Monday, June 29, 2009

Catatan: Gaya Saat Mengajar

Berbagi Ilmu

Inilah gaya saya kalau sedang berbagi ilmu, ilmu menulis dan meliput berita tentunya. Pada foto hasil jepretan rekan Kompasianers Novrita itu, saya berbagi ilmu pada acara Kompasiana Blogshop 2 di Jalan Lantai V Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta. Peserta cukup antusias menyimak dan bertanya, mulai anak-anak, remaja, sampai orang lanjut usia. Ini pulalah postingan saya di blog pribadi saya setelah selama ini saya tinggalkan karena kesibukan saya di blog keroyokan yang saya asuh, Kompasiana. Saya terpaksa hiatus alias istirahat dulu karena konsentrasi di Kompasiana itu. Alamat saya di blog keroyokan itu adalah http://pepihnugraha.kompasiana.com. Anda bisa mengunjunginya agar "komunikasi" tidak terputus.


Saturday, December 06, 2008

En Passant


Tak Ada Roda Dua Di Moskow

SAYA menduga tidak adanya kendaraan roda di Moskow, Rusia, karena sedang musim dingin saja. Beberapa menit lalu saya jalan kaki sendiri di pusat kota Moskow, dekat Lapangan Merah, yang saya jumpai hanyalah kendaraan terbaru dari berbagai merek ternama. Mercy keluaran terbaru, Hummer dan bahkan limusin Cadillac berseliweran ringan, mengangkut penumpangnya yang pasti kelas VIP.

Sayang memang kalau kesempatan hadir di kota ini tidak digunakan untuk melakukan blog mobile melalui fasilitas blackberry. Maka yang saya lihat untuk pertama adalah kesan tidak adanya sepeda motor itu tadi.Jalanan didominasi kendaraan roda empat dari mereka yang sangat dikenal di Indonesia seperti Toyota, Mazda, Honda, dan Audi, maupun yang tidak dikenal karena memang tidak masuk atau karena alasannya yang teramat mahal. Mobil mewah Roll Roys bahkan bisa seenaknya diparkir di pinggir jalan tanpa sopir!

Di Lapangan Merah tempat para pemimpin Uni Soviet (nama Rusia dulu) disemayamkan, saya dikejutkan oleh raungan polisi yang mengejar mobil Mercy berkelas. Wah, kesempatan bagi saya melihat bagaimana tilang dikenakan pada pengemudi yang melanggar lalu lintas. Polisi memberi tanda agar si sopir menepi. Tahu kalau disuruh menepi, pengemudi Mercy yang perlente turun. Percakapan terjadi. Seperti biasa, polisi meminta SIM atau surat-surat lainnya yang segera ditunjukkan langsung si pengemudi. Polisi tampak mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan sesuatu. Si pemilik Mercy masih membuka pertanyaan, tetapi si polisi segera berlalu. Saya melihat, tidak ada "uang damai" keluar di situ. Padahal, ini Moskow gitu lho....

Satu jam sebelumnya saya makan siang di restoran "Turandot" di jalan Tverskoy Boulevard. Makanannya biasa saja dengan hidangan rusa kutub, sebuah menu yang sudah saya rasakan juga saat di Finlandia. Rupanya bagi negara-negara bersalju dekat kutub, makanan rusa kutub menjadi hidangan favorit. Rasanya biasa-biasa saja, hanya baunya saja yang agak beda.... maksudnya beda dengan daging kambing atau sapi.

Sambil makan, saya menikmati denting piano dan tiupan lembut klarinet yang sengaja dimainkan para musisi di restoran itu. Dua musisi yang memainkan alat musiknya di atas panggung yang bisa berputar 260 derajat, sehingga bisa mengelilingi pengunjung. Sebuah restoran yang berkelas dan mahalnya bukan main! Pokoknya kalau dirupiahkan, sekitar Rp 900.000 lah. Jelas, uang saku dijamin tekor!

