Saturday, November 03, 2007

Komentar Anda (1)





Komentar Priyady atas "Teh Ida"






KEBETULAN saya orang Majalaya, saya kira penggunaan kekerasan untuk memenangkan persaingan bisnis, pada jaman sekarang seharusnya dikurangi kalau tidak bisa dihilangkan, dan diganti dengan persaingan sehat seperti kualitas, harga, pelayanan ,purnajual dll.


Penggunaan kekerasan dalam persaingan tidak membedakan manusia sebagai mahluk sempurna dengan mahluk lainnya, seperti binatang akan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan daerah kekuasaanya (mempertahankan makanan dan betina-betinanya) dimulai penandaan batas wilayah dengan kencingnya sang pemimpin binatang di suatu tempat/pohon dan usaha pengusiran dengan kekekrasan kalau ada binatang lain yang akan mencoba memasuki daerah kekuasaan.


Dampak lain akan timbul saling balas dendam, orang Majalaya akan memperlakukan hal yang sama apabila ada pesaing dari karawang. Balas dendam ini juga merupakan perilaku standar semua mahluk, harus nya manusia tidak berperilaku standar seperti kebanyakan mahluk karena manusia adalah mahluk sempurna dan menjadi khalifah di muka bumi.


Sekian dari saya, ini hanya komentar saja. Selanjutnya saya mau konfrimasi apakah pemilik blogger ini berasal dari Ciawi,Tasik pernah tinggal di Cikoko Barat belakang bank Bukopin, temennya Sofyan Halim dari Tasik, tinggal di lantai atas , suka memutar lagu cianjuran? kalau betul saya adalah pengagumnya, saya mengucapkan selamat atas kesuksesan karirnya , semoga terus maju dan sukses, serta jadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan agama.


Karena hidup hanya sementara dan satu kali, sehingga kalau hidup tidak berguna untuk kehidupan ini, sangat disayangkan (ini hanya pendapat saya aja), saya yakin bapak Pepih ini adalah manusia pilihan yang sangat berguna bagi kehidupan ini, amiin.


Balasan saya:


Terima kasih atas komentarnya Kang Priyady, setidak-tidaknya saya mengakangkan saja, daripada menyebut Akang dengan sapaan "Bapak". Bukankah Kang Priyady orang Majalaya?


Begitulah, Kang, saya hanya mengungkapkan apa adanya dari apa yang dituturkan Teh Ida (lihat Catatan: Menyapa Warga-1) , seseorang yang saya temui begitu saja di jalanan. Maaf kalau saya terpaksa harus menyebut Majalaya, kota kelahiran Akang (?), bukan bermaksud mengkonfrontasikan antara orang Karawang dengan orang Majalaya. Mungkin kebetulan saja yang ingin mencari nafkah sebagai pembeli/penjual beras itu orang Majalaya.


Tentu saya setuju soal keharusan tidak ada batas wilayah dalam hal mencari nafkah. Bukankah para bapak pendiri negeri ini telah bersepakat bahwa kita bernaung dalam payung NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Logikanya, kita mau hidup, mencarii nafkah, menitipkan badan, bisa di lingkup NKRI. Sentimen kesukuan, ras, golongan dan agama harus dihilangkan jika kita bersepakat hidup dalam ikatan keindonesiaan. Bukan begitu, Kang?


Bahwa ada orang yang bersikap seperti suami Teh Ida, mungkin orang seperti inilah yang butuh pencerahan kita bersama. Kita tidak boleh tersulut atau terprovokasi, tetapi cukup memaklumi bahwa masih ada di antara kita orang-orang yang rela mati dan bermusuhan hanya karena urusan rejeki, yang kita yakini itu semua diatur oleh Allah.


Soal bahwa saya pernah kost di Cikoko Barat selama kurun waktu 1990-1992 dan teman Sofyan Halim, seratus persen benar. Semoga kita bisa bertemu kapan-kapan. Hanya saja mohon maaf jika saya tidak bisa menelusur lebih jauh keberadaan Akang.

No comments: