Sunday, October 29, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (12)


Catatan Harian sebagai Cerita

Jangan remehkan catatan harian! Bukan bermaksud menggurui, ini sekadar berbagi pengalaman, pengalaman pribadi saya dalam menemukan cara menulis. Cara orang lain mungkin berbeda. Silakan sahabat menimba ilmu dari banyak orang yang punya pengalaman sendiri-sendiri, biar ilmu yang didapat lebih variatif.

Mengapa jangan abai terhadap catatan perjalanan hidup kita sendiri? Sebab catatan harian adalah sumber inspirasi dalam menulis, khususnya menulis cerita fiksi. Dengan catatan harian, kita juga sulit atau tidak bisa berbohong pada diri sendiri. Ingat catatan harian Anne Frank yang jujur. Jika kepekaan kita akan lingkungan sekitar terasah, kelak inspirasi menulis juga bisa bersumber dari catatan harian ini. Bagaimana caranya?

Menulis catatan harian boleh dibilang setengah perjalanan kita menulis cerita pendek (cerpen). Catatan harian yang bijak, tidak melulu bercerita tentang diri dan keluarga dekat kita, tetapi juga orang lain dan lingkungan sekitar. Menulis catatan harian janganlah melulu egocentris, dimana diri adalah sebagai pusat atau objek cerita. Lihat sekeliling kita: ada sopir kita, pembantu kita, tetangga kita yang tertimpa kemalangan, peminta-minta jalanan, atau pengamen yang datang ke rumah kita. Bila kita peka dan pandai berempati, kelak imaji liar kita mampu menangkap suasana batin mereka, orang-orang di sekeliling kita itu.

Empati adalah kemampuan menempatkan diri kita sebagai orang lain, meraba perasaan orang lain. Pernahkah sahabat merasakan “andai saya sebagai pengemis itu” saat menolak memberi sedikit rezeki kepada pengemis tua? Jika ya, sahabat sesungguhnya sudah mampu berempati. Yakinlah, salah satu sumber terbesar inspirasi adalah kemampuan berempati itu! Lantas, mainkanlah imaji kita untuk merambah dunia mereka yang kelak kita sajikan dalam sebuah cerita.

Masih banyak kejadian di sekeliling kita. Jika sahabat menemukan seseorang pengendara sepeda motor terkapar mati di jalan raya tertabrak truk, tersentuhkah perasaan “andai saya seperti dia”? Bagaimana tidak berartinya tubuh yang tergolek di pinggir jalan hanya ditutupi selembar kertas koran atau dedaunan hanya untuk menghindari rasa ngeri orang yang melihatnya, padahal beberapa detik lalu dia seorang yang sangat berpengaruh dan dihormati.

Kalau kepekaan sahabat terasah, kematian saja bisa menjadi inspirasi dahsyat, apalagi tentang kehidupan! Cerpen tentang si mati atau keluarganya yang ditinggal mati, artikel soal bagaimana mencegah kecelakaan bagi pengendara khusus sepeda motor, refleksi tentang kematian dan kehidupan, semua berasal dari kepekaan kita hanya dengan merasa dan menyelami suatu peristiwa. Jika sahabat sudah memulainya dengan catatan harian, niscaya tidak ada yang sulit dalam menulis. Selebihnya, naluri akan menuntun imaji kita sendiri.

Perkenankan saya menampilkan sepenggal catatan harian yang merupakan upaya merasakan perasaan adik saya, Tania, saat dia melahirkan anak pertamanya, 30 Mei 2006 lalu. Dengan melihat sosok Tania saat saya menengoknya di Cirebon, tempat dimana dia tinggal kini, saya menangkap peristiwa masa lalu yang hadir di masa kini, sampai menembus saat-saat kematian ibu. Tania juga memiliki selembar surat wasiat ibu yang kelak akan saya ceritakan dalam kesempatan berikutnya.

Bayang-bayang Ibu Di Mata Tania

Menyaksikan Tania, adikku, mengurus bayinya saat dia masih lemah, mengganti pakaian sampai menyusuinya, selintas aku melihat bayang-bayang almarhumah ibu pada dirinya. Aku merasa bayi yang sedang ia urus dengan lincah dan cekatan itu adalah diriku sendiri. Betapa Tania sudah tumbuh menjadi orang dewasa. Sorot matanya menyimpan bayang-bayang almarhumah di sana.

Jarak dan waktu telah membuat aku lupa bahwa Tania kini bukanlah anak kecil lagi, seorang anak yang sangat kami manjakan karena merupakan satu-satunya anak perempuan di keluarga kami. Padahal saat ia ditingggal ibu ke alam baqa 20 Oktober 1999 lalu, ia masih berusia 19 tahun, masih kuliah, dan masih haus kasih sayang ibu. Tetapi kematian ibu telah merampas kebahagiannya, menenggelamkan keceriannya untuk waktu yang sangat lama. Sikapnya menjadi labil ibarat biduk yang terombang-ambing tsunami, pemurung, dan penyendiri.

Persis tujuh tahun lalu, pada saat detik-detik kematian ibu, aku sudah terlebih dahulu tiba di RS Hasan Sadikin Bandung, tempat ibu selama seminggu lebih dirawat. Ibu sudah koma, napasnya tinggal satu dua. Adikku satunya lagi, Dadang, masih bertugas di Padang, Sumatera Barat. Sementara aku, baru tiba dari tamasya di Bali, dan langsung berada di Jakarta untuk meliput terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI di Gedung DPR, saat ibu menanggung beban puncak derita sakitnya. Tania datang mengenakan celana jins, badan yang ramping berbalut T-shirt.

Di pundaknya masih tergantung tas kuliah. Ia langsung menubruk ibu, memeluknya erat, meraung dengan air mata yang melesak tak terkendali membanjiri pipinya yang pucat.
“Mamih, ulah ngantunkeun abdi, mamih ulah maot!
(Ibu, jangan tinggalkan aku, ibu jangan mati!)” jeritnya di atas tubuh ibu yang sudah tidak bergerak, berbalutkan gaun batik oranye yang kubawakan dari Bali sebagai oleh-oleh terakhirnya.

Kami menitikkan air mata. Benteng pertahanan jiwa kami ambruk seketika bagai istana pasir terempas gelombang. Tidak lama setelah itu, ibu seperti ingin mengatakan semua orang yang ada di salah satu bangsal RSHS itu untuk mendekat. Aku, Tania, dan ayahku merapatkan diri erat-erat, seperti menyatukan diri menyaksikan detik-detik kematian ibu. Ayah-ibu mertua, Lia calon adik ipar dan orangtunya, Kang Unang dan istrinya Teh Een, Ceu Eet, Ayi sepupuku, mereka sama-sama menyaksikan detik-detik terakhir derita ibu.

Aku memeluk Tania yang terus menangis, kulihat ayahku juga menitikkan air mata dengan berat. Sementara aku, bukan hanya sekadar menitikkan airmata, tetapi ingin mati saja mendahului ibu! Tak kuat rasanya menanggung beban dosa dan sikap zalim kepada seorang ibu, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan susah payah. Semua kebaikan itu kubalas dengan caraku sendiri: tamasya ke Bali saat ibu memerlukan kehadiranku! Ya, Allah!

Handphone kusambungkan ke Dadang agar adikku itu juga bisa sama-sama merasakan detik-detik terakhir kematian ibu. Ibu akhirnya pergi tanpa peduli kami. Air mata terakhir menggenangi pelupuk matanya. Penderitaan dari rasa sakit akibat kanker ganas memang sudah berakhir. Ibu sudah terbebas dari rasa sakit itu. Aku mengusap air mata terakhirnya, melepaskan pegangan Tania yang kemudian pingsan.
“Inalillahi…,” bisikku sambil mencium kening ibu, lekat sekali, seakan-akan menumpahkan kerinduan yang terpendam selama berabad-abad.

Tania baru tersadar kembali ketika jasad ibu sudah siap dimasukkan ke dalam ambulan, ketika para suster dengan tanpa perasaan (maafkan aku menudingmu, suster!), menggunting dan mengoyak-ngoyak gaun batik oranye barunya (gaun koyak itu sampai sekarang masih kusimpan dengan baik di rumah ayahku sebagai kenang-kenangan!).

Ambulan keluar dari halaman RSHS dengan raungannya yang mengerikan, menekan perasaan sedemikian dalam. Aku duduk bertiga di depan mobil ambulan bersama sopir dan kernetnya. Ambulan membelah kota Bandung yang gerimis, menerjang jalan tol Padaleunyi, melintas bukit dan jalan yang berkelok-kelok menuju Ciawi, Tasikmalaya, tempat peristirahatan ibu terakhir.

Di belakang, dari kaca jendela mobil kulihat ayah sedang mengapit Tania dan Ayi, sepupuku, menghadapi jasad ibu yang terbujur dalam keranda. Sebuah perjalanan mengerikan di tengah guyuran hujan yang tak ada putus-putusnya. Perjalanan terasa panjang dan menekan, tetapi aku tidak ingin sampai ke rumah duka secepat itu. Rasanya kami ingin seterusnya ada di dalam ambulan itu.

Apadaya, aku harus tunduk pada kuasa waktu. Ambulan memberkas dan menebarkan sinar birunya dan segera memperkeras raungannya tatkala sudah mendekat rumah duka. Ambulan memasuki pekarangan rumah di atas pukul 12 malam. Tetangga dan sanak saudara menyambut jenazah dengan muram dan lelehan airmata.
“Deudeuh teuing, Enok…" (Kasihan betul, Anakku!), seru kakekku, ayah dari ibuku, memanggil nama ibu yang tengah diturunkan dari ambulan. Hujan masih belum reda, bersilomba dengan derasnya airmata yang tumpah di rumah duka.

Jenazah ibu dimandikan malam itu juga dengan diiringi pengajian tetangga dan sanak saudara. Suasana hadir hanya untuk semakin menekan perasaan saja. Aku mencoba ikut memandikan jenazah ibu yang terasa masih hangat. Ibu diam tak bergerak, memejamkan matanya dengan wajah pucat. Air dingin dan bening kusiramkan perlahan-lahan, kuusap dan kubersihkan wajahnya yang tenang. Aku mencium keningnya dengan lembut sekali lagi.
“Hapunten Aa, Mamih!” (Maafkan aku, Ibu!).

Mungkin itu baktiku terakhir sebagai seorang anak kepada ibunya. Terlintas kisah “Si Boncel” dan “Malin Kundang” yang biasa diceritakan ayah, dan aku merasa diriku tak lebih dari kedua tokoh durhaka itu. Bakti terakhirku mungkin sia-sia dan tak berarti apa-apa buat ibu. Tetapi aku percaya ibu yang selalu penuh kasih sayang, akan memaafkan semua khilaf dan salahku. Hanya saja, rasa sesal yang mendalam ini tidak akan pernah hilang di sepanjang sisa hidupku. Mungkin rasa itu baru bisa terbebaskan ketika aku kelak menyusul ibu di tempatnya yang baru...


Seperti telah saya katakan, membuat cerita dari hasil empati yang kemudian dituangkan dalam sebuah catatan harian, sesungguhnya setengah langkah lagi menuju cerita pendek. Anggaplah catatan harian itu sebagai draft awal selain tempat mengasah keterampilan menulis. Selebihnya, naluri akan menuntun sahabat dalam membuat cerita yang jauh lebih dahsyat dari sekedar catatan harian saya di atas.

Bintaro, 20 Oktober 2006.
Tujuh tahun setelah kepergian Ibu…
Pepih Nugraha

Sunday, October 22, 2006

Karya Sahabat (3)


Tunjukkan, Bukan Katakan!

Dalam ilmu jurnalistik, juga ilmu menulis umumnya, dikenal adagium: show it, not tell it! Tunjukkan, bukan katakan. Kalau sahabat ingin menggambarkan kemiskinan seseorang, jangan katakan "orang itu miskin", tetapi tunjukkan saja gambaran yang menunjukkan bahwa orang itu miskin. Misalnya: "Sering sehari penuh ia tidak makan. Di dalam biliknya, tidak terdapat barang apapun, kecuali tumpukan baju rombeng untuk sehari-hari mengemis..." Begitu seterusnya: tunjukkan saja, jangan katakan ia miskin.

Cerita mini (Cermin) Luh Ayu dari Bali belum menampilkan adagium "tunjukkan, bukan katakan" itu tadi. Opini penulis bahwa "ibu emosi" dan "terdapat rasa sedih", masih "mengatakan sesuatu", bukan "menunjukkan sesuatu". Kita memberi kebebasan lisensi penulis untuk bercerita apapun, termasuk Luh Ayu yang bercerita tentang ibunya yanf diberi ponsel baru. Ada prasangka yang terlalu cepat dilontarkan, tetapi kemudian bisa guyub lagi dengan saudara-saudaranya. Selamat menikmati...

PONSEL UNTUK IBU

Suara ibu terdengar begitu emosi, namun tidak dipungkiri terdapat rasa sedih disana. Ibu merasa semenjak bapak meninggal banyak saudara yang justru menjadi sombong, meskipun yang tetap baik juga masih banyak. “Padahal dulu mereka itu disekolahkan dan dibantu Bapak, tapi mana balas budi mereka sekarang??”. Meskipun dalam hati aku kurang setuju dengan konsep kalau sudah memberi maka harus dapat balas jasa, aku bisa memaklumi. Itu bukan sifat asli Ibu. Pernyataan itu muncul karena rasa sedih dan belum bisa menerima kalau sekarang beliau menjadi tergantung pada orang lain.

Walaupun ibu termasuk wanita mandiri, namun untuk urusan pulang kampung setiap odalan atau acara adat lainnya beliau seringkali berangkat dengan Bapak. Aku yang sudah menikah jarang bisa ikut karena kesibukan dengan keluarga,sementara adikku juga disibukkan dengan urusan pekerjaan dan sekolahnya. Jika sekarang menjadi tergantung pada saudara yang lain untuk urusan pulang kampung, maka aku sungguh maklum jika ibu merasa ‘turun derajat’. Memang sih aku sebenarnya merasa juga kalau sebagian dari saudara-saudara Bapak menjadi merasa punya kelebihan di banding kami semenjak Bapak meninggal. Dan sejak itu juga aku cukup sering menerima telpon dari ibu yang berkeluh kesah mengenai keadaan ini.

“Coba Luh bayangkan! Mereka sudah tahu ibu pasti pulang kalau ada odalan di Pura. Tapi mana niat baik mereka? Menelpon saja tidak untuk menawarkan berangkat sama-sama. Disangkanya ibu tidak bisa pulang sendiri apa?? Mereka terkejut melihat ibu sudah sampai duluan di kampung…”. Begitulah yang sering aku dengar saat menerima telpon curhat ibu. Aku cuma bisa menenangkan dan mencoba memberi pandangan dari sisi berbeda untuk menghibur ibu.


“Mungkin mereka lupa Bu…, mungkin juga dipikirnya Ibu akan pulang dengan iLuh dan adik-adik. Tidak usah diambil hatilah..Belum tentu mereka sengaja kan. Yang penting kan ibu sudah sempat sembahyang jadi lebih baik tidak usah berpikir yang bukan-bukan.” Biasanya ibu bisa menerima penghiburanku, karena sesungguhnya beliau memang hanya membutuhkan pendengar. Selesai bercerita biasanya ibu sudah lega.

Aku bukannya tidak pernah mencoba mencari jalan keluar supaya ibu tidak merasa tersisihkan. Yang sementara bisa aku lakukan hanya menghiburnya dengan kata-kata. Jalan keluar itu datang tanpa diduga dan tidak perlu waktu yang terlalu lama. Awalnya aku khawatir karena ibu pulang kampung sendirian naik kendaraan umum. Jarak rumah kami di Denpasar dengan kampung kami di Karangasem, jika ditempuh dengan kendaraan umum membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Atau jika sepi penumpang,maka bisa sampai 3 jam, karena mobil angkutan akan mengisi penuh penumpang sebelum memulai perjalanan.


Karena di kampung tidak ada telpon rumah maka aku mencoba menghubungi ponsel salah satu sepupu yang cukup dekat denganku. Aku ingin tahu apakah ibu baik-baik saja dan sudah sampai dengan selamat. Ternyata syukurlah..ibu sudah sampai dan saat itu sedang berkumpul dengan keluarga lain untuk persiapan upacara.

Rencananya ibu hanya menginap dua malam (hal yang jarang terjadi saat Bapak masih ada. Karena bapak pasti akan lebih senang pulang balik ke Denpasar dan kembali lagi ke kampung keesokan harinya). Dan benar saja begitu Ibu sampai di Denpasar telponku berbunyi. Dari Ibu hehehe. Aku sudah siap-siap mendengarkan ceritanya. Namun ternyata kali ini berbeda, suara ibu terdengar gembira “iLuh waktu itu telpon yaaa? Pak De Abdhi yang bilang ke ibu..”.

Lalu ibu bercerita tentang hal-hal lain dan sama sekali tidak menyinggung soal ‘saudara-yang-tidak-tahu-balas-budi’ itu. Oh ternyata tanpa diduga teleponku tempo hari itu begitu luar biasa pengaruhnya. Setelah itu aku dan adik-adik berembug dan kemudian memutuskan untuk membekali ibu dengan ponsel setiap kali ibu pulang kampung. Awalnya sulit sekali membujuk ibu. Beliau sudah parno duluan begitu mendengar ide kami. Alasan repot lah, nanti hilang lah, macam-macam deh.

Tapi akhirnya ibu luluh juga (setelah kami mengeluarkan senjata terakhir, rayuan adik bungsu kami, yang memang sangat sulit ditolak ibu). Dan sekarang ibu sudah terbiasa dengan ponselnya, bisa menerima telpon dengan fasih walaupun untuk menelpon masih sering heboh karena –alasannya- fasilitas ponselnya kurang user friendly, dan yang terpenting ibu sudah tidak merasa diabaikan lagi.

*odalan = upacara sembahyang Hindu Bali

Denpasar, 14 Oktober 2006
Luh Ayu

Tulisan kedua hasil karya sahabat Lesca. Tulisan ringkas yang lebih merupakan refleksi si penulis. Refleksi biasanya bernada filasafati dan bahkan berisi religiositas. Tulisan itu tidak akan basi karena merupakan persoalan universal umat manusia, tanpa mengenal sekat agama dan golongan. Dengan "Daily Bread", sahabat diingatkan, juga kita semua, untuk tidak "kamaruk" atau tamak. Hidup secukupnya saja....


DAILY BREAD

"Give us this day our daily bread..." (Matt. 6:11)

Aneh, ya? Kenapa kita diajar: berikanlah pada hari ini, makanan kami yang secukupnya...? Kenapa ga sekalian aja buat 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun, atau buat seumur hidup. Padahal dengan begitu kan 'pekerjaan' Tuhan juga akan jadi lebih ringan. Terus, kenapa hanya 'secukupnya'? Kenapa ga 'yang banyak' aja?

Emang kalo dikasihnya rapelan buat 1 minggu atau 1 bulan, bisa ngaturnya? Jangan2, hari ini ada banyak makanan, besoknya ada sedikit, besoknya lagi habis ga ada sisa. Terus kalo udah gitu, mau gimana?

Emang buat apa minta yang banyak2, melebihi yang kita perlukan? Kita toh ga bisa makan lebih dari 2 piring sekali makan. Ga bisa tidur di 2 kasur sekaligus, atau pake sepatu 3 pasang secara bersamaan.

Ternyata, kita memang ga perlu terlalu banyak. Secukupnya saja. Kalau laper, punya cukup uang untuk beli makanan. Kalau kedinginan, punya cukup uang untuk beli baju. Kalau sakit, punya cukup uang buat ke dokter dan beli obat. Kalo komputer rusak, punya cukup uang buat perbaikin atau beli baru. Kalau pengen jalan2 keliling Eropa, punya cukup uang buat beli tiket, bayar hotel, belanja dan beli oleh2.

Yah, yang nikmat itu emang yang cukup.


Lesca

Sahabat semua dimanapun berada, Selasa 24 Oktober 2006 bertepatan dengan Idul Fitri 1427 Hijriyah. Saya dalam kesempatan ini menyampaikan "Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin..." Semoga Allah, Tuhan YME, masih memberi kita usia, agar kita semua dapat meneruskan perjuangan hidup yang belum tercapai, yakni hidup yang berguna buat sesama.

Kopo, 22 Oktober 2006

Pepih Nugraha

Karya Sahabat (3)

Ponsel Untuk Ibu

Suara ibu terdengar begitu emosi, namun tidak dipungkiri terdapat rasa sedih disana. Ibu merasa semenjak bapak meninggal banyak saudara yang justru menjadi sombong, meskipun yang tetap baik juga masih banyak. "Padahal dulu mereka itu disekolahkan dan dibantu Bapak, tapi mana balas budi mereka sekarang??"

Meskipun dalam hati aku kurang setuju dengan konsep kalau sudah memberi maka harus dapat balas jasa, aku bisa memaklumi. Itu bukan sifat asli Ibu. Pernyataan itu muncul karena rasa sedih dan belum bisa menerima kalau sekarang beliau menjadi tergantung pada orang lain.

Walaupun ibu termasuk wanita mandiri, namun untuk urusan pulang kampung setiap odalan atau acara adat lainnya beliau seringkali berangkat dengan Bapak. Aku yang sudah menikah jarang bisa ikut karena kesibukan dengan keluarga,sementara adikku juga disibukkan dengan urusan pekerjaan dan sekolahnya. Jika sekarang menjadi tergantung pada saudara yang lain untuk urusan pulang kampung, maka aku sungguh maklum jika ibu merasa 'turun derajat'.

Memang sih aku sebenarnya merasa juga kalau sebagian dari saudara-saudara Bapak menjadi merasa punya kelebihan di banding kami semenjak Bapak meninggal. Dan sejak itu juga aku cukup sering menerima telpon dari ibu yang berkeluh kesah mengenai keadaan ini.

"Coba Luh bayangkan! Mereka sudah tahu ibu pasti pulang kalau ada odalan di Pura. Tapi mana niat baik mereka? Menelpon saja tidak untuk menawarkan berangkat sama-sama. Disangkanya ibu tidak bisa pulang sendiri apa?? Mereka terkejut melihat ibu sudah sampai duluan di kampung…".

Begitulah yang sering aku dengar saat menerima telpon curhat ibu. Aku cuma bisa menenangkan dan mencoba memberi pandangan dari sisi berbeda untuk menghibur ibu. "Mungkin mereka lupa Bu…, mungkin juga dipikirnya Ibu akan pulang dengan Luh dan adik-adik. Tidak usah diambil hatilah..Belum tentu mereka sengaja kan. Yang penting kan ibu sudah sempat sembahyang jadi lebih baik tidak usah berpikir yang bukan-bukan." Biasanya ibu bisa menerima penghiburanku, karena sesungguhnya beliau memang hanya membutuhkan pendengar. Selesai bercerita biasanya ibu sudah lega.

Aku bukannya tidak pernah mencoba mencari jalan keluar supaya ibu tidak merasa tersisihkan. Yang sementara bisa aku lakukan hanya menghiburnya dengan kata-kata. Jalan keluar itu datang tanpa diduga dan tidak perlu waktu yang terlalu lama. Awalnya aku khawatir karena ibu pulang kampung sendirian naik kendaraan umum.

Jarak rumah kami di Denpasar dengan kampung kami di Karangasem, jika ditempuh dengan kendaraan umum membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Atau jika sepi penumpang,maka bisa sampai 3 jam, karena mobil angkutan akan mengisi penuh penumpang sebelum memulai perjalanan.

Karena di kampung tidak ada telpon rumah maka aku mencoba menghubungi ponsel salah satu sepupu yang cukup dekat denganku. Aku ingin tahu apakah ibu baik-baik saja dan sudah sampai dengan selamat. Ternyata syukurlah..ibu sudah sampai dan saat itu sedang berkumpul dengan keluarga lain untuk persiapan upacara.

Rencananya ibu hanya menginap dua malam (hal yang jarang terjadi saat Bapak masih ada. Karena bapak pasti akan lebih senang pulang balik ke Denpasar dan kembali lagi ke kampung keesokan harinya). Dan benar saja begitu Ibu sampai di Denpasar telponku berbunyi. Dari Ibu hehehe. Aku sudah siap-siap mendengarkan ceritanya. Namun ternyata kali ini berbeda, suara ibu terdengar gembira "iLuh waktu itu telpon yaaa? Pak De Abdhi yang bilang ke ibu.."

Lalu ibu bercerita tentang hal-hal lain dan sama sekali tidak menyinggung soal 'saudara-yang-tidak-tahu-balas-budi' itu. Oh ternyata tanpa diduga teleponku tempo hari itu begitu luar biasa pengaruhnya. Setelah itu aku dan adik-adik berembug dan kemudian memutuskan untuk membekali ibu dengan ponsel setiap kali ibu pulang kampung. Awalnya sulit sekali membujuk ibu.

Beliau sudah parno duluan begitu mendengar ide kami. Alasan repot lah, nanti hilang lah, macam-macam deh. Tapi akhirnya ibu luluh juga (setelah kami mengeluarkan senjata terakhir, rayuan adik bungsu kami, yang memang sangat sulit ditolak ibu). Dan sekarang ibu sudah terbiasa dengan ponselnya, bisa menerima telpon dengan fasih walaupun untuk menelpon masih sering heboh karena -alasannya- fasilitas ponselnya kurang user friendly, dan yang terpenting ibu sudah tidak merasa diabaikan lagi.

*odalan = upacara sembahyang Hindu Bali

Denpasar, 14 Oktober 2006
Luh Ayu

Thursday, October 19, 2006

Karya Sahabat (2)


Antara "Saya" dan "Aku"

Bahasa Indonesia memiliki kata "saya" dan "aku" untuk menyebut orang pertama. Tidak seperti dalam bahasa asing lainnya yang hanya punya satu kata untuk orang pertama, misalnya I (Inggris), Je (Perancis), Ich (Jerman), Ik (Belanda), Yo (Spanyol). Di sinilah kelebihan bahasa Indonesia. Ada nuansa perbedaan antara "saya" dan "aku", ada rasa bahasa yang berbeda.

"Saya" menunjukkan bahasa resmi. Dalam surat resmi atau pidato resmi, kata "saya" biasa dipergunakan dibanding "aku". Berbeda dengan bahasa puitik dalam sebuah cerita mini, cerita pendek atau novel, kata "aku" lebih dominan dipergunakan, meski ini juga tidak mutlak. Tetapi ada rasa bahasa sastra untuk kata "aku" di sana. Maka kesimpulan umum, kata "aku" dominan digunakan dalam fiksi.

Dalam kesempatan ini, saya lampirkan sebuah cerita mini karya Julian Arsyad. Meski cermin, tetapi isinya cukup menyentuh, apalagi bagi mereka yang kebetulan mengalami hal serupa sebagaimana diceritakan dalam cermin itu. Hanya saja, penggunaan kata "saya" dalam cermin itu membuat plotnya kurang begitu mengalir. Maaf, meski pahit harus saya katakan demikian, demi kebaikan bersama. Konflik dipaparkan secara straight (langsung), dan ini sah-sah saja.

Saya menyadari, cermin adalah cerita yang lebih pendek dari cerpen, tetapi itu adalah langkah menuju penciptaan cerpen. Kalau unsur dramatisasi dan suspend-nya dirasa kurang, tetapi dengan seringnya sahabat berlatih, unsur-unsur penting yang harus ada dalam sebuah cerita seperti plot, suspend, surprise, konflik, dan sebagainya, akan muncul dengan sendirinya. Bagi pemula, ini memang masih mesteri, misteri yang harus dipecahkan bersama. Dan, Julian Arsyad sudah mulai mencobanya dengan cermin tanpa judulnya di bawah ini:


“Mom, coba Putri punya Ayah ya, jadi mommy gak perlu kerja dan putri bisa ditemani terus sama mommy……”

Bagai terkena tamparan yang sangat dahsyat, saya terdiam dan merasakan sakit yang amat sangat mendengar celotehan ringan yang keluar dari mulut bidadari mungil yang sedang rebahan di pahaku. Kami memang sedang bersenda gurau sebelum sama sama berangkat memulai aktifitas rutin, aku pergi ke kantor dan Putri pergi kesekolah.

Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan untuk mengalihkan kegugupan dan keterkejutan akibat perkataannya. Saya hanya spontan menjawab, “Ade harus bersyukur dengan segala apapun yang Allah telah berikan kepada Ade. Walaupun ayah tidak bersama kita lagi, 'kan Ade masih punya Mommy yang selalu sayang sama Ade…”

Putri adalah anak saya satu satunya dari hasil penikahan saya dengan ayahnya. Sejak umur dua bulan dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya, karena saya memutuskan untuk berpisah dari ayahnya. Sebenarnya keputusan berpisah itu adalah pilihan yang sangat sulit buat saya pada saat itu karena posisi saya yang baru saja menjadi seorang ibu dan Putri yang masih merah yang pasti masih sangat memerlukan figur seorang ayah untuk menemaninya.


Tapi, saya tidak menyesali keputusan yang saya pilih, sebab saya berada di posisi yang benar. Suami saya telah menghianati kepercayaan yang saya berikan kepadanya.

Walaupun sendiri dalam membesarkan Putri, tapi saya tetap berusaha semaksimal mungkin untuk selalu memenuhi kebutuhannya. Sebenarnya sayapun tidak merasa sendirian dalam membesarkan Putri. Bersyukur karena Allah masih sayang kepada saya hingga memberikan keluarga yang begitu sayang kepada saya dan Putri, sampai saya berpikir bahwa Putripun pasti tidak akan pernah merasakan kehampaan tanpa kehadiran seorang ayah disisinya. Papah, kakak dan adikku selalu ada apabila Putri memerlukan sosok seorang ayah walaupun kami tidak tinggal serumah dengan mereka.

Pertanyaan Putri tadi seperti menyadarkan saya dari sesuatu. Sebenarnya saya tahu bahwa suatu saat dia pasti akan menanyakan tentang hal ini, tapi saya tidak menyangka secepat ini. Putri baru berumur empat tahun dan menurut saya dia belum mengerti arti kehilangan seorang ayah karena selalu ada saya dan keluarga saya yang selalu siap untuk menemaninya. Ternyata saya salah, Putri tetap merasakan kehilangan sosok seorang ayah.

Ya Allah kepadaMu jualah saya memohon pertolongan dan petunjuk agar dapat menjadi yang terbaik untuk Putri walaupun saya hanya seorang wanita biasa yang berusaha menjalani segala kewajiban sebagai orang tua untuk dipertanggung jawabkan dihadapanMu nantinya, ya Allah………

Julian Arsyad


Catatan:
Apa yang sahabat baca adalah hasil karya murni Julian Arsyad tanpa saya ubah susunan kata dan kalimatnya, kecuali kesalahan huruf seperti "karna" yang saya ubah "karena", bilangan "2" dan "4" yang saya tulis "dua" dan "empat", nama orang atau panggilan "ade" yang saya ubah "Ade". Dalam kesempatan mendatang, saya akan menampilkan satu cermin karya Luh Ayu Kusuma Sari dari Bali berjudul "Hp untuk Ibu". Juga sebuah artikel kontemplatif pendek yang menarik dari Lesca. Kita tunggu penampilan mereka...

Pepih Nugraha
Kopo, 19 Oktober 2006

Wednesday, October 18, 2006

Karya Sahabat (1)



Beranilah untuk Memulai!

Pengantar:
Dengan senang hati saya menerima cerita mini (cermin) dari seorang blogger yang berminat dalam tulis menulis. Ia adalah Willa, seorang ibu rumah tangga yang kini tinggal di Amerika. Tidak jauh-jauh, apa yang ia tulis adalah pengalamannya sendiri saat pertama-tama menginjakkan kaki di negara Paman Sam. Tulisan yang bergaya catatan harian. Sahabat bisa mengikuti buah karyanya berikut ini tanpa saya edit susunan apalagi gaya bahasanya. Saya hanya perbaiki salah ketiknya saja. Catatan ringan saya lampirkan di akhir tulisan:


PENGALAMANKU HIDUP DI NEGARA PAMAN SAM

Enam tahun yang silam ketika pesawatku mendarat di JFK New York International Airpot, aku bergumam "AMERICA HERE I COME". Menurut cerita orang-orang yang sudah mengalami hidup di negara ini katanya uenaaaak, segalanya serba mudah, serba convenient-lah hidup di Amerika itu.

Datang ke New York pada bulan Februari tentunya udara dingin sangat menggigit... kata peribasa, tapi kok kenyataannya memang begitu, Februari itu bulan yang paling dingin dari seluruh musim dingin. Salju dimana-mana, tak ada sama sekali daun yang hijau sepeti di negeri kita... ah sejauh mata memandang hanyalah salju yang dingin, bunyi angin berdesir meniup, kadang kala meniup sangat keras. Kuraba pipi, telinga, hidung, dingiiiiiin.

Waktu itu aku menyusul suamiku yang sudah lebih dulu berangkat dari Indonesia yang memang pulang kenegerinya sendiri setelah sekian lama tinggal di kota Bandung Berhiber tercinta bekerja di perusahaan pesawat yang waktu itu sangat terkenal di seluruh dunia.... barangkali? Tetapi karena keadaan ekonomi yang merambah di negara kita itu sampai mempengaruhi keadaan ekonomi di seluruh negeri sampai terjadilah kebangkrutan yang luar biasa sehingga semua expatriates harus pulang kampung termasuk suamiku.

Suamiku mengatakan "SELAMAT DATANG DI AMERIKA THE WILDERNES". Apa wildernes? kan Amerika itu negara Adikuasa... masa wildernes siih? menurutku wildernes itu kan Hutan Belantara... apa bener hidup di negara ini seperti di hutan belantara? Setelah aku mengalami kehidupan selama enam tahun di sini barulah aku menyadari bahwa hidup di negara ini tak semudah yang setiap orang bayangkan.

Kita harus tegar menghadapi kekerasan hidup di negeri orang yang serba dilakukan sendiri, kerja, belanja, masak, cuci pakaian, cuci piring... meskipun aku suka pakai mesin cuci piring setelah teman-teman datang makan makanan Indonesia. Itulah mungkin maksud perkataan suamiku ketika pertama kali aku menginjakan kaki di negeri Paman Sam ini.

www.willasunda.blogspot.com

Catatan:
Willa memulai tulisannya dengan salah satu unsur dari "5W + 1H", yakni unsur "when" (bilamana). "Enam tahun yang silam..." demikian ia menulis. Jika mau, ia juga bisa mulai dengan menggambarkan suasana di negeri asing yang berbeda dengan negara kita, yang otomatis menerbitkan keingintahuan pembaca. Misalnya, "Salju dimana-mana, tak ada sama sekali daun yang hijau seperti di negeri kita." Bisa juga ia mulai dengan seruan: "America, here I come!" Semua sudah diuraikan dalam Berbagi Pengalaman Menulis (3) dan (4).

Ke depan, hiasilah tulisan kita dengan "percakapan" agar suasananya lebih hidup. Hadirkan tokoh lain, misalnya suami, anak atau tetangga kita. Tulis saja: "Apa? Wilderness?" tanyaku pada suami, "Bukankah itu berarti hutan belantara." Suamiku menjawab sekenanya, "Ya begitulah, kau akan tahu nanti." Itu sekedar contoh saja. Kalau sudah terbiasa menggambarkan suasana percakapan, menulis cerita pendek hanya tinggal selangkah lagi. Willa sudah memunculkan "konflik" serta kausalitas (sebab akibat) mengapa ia terdampar di negara orang, sesuatu yang dibutuhkan dalam tulisan.

Salut atas keberanian Willa menulis. Saya masih menunggu hasil karya sahabat lainnya di alamat pepih_nugraha@yahoo.com, baik itu cerita mini, cerita pendek, catatan perjalanan, atau puisi. Masih ada dua penulis lain yang bertanya tentang bagaimana menulis. Saya akan menampilkan pertanyaan dan jawabannya dalam kesempatan lain.

Pepih Nugraha
Bintaro, 18 Oktober 2006

Tuesday, October 17, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (11)


Jangan Malu Dibaca Orang

Setelah membaca uraian Berbagi Pengalaman Menulis sebelumnya tentang bagaimana memulai sebuah tulisan, entah itu tulisan fiksi maupun nonfiksi, bagaimana kalau sekarang gantian sahabat yang menulis?

Cukup menulis satu sampai tiga alinea (paragraf), syukur kalau bisa lebih atau selesai, yang jelas isinya mencerminkan permulaan dalam memulai sebuah tulisan. Kelak akan kelihatan dimana letak kesulitannya. Mengapa ini harus terus dilatih? Sebab memulai menulis itu sesuatu yang sulit, sesuatu yang harus kita akali. Sekali pembukaan sudah dimulai, selanjutnya menulis pun akan lancar.

Sahabat mungkin bisa membuat cermin (cerita mini), sebuah bentuk cerita yang lebih pendek dari cerpen (cerita pendek). Isinya berupa sketsa kehidupan, fragmen kehidupan diri sendiri, orang lain, atau keadaan sekeliling. Kalau berkenan, silakan kirim ke alamat imel: pepih_nugraha@yahoo.com, dan atas izin sahabat, saya akan menampilkan hasil tulisan sahabat di blog ini, sekaligus saya komentari bila perlu. Bila tidak ingin disebut nama atau identitas penulisnya juga boleh, pokoknya suka-suka saja.

Jika sahabat-sahabat bersedia mencobanya, niatan blog ini agar kita bisa bersama-sama belajar menulis dan berbagi pengalaman menulis, bisa tercapai. Lebih enak lagi, pengalaman diberikan secara interaktif, tercipta umpan balik, dan tidak hanya memberikan pemahaman searah. Dengan demikian saya terhindar dari cap atau label "sok tahu", "sok jago", dan "sok menggurui".

Jakarta, 17 Oktober 2006

Pepih Nugraha

Monday, October 16, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (10)


Memulai Menulis Fiksi Lebih Mudah?

Benarkah memulai menulis fiksi lebih mudah dibanding memulai menulis nonfiksi? Jawabannya relatif. Bagi yang terbiasa menulis berita, artikel atau analisa (nonfiksi), memulai menulis fiksi jauh lebih sulit. Demikian pula sebaliknya, bagi mereka yang terbiasa menulis cerita pendek atau novel, memulai menulis nonfiksi adalah siksaan.

Sekelumit contoh kasus di atas membawa kita pada satu kesadaran: benarkah orang terspesialisasi atau terkotak-kotak dalam menulis? Penulis fiksi hanya menulis fiksi dan penulis artikel hanya menulis artikel. Tidak bisakah penulis fiksi menulis artikel atau sebaliknya penulis nonfiksi menulis fiksi? Atau, adakah seseorang yang menguasai dua keterampilan dalam menulis sekaligus: menulis fiksi sekaligus nonfiksi?

Atas pengalaman saya sekian tahun menulis, saya harus katakan: bersyukurlah sahabat yang terbiasa menulis fiksi dibanding menulis artikel! Mengapa? Apakah menulis fiksi lebih sulit? Bukankah menulis fiksi tinggal mengkhayal saja lantas jadilah cerpen atau novel? Sekali lagi ini relatif. Tetapi saya katakan, menulis fiksi ternyata jauh lebih sulit! Terbiasa menghadapi hal-hal sulit adalah suatu keuntungan.

Menulis artikel, bukan bermaksud angkuh, adalah jauh lebih mudah karena kita pasti paham apa yang hendak kita tulis. Kita punya gagasan utama. Jika gagasan itu mentok, maka tinggal ambil buku-buku referensi, kita gares artikel terkait, dan kita kunyah seluruh informasi terbaru yang mendukung permasalahan yang mau kita tulis. Kita siap dengan segala amunisi, bukan? Makanya saya katakan menulis nonfiksi jauh lebih mudah. Bila tidak sepaham, sahabat bisa mendebatnya, silakan...

Kalau demikian menulis fiksi lebih sulit? Terpaksa harus saya katakan “ya”. Tetapi, saya tidak bermaksud menakut-nakuti atau mengendurkan semangat sahabat untuk menulis fiksi. Segala apa yang sudah kita anggap sebagai suatu kebiasaan, rutinitas, dan bahkan pekerjaan, pasti akan dengan mudah kita kerjakan. Demikian juga menulis fiksi. Jadi, jangan hanya sesekali dan coba-coba, terus saja menulis cerita, dimuat atau tidak dimuat media massa!

Sulitnya memulai menulis, fiksi maupun nonfiksi adalah “penyakit kronis” yang biasa datang menyergap penulis. Tetapi tidak ada penyakit yang tidak bisa disiasati untuk diobati sepanjang kita mau berusaha, bukan? Berikut tips ringan untuk memulai menulis fiksi maupun nonfiksi:

Pertama, kalau mentok dengan memulai sebuah tulisan, khususnya dalam menulis fiksi, mulailah dengan “bentuk percakapan” atau kutipan langsung:
“Jadi kamu yang membunuh perempuan muda itu, Badri?
“Aku terpaksa, benar-benar terpaksa, dia menuntutku kawin, aku belum siap.”
“Tetapi kenapa kamu harus membunuhnya!?”
“Aku khilaf, aku bingung…”

Dari percakapan atau kutipan langsung itu, alinea berikutnya baru kita masuk ke penggambaran suasana percakapan di atas, menggambarkan siapa pelaku percakapan, berikut suasana yang mendukung berlangsungnya percakapan itu.

Kedua, memulai menulis dengan melakukan pengataman intensif. Ini berlaku buat menulis fiksi maupun nonfiksi, tergantung gagasan yang hendak dikembangkan. Jika setiap pagi kita melihat pemulung pria setengah baya yang menyeret gerobak berpenumpang dua anak kecil lewat di rumah kita, misalnya, kita bisa memulainya dengan:
Pria berusia paruh baya itu setiap pagi lewat di depan rumah kami. Wajahnya tidak asing lagi, sebab ia satu-satunya pemulung yang menyeret gerobak sampah. Lebih tidak asing lagi, sebab ia selalu membawa serta dua anaknya di atas gerobak itu. Pernah kami berpikir, jangan-jangan ia bukan pemulung sampah, tetapi pemulung anak-anak!

Itu adalah aliena atau pembuka tulisan kita berdasarkan pengamatan kita terhadap seseorang, binatang, atau benda yang biasa kita lihat, kejadian yang berulang-ulang, Nah, sekarang sahabat sudah bisa menulis cerpen sendiri dengan melanjutkan alinea pembuka tulisan yang cukup nakal hasil pengamatan tersebut.

Ketiga, memulai tulisan dengan puisi buah karya pujangga ternama atau pidato negarawan besar, juga sering dipakai sebagai pembuka sebuah tulisan, daripada sulit mencari kalimat lainnya. Puisi bikinan sendiri juga boleh:
Kutikam jantungmu dengan pedang cintaku
Agar darah kasihmu yang segar bisa mengaliri seluruh arteri kehidupanku

Jadikanlah puisi ecek-ecek ini sebagai pembuka tulisan dan gambarkan apakah si tokoh cerita suka atau benci tulisan itu, lalu masuklah ke dalam alur cinta yang bisa saja tidak lagi terkait dengan puisi pembuka tulisan tadi.

Keempat, cuplikan peristiwa. Ini adalah moment of the truth, sebuah momen yang terekam dengan baik. Tentunya harus peristiwa yang tidak biasa, baik itu yang menyangkut drama kehidupan, upaya menyelamatkan seseorang dari kematian, atau kejadian mengejutkan lainnya. Misalnya:
Keretaapi itu meluncur di atas rel bagai peluru lepas dari senapan. Di ujung rel, seorang ibu berdiri menggendong anaknya, seakan-akan menantang kehadiran kendaraan besi itu datang. Penggembala kerbau itu tahu, ibu itu hendak mengakhiri hidupnya di atas rel panas. Tanpa pikir panjang, ia menerjang perempuan itu beberapa detik sebelum moncong keretaapi melumatkan tubuhnya berikut anaknya.

Kelima, masih ingat 'kan postingan saya tentang "Ibarat Langit dan Comberan"? Di sana saya celoteh soal kebalikan, perbandingan, atau perbedaan yang tajam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dari unsur-unsur kebalikan ini, bukan? Baik-buruk, tinggi-rendah, hidup-mati, yin-yang, hitam-putih. Memulai tulisan fiksi atau nonfiksi, bisa dengan menggunakan perbandingan atau perbedaan tajam ini. Contohnya:
Dari balik kaca tembus pandang, Aini, pengemis cilik, itu hanya bisa menelan ludah saat memperhatikan anak-anak seusianya berpesta pora menyantap ayam goreng tepung MacDee. Air liurnya menetes hebat. Pikiran membayangkan enaknya menyantap makanan itu di saat udara dingin menggigit begini. Hal itu ia lakukan sekadar membujuk perutnya yang memberontak keras karena lapar tak tertahankan.

Keenam, mulailah tulisan dengan tokoh “aku”. Mengapa harus menokohkan “aku” atau diri sendiri. Boleh jadi karena kita akan jauh lebih muda menceritakan pengalaman diri sendiri daripada menggambarkan pengalaman orang lain. Bukankah dalam catatan harian kita selalu menceritakan tokoh “aku”? Maka, mulailah dengan tokoh “aku”:
Aku menyeret pemabuk jalanan itu ke pinggir jalan. Aku tahu, dia adalah pemabuk yang membuat nyawaku hampir melayang beberapa malam lalu akibat pisau yang dihujamkan ke arah pinggangku. Tetapi ketika pemabuk itu tergeletak di tengah jalan seperti binatang tak berdaya dengan ancaman roda-roda truk yang siap melindas, aku menyeretnya ke tepi jalan .

Dari sini, sahabat bisa melanjutkannya dengan mulai membuka sebuah percakapan antara “aku” dan “si pemabuk”, atau masih mendeskripsikan suasana malam yang kelam di sebuah pinggir jalan sepi itu. Pokoknya suka-suka saja. La liberte d’ecrivain, suka-suka penulis.

Memulai menulis nonfiksi jauh lebih terstruktur, bisa mulai dengan kutipan berita koran atau majalah, cuplikan peristiwa, kutipan sebuah buku atau kitab suci, kutipan pernyataan orang, dan masih banyak kisi-kisi lainnya yang memudahkan seseorang menulis tulisan nonfiksi. Tetapi yang penting, sekarang sahabat punya amunisi tambahan sebagai pendorong dalam memulai sebuah tulisan, tidak hanya terpukau dan terpaku pada rumus klasik Rudyard Kiplling "5W + 1H" seperti yang telah saya uraikan dalam kesempatan sebelumnya.

Pepih Nugraha
Palmerah, 14 Oktober 2006.

Wednesday, October 11, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (9)


Darimana Harus Memulai?

Setiap penulis, bahkan yang paling jago sekalipun, punya kesulitan yang sama: darimana harus memulai menulis? Barangkali hanya segelintir saja penulis mahir yang tidak memiliki kesulitan ini. Mereka memulai menulis seperti musyafir melepas dahaga saat menemukan oase di tengah padang pasir. Meluncur mulus seperti naluri melepas dahaga.

Sejujurnya, sekian tahun saya bergelut dengan dunia menulis, masih saja menemui kesulitan dalam memulai menulis. Keraguan kerap membelenggu, tidak percaya diri kerap menjelma menjadi teman abadi, dan pikiran buntu kerap mendaulat hati. Inginnya memulai sebuah tulisan dengan yang hebat-hebat, dramatis, atau mempesona. Padahal memulai menulis dengan kalimat sederhana jauh lebih genuine, asli.

Sayangnya kita sering terperangkap paradigma: awal tulisan haruslah yang hebat. Konon biar pembaca terperangah, menimbulkan efek "wah". Akibatnya, kita menjadi seorang pebingung yang tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus memulai darimana, sebab apa yang kita akan mulai tulis itu dianggap sebagai "kuno", "klise", atau "kampungan".

Bagaimanapun kesulitan harus segera diatasi. Mengatasi kesulitan dalam memulai menulis memang sulit. Tetapi obat hati yang saya catat sebagai pelipur adalah pepatah: “aller Anfang ist schwer”, setiap permulaan itu sulit! Ada benarnya. Jadi, tidak usah frustasi hanya karena sahabat sulit memulai menulis.

Meski demikian, jangan terlalu terbuai pepatah itu. Jangan juga termakan alasan sulitnya memulai menulis, yang malah menjadikan kita tidak menulis. Celaka dua kali namanya. Kegairahan menulis perlu ditumbuhkan, karena implikasinya bisa kemana-mana. Bayangkan kalau mahasiswa hilang gairah menulis skripsi hanya karena sulit memulai. Dosen lebih memilih “ngobyek” diluar daripada harus memulai menulis buku.

Memulai menulis sederhana saja: ingatlah rumus “5W+1H” dari Rudyard Kippling. Itu yang paling mudah. Bagi sahabat yang belum mengakrabi dunia jurnalistik, “5W+1H” adalah formula klasik yang menjurus “sakral” karena wajibnya sebuah berita memuat unsur-unsur “5W+1H” dalam lead (aliea pertama sebuah berita) . “5W+1H” tidak lain “What-Who-Where-When-Why + How” (apa-siapa-dimana-kapan-mengapa + bagaimana). Mulailah menulis dengan mengambil salah satu unsur dari formula ini!

What (apa), ditujukan untuk kegiatan seseorang, seekor (kalau hewan), atau sebuah (kalau benda). Jika sahabat ingin menulis tentang kegiatan anak yang mulai belajar berjalan, mengapa tidak menulis upaya atau kegiatan yang dilakukannya. Katakan saja di awal tulisan sebagai berikut:
Ia mulai mencoba mengangkat badannya, bertumpu pada dua kaki mungilnya, lalu berdiri dengan kedua tangan terangkat ke depan sebagai penyeimbang. Kaki kanan mulai terangkat dan melangkah ke depan, disusul kaki kirinya bergantian…

Who (siapa), jelas ini menunjuk kepada seseorang. Kalau anak yang belajar itu bernama Dinda, sahabat bisa memulainya dengan:
Dinda berusia satu tahun jalan. Dalam usianya yang sedini itu, anak bungsu kami itu sudah mulai belajar berjalan. Dia tidak mau lagi terlalu lama digendong dan sering berontak ingin turun. Rupanya Dinda ingin belajar berjalan lagi…

Where (dimana), juga mudah. Dia menunjukkan sebuah tempat. Sahabat bisa memulainya dengan:
Teras depan rumah kami adalah tempat yang nyaman bagi Dinda untuk memulai latihan berjalan. Selain tempatnya lapang, di teras itu tidak ada sesuatu yang berbahaya bagi keselamatan dirinya…

When, (kapan). Jelas ini menunjukkan waktu kapan terjadinya suatu peristiwa:
Pagi hari adalah waktu yang tepat bagi Dinda untuk belajar berjalan. Selain tenaganya masih segar, udara yang bersih juga menambah gairahnya belajar…

Why (mengapa). Kata tanya ini menunjukkan mengapa kita melakukan sesuatu. Ada hukum kausalitas di sana, hukum sebab akibat. Masih contoh Dinda yang belajar berjalan, sahabat bisa memulai menulis dengan:
Seperti tidak ada lelahnya, Dinda terus berupaya berdiri dan melangkahkan kakinya meski dengan berat dan sering terjatuh. Rupanya ia bertekad ingin cepat bisa berjalan seperti teman-teman lainnya...

How (bagaimana). Mungkin yang terakhir ini lebih sulit. Tetapi biasanya bersifat penggambaran saja atau bekerjanya suatu proses. Jadi tulislah sulitnya upaya Dinda belajar berjalan dengan:
Jatuh, bangun, jatuh dan bangun lagi. Itulah yang Dinda lakukan dalam upayanya belajar berjalan. Ia melakukannya dengan keras, sampai kemudian ia mampu berjalan sendiri...

Nah, kalau kunci “5W+1H” itu sudah kita pahami betul, tunggu apa lagi? Siapakan kertas dan pulpen atau segera duduk di depan komputer dan mulailah menulis apa saja; cerpen, catatan harian, catatan perjalanan, berita, bahkan artikel. Kerahkan nalar dan imaji kita kala mulai menulis:
“Malam sepi, langit gelap tak berbintang, seorang lelaki berkelebat di tengah kegelapan…” atau “Api unggun sudah mulai padam pada malam yang beku itu. Suasana berganti diterangi nyala bulan sabit yang menggantung di bibir langit..." atau "Aku mulai beranjak dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan pada malam yang sudah jatuh ke dinihari itu…” atau… silakan sahabat cari dan lanjutkan sendiri!

Pada perjalanannya nanti, hanya tinggal improviasi saja dalam memulai menulis. Ada kalanya kita harus menggambarkan suasana hati, suka cita, atau kepedihan. Akan tetapi semua penggambaran (deskripsi) itu tidak lepas dari “5W+1H”. Bisa juga kelak improvisasi dalam memulai menulis itu berupa kutipan kata-kata bijak/mutiara, peribahasa, percakapan (kalimat langsung), penuturan orang, bahkan seruan. Saya akan jelaskan semua itu dalam kesempatan lain, berikut contoh-contohnya.

Sebagai gambaran, saya lampirkan sebuah contoh tulisan di sini. Saat saya menulis newsfeature ini, kisah sosok ini, saya memulainya dengan menyimak penuturan seorang sumber bernama Ajid, bos pemulung, yang menceritakan satu episode hidupnya yang paling diingatnya dengan baik. Sahabat bisa mengkliknya disini: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/09/Sosok/2994402.htm. Selamat mencoba.


Palmerah, 11 Oktober 2006

Saturday, October 07, 2006

Catatan (11): Bercerita Sebelum Tidur


Membuat Cerita Sendiri

Saya tidak tahu lagi apakah para orangtua sekarang biasa bercerita kepada anak-anaknya sebelum berangkat tidur? Kadang karena terbebani penat sehabis seharian bekerja, tidak ada lagi tenaga buat kita, orangtua, sekadar bercerita kepada anak. Setidak-tidaknya, anak ingin mendengar apa saja yang sudah kita lakukan sepanjang tadi siang.

Dulu, orangtua saya, biasa bercerita kepada saya sebelum kami berangkat tidur. Ayah yang biasanya lebih ekpresif dalam bertutur membuat saya dan adik, Dadang, terbuai dan membawa sepotong cerita ayah tadi ke dalam mimpi. Pernah ayah cerita tentang "Si Boncel", anak durhaka yang pada penghujung hidupnya menderita lahir dan batin karena mengusir orangtuanya dari Kandangwesi.

Jika diminta, saya bisa mengulang atau menceritakan kembali (retold) kisah anak durhaka ala Sunda itu meski itu sudah terjadi 35 tahun lalu. Saat itu saya berusia tujuh atau delapanan tahun, tetapi bisa menyimak dan menikmati dramatisasi kisah sederhana itu. Efeknya bukan main: bercerita sebelum tidur adalah pembelajaran yang baik di samping ujud dari kehangatan dan kedekatan anak dengan orangtuanya.

Dari bercerita sebelum tidur itulah beberapa tahun kemudian saya bisa menyusun cerita sendiri. Mula-mula pengalaman sederhana yang saya tuangkan dalam catatan harian. Lalu menyusun cerita dengan keluar dari arus utama cerita-cerita pada masa itu seperti "Si Kancil dan Buaya", "Sakadang Kuya Jeung Sakadang Monyet", "Si Boncel", "Budak Teuneung" (anak pemberani), dan serenceng cerita anak-anak lainnya. Dari hasil menyusun cerita sendiri, Alhamdulillah saya bisa mendapat uang jajan tambahan setelah naskah cerita bikinan sendiri itu dimuat majalah Bobo, Tomtom, dan Ananda. Itu saya lakukan saat saya duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi, jauh-jauh hari sebelum menekuni bidang jurnalistik.

Bercerita bukanlah monopoli pencerita ulung saja, penulis hebat atau novelis laris. Tidak. Kita, para sahabat, juga bisa membuat cerita. Paling sederhana adalah menceritakan kembali riwayat hidup kita semasa kecil kepada anak kita, niscaya dia akan menikmati riwayat itu, apalagi bila itu disampaikan dengan dramatisasi yang hidup. Ceritakanlah semua itu sebelum tidur, jangan bercerita dengan cara memaksa. Semua dilakukan dalam waktu luang yang hangat.

Kalau itu biasa dan bisa sahabat lakukan, mengapa tidak ditulis atau disusun saja dalam sebuah catatan. Sekarang mungkin bisa segera ditulis dalam laptop atau PDA, lalu simpan dan bila perlu dicetak dalam huruf yang besar-besar, biar anak juga penasaran, siapa tahu memintanya. Kalau dia meminta dan ingin membacanya sendiri cerita yang kita gubah, artinya setengah pekerjaan kita mendidik dan mengarahkan anak kita sudah berhasil.

Menyusun cerita sendiri secara tidak langsung adalah pekerjaan menulis. Menulis. Ya, menulis. Tidak ada di dunia ini penulis yang tiba-tiba jadi dan hebat berkibar-kibar di ranah sastra tanpa proses pelatihan sebelumnya. Tahukah sahabat, siapa di antara kita yang sesungguhnya memiliki waktu luang untuk menulis? Ibu-ibu, ya ibu-ibu!

Ini bukan bicara soal gender atau menafikan peran perempuan yang dikira tidak punya pekerjaan. Sama, ibu-ibu juga punya pekerjaan seabrek. Tetapi jangan lupa, yang namanya kehangatan atau passion mutlak lebih banyak dimiliki ibu-ibu dibanding bapak-bapak berkaitan dengan anak-anak. Kita boleh tidak setuju, tetapi saya tidak bermaksud membuka diskusi ke arah sana. Saya hanya ingin mengatakan, gubah atau susunlah cerita bikinan kita itu dalam sebuah tulisan. Cerita atau pengalaman yang sudah kita tulis itulah yang kemudian kita ceritakan kembali kepada anak-anak sebelum mereka beranjak tidur.