Di Rusia, saya tidak lupa makan kaviar segar (baca mentah) plus pancake dan teh pahit. Kalau tidak biasa rasanya anyir seperti makan ikan mentah. Tapi tak dapat dipungkiri, rasanya gurih ke asin-asinan. Bulat-bulat sebesar biji lada, hanya warnanya kuning transparan. Jika di tekan di lidah dengan langit-langit, maka telur ikan alias kaviar itu pecah di lidah. Hemmmm... Saya makan kaviar di Kolomenskoye, agak jauh dari Lapangan Merah yang terkenal itu. Ada tiga jenis kaviar yang dibedakan dari warnanya; merah jambu, oranye, dan hitam. Yang paling mahal kaviar hitam. Tetapi saat itu saya makan kaviar oranye. Nyam, nyam....

Kembali ke kendaraan, sejalan dengan semakin makmurnya Rusia sebagai negara, yang saya temui adalah mobil-mobil mewah seperti Cadilliac limousine warna putih atau hitam, Hummer limousine yang memiliki enam pintu, yang pada saat saya berada di Amerikapun saya tidak melihatnya. Padahal, kendaraan ini bikinan Amerika. Bentley dan Jaguar menjadi sangat umum. Discovery dari Range Rover atau BMW X6 terbaru malah dipakai ibu-ibu.

Terus terang melihat kemakmuran Rusia sekarang, saya menaruh hormat pada PM Vladimir Putin yang meski memerintah dengan keras, tetapi hasilnya sungguh nyata. Putin adalah pemimpin Rusia yang berhasil mengembalikan rasa percaya diri bangsa Rusia dari keterpurukan dan bahkan perpecahan negara. Kini, negara-negara yang memisahkan diri dengan Rusia mungkin menyesal karena tidak semakmur Rusia sekarang. Lepas dari makmurnya Rusia berkat minyak dan gas, tapi Putin adalah faktor penentu. Terbersit dalam pikiran, alangkah indahnya kalau Presiden saya di masa mendatang juga bisa sepercaya diri dan setangguh Putin!

Saya tentu saja mengambil banyak foto menarik untuk blog saya ini. Tapi nanti sajalah saya pasang setelah kembali ke Jakarta. Sekarang saya mau mandi dulu, pake air hangat di bath tube Hotel Marriott Grand. Sebuah hotel berkelas yang untuk tidur semalam saja dikenakan biaya sekitar Rp 10 juta. Alamak....

Pepih Nugraha

Moskow, 6 Desember 2008 pukul 17.30 waktu Rusia atau pukul 21.30 WIB.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tuesday, November 25, 2008

Catatan (69): Foto Lama

Para Pejuang




PARA pejuang. demikianlah Agus Hermawan, rekan saya yang biasa saya panggil Kang Ush, memasang foto-foto lama di Facebook miliknya. Foto diambil oleh rekan wartawan sendiri saat terjadinya kerusuhan Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, akhir Januari 1997. Sudah 11 tahun lewat, tidak terasa waktu berlalu. Dunia dan seisinya yang sudah semakin renta, termasuk saya tentunya.

Dalam dua foto itu saya antara lain berfoto bersama rekan-rekan sesama wartawan Kompas, yakni Kang Ush, Myrna Ratna (Mbak Myr), dan James Luhulima (JL). Rekan wartawan dari media lainnya antara lain Imannuddin (Jakarta Post), Farouk Al-Sururi (sekarang Pemred Sindo), Mulawarman (Surya), Edi Hidayat (Media Indonesia), Bachtiar, dan Aris. Begitulah, orang lain menghindar dari kerusuhan, para wartawan malah mendekat dan harus selalu berada di dekat kerusuhan.

Banyak kerusuhan yang bisa saya ceritakan di sini, Rengasdengklok hanya salah satunya saja. Ada Poso, Ambon, Papua, Kerusuhan Mei, Peristiwa Semanggi I dan II, Tasikmalaya, Makassar, Penyerangan Kantor PDIP 27 Juli, dan banyak kerusuhan lainnya yang terjadi semasa Presiden Soeharto berkuasa.

Setelah meminta izin tertulis di Facebook, saya postingkan foto kenangan lama di rengasdengklok itu di sini. Sahabat bisa menebak-nebak mana foto saya di kedua foto di atas. Maaf ya kalau agak-agak narsis sedikit....

Wednesday, November 19, 2008

En Passant

Kembali Teringat Ibu....

SAAT menulis catatan ini, saya masih di Starbucks Bandara Soekarno Hatta, menyeruput caffe latte hangat. Saya dalam perjalanan menuju Denpasar, Bali. Desk Nusantara Harian Kompas mengundang saya sebagai pemateri di sana.

Terus terang, perasaan kurang nyaman, bahkan tertekan, saat saya harus kembali ke Bali. Ini daerah cantik yang sebisa mungkin saya hindari. Bali is nightmare for myself only. Bukan karena takut akibat di wilayah ini pernah mengalami serangan teroris 12 Oktober 2002 lalu yang dikenal dengan "Bom Bali"-nya. Kenangan pahit saya mengenai pulau ini jauh menembus batas waktu, 3 tahun sebelum bom Bali meledak.

"Ledakan bom" paling dahsyat terjadi pada 12-17 Oktober 1999, saat saya hadir di Bali untuk tamasya, sekedar bersenang_senang. Di Bandung, pada saat bersamaan saya harus meninggalkan Ibu, perempuan yang melahirkan diri ini, dalam keadaan sekarat, menanggung derita sakit yang luar biasa.

Tak habis-habisnya saya mengutuki diri sendiri setiap teringat tindakan tertolol selama hidup yang pernah saya lakukan. Bagaimana mungkin saya meninggalkan Ibu yang sedang meregang nyawa akibat kanker mulut rahim, saya pergi ke Bali hanya untuk bersenang-senang dengan keluarga?

Kini saya harus ke Bali, satu wilayah yang sebisa mungkin tidak saya singgahi lagi. Saya sudah bersumpah, tidak akan pernah ke Bali lagi kalau tujuannya cuma untuk bersenang-senang. Itu akan menyakiti hati Ibu di alam kubur. Saya berani menginjak Bali karena urusan tugas semata seperti ini, atau karena pesawat harus transit di Ngurah Rai seperti akhir tahun 2002 lalu sehabis tugas dari Fukuoka, Jepang.

Ibu, saya tidak akan pernah menyakiti hatimu lagi! Please forgive me.....

Cengkareng, 19 November 2008, pukul 06.50, menunggu saat boarding tiba.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tuesday, October 28, 2008

Dari Kompasiana (6)


Mengapa JK Selalu Dicurigai?

TIDAK seorangpun mampu memahami kemana Jusuf Kalla (JK) melangkah, kecuali dirinya sendiri. Langkah di sini tentunya manuver politik yang dilakukannya terkait dengan Partai Golkar yang dipimpinnya, juga langkahnya menginjak tahun 2009 nanti, apakah ia maju sebagai calon presiden, atau cukup puas dengan menjadi calon wakil presiden, mengulang sejarah manis tahun 2004 lalu.

Awal tahun 2004, saya berkesempatan menumpang pesawat JK bernama “Atthira” dari Makassar ke Ambon. Waktu itu JK sudah menyatakan mundur dari kabinet Megawati. Di atas pesawat, saya dipanggil duduk di sebelah JK. Dia mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, lalu mulai menuliskan angka-angka. Saya berpikir, JK benar-benar saudagar yang gemar berhitung, meski baru di atas kertas. Inti dari coreng-morengnya di atas kertas berisi perhitungan itu, JK yakin akan menjadi wakil presiden dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pasangannya, akan dipilih rakyat menjadi presiden.

Delapan bulan kemudian, hitung-hitungan di atas kertas JK menjadi kenyataan!

Paket militer-saudagar ini ternyata laku dijual, menggusur tiga pasangan lainnya di putaran pertama dan menumbangkan duet “Nasionalis-Hijau” Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi di putaran kedua. Sebagian besar rakyat Indonesia, paling tidak jumlah yang saat itu memilih presiden/wapres secara langsung, memilih pasangan SBY-JK.

Pertanyaan yang kerap publik lontarkan, akankah SBY masih satu perahu dengan JK atau mereka dengan perhitungan rumit (lagi-lagi sebagai saudagar JK pasti sudah mulai menghitungnya) harus pisah haluan?

SBY, tentu saja tidak akan “turun pangkat” jadi calon wapres. JK, masak iya harus jadi calon wapres lagi? Meminjam Jenderal Naga Bonar, “Apa kata dunia kalau JK masih jadi calon wapres? Apa kata dunia Gokar sebagai partai besar (apalagi kalau memenangi pemilu 2009) cukup puas hanya memajukan kadernya sebagai wapres?” Yah, apa kata kita-kita juga?

Sekarang, langkah JK di intern partainya dicurigai sebagai “langkah siluman” atau langkah diam-diam JK ber-zoon politicon. Ibarat pesawat siluman Stealth, JK bebas bermanuver di angkasa atau bahkan menukik ke daratan tanpa terdeteksi radar politik pihak lawan. Manuver apapun, tentu saja untuk kepentingan 2009, bukan?

Mengapa JK dicurigai kawan dan lawan? Di intern partai JK misalnya menghapuskan “Konvensi Golkar” untuk menjaring bakal calon presiden yang dirancang Akbar Tandjung. Tujuannya bisa ditebak, JK tidak mau tersandung di konvensi dengan tidak dipilih sebagai calon presiden partainya. Kemungkinan kalahnya JK di Konvensi bukan hal yang mustahil. JK siap diberondong kadernya sendiri karena gagalnya Golkar menjadikan kader partainya sebagai kepala daerah, gubernur atau bupati/walikota. Juga akan dipertanyakan tidak atau jarangnya JK turun ke bawah menyapa para kadernya, setidak-tidaknya dibanding Akbar dan Harmoko.

Mengapa Konvensi Golkar harus dihapus? Bagi JK ini sederhana saja. “Wiranto yang lolos konvensi partai saja gagal di putaran pertama dan hanya mampu menduduki peringkat tiga, masak konvensi harus diulang kembali!?” Demikian kira-kira kalau mengikuti jalan pikiran JK sebagai saudagar.

Mengapa pula JK sampai sekarang tidak segera mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden? Jawabannya juga sederhana, “Kalau itu saya lakukan, pemerintah sekarang tidak akan berjalan karena banyaknya kader Golkar di kabinet yang harus berlawanan dengan SBY, dan kalau kalau pemerintahan tidak jalan yang menjadi korban ‘kan rakyat juga.” Demikian kira-kira jawabannya.

Tidak perlu dululah membahas munculnya banyak calon-calon presiden dan wapresnya dari Partai Golkar sendiri, yang pasti sudah diperhitungkan pula oleh JK. Tetapi dengan menghapus konvensi dengan alasan hasilnya “tidak bergigi” dan tidak maunya sekoci pemerintahan oleng hanya karena mengumumkan pencalonan dirinya sebagai calon presiden, bukankah itu manuver yang logis dan masih masuk akal?

Kalau begitu, mengapa JK selalu dicurigai? Saya tidak tahu….!

Palmerah, 28 Oktober 2008
Hari Soempah Pemoeda

*Tulisan saya ini diambil dari Kompasiana, blog jurnalis Kompas.


Sunday, October 26, 2008

Dari Kompasiana (5)


Fariz Rustam Munaf

SAYA terkejut juga ketika tulisan ringan saya mengenai penyanyi Fariz Rustam Munaf, yang lebih dikenal dengan Fariz RM, dibaca 747 kali saat saya masukkan ke Kompasiana hingga pukul 20.30 WIB Sabtu hari ini. Bagi saya itu jumlah pembaca yang lumayan besar dan terukur. Bukan karena tulisan itu menarik untuk dibaca, tetapi lebih faktor Fariz RM yang sampai sekarang masih punya banyak penggemarnya, dan bahkan di antara mereka masih banyak yang menantikan kehadiran album barunya.

Saya bertemu istri Oneng itu pada Kamis (23/10) lalu di kantor Redaksi Kompas setelah diajak rekan saya, Budiarto Shambazy. Terlalu sayang kalau dilewatkan begitu saja pertemuan saya dengan salah satu musisi yang saya kagumi. Maka saya menulis laporannya untuk Kompas.com beberapa menit setelah wawancara itu usai. Sedangkan tulisan yang saya maksud "inside story" itu saya tulis di Kompasiana.

Sahabat yang sama-sama ingin belajar menulis bisa membandingkan bagaimana penulisan tentang Fariz RM untuk Kompas.com yang resmi dibanding dengan tulisan untuk Kompasiana yang lebih ringan dan merdeka. Kompasiana adalah blog para jurnalis Kompas yang lambat tapi pasti mendapat pembacanya sendiri.