Monday, July 23, 2007

Citizen Journalism (7)



Rini dan Wilson




BEBERAPA menit lalu, Senin (23/7) hari ini, dua finalis "Indonesian Idol" Rini dan Wilson menjambangi ruang redaksi Harian Kompas di lantai tiga. Secara sopan, keduanya membagikan poster mini yang memuat foto diri masing-masing.


"Pilih saya ya, Oom," harap Wilson, nyong Ambon berkulit putih putih saat menghampiri meja tempat saya bekerja.


Selang beberapa detik kemudian, Rini datang melakukan ritual yang sama, membagikan poster dirinya. "Jangan lupa pilih saya ya, Oom," kata gadis Medan ini.


Mereka berdua adalah finalis (dua besar) dari 12 finalis lainnya yang telah berguguran di tengah jalan. Bagaimanapun, upaya keduanya berupaya memikat pemilih patut diacungi jempol. Itulah salah satu fase (langkah) menuju sukses dan ketenaran.


Mestinya pasangan calon gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar juga melakukan cara simpati seperi finalis "Indonesian Idol" itu, daripada berarak-arakan memacetkan lalu-lintas dengan janji-janji kosong. Tidak menghibur lagi!


Soal pilihan Rini atau Wilson, terserah sahabat saja. Di sini, saya tampilkan foto terbaru dua finalis "Indonesian Idol", Rini dan Wilson, yang mengapit Ester, mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH) yang sedang magang menjadi wartawan di Harian Kompas.

Catatan (23): Akhirnya "Dirimu" Kudapat



Lirik Lengkap "Dirimu"



ENAKNYA nge-blog, bisa berteman dengan orang banyak, bisa berbagi rasa, bahkan berbagi kebutuhan. Contoh kecil saja, tatkala saya sangat-sangat memerlukan lirik lagu "Dirimu" dari Keenan Nasution saat tergabung dalam Gank Pegangsaan, Reynaldi Wirya, mengirimkan lengkap "Dirimu" untuk saya.




Reynaldi yang punya blog keren http://www.indolawas.blogspot.com/, kebetulan membaca postingan saya kemarin mengenai Keenan Nasution (lihat Sayang "Dirimu" Tak Ada). Terima kasih yang sebesar-besarnya buat Reynaldi. Inilah teks lengkap lirik lagu "Dirimu", yang tetap saya mainkan dalam nada D minor.




"Dirimu"



Di bening malam ini

Resah rintik gerimis datang

Menghanyutkan sinar rembulan



Buram kaca jendela

Semuram waktu yang berlalu

Sedang ku masih menunggu

Ungkapan rasa

Dari keinginan baikku

Untuk bersama menempuh jalan hidup



Tak usahlah kau ingat

Bayangan gelap kenyataan

Diri tanpa sutradara

Relakan niat tangan

Menghapus noda kehidupan

Dirimu di hadapanku



Tetaplah putih

Demi keingan baikku

Untuk bersama menempuh jalan hidup



Kuingin selalu dekatmu

Sepanjang hidupku

Membawamu ke puncak bahagia



Kuingin selalu denganmu

Nikmati mentari

Mendekapmu dibawah cahayanya



Bagimu...

Raihlah kehidupan...

Saturday, July 21, 2007

Citizen Journalism (6)







Sayang, "Dirimu" Tak Ada



PERTEMUAN yang tak disangka-sangka dengan Keenan Nasution. Petang itu, Jumat (19/7), Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas yang punya kolom "Politika", penulis soal tetek bengek Amerika Serikat sampai ngelotok, penulis sepakbola jempolan, dan penulis musik yang disegani, menelepon saat saya terbenam dalam rutinitas pekerjaan di kantor.



"Pep, kamu ke lobi, Keenan sudah nunggu. Dia bawa buku dan CD yang kamu mau," kata Pak Bas, demikian kami biasa memanggil.



Saya tunda dulu pekerjaan, segera meluncur ke bawah, ke lobi. Di sana Pak Bas dan Keenan sudah menunggu. Saya menyalami musisi besar Indonesia seangkatan Chrisye yang pada 5 Mei lalu mengadakan konser tunggal bertajuk "Malam Nuansa Bening" itu. Keenan sudah berusia 53 tahun, tetapi tampak masih segar. Dua tanda hitam di kening menunjukkan bahwa dia lekat dengan sholat.



Soal konser itu, saya sendiri tidak sempat menonton sebab pada malam itu bertepatan dengan tugas kantor saya. Hiks... Sudah, jangan kautangisi itu, Pep, batin saya.



"Sayang ya Pak Keenan, lagu "Dirimu" yang Bapak nyanyikan bersama Gank Pegangsaan tidak ternukil dalam album 'Dengarkan, Apa Yang Telah Kaubuat' ini," kata saya.



"Ya, sebab lagu itu tidak senafas dengan lagu-lagu yang termuat dalam album ini," jawab suami penyanyi lawas Ida Royani ini saat menggoreskan tanda tangannya di atas bukunya, buku dan CD yang saya beli (lihat foto di atas). Satu set buku biografi, buku lirik, dan dua keping CD yang harganya lumayan tinggi.



Saya bertanya dimana bisa memperoleh kaset Gank Pegangsaan yang memuat lagu "Dirimu" dan "Palestina" itu. Jawab Keenan, "Nanti saya edarkan juga CD live concert saya tempo hari, di situ ada lagu 'Dirimu'."



Hemh... tiba-tiba saya merasa lega. Bukan apa-apa. "Dirimu" adalah lagu spesial yang mengingatkan masa-masa awal perjuangan saya menginjakkan kaki di belantara Jakarta, pada tahun 1990 lalu. Pada saat itu, sambil mendengarkan "dirimu" dari pita kaset di tape JVC di kamar kost-kostan di Cikoko, Jakarta Timur, saya memandang masa depan yang masih temaram. Terus terang, saya tidak tahu mau jadi apa saya kelak, lima, 10, atau 15 tahun kemudian. Kepastian akan perjalan hidup segera datang setelah percaya akan kemampuan diri sendiri muncul: menulis!


Boleh jadi saya lupa liriknya. Tetapi dengan iringan gitar akustik yang biasa saya mainkan di D minor, lamat-lamat saya bisa mengingat penggalan liriknya, meski tidak utuh...


Di bening malam ini


Resah rintik gerimis datang

Menghanyutkan sinar rembulan



Muram kaca jendela

Semuram waktu yang berlalu

sedangku masih di sini....



Inginku slalu dekatmu

Nikmati mentari

Membawamu ke puncak bahagia

Monday, July 16, 2007

Citizen Journalism (5)



Makanan Eksotis "Warung Ceuceu"



TELAH bekerja sejak 1990. Hampir 17 tahun. Tetapi, baru beberapa minggu lalu saya tahu namanya: O’om Khadijah. Mengapa baru tahu namanya? Sebab saya menanyakan siapa namanya.



Ari nami Ibu teh saha?” Tanya saya dalam bahasa Sunda menanyakan namanya, saat saya makan siang tanpa teman beberapa waktu lalu, sendiri saja. Saya hanya tahu bahwa dia orang Sukabumi, Jawa Barat.



“O’om Khadijah,” jawabnya. Saya kemudian menanyakan nama almarhum suaminya, yang ia jawab, “Muhammad Zen.” Dulu, sang suami kerap membantunya saat ia melayani pembeli. Tetapi setelah ia pergi selamanya, O'om dibantu seorang asisten yang masih terhitung belia.



Siapa O’om Khadijah? Dialah “Ceuceu”, demikian O’om biasa dipanggil, yang membuka warung di sudut kanan The Jakarta Post! Karyawan di lingkungan tempat kami bekerja menamakannya Warung "Ceuceu”. Saya biasa memanggilnya "Ibu".



Untuk masuk ke warungnya, kita harus melewati lorong sempit . Di ruangan 16 meter persegi itulah Ceuceu menjalankan roda bisnisnya, mulai Senin hingga Jumat, dari pukul 10.00 hingga 15.00. Seingat saya, sejak 1990 pun Ceuceu sudah membuka warungnya dengan menu yang tidak banyak berubah sampai sekarang.



Saya mau cerita mengenai menu spesialnya: telur bebek goreng. Saya tidak tahu mengapa telur bebek goreng yang dihidangkannya selalu wangi dan renyah. Dihidangkan selalu panas, fresh from ketel. Minyak gorengnya selalu baru dan bening. "Ibu mah tara nganggo minyak goreng tilas, komo jalantah mah," katanya. Maksudnya, ia tidak pernah menggunakan minyak goreng bekas.



Teman si telur goreng panas, ada dua pilihan: sayur asem atau sop segar. Well, tinggal pilih saja. Agar wangi, telur kopyok (kocok) itu dicampur merica, juga irisan bawang daun dan cabai kalau suka. Tetapi, si sayur asem itulah yang biasanya lebih dahulu habis dan amat pas bila mendampingi telur bebek goreng. Soal sayur asem, rasanya sangat eksotis. Bayangkan, gabungan antara asam, pedas, dan panas jadi satu.



Soal selera memang tidak bisa diperdebatkan. Tetapi, sejak lama saya dan kawan-kawan, termasuk para petinggi kantor seperti Mas Tom (Suryopratomo), Mas Nin (Ninok Leksono), dan mantan wartawan Kompas, Ace Suhaedi Masdupi, selalu menjadi langganan fanatiknya. Setiap hari kalau lagi ramai, si Ceuceu mampu menjual 50 butir telur bebek. Hanya telur bebek! "Pami nuju sepi mah tiasa ngical 25 oge tos untung," akunya merasa beruntung kalau mampu menjual 25 telur bebek sehari.



Kita kerap rela menunggu lama di dalam ruangan yang sumpek dan sumuk. Tetapi setelah pesanan terhidang, rasa penat dan kesal hilang seketika. Apalagi minumannya jeruk panas (lihat foto di atas). Dengan uang Rp 14.000, kita sudah mendapatkan paket telur bebek panas, sayur asem atau sop panas, sambal gratis yang pedas, satu cumi goreng asin, sekerat tahu goreng panas, sepiring nasi cianjur yang mengepul, dan minuman jeruk panas yang bikin keringat menderas.


Kalau sahabat sekali waktu main-main ke sekitar Gedung Kompas-Gramedia di Jalan Palmerah Selatan, carilah Warung "Ceuceu" yang letaknya tersembunyi itu. Soal rasa dan selera, wah... saya tidak bisa berdebat soal itu. Coba sajalah!

Saturday, July 07, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (27)



Jubing Kristianto



AWAL Juni lalu saya bersama Kakang, penerang cahaya hidup ini, jalan-jalan sore di Disc Tara Plaza Bintaro. Hanya sekadar window shopping, tetapi anak saya itu menunjukkan sebuah keping cakram digital (CD). "Ayah, ini CD gitar klasik," katanya menunjukkan sampul coklat kehijauan.



Semula saya tidak tertarik. Bukan apa-apa, sebelumnya saya sudah mengoleksi Roger Wang, Andres Segovia, John William dan Julian Bream, Alex Fox, Trisum, Balawan, bahkan Paco de Lucia. Gitaris siapa lagi? Pikir saya. Tak urung saya raih juga temuan Kakang itu. Saya tidak tahu siapa gitaris yang dimaksud, sebab tidak tertera pada sampul utamanya. Tetapi saya mengenali wajah dalam foto album itu. Jubing!



Album CD bertajuk "Becak Fantasy" itu ternyata milik Jubing Kristianto. Waktu saya bertugas di Pusat Informasi Kompas tahun 1992-an, Jubing beberapa kali menemui saya meminta informasi untuk bahan-bahan liputannya. Tidak lama kemudian, saya dengar dia telah menjadi seorang gitaris yang menikah dengan Reny Yaniar, teman seangkatan saya di Fikom Unpad. Kini Reny dikenal sebagai penulis cerita anak-anak.



Dulu, Reny sering bertanya bagaimana saya bisa menulis cerita anak-anak di Majalah Bobo dan majalah anak-anak lainnya. Hanya karena ketekunannya, Reny menjadi penulis cerita anak-anak ternama negeri ini, yang bukunya sudah mencapai 50. Sedang saya, satu bukupun belum karena beralih haluan menjadi wartawan!



Bukan karena Jubing saya kenal sebelumnya, juga bukan karena dia suami dari teman saya, yang menggerakkan saya untuk menulis. Telah banyak pula orang menulis tentang dia sebagai gitaris. Tidak kurang dari senior saya di Kompas, Ninok Leksono dan Arbain Rambey. Apa lagi yang mau saya tulis tentang Jubing? Dalam hati, saya harus menemuinya!



Singkat cerita, saya sudah menjumpainya di suatu tempat. Saya sudah baca latar belakangnya. Saya berjanji tidak akan menulis cerita yang sama, kalau bisa. Saya ingat, Mas Ninok menulis dari sisi atraksi Jubing di atas panggung saat konser. Arbain menulis dari sisi Jubing memberi partitur atau komposisi gratis yang dibuatnya dari situs pribadinya. Saya?



Setelah wawancara berlangsung, barulah saya tahu bahwa dia sudah keluar dari tabloid Nova, padahal jabatannya sudah tinggi, yaitu redaktur pelaksana. Ketika saya tanya alasannya keluar, Jubing mantap menjawab, "Biar lebih konsentrasi main gitar!" Luar biasa! Poin inilah yang saya tangkap untuk kemudian saya jadikan lukisan dari sebuah tulisan. Dengan "kuasa" saya sebaga jurnalis, saya juga mampu "memaksa" Jubing memainkan dua komposisinya khusus untuk saya, Hai Becak dan Burung Kakaktua.



Berikut ini tulisan saya mengenai Jubing yang dimuat Harian Kompas edisi Sabtu, 30 Juni 2007. Juga bisa diakses di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/30/Sosok/3621875.htm:





Jubing, "Menyulap" Gitar Tunggal Jadi Orkestra

PEPIH NUGRAHA



Bintang Soedibjo yang lebih dikenal sebagai Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak, tentu tidak mengira kalau lagu Hai Becak ciptaannya bisa menjadi satu komposisi musik orkestra. Jubing Kristanto menyulap lagu sederhana dan akrab di telinga anak-anak sampai orang dewasa itu menjadi sebuah orkestra hanya dengan satu alat musik: gitar!



Jubing dan gitar benar-benar menyatu, ibarat dua sisi dalam satu keping uang. Saat kami menunggu Jubing untuk wawancara di Wisma Relasi, Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pekan lalu, dia datang dengan menenteng gitar yang dibungkus dalam sebuah koper. Gitar tidak monoton. Di tangan Jubing, alat musik bersenar itu bisa menghasilkan "seribu satu" suara, mulai perkusi sampai gamelan dan tetabuhan rebana.



Mengapa lagu anak-anak Hai Becak yang kemudian menjadi judul album Becak Fantasy dalam bentuk compact disc (CD), dan baru beredar itu menjadi perbincangan? Pada lagu itulah terdapat sejumlah teknik permainan gitar yang tidak biasa dijumpai dalam komposisi gitar klasik pada umumnya. Tidak salah kalau dia menjuluki gitar sebagai one man band instrument.

Nada tanpa kata-kata yang dihasilkan pun penuh filosofi. Simak, misalnya, efek gamelan Jawa yang biasa disebut kepyak bergemerincing sebelum lagu itu tiba-tiba nyelonong ke nada minor, nada melankolis syarat kesedihan yang bukan "khitah" dari lagu Hai Becak yang dominan mayor.



Nada minor itu lalu masuk ke irama padang pasir, nada gambus yang meliuk-liuk dan terseret-seret pun terdengar. Pindah lagi ke suara mandolin, dan tidak lama kemudian secara mengejutkan Jubing menyisipkan irama dangdut dengan teknik kontrapung, saling bersahutan antara bas, melodi, sekaligus akor.



"Saya sengaja menyelipkan nada minor sebab saya merasa hidup tukang becak kadang-kadang melankolis. Tetapi, pada akhir lagu saya hidupkan lagi kepedihan itu menjadi suasana riang gembira, kembali ke nada mayor untuk membangkitkan lagi semangat hidup. Sedih tidak boleh berlarut-larut," papar Jubing setelah menunjukkan kebolehannya memainkan Hai Becak, komposisi yang ditulisnya selama tiga bulan pada tahun 1986.



Dari tangannya, lagu-lagu Tanah Air seperti Ayam den Lapeh dan Beungong Jeumpa, juga lagu anak-anak seperti Hai Becak tadi, Naik Delman, Burung Kakatua, dan Hujan, menjadi sebuah komposisi musik yang indah. Komposisi itu tidak hanya dimainkan Jubing sendiri, tetapi gitaris seluruh dunia juga bisa mengunduh (download) notasi musik gratis tersebut dari situs miliknya.


Misi menghibur




Beralih profesi dari jurnalis ke gitaris, itu pilihan hidup yang biasa. Tetapi, ketika puncak prestasi jurnalis tengah berada di genggaman lalu dilepas "hanya" untuk bermain gitar dengan penghasilan tidak menentu, Jubinglah yang melakukan.



Ia ingin mengisi hidupnya hanya dengan bermain gitar. Terungkaplah bahwa selama ini apa yang dijalaninya hanya ingin memuaskan keinginan orangtua. Mereka ingin anak pertama dari enam bersaudara ini hidup "normal" seperti anak-anak pada umumnya. Belajar dari sekolah dasar sampai kuliah, lalu bekerja mencari nafkah. "Padahal, sejak SD saya maunya main gitar terus," ceritanya.



Saat kuliah pada jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia pun, Jubing sekadar ikut arus orang banyak. Pun saat dia diterima bekerja di sebuah tabloid wanita tahun 1990, dua tahun sebelum ia lulus kuliah.



Saking kuatnya hasrat bermain gitar, Jubing sampai berucap, "Kalau boleh saya tidak sekolah, saya lebih memilih tidak sekolah dan hanya bermain gitar."



Tekad yang berbumbu nekat itu tiba pada 2003. Setelah 13 tahun bekerja sebagai jurnalis sampai berpuncak menjadi redaktur pelaksana sebuah tabloid wanita, dia mengajukan diri berhenti. Sebagai pengajar gitar saat itu, gajinya Rp 500.000, jauh lebih kecil dibanding penghasilannya sebagai redaktur pelaksana yang berbilang jutaan rupiah.



"Saat menjadi redaktur, saya stres dan pikiran menjadi berat. Kalau begini terus, saya bisa sakit. Lalu saya kembali kepada gitar, sebab saya yakin dengan kemampuan sendiri," kata suami Renny Yaniar, penulis cerita anak-anak ini.



Jubing mengenal gitar sejak usia sekolah dasar. Ayahnya, Wibowo, dan ibunya, Swanny, keduanya penyuka musik dan mengajari anak-anaknya bermusik. Pada usia 12 tahun, ia sudah tampil mengiringi teman-teman sekolahnya dengan gitar.



Tentang pilihannya mengaransemen lagu anak-anak, Jubing yang kini pengajar gitar itu berujar, "Saya sering melihat penonton musik klasik berwajah serius tanpa senyum. Saat saya mainkan lagu anak-anak di panggung, penonton langsung gembira dan bertepuk tangan, sebab mereka sudah mengenal lagu itu. Inilah tujuan saya bermain gitar, agar orang lain senang dan bisa ikut menikmati."



Dengan dana Rp 8 juta, awal tahun 2006 Jubing menyelesaikan master (rekaman induk) berisi 12 komposisi ciptaannya. Ia coba tawarkan kepada dua produser untuk diperbanyak. Hasilnya? "Keduanya memuji, tetapi keduanya menolak dengan alasan terlalu segmented," ucapnya.

Beruntung, seorang rekannya di Semarang mau memperbanyak master itu dalam bentuk CD. Tidak banyak, hanya 1.000 keping. Jubing dijanjikan baru bisa mendapat royalti jika penjualan cakram digitalnya sudah di atas 3.000 keping. Tetapi, dengan lahirnya CD ini pun ia mengaku senang, sebab inilah cita-citanya sejak dia mengenal gitar.




Setidaknya kini Jubing bisa menghibur orang tanpa harus tampil di panggung. Orang cukup mendengarkan orkestra gitar tunggalnya yang ramai. Kadang sulit dipercaya orkestra itu dia mainkan sendirian.

Tuesday, July 03, 2007

Catatan (22): Surat Lili 2











Bertemu Lili



SABTU, 23 Juni lalu, saat berada di Tasikmalaya, saya menyempatkan diri mengunjungi rumah Lili, teman sewaktu di SMA, yang pernah berkirim surat tanpa alamat pengirim (lihat postingan sebelumnya). Saya berada di Tasikmalaya karena esok harinya, 24 Juni, menghadiri reuni SMP Negeri 1 angkatan 1981. Saya pikir, sekalian jalan saja sebelum mengadakan "tour de Java" sekeluarga untuk mengunjungi saudara-saudara di Solo dan Cirebon.



Tidak sulit menemukan rumah Lili di Jalan Dr Mochamad Hatta yang dulu bernama Jalan Raya Ciamis itu. Tentang pertemuan dengan Lili dan keluarganya, kelak saya akan ceritakan tersendiri (lihat foto). Di sini saya mempostingkan imel Lili lewat alamat adiknya Tanti Susilawati, seorang novelis muda berbakat, yang novel pertamanya, Hey Mister I Love You, masih saya baca dan dipertimbangkan untuk dibuatkan resensinya.



Lili menyilakan saya mempostingkan suratnya dengan maksud teman-teman lainnya semasa SMA II Tasikmalaya (1981-1984) dulu ada yang membacanya. Berikut surat Lili tanpa perubahan apapun, baik cara menulis maupun gaya bahasanya:



Halo Pepih! Halo Tantri! (salam kenal)

Wah, Lili seneng banget lho! Ternyata kamu benar2 Pepih temanku!

Lili diberitahu adik bungsuku, Tanti, dia lihat blog kamu di internet. Di situ kamu nulis “Surat dari teman SMA”, kita senyum2 aja bacanya.. jangan ketawain aku ya kalau aku masih pake cra kuno buat nulis surat .



Memang sih, di zaman millennium ini, aku termasuk jenis langka yang masih pake amplop dan prangko, beda dengan adikku yang tiap hari melototi laptop. Kalau Lili sih paling2 pijit2 kalkulator (ngitung bati!), dulu waktu masih kerja (BBI Tsm) paling cm pijit2 komputer, bikin laporan.



Thanks a lot ya buat pujianmu yang selangit, padahal aku pikir dulu itu aku lebih banyak nyebelinnya daripada bagusnya, bener.



Lily or Lili is okay. My Dad sih kasih nama di Akta Kelahiranku Lili, tapi berhubung dulu aku lagi rada gumeulis, aku suka tulis2 namaku Lily biar lebih keren gitu… heheheh..



Iya Pep, aku juga sama2 byk kehilangan jejak teman2 SMA dulu, misalnya teman kita yang jenius Ang Le Tjien, dulu sekali sih waktu aku kuliah di Yogya, aku pernah ketemu dia di stasiun, dia juga kul di Yogya (Sanata Dharma), sedangkan aku di AKUB, setelah itu sampai sekarang tidak ada beritanya lagi, dengar2 sih dia pernah jadi dosen, terus katanya sekarang jadi biarawati. Benar tidaknya, aku sendiri juga nggak tahu.



Si Jangkung Taufik, dengar2 sudah jadi dokter, katanya di Jakarta , tapi setelah lulus SMA dulu, aku sendiri belum pernah ketemu dia lagi.



Lili juga pingin tahu kabar temen2 yg lain; Hen2, Ida, Bina, Dudi, Dian, Lina, Rina (kamu pasti ingat Rina, gadis tercantik di kelas kita yang kamu taksir… ehm.. heheh… gak apa2 ya kalau dibaca Tantri juga, ini mah cerita zaman dulu Tan, waktu Kang Pepih masih ingusan! Hehehe)



Eh, gimana kabarnya saudara kamu si Tatan? Apa masih lucu seperti dulu?



Kamu ingat nggak teman sebangku Lili yang manja, Nunung? Dia juga sudah jadi ibu RT dan ibu guru! Dia jadi guru B Indo di SMP dekat rumahnya di Cihaurbeuti, Lili pernah ketemu sekali di supermarket, sama2 lagi ngajak main anak2, dia jadi gemuk lho!



Lili juga sekali-kal suka ketemu Iis Aisyah (dirijen kelas kita), dia masih manis dan ramah seperti dulu, dia juga jadi guru, anaknya sudah besar2.



Kalau Yenyen mah sekarang jadi somse, kalau papasan di jalan, aku senyum, eh, dia malah cepat2 liat ke arah lain, pura2 gak liat! Gak tau kenapa, mungkin mentang2 sudah jadi nyonya bos kali!



Pep, cerita2 dong tentang kesibukanmu jadi wartawan, kamu pernah tugas ke mana aja? Pasti asyik banget ya!



Bahasa Prancis kamu kayaknya lancar banget ya? Adikku pernah kursus di CCF, tapi dia lebih tergoda sama bhs Italia gara2 suka nonton bola!



Eh, kita sebenernya kemaren mau kasi komen langsung di blog, tapi gak tau kenapa gak bisa masuk terus.



Btw, aku pernah baca artikel kamu ttg Bosnia waktu masih perang dulu, juga ttg Aceh setelah tsunami. Adikku Tanti juga pernah ke Aceh, ikut tim medis Amrik (dia jadi penerjemah), selama dia di sana (1 bulan), Lili agak waswas dan khawatir juga, terutama karena daerah di mana dia ditugasin masih rawan bentrokan dengan GAM.



Eh, Lili juga pernah liat kamu di tak tik boom. Sayangnya kamu agak grogi ya, jadinya gak menang.. coba kalau tenang, pasti menang, maklum lah masimudamasutipi ya heheheh



Cerita dong tentang keluargamu, apa Tantri sama2 dari Tasik atau dari Jakarte? Anak kalian udah gede2 ya? Ada berapa? Anak2ku masih kecil, kelas 4 dan 2 SD, cowok semua.



Kalau kalian lagi liburan di Tasik, mampir ya ke rmah kami di Jl. Dr. Moch Hatta Tsm.



Ok deh, Pepih, Tantri, sekian aja dulu kabar dari Tasik. Lili tunggu balasannya ya!



Salam,

Lili



(karena gaptek, aku nebeng alamat adikku hehehe, harap maklum!)