Mau coba? Silakan....

Pepih Nugraha

Bintaro, 7 Oktober 2006.

Thursday, October 05, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (8)

Asosiasi sebagai Penguat

Dalam beberapa kali pertemuan dengan mahasiswa untuk pelatihan jurnalistik, saya sering mendapat pertanyaan: apakah menulis berita atau artikel itu harus menggunakan “bahasa tinggi”, meliuk-liuk atau mendayu-dayu, sebagaimana bahasa roman. Selalu saya jawab: tidak! Mungkin ada di antara sahabat yang tidak setuju, silakan saja…

Bagi saya yang paling penting dalam menulis, isi pesan tulisan kita lekas sampai tanpa harus mendera orang lain untuk memahaminya, apalagi sampai berkerut kening dan sibuk membuka kamus. Dalam menulis, gunakan saja bahasa sehari-hari. Ini akan membimbing kita pada gaya kita sendiri. Meniru gaya tulisan orang, silakan saja, tetapi percayalah, lama-lama bosan sendiri. Maka, jadilah diri sendiri!

Sekarang bukan zamannya lagi kita bersulit-sulit dalam menulis, menyiksa orang (pembaca) memahaminya hanya karena kita ingin disebut pintar, ingin disebut lebih hebat dari si pembaca. Tidak, yang penting gagasan yang kita sampaikan lekas dipahami. Simak para penulis novel sekarang, yang lebih terbiasa menggunakan bahasa koran, atau bahasa sehari-hari, tanpa harus kuatir orang lain mengiranya bodoh.

Tetapi tanpa bergaya bahasa dalam menulis, tentu tulisan juga menjadi kerontang, tidak menggigit, dan membosankan. Kecuali berita yang benar-benar harus straight, tulisan atau artikel bolehlah sesekali menggunakan gaya bahasa; entah itu hiperbola, personifikasi, atau asosiasi. Sewaktu di SMA, saya hapal semua gaya bahasa sampai ke tautologi segala macam. Tetapi yang kini sering saya gunakan selain perbandingan, juga persamaan atau asosiasi.

Dalam mengambil persamaan, sederhana saja yang penting kreatif, nakal, dan kadang tak terduga. Kadang kita dapatkan asosiasi itu dari percakapan sehari-hari. Misalnya saking panasnya udara Jakarta, sopir mikrolet jurusan Kebonjeruk bilang, “Gila panas ‘kali, kayak neraka bocor!” Terkesan kampungan, tetapi itu suatu asosiasi. Pelawak Thukul enteng saja mengatakan, "Menilai orang itu jangan dilihat dari cassing-nya, yang penting sinyalnya!" Sebuah novelty (kebaruan) yang memukau dengan mengambil persamaan telepon genggam.

Penulis Betawi legendaris Firman Muntaco paling jago dalam membandingkan atau mempersamakan suatu peristiwa, seperti dalam bukunya “Gambang Jakarta”, juga novelis Ahmad Tohari dalam trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”. Marry Sheley saat menulis "Frankenstein", juga penuh persamaan atau asosiasi ini. Ahmad Bakri novelis Sunda, juga piawai mengolah persamaan suasana ini. Penulis lainnya juga melakukan hal ini. Salut kepada mereka!

Susahkah membuat persamaan? Tidak juga, kita hanya butuh kepekaan dan latihan. Kalau jarak yang hendak kita tempuh sudah dekat, kita katakan saja “tinggal sepelempar batu”. Kalau ada pejabat atau raja penjahat sulit ditemui dan selalu selalu lolos dari jerat hukum, kita katakan mereka sebagai “tak tersentuh”. Kalau orang sudah sekarat, sebut saja “nafasnya tingggal satu dua”. Ringan, ‘kan? Banyak lagi contoh lain, sahabat bisa menciptakannya sendiri secara kreatif.

Selain dalam tulisan, tidak jarang saya membuat judul dari persamaan atau pemanis akhir sebuah tulisan. Saat berada di Aceh meliput tsunami, saya menulis sebuah benda, yakni sebuah kubah masjid yang sudah terpisah dari masjidnya dan terbawa hanyut, tersangkut di pesawahan yang sunyi di kaki sebuah bukit. Saya rileks saja mengatakan “kubah itu masih utuh tetapi kini kesepian”. Lalu dalam tulisan saya mengenai “hiruk-pikuknya” orang berinternet dan perkembangan internet yang sedemikian hebat, saya katakan itu sebagai “revolusi sunyi”.

Mengapa “revolusi sunyi”? Bukankah revolusi selalu identik dengan keramaian dan hiruk-pikuk karena perubahan yang sedemikian cepat. Betul. Tetapi saya membayangkaan sebuah komputer. Hanya komputer. Ia terdiri dari rangkaian prosesor, papan ketik, layar, dan tetikus. Benda yang sunyi, tetapi di dalamnya, internet, menggelorakan revolusi yang luar biasa. Saya tidak ragu menuliskannya sebagai sebuah judul. Sahabat bisa mengikutinya di sini: http://kompas.com/kompas-cetak/0609/22/sorotan/2967623.htm.

Palmerah, 4 Oktober 2006

Monday, October 02, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (7)

Bunda Inong di Kompas

Menulis perlu cantelan. Menulis apapun, baik menulis catatan harian ataupun catatan resmi, apalagi menulis berita. Menulis tentang sejarah suatu benda pasti membosankan kalau tidak ada cantelan. Cobalah menulis tentang lumpur, misalnya, kalau tidak ada cantelan dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, pasti akan garing. Atau sebaliknya menulis tentang Sidoarjo kalau tidak ada cantelan peristiwa semburan lumpur, juga tidak akan menarik.

Semua berita dan tulisan di koran pasti ada cantelannya, ada kaitannya, dengan peristiwa lainnya. Kalau kita tiba-tiba menulis tentang sosok PM Thailand Thaksin Sinawatra yang kini menjadi gelandangan politik di luar negeri, misalnya, pasti tidak akan menarik kalau tidak ada peristiwa cantelan, yakni kudeta tentara pimpinan Jenderal Sonthi Boonyaratkalin. Menulis sosok Dan Brown pasti membuat orang bertanya "siapakah orang ini?" kalau bukunya "Da Vinci Code" tidak meledak. Buku yang ia tulis adalah cantelan, pintu masuk ke tulisan sosok Dan Brown. Banyak lagi contoh lainnya, yang tidak bisa dipaparkan satu persatu. Silakan sahabat gali sendiri…

Demikian juga saat saya menulis tentang blog atau weblog. Apa menariknya menulis tentang blog? Jelas akan garing, sebab kalau itu dipaksakan apa yang kita tulis tidak lebih dari tulisan ensiklopedis semata. Ibaranya membuka ensiklopedi dan menelusur entri “blog”, maka di sana tertulis A to Z atau ABC-nya blog. Ingin saya katakan, dalam menulis wartawan harus memiliki kepekaan akan cantelan ini, akan keterkaitan dengan peristiwa lainnya.

Saya menulis tentang blog dengan cantelan kepergian Bunda Inong. Sahabat blogger pasti tahu siapa Bunda Inong. Dia seorang ibu muda yang meninggal di Singapura karena asma akut, meninggalkan suami dan dua putera-putrinya, juga meninggalkan “rumah duka” berupa tiga blog miliknya. Nah, saya cantelkan peristiwa kepergian Bunda Inong, sekalian untuk mengenangnya (obituari), dengan tulisan tentang “sejarah blog”. Pembaca kita giring akan sebuah peristiwa, yang dalam hal ini maaf, peristiwa menyedihkan (dolorosa), untuk kemudian masuk ke dunia blog.

Dengan segala hormat kepada mereka yang ditinggalkan Bunda Inong, saya meminta maaf atas “kelancangan” menulis obituarinya di harian tempat saya bekerja. Semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan selalu, dan contoh “keriangan dan keikhlasan” Bunda Inong seperti yang tercermin dalam ketiga blognya, menjadi inspirasi kita semua.

Untuk lebih menyelami arti tulisan yang menggunakan sebuah cantelan, sahabat bisa mengunjunginya di: http://kompas.com/kompas-cetak/0610/02/ln/2988037.htm edisi Senin 2 Oktober 2006, halaman 44 rubrik Sorotan-Internasional.

Palmerah Selatan, 2 Oktober 2006