Thursday, July 31, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (68)

Isu untuk Menulis Artikel (2)


BAIK, saya teruskan lagi postingan sebelumnya yang sempat terputus. Saya tekankan kepada teman itu bahwa menangkap isu dalam membuat artikel maupun berita ada kesamaan. Bedanya, tugas membuat artikel menjadi "lebih mudah" karena biasanya para penulis artikel mengikuti berita dan mengetahui perkembangan peristiwa mutakhir. Ini masuk akal karena artikel mensyaratkan kupasan yang sedang aktual diperbincangkan!


"Jadi, apakah saya juga harus seperti wartawan, Pak? Maksud saya, apakah saya juga harus mewawancara narasumber?" tanyanya yang langsung saya sambar, "Mengapa tidak?" Dan, dia langsung terdiam demi mendengar jawaban saya itu.


Saya katakan, penulis artikel tidak selayaknya "hidup dalam dunianya sendiri" seperti, maaf, orang-orang autis itu. Penulis artikel tidak selayaknya menganggap bahwa opini dan pendapatnya saja yang benar. Di luar itu, semua salah. Di luar darinya semua itu tidak penting. Maaf, jangan sekali-kali berpikir seperti itu. Berpikirlah bahwa salah satu tujuan Anda membuat artikel itu untuk memberi pencerahan, berbagi ilmu, berdiskusi, belajar menerima pendapat orang lain, atau belajar menyanggah pendapat orang lain (atau berita) dengan cara santun dalam bentuk artikel.



Buatlah sebuah artikel yang memberi solusi, bukan melulu pertanyaan tanpa jawaban. Bukan melulu gugatan tanpa perbaikan. Berilah pembaca sebuah alternatif dari cara-cara yang sudah umum diketahui, tetapi tidak dengan cara mengajari. Berpikirlah bahwa Anda setara dengan pembaca, sehingga Anda terhindar dari cara-cara menggurui. Yakinkan bahwa solusi yang Anda tawarkan merupakan upaya perbaikan atau novelty (hal baru) yang selama ini belum ada. Namun demikian, jangan sekali-kali mencela solusi yang pernah ditawarkan orang sebelumnya!



Kembali ke cara kerja itu tadi, apakah penulis artikel juga harus seperti wartawan? Saya jawab, "Ya, dalam bata-batas tertentu!" Yang saya sebut "dalam batas-batas tertentu itu" misalnya, apa salahnya kalau penulis artikel juga bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan para pakar lainnya. Mungkin tidak secara resmi, tetapi di saat si pakar itu mengadakan seminar atau acara-acara santai lainnya. Gali saja informasi yang Anda butuhkan dari situ. Gali sebuah persoalan yang kelak akan dijadikan isu dalam artikel yang Anda tulis. Itu pertama.



Kedua, tidak ada salahnya kalau Anda sering-sering datang ke perpustakaan untuk mencari informasi sesuai isu yang ingin Anda kembangkan. Cari informasi di internet sebagai pelengkap isu mutakhir dan jaga kemungkinan tulisan itu sudah ditulis penulis artikel lain. Kalaupun sudah ditulis, cari dari sudut pandang yang berbeda asalkan tidak melakukan plagiat saja. Ketiga, baca buku yang relevan, sekadar melihat "kesejarahan" dari sebuah persoalan. Nah, bukankah cara-cara ini sama dengan apa yang dilakukan oleh wartawan dalam menulis berita?



"Kamu mengerti?" tanya saya menyadarkan lamunan teman saya itu. Dia mengangguk dan tampaknya paham atas apa yang saya bicarakan. Maaf, saya terlalu dominan bicara kala itu karena posisinya sebagai orang yang ditanya. Saya pun menjawabnya sepengetahuan yang saya punya berdasarkan pengalaman menulis artikel yang saya alami. Jika pun postingan ini tidak ada gunanya, abaikan saja! Oke, sampai di sini dulu, sampai jumpa di bahasan lain... (Selesai)

Monday, July 28, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (67)

Isu untuk Menulis Artikel (1)


PADA pelatihan jurnalistik di Universitas Diponegoro, Semarang, 24 hingga 27 Juli 2008 lalu, saya mendapat banyak pertanyaan seputar jurnalistik. Ini lumrah. Akan tetapi, ada pula peserta yang bertanya seputar bagaimana membuat artikel untuk media massa, meski pertanyaan itu dilontarkan saat rehat. Kebetulan, ada lulusan S1 Undip yang beberapa kali artikelnya dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah. Kepada dialah saya memberi sedikit ilmu.


Tidak usahlah disebut namanya. Tetapi sejujurnya, saya senang mendapat pertanyaan kritis seputar artikel yang ia buat. Ia mengaku menulis mengenai "dunia pendidikan". Tanpa bermaksud mengujinya, saya melontarkan beberapa pertanyaan. Bukan apa-apa, inilah cara saya sharing dan berbagi ilmu. Jelek-jelek begini artikel saya pernah dimuat di Halaman Opini Kompas, 20 Juni 1990, jauh-jauh hari sebelum saya menjadi jurnalis!



