Apa Syarat Menulis Opini Kompas ? (Bagian 4)
ARTIKEL atau opini yang ditulis untuk Harian Kompas, menunjukkan siapa, apa dan bagaimana kapasitas penulisnya. Untuk itu, artikel yang ditulis oleh dua orang atau lebih sudah otomotis akan dianulir alias dikembalikan kepada para penulisnya. Artikel mutlak harus ditulis sendiri, tidak boleh tandem.
Mengapa artikel harus ditulis sendiri? Sebab artikel itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh penulisnya sendiri. Ibarat mempertahankan skripsi, tesis atau disertasi, semua harus dilakukan sendiri oleh penulisnya. Bukankah tidak ada yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi secara keroyokan? Begitu pula menulis artikel.
Memulai menulis bukan berarti harus tandem dengan penulis yang sudah jadi atau ternama. Asumsinya, penulis ternama yang sudah biasa menulis di media massa, adalah jaminan mutu. Dengan demikian ia bisa "mempromosikan" kolega, kerabat atau keluarganya untuk "sama-sama" menulis. Sebaliknya, penulis baru bisa mendompleng nama penulis yang sudah dikenal. Pokoknya asalkan nama penulis itu bisa termuat di koran. Alhasil, artikel ditulis oleh dua orang atau lebih. Ini tidak boleh dilakukan kalau ingin menulis artikel di Kompas. Sendiri saja dan percaya diri sajalah.
Atribusi atau penyebutan yang melekat ke dalam diri penulis, juga harus menunjukkan kepakaran penulisnya. Misalnya: Polan, penulis adalah Dokter Bedah. Atau penulis adalah Peneliti LIPI, atau penulis adalah Guru Besar Linguistik, atau bahkan penulis adalah Guru TK, dan seterusnya. Jadi, tidak ada lagi atribusi yang menyebutkan bahwa penulis adalah pengamat seni atau penulis adalah penikmat sastra. Tidak ada lagi atribusi yang tidak menunjukkan kepakaran penulisnya.
Pengamat dan penikmat meskipun bisa dan mampu menulis, tetapi tentu saja kedalaman bahasan yang mereka tulis akan berbeda dengan penulis yang sudah teruji kepakarannya. Namanya juga pengamat apalagi penikmat, hal itu bisa dilakukan sambil lalu saja, tidak benar-benar mendalami persoalan yang ditulisnya. Padahal, pembaca artikel atau opini Kompas tidak sedang membaca sambil lalu. Para pembaca memerlukan opini yang mencerahkan, sesuatu yang baru atau setidak-tidaknya ada kebaruan (novelty), suatu bahasan atau kajian yang berbeda dari yang lain dan syukur kalau bisa memberikan inspirasi.
Postingan berikutnya, masih soal tips menulis artikel untuk Kompas, yakni menyangkut substansi yang dibahas dalam artikel. Harap bersabar.....
ARTIKEL atau opini yang ditulis untuk Harian Kompas, menunjukkan siapa, apa dan bagaimana kapasitas penulisnya. Untuk itu, artikel yang ditulis oleh dua orang atau lebih sudah otomotis akan dianulir alias dikembalikan kepada para penulisnya. Artikel mutlak harus ditulis sendiri, tidak boleh tandem.
Mengapa artikel harus ditulis sendiri? Sebab artikel itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh penulisnya sendiri. Ibarat mempertahankan skripsi, tesis atau disertasi, semua harus dilakukan sendiri oleh penulisnya. Bukankah tidak ada yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi secara keroyokan? Begitu pula menulis artikel.
Memulai menulis bukan berarti harus tandem dengan penulis yang sudah jadi atau ternama. Asumsinya, penulis ternama yang sudah biasa menulis di media massa, adalah jaminan mutu. Dengan demikian ia bisa "mempromosikan" kolega, kerabat atau keluarganya untuk "sama-sama" menulis. Sebaliknya, penulis baru bisa mendompleng nama penulis yang sudah dikenal. Pokoknya asalkan nama penulis itu bisa termuat di koran. Alhasil, artikel ditulis oleh dua orang atau lebih. Ini tidak boleh dilakukan kalau ingin menulis artikel di Kompas. Sendiri saja dan percaya diri sajalah.
Atribusi atau penyebutan yang melekat ke dalam diri penulis, juga harus menunjukkan kepakaran penulisnya. Misalnya: Polan, penulis adalah Dokter Bedah. Atau penulis adalah Peneliti LIPI, atau penulis adalah Guru Besar Linguistik, atau bahkan penulis adalah Guru TK, dan seterusnya. Jadi, tidak ada lagi atribusi yang menyebutkan bahwa penulis adalah pengamat seni atau penulis adalah penikmat sastra. Tidak ada lagi atribusi yang tidak menunjukkan kepakaran penulisnya.
Pengamat dan penikmat meskipun bisa dan mampu menulis, tetapi tentu saja kedalaman bahasan yang mereka tulis akan berbeda dengan penulis yang sudah teruji kepakarannya. Namanya juga pengamat apalagi penikmat, hal itu bisa dilakukan sambil lalu saja, tidak benar-benar mendalami persoalan yang ditulisnya. Padahal, pembaca artikel atau opini Kompas tidak sedang membaca sambil lalu. Para pembaca memerlukan opini yang mencerahkan, sesuatu yang baru atau setidak-tidaknya ada kebaruan (novelty), suatu bahasan atau kajian yang berbeda dari yang lain dan syukur kalau bisa memberikan inspirasi.
Postingan berikutnya, masih soal tips menulis artikel untuk Kompas, yakni menyangkut substansi yang dibahas dalam artikel. Harap bersabar.....
No comments:
Post a Comment