang karena panggilan tugas yang selalu 24 jam, 7 hari seminggu. kalaupun tidak ada panggilan tugas, psikologi kita seperti undersieged, terkepung oleh segudang persoalan, ancaman demo, dsb.
jadi, persoalannya hampir sama: on-call 24 jam
agam
kita pernah ketemu di yogya ketika gempa, bersama amir sodikin