"Kalau kamu mengikuti dunia pendidikan, jadilah pakar pendidikan. Jangan beralih ke lain subyek. Geluti saja pendidikan dari hulu sampai hilir," demikian saya membuka percakapan. "Sebenarnya, apa concern kamu terhadap persoalan pendidikan mutakhir?" tanya saya lagi. Ia ragu menjawab, dan memang tidak menjawab. Saya katakan, "Tengoklah persoalan besar pendidikan nasional dewasa ini. Tengoklah dunia pendidikan tinggi yang semakin matre dan mata duitan. Jangan harap orang desa yang tidak berpunya seperti saya bisa masuk perguruan tinggi, meskipun mungkin saya bisa lolos."



Dia mengangguk. Mungkin mengerti. Saya meneruskan meski bukanlah seorang ahli pendidikan, kecuali seorang jurnalis. "Pendidikan di perguruan tinggi sekarang tidak adil! Menteri Pendidikannya tidak punya visi ke depan soal pendidikan yang seharusnya!" Ia agak terkejut, tetapi masih mau mendengarkan saya.



Saya melanjutkan, "Disebut tidak adil karena hanya orang-orang berpunya saja yang bisa masuk perguruan tinggi negeri ternama. Anak-anak tidak berpunya walaupun pintar, jangan harap bisa masuk. Tengok produk manusia-manusia Indonesia 10, 15, atau 20 tahun mendatang! Apa jadinya kalau SDM Indonesia dijejali anak-anak orang kaya yang karena berpunya bisa belajar di perguruan tinggi, meski otaknya pas-pasan? Sementara anak-anak pintar yang tidak berpunya cukup menjadi buruh atau petani. Tidak tertarikkah kamu pada persoalan mendasar ini?"



"Tertarik. Tetapi saya harus mulai darimana?" jawabnya sekaligus melempar tanya.



"Coba baca UUD 1945 dan perubahannya, di situ tertera dana APBN untuk pendidikan sebesar 20 persen," kata saya lagi. Dia balik bertanya, "Sangat sedikit ya, Pak?" Saya lalu memotong, "Itu sudah cukup besar! Tapi coba kamu lihat. Perguruan Tinggi yang seharusnya disubsidi biar mahasiswanya tidak harus bayar mahal uang uliah, malah disuruh cari duit sendiri. Coba kamu tengok semrawutnya buku pelajaran yang selalu terjadi setiap tahun! Janganlah lihat jauh-jauh, karena kamu tinggal di Semarang, coba belajar kedekatan (proximity), apa imbas dari semrawutnya dunia pendidikan nasional ini di Provinsi Jawa Tengah?"



"Wah, terima kasih atas penjelasannya, Pak," katanya lagi. Tetapi saya masih mau menjelaskan sedikit lagi kepadanya tentang kesamaan jurnalis dengan kolumnis dalam menangkap isu, mengembangkan, dan menuliskannya. Lain kali sajalah ya... (Bersambung)

Tuesday, July 22, 2008

Catatan (55): Artikel Kompas

Sulitnya Tembus Halaman 6


MASIH dari forum diskusi Forum Pembaca Kompas (FPK) yang berlangsung di Hotel Santika pada 12 Juli lalu. Seorang peserta bertanya, "Bolehkah saya yang masih mahasiswa menulis artikel di halaman 6 Kompas?" Seorang peserta lainnya bertanya, "Mengapa artikel saya sulit sekali masuk halaman 6 Kompas?"


Halaman 6 Kompas adalah satu-satunya halaman (plus halaman 7) yang memang didekasikan untuk "orang luar". Maksudnya, tabu bagi wartawan Kompas menulis di halaman ini, kecuali untuk Tajuk Rencana. Ini halaman milik semua orang. Di halaman 6 ini (dulu halaman 4 sebelum redesain Kompas), ada Tajuk Rencana yang ditulis para editor tertentu, redaktur pelaksana,pemimpin redaksi dan bahkan pemilik koran. Ada pula rubrik "Redaksi Yth" yang merupakan surat pembaca yang sudah saya tulis dalam postingan yang lalu. Kemudian, ada pula kolom opini yang biasanya mengambil halaman 6-7 sekaligus.


Kolom opini atau halaman 6 Kompas digawangi oleh redaktur opini Tony Widiastono dan wakilnya, Irwan Julianto. Akan tetapi dalam diskusi FPK lalu, Mas Ton, demikian kami biasa memanggil Tony Widiastono, menjelaskan mengapa sebuah tulisan atau artikel ditolak di halaman yang menurut sementara orang bergengsi ini. Mas Ton berkali-kali mengatakan kata kunci "aktual", "aktual", dan "aktual".


Dalam forum itu dia mencontohkan bagaimana harus menolak sebuah tulisan mengenai "ethanasia", yakni proses kematian yang sengaja diminta karena derita sakit yang luar biasa misalnya. "Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba masalah 'ethanasia" dimunculkan kembali. Sebaik apapun tulisan itu karena tidak aktual, yakni bukan hal yang dibicarakan banyak orang dalam konteks kekinian, ya sulit bisa dimuat. Kalaupun dimuat, saya selaku editor dan bahkan Kompas secara kelembagaan bakal ditertawakan banyak orang," jelas Mas Ton.


Mas Ton juga menekankan "keahlian" atau "kepakaran" seseorang sebagai jaminan bahwa tulisan itu layak dipertimbangkan untuk dimuat. Katakanlah kalau mengambil contoh "ethanasia", alangkah tepatnya jika persoalan itu dibahas seorang dokter, psikolog, sosiolog atau filsuf (etika). Atribusi "penikmat", "peminat", dan "pemerhati" sudah tidak zaman lagi. Katakanlah "Si Polan pemerhati ethanisia", jelas tidak kredibel lagi.


Panjang karangan. Ini yang juga ditekankan Mas Ton. Para penulis artikel umumnya terlena dan senang berpanjang-panjang dalam menulis. Padahal yang bisa diakomodir hanyalah tulisan dengan kurang lebih 5.000 karakter saja. "Kurang dari itu malah lebih baik," katanya. Meyakinkan penulis agar menulis ringkas (concise) , menurut dia awalnya sulit. Akan tetapi, lama-kelamaan terbiasa juga.


Dijelaskan, setiap hari Harian Kompas menerima tidak kurang dari 100 artikel, padahal yang bisa dimuat paling banyak 4 artikel saja. Dari empat inipun termasuk tulisan para pakar yang diminta khusus untuk menulis di halaman 6 ini, sehingga jatah para penulis lain dengan sendirinya berkurang. 


Seorang peserta lain bertanya, hal apa saja yang boleh ditulis untuk halaman 6 Kompas. Mas Ton menjelaskan, semua masalah boleh ditulis. Hanya saja, artikel mengenai masalah agama tidak lagi ditampilkan di halaman 6 Kompas, tetapi bisa mengambil di halaman lainnya semisal "Lembaran Bentara", Di sini masalah agama bisa dikupas lebih mendalam lagi karena si penulis tidak dibatasi keharusan menulis kurang lebih 5.000 karakter tadi.


Selamat mencoba!

Monday, July 21, 2008

Catatan (54): LTTE

Surat untuk Editor


SABTU, 12 Juli lalu, saya menghadiri diskusi Forum Pembaca Kompas (FPK) di Hotel Santika, Jakarta. FPK adalah sebuah forum diskusi yang diselenggarakan Harian Kompas, yang usia keanggotaannya hanya satu tahun saja. Habis masa keanggotaannya, diganti keanggotaan lainnya. Diskusi diselenggarakan tidak hanya di Jakarta, tetapi juga Bandung, Makassar, Yogyakarta, dan Surabaya.


Banyak pertanyaan kritis dari anggota FPK yang menjadi masukan bagi Harian Kompas dan bahkan Kompas.com. Salah satu pertanyaan yang saya simak adalah "keluhan" dari seorang anggota FPK yang sudah beberapa kali tulisannya yang dimaksudkan untuk suat pembaca (Rubrik "Redaksi Yth"), selalu ditolak. "Mengapa tulisan saya selalu ditolak?" tanyanya.



Pertanyaan lainnya adalah mengenai sulitnya seorang penulis "belum ternama" untuk tampil di halaman opini, yakni halaman enam. "Lalu apakah mahasiswa seperti saya boleh mengirimkan artikel?" tanya penanya lainnya.



Redaktur Opini, Tony Widiastono, yang hadir dalam diskusi itu menjelaskan dengan tuntas. Menurut dia, tulisan yang dimaksudkan untuk rubrik "Redaksi Yth", atau dalam istilah jurnalistik disebut "Letter ToThe Editor" (LTTE), adalah tulisan yang hanya berkaitan untuk kepentingan umum. "Bila untuk kepentingan pribadi, atau menyerang dan menjatuhkan pihak lain, jangan harap bisa dimuat," jawab Mas Ton, demikian kami biasa memanggil.



Dari forum diskusi FPK itu juga diketahui, bahwa beberapa di antaranya sangat fanatik dengan rubrik "Redaksi Yth". "Yang pertama saya baca kalau menerima Harian Kompas bukanlah berita utama atau rubrik lainnya, tetapi justru surat pembaca," katanya. "Di sana banyak sekali informasi yang berkaitan langsung dengan pembaca seperti saya."



Mas Ton menjelaskan, surat pembaca hendaknya merupakan informasi yang bermanfaat bagi banyak orang, khususnya para pembaca Kompas. Meski demikian, kata Mas Ton, "Bisa juga opini ringkas menyikapi keadaan, tetapi dalam konteks tidak mengandung SARA, tidak mengundang permusuhan, dan tidak untuk mendiskreditkan orang atau pihak lain."



Bagaimana cara menembus artikel di harian Kompas? Akan dijelaskan dalam Catatan berikutnya, masih dari forum yang sama.

Friday, July 18, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (66)

Sekali Lagi, Jubing!


HARI yang ditunggu oleh penggemar gitar klasik adalah Kamis, 17 Juli 2008, yakni saat jawara gitar Indonesia Jubing Kristianto menggelar pertunjukkan di Bentara Budaya Jakarta berkaitan dengan album CD terbarunya, Hujan Fantasy.


Saya tidak melewatkan kesempatan itu. Saya minta istri mengantarkan anak saya, Kakang, naik kereta dari Bintaro ke Palmerah untuk mengejar waktu 20.00 WIB saat pertunjukkan dimulai.


Saya bahkan berjanji pada Mas Jodhie Yudono dari Kanal Entertainment untuk mengulas pertunjukkan itu di Kompas.com. Saat saya menyusun tulisan beberapa menit setelah usai pertunjukkan, Mas Jodhie meminta saya menuliskannya dengan gaya personal, suatu gaya yang menurutnya berbeda dari sekedar laporan. Artinya, sah-sah saja menggunakan kata "saya" untuk menyebut diri sendiri. Saya menyanggupinya.


Hasilnya adalah sebuah ulasan dari pertunjukkan Jubing yang bisa Anda baca di bawah ini. Pesan saya, meski seorang jurnalis terhanyut pada pertunjukkan apapun, jangan lupa mencatat detail dan "merekam" jalannya pertunjukkan dalam ingatan dan oret-oretan. Sebelum meliput, bekali kepala Anda dengan referensi memadai mengenai who (siapa), what (apa), dan how (bagaimana) mengenai pertunjukkan itu sendiri. Maksud saya, Anda harus tahu siapa itu Jubing, gitar, dan bagaimana dia memainkannya. Saya tidak menemui kesulitan apapun menuliskannya karena referensi soal gitar dan Jubing sudah melekat di kepala saya. Silakan....


Malam Itu Milik Jubing


APA jadinya jika perkusionis Suryadi, maestro gitar klasik Indonesia Jubing Kristianto, dan penyanyi tenor Christopher Abimanyu berkomplot menyanyikan lagu lawas Besame Mucho? Hasilnya, penonton tidak rela ketiga jagoan yang lihai memainkan “senjata” musiknya masing-masing mengakhiri pertunjukannya!


Ini kenyataan, penampilan Jubing pada Kamis (17/7) malam itu memaku para penonton di ruang utama Bentara Budaya Jakarta. Ruangan yang biasa digunakan pameran lukisan dan kegiatan budaya lainnya itu disesaki penonton, mulai pecandu gitar, siswa-siswi pengikut kursus gitar, sampai orang awam. Mereka rela lesehan agar bisa berdekat-dekat dengan Jubing khususnya, sementara yang di bagian belakang rela berdiri tanpa bisa beranjak pergi.



Magnet yang menyedot perhatian malam itu tentu saja Jubing Kristianto, gitaris yang mantan wartawan membawakan hampir seluruh komposisi unggulan pada album pertama dan keduanya, masing-masing Becak Fantasy dan Hujan Fantasy. Penonton tidak lepas-lepasnya bergumam dan berdecak kagum bahkan saat permain gitar belum berakhir. “Gila banget permainan gitar orang ini,” komentar seorang penonton.



Saya yang telah lama mengenal Jubing dan pernah menulis sosoknya untuk Harian Kompas, meminta anak saya untuk hadir menyaksikan Jubing, kendati ia harus tiba di tempat pertunjukkan naik kereta api dengan diantar ibunya. Saya yang pernah menyaksikan sendiri Jubing memainkan gitar untuk saya saat saya mewawancarinya seperti tak percaya atas permainan Jubing yang begitu sempurna, sesempurna permainan yang saya dengar dari kedua CD-nya yang sudah beredar.



Jubing langsung menggebrak dengan solo gitarnya membawakan lagu Beatles, I Wanna Hold Your Hand. Jubing juga mengagetkan penonton saat memainkan komposisi Aku Cinta Dia, sebuah lagu “genit” yang dibawakan Chrisye. Namun decak kagum penonton mulai terdengar saat suami Reny Yaniar ini memainkan Bengong Jeumpa, sebuah lagu rakyat Aceh. Repertoar dan koda yang bernada pentatonis dan bahkan seperti suara gambus mengundang tepuk tangan, apalagi saat ia mengocok-ngocok gitar tanpa putus tetapi tetap memainkan Bengong Jeumpa. Ada teknik harmonic yang bepadu dengan tetabuhan pada bdan gitar yang mengundang decak kagum. Gitaris manapun akan bergumam, itu adalah permainan teknik tinggi!



Pembawa acara yang menuntutn acara itu dengan hidup, terus menggoda penonton. Jubing cukup luwes di depan panggung, bila perlu ia berteriak meminta operator mengecilkan volume gitarnya. Suasana menjadi cair, tidak terkesan seram dan anggun sebagaimana terjadi kalau sebuah pertunjukan musik klasik berlangsung. Tetapi permainan gitar yang disuguhkannya tidak kalah agung karena penonton seperti tersihir di tempatnya masing-masing.



Jubing memainkan sebagian besar komposisi lagu pada album Hujan Fantasy, termasuk lagu dangdut Pengalaman Pertama yang pernah ngetop dibawakan A Rafiq. Dalam lagu ini Jubing ditemani Suryadi yang memainkan alat perkusi Nigeria bernama “voodoo”. Efek alat musik seperti kendi itu menghasilkan suara seperti tabla yang biasa dimainkan perkusionis India tetapi dengan suara yang lebih variatif. Ingin rasanya saya berdiri untuk berjoget karena lagu dangdut pun di tangan Jubing menjadi sangat fantastis. Saya sadar bahwa saya sedang menyaksikan gaya permainan musik klasik, bukan musik dangdut.



Kolaborasi Jubing dengan Suryadi yang lebih menghebohkan lagi terjadi saat lagu etnis Jawa, Gundul-gundul Pacul, berkumandang, mengentak kesadaran penonton, bahwa sebuah lagu sederhana pun bisa berbunyi dengan elegan, tidak kalah dengan komposisi Mozart, Bach, Paganini, atau Fernando Carulli. Pada lagu ini aksi Suryadi, perkusionis asal Solo yang memainkan kendang, seperti tidak terbendung lagi. Ia tampak ekstase menikmati permainannya sendiri, ditingkahi petikan gitar Jubing yang liar, mengalir dan tak terduga. Banyak penonton melakukan penghormatan dengan berdiri usai Gundul Pacul berakhir.



Tak pelak lagi, dua lagu yang diciptakan Ibu Sud, Becak dan Hujan yang dimainkan dalam rentang waktu berbeda, menjadi puncak penampilan Jubing secara solo pada malam itu. Tepuk tangan ritmik mengiringi masing-masing lagu itu, apalagi saat lagu itu berakhir. Hujan tepuk tanganpun turun dengan lebat saat Jubing mengakhiri Hujan dengan teknik mengocok gitar dari fret terendah sampai tertuinggi sehingga suara gitar akustik itu menghasilkan suara rintik hujan. Pada lagu Becak, Jubing memamerkan keahlian yang tidak banyak dimiliki gitaris manapun, yakni mengubah suara gitar menjadi suara gamelan. Saya dan mungkin penonton lainnya nyaris tidak percaya bahwa itu suara gitar!



Seperti telah saya sebutkan, Jubing membawakan sebagian besar komposisinya yang terdapat pada album Hujan Fantasy, termasuk lagu Taiwan, Ye Liang Tai Wo Tie Sien, dan lagu yang pernah dibawakan Freddie Mercury dari Queen, Bohemian Rhapsody. Bohemian benar-benar “menyihir” penonton karena Jubing memainkan komposisi terbaiknya yang sering dimainkan gitaris dunia itu. Namun saat Jubing memainkan Mission Imposible, saya lebih tidak percaya lagi kalau lagu itu begitu hidup, seakan-akan saya menyaksikan adegan dalam film Mission Imposible itu. Teknik permainan gitar yang imposible menjadi posible di tangan Jubing.



Pilihan kolaborasi Jubing dengan Suryadi dan Abimanyu memang menjadi paduan menawan malam itu, apalagi sebelumnya Jubing mengiringi Abimanyu yang membawakan lagu Gubahanku yang digubah Gatot Sunyoto. Kolaborasi Jubing-Abimanyu memaku penonton saat penyanyi tenot itu membawakan Sempurna dari Andra and The Backbone. Sebuah paduan yang benar-benar sempurna. Sayangnya, baik lagu Mission Imposible, Gubahanku, dan Sempurna tidak terdapat dalam kedua album Jubing yang pada malam itu laris manis, habis terjual. Saya berharap ketiga lagu itu akan terdapat dalam album jubing berikutnya.



Jubing, dan juga Suryadi serta Abimanyu menutup penampilan malam itu dengan lagu pamungkas Besame Mucho, seperti yang sudah saya ceritakan di awal tulisan ini. Saya sedih harus mengakhiri tontonan mereka pada malam itu. Tetapi saya percaya, malam itu milik mereka bertiga, khususnya Jubing. (PEPIH NUGRAHA)

Friday, July 11, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (65)


Meliput dan Menulis Pertunjukan Musik


SEBAGAI wartawan, saya kurang nyaman bila hanya duduk di kantor. Saya lebih suka "kelayapan" melihat kehidupan dan memaknai kesibukan orang bekerja. Maka ketika Kompas.com punya acara "kamisan" dengan memanggungkan grup-grup musik papan atas di acara Kompas.com Music Corner, saya antusias menontonnya dan terlebih lagi tertantang untuk menuliskan aksi panggung sang artis.

Kebetulan pada hari Kamis, 10 Juli 2008 itu grup band yang tampil adalah Kerispatih. Band yang cukup berkibar di Tanah Air. Saya menyimak dari awal sampai akhir penampilan Sammy, Badai dan kawan-kawannya beraksi. Kebetulan pula, Mbak Ati dari Entertainment Kompas.com memberi keleluasaan apakah saya mau menuliskan beritanya atau tidak. Tanpa diberi pilihan inipun saya pasti akan menuliskannya!

Jika saya menuliskan semata apa yang mereka lantunkan dan bagaimana reaksi penonton, itu mungkin sudah biasa. Saya harus menulisnya dari angle atau sudut pandang lain. Saya menangkap nuansa yang berbeda, yakni suasana lain yang lebih ringan dan renyah. Ini berkat saya menyimak acara itu. Interaksi antara salah seorang penonton bernama Bayu dengan Sammy, vokalis Kerispatih, ternyata menjadi warna dan nuansa tersendiri. Jadi, saya ambil peristiwa itu sabagi tag untuk kemudian saya jadikan lead berita.

Meski saya menulis straight news dan tidak dimaksudkan sebagai feature murni, saya menggambarkan aksi panggung itu dengan gaya news feature yang lebih bebas dan lepas. Maksudnya, saya tidak terlalu terikat rumus klasik dari Rudyard Kippling, "5W+1H". Saya menuliskannya dengan lead bergaya tricky dan provokasi sebagai teaser. Maksudnya tidak lain untuk menggugah kesadaran pembaca.

Tulisan itu kemudian dimuat di http://www.kompas.com/ di kanal Entertainment, yang bisa Anda baca di bawah ini. Saya sertakan pula foto karya Fikria Hidayat dari Kompas Images Kompas.com. Silakan...


Sammy Duet, Kerispatih Bubar?

JAKARTA, KAMIS - Sammy, vokalis Kerispatih, yang memiliki nama lengkap Hendra Samuel Simorangkir, berduet dengan Bayu, seorang penyanyi pendatang baru. Akibatnya, akan bubar jalankah grup musik beraliran pop yang sedang tinggi bertengger di blantika musik Tanah Air tersebut? Siapa Bayu, si vokalis pendatang baru itu?

Tunggu dulu! Sammy memang berduet dengan Bayu, tetapi tidak kurang dari dua menit saja. Mereka berdua membawakan Sepanjang Usia, lagu Kerispatih yang dicipta oleh Doadibadai Hollo atau Badai, pemain keyboard Kerispatih. Bayu juga bukan "siapa-siapa". Ia hanya penyanyi dadakan yang didaulat oleh band yang dibentuk pada April 2003 tersebut untuk berduet dengan Sammy.

Bayu merupakan salah seorang Mahapatih--sebutan bagi para penggemar Kerispatih--yang menonton aksi grup itu dalam acara Kompas.com Music Corner di halaman parkir Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta, Kamis (10/7). Bayu menerima bingkisan dari Kerispatih dan mendapat kesempatan untuk berduet dengan Sammy karena ia secara kebetulan membawa CD Tak Lekang oleh Waktu, album baru alias album ketiga band tersebut. "Wah, wajah ganteng kayak begini bisa untuk video klip Kerispatih mendatang nih," celoteh Sammy saat meminta Bayu mendekat ke bibir panggung.

Ketika Sammy meminta Bayu menyanyikan Bila Rasaku Ini Rasamu, single pertama dari album baru Kerispatih, pemuda yang mengenakan t-shirt merah itu mengaku belum hapal lagu tersebut dan malah memilih lagu Sepanjang Usia, single ketiga dari album kedua mereka, Kenyataan Perasaan (2007). Sammy pun meladeni. Maka, sesaat kemudian melantunlah sepotong syair Sepanjang Usia: Sepanjang usia kita 'trus bersama

Aksi duo Sammy-Bayu mengalun mengasyikkan, karena selain Bayu berparas "oke punya", suaranya juga mampu mengimbangi Sammy, yang pernah menjadi finalis Indonesian Idol. Tepuk tangan para penonton lain pun membahana. Usai berduet, Sammy spontan nyeletuk memuji Bayu, "Gile, orang begini ini biasanya ringan jodoh… sudah ganteng, bagus pula suaranya!"

Pada acara "kamisan" yang diselenggarakan Kompas.com dan selalu disiarkan langsung dengan cara live streaming video di http://www.tv.kompas.com/ itu, Kerispatih membawakan lima lagu dari tiga album mereka. Tentu saja, yang paling mendapat sambutan hangat adalah Tapi Bukan Aku, single kedua dari album Kenyataan Perasaan, yang juga dicipta oleh Badai. Jangan lagi kausesali keputusanku, ku tak ingin kau semakin 'kan terluka…, begitu bunyi sepotong liriknya.

Ketika lagu itu berkumandang, para Mahapatih yang rata-rata remaja itu turut bernyanyi seperti halnya pada lagu pembuka penampialn mereka, Sepanjang Usia. Menuju lagu kedua, Kesalahan yang Sama, dari album ketiga, Badai membocorkan kegiatan Kerispatih dalam waktu dekat, yakni akan menggelar konser semi tunggal di sebuah mal di Jakarta pada 26 Juli 2008. Menurut Badai, dalam konser tersebut mereka akan diringi oleh sebuah orkestra. "Itulah proyek kami dalam waktu dekat," kata Badai.

Kerispatih merupakan grup beraliran pop yang terdiri dari lima personel. Di samping vokalis Sammy dan Badai, yang pencipta lagu sekaligus keyboardist, ada RM Antonius Suryo Sularjo Wahyu Nugroho Kusumo (Anton), yang dipercaya menabuh drum, Arief Nurdiansyah Morada (Arief) sang pemetik gitar, dan Andika Putrasahadewa (Andika), yang membetot bas. Mereka telah mengeluarkan tiga album, yaitu Kejujuran Hati (2006), Kenyataan Perasaan, dan Tak Lekang oleh Waktu. (PEP)

Thursday, July 10, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (64)

Sayang Bila Dilewatkan


DI kantor Redaksi Kompas.com tempat saya bekerja, sering tampil langsung (live) anak-anak band, khususnya mereka yang belum begitu dikenal publik karena baru meluncurkan album perdananya. Di antara mereka ada Indie Band yang dari segi keteranmpilan bermusik boleh dibilang sangat mumpuni. Saat mengetik, kadang saya meluangkan waktu untuk mendekati anak-anak band, mendengarkan lagu mereka, dan menikmati permainan musik akustik mereka.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menyaksikan grup band Cassanova. Sayang jika apa yang saya lihat dan saya dengar itu tidak saya tuangkan dalam sebuah tulisan, sekecil apapun tulisan itu.

Usai pentas live disaksikan karyawan dan wartawan Kompas.com, saya berkesempatan mewawancarai personil Cassanova. Hasil wawancara bersama Mbak Ati itu saya tulis untuk Kompas.com. Karena saya "membedah" cakram digitalnya, saya menulisnya sebagai resensi. Saya menampilkan tulisan itu di sini, disertai foto personil lengkap Cassanova karya fotografer Kompas Images Kompas.com Fikria Hidayat.



Cassanova Mengejar Sukses

DENGARLAH lagu pertama album kedua grup band Cassanova berjudul Mengejar. Sesuai judulnya, di lagu yang diciptakan Adhya sang vokalis band anak-anak Bandung itu pendengar terasa dikejar-kejar beat yang mengentak dan seperti tanpa jeda. Pendengar dipaksa mendengarkan lirik dan beat dari awal hingga lagu itu berakhir terlebih lagi ingin tahu apa makna di balik lirik lagu itu.

“Setiap orang pernah melakukan PDKT (pendekatan), bukan. Akan tetapi pada saatnya, orang itu bisa saja mengejar cintanya, ini biasa dalam kehidupan,” kata Adhya, vokalis Cassanova saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com, Rabu (2/7).

Mengejar untuk dapatkan cintamu/ hingga batas waktumu…

Demikian sepenggal lirik lagu Mengejar. Selintas, beat musik yang ditawarkan Cassanova plus vokal Adhya yang mirip Ariel Peterpan, memang mengingatkan pada si Peterpan itu. Coba simak gitar elektrik yang digeber Eric dan Gin-Gin, mengingatkan pada warna Peterpan.

Tentu saja Cassanova menolak jika dikatakan meniru Ariel Peterpan. Selain Cassanova mengidolakan The Rock, Ahmad Dhani, dan Mulan Jameela minus Peterpan, mereka menyebut musiknya sebagai pop kreatif dengan mengedapankan nuances atau theme pada setuap lagunya. Cassanova juga menolak bila disebut Indie Band.

“Indie itu 80 persennya menggunakan sound distortion, sementara kami mengadopsi clean guitar,” kata Adhya yang memang vokal di antara rekan-rekannya. Bila ditanya mengenai warna musik yang mereka bawakan, para anggota Cassanova sepakat adanya drum mesin dan efek musik digi. Memang drum yang digebuk Ikhsan terasa mengentak-entak khususnya pada lagu Seperti Hantu, dipadu betotan bass Danar yang bertenaga.

Namun secara keseluruhan, lagu-lagu Cassanova boleh dibilang light alias easy listening dimana nuanasa musik pop lebih dominan terdengar, menyusup ke setiap lagu yang dalam album berjudul “Mengejar” itu berjumlah 12 lagu, meski mereka mengaku suka blues, jazz sampai rock.

Tentang nama Cassanova, Gin-Gin mengaku itu diambil dari seorang filsof Italia yang lahir di Venice. Ditanya bukankah Cassanova itu banyak digila-gilai wanita dan apakah itu terjadi pada personil Cassanova Band, rata-rata anggota Cassanova Band ini tergelak. “Tentu bukan itu maksudnya, kami mengambil hal-hal yang positif dari Cassanova sebagai seorang filsuf,” kata Adhya.

Harapan Cassanova, tentu saja bisa “manggung” dan diperhitungkan di pentas musik Tanah Air yang amat gegap dengan talenta demi talenta baru yang punya warna tersendiri. Cassanova juga ingin “menjajah” negeri jiran semisal Malayia dan Brunei Darussalam. Bahkan sebagai langkah awal go international-nya, Cassanova bakal manggung di Inggris di kalangan komunitas mahasiswa Indonesia di sana.

Well, selamat deh buat Cassanova, semoga sukses… (PEPIH NUGRAHA)

Wednesday, July 02, 2008

Citizen Journalism (13)




Kunjungan Mahasiswa Unhas




FIKRIA Hidayat, fotografer sekaligus penanggung jawab kanal Kompas Images di Kompas.com, mempraktikkan bagaimana fotografer online bekerja. Lebih dari itu, ia juga mempraktikkan bagaimana citizen journalism seharusnya dilakukan.

Saat Kompas.com kedatangan 20-an mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Selasa 2 Juli 2008, Fikria datang, memotret, dan menghilang. Tetapi tdiak lama kemudian, saat pemaparan sedang berlangsung di ruangan diklat, Kompas Images di Kompas.com sudah bisa dibuka.

Hasilnya adalah foto karya Fikria di atas, saat saya memberikan paparan mengenai media massa digital. (PEPIH NUGRAHA)

Tuesday, July 01, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (63)

Menulis Perjalanan(2)




Simfoni Mozart dari Buluh Bambu
(2)

Oleh PEPIH NUGRAHA

Di Saung Angklung Udjo saya berkesempatan menemui beberapa perajin angklung yang sedang bekerja di “bengkel”-nya. Dua bengkel pembuatan angklung itu memang sengaja dibuat seterbuka mungkin, dimaksudkan sebagai “etalase hidup” bagi para pengunjung. Di sini, selain bisa melihat proses pembuatan angklung dari A sampai Z, juga bisa berbincang langsung dengan para perajin.

Para perajin umumnya senang melayani pertanyaan meski pertanyaannya itu-itu saja, pertanyaan mendasar. Tetapi yang penting, perajinnya sendiri antusias menjawab, tidak ogah-ogahan. Salah seorang perajin, Rakhmat, yang katanya sudah 31 tahun menekuni kerajinan angklung menjelaskan, bambu yang paling bagus sebagai bahan baku angklung adalah jenis “awi hideung”.

Awi dalam bahasa Sunda berarti “bambu”, dan hideung berarti “hitam”. Awi hideung yang paling bagus untuk dibuat angklung adalah yang sudah berumur empat tahun yang ditebang saat musim kemarau,” kata Rakhmat sambil sesekali menala nada angklung diatonis itu dengan alat pengukur getaran (hertz).

Di Tatar Sunda, dikenal berbagai jenis bambu atau “awi”. Selain awi hideung ada juga awi gombong, awi haur koneng, dan awi tali. Untuk membuat angklung, awi hideung dipotong dua jengkel lengan orang dewasa dari tanah. Setelah dipotong, bambu ditaruh dengan cara diberdirikan, sehingga lama-kelamaan daunnya berguguran. Daun bambu yang berbentuk lonjong itu otomotis berguguran sementara badan bambu terus mengering.

Setelah mengering, bambu kemudian di-“unun” atau diasapi dengan api yang tidak menyentuh langsung badan bambu. Ini dimaksudkan agar bambu benar-benar kering sehingga menghasilkan bunyi yang nyaring. Setelah benar-benar kering, bambu dipotong-potong sesuai nada yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran bambu, semakin tinggi nada yang dihasilkan. Semakin besar, semakin rendah pula nada yang dihasilkan.


Uniknya, dalam satu angklung, terdapat dua sampai tiga nada sekaligus, sehingga kalau dibunyikan akan menjadi accord yang harmonis. Bayangkan kalau puluhan angklung dibunyikan secara bersamaan, benar-benar menghasilkan accord yang harmonis dan elegan dalam sebuah orkestra.

Itu sekilas mengenai pembuatan angklung, tidak terlalu teknis karena di sini saya tidak sedang mengajarkan cara-cara membuat angklung. Sebelum tiba pukul 15.30, kami semua sudah duduk di Bale Karesmen, yakni gedung utama pertunjukan yang disebut “Kaulinan Urang Lembur” (tempat main orang desa). Di Bale Karesmen sudah banyak pengunjung yang berjejer rapi, termasuk 50 pelancong Malaysia dan sejumlah turis bule. Mereka semua sama seperti saya, sama-sama ingin segera melihat pertunjukan angklung yang dimainkan anak-anak sekitar Saung Angklung Udjo.

Saung Angklung Udjo sudah berdiri sejak 1967, lebih dari 40 tahun. Didirikan oleh seniman Sunda bernama Mang Udjo dan istrinya, Uum Sumiati. Mang Udjo belajar angklung dari “mahaguru” angklung, yakni Daeng Soetigna. Padaeng inilah, demikian tokoh angklung Sunda ini dipanggil, yang memperkenalkan angklung dengan nada diatonis yang berpotensi diterima sebagai instrumen musik internasional.

Acara dituntun oleh dua master of ceremony menggunakan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Satu gadis remaja, satu lagi terbilang masih anak-anak. Namun keduanya mampu berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Inggris yang tidak sekadar hapalan, tetapi memang bisa dipraktikkan.

Acara dibuka dengan pertunjukkan wayang golek. Bagi saya, wayang golek tidaklah terlalu asing. Saat ada program “wayang masuk kampus” pertengahan tahun 1980-an dulu, saya kerap menonton Asep Sunandar Sunarya dari padepokan Giri Harja memamerkan keahliannya memainkan wayang golek. Di tangan Asep, benda mati itu seakan-akan menjadi hidup. Tokoh-tokoh pewayangan seperti Gatotkaca, Dorna, dan Punakawan menjadi sedemikian hidup saat menari, berkelahi, sampai ketika wayang itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Asep benar-benar memodifikasi wayang golek menjadi sebuah tontotan yang menawan.

Akan tetapi, di Bale Karesmen ini, pertunjukan wayang yang biasanya memakan waktu 6-7 jam, disingkat menjadi seperempat jam saja. Tujuannya memang tidak hanya mengenalkan wayang dari segi permainan dan jalan ceritanya, tetapi juga bagaimana ki dalang memainkan wayang itu secara solo, meski tetap diiringi nayaga (gamelan) dan juru alok yang lengkap. Juru alok adalah orang yang memberi komentar setiap kali ki dalang berceloteh atau bertanya tentang sesuatu.

Kadang ucapan juru alok ini sangat mengena sehingga mengundang tawa. Misalnya saat ki dalang memainkan tokoh Si Cepot, Cepot mencari teman-temannya dan bertanya, “Pada kamarana (kemana) yah teman-teman sayah?” Juru alok langsung menjawab, “Pada ngantri minyak tanah dan beras murah kali.”

Pertunjukkan itu sendiri melibatkan sedikitnya 100 orang yang umumnya anak-anak. Mulai dari pertunjukkan khitanan massal, tari topeng, sampai orkestra klasik dengan memainkan Symphony 40 dari Wolfgang Amadeus Mozart. Saat mereka memainkan simfoni yang akrab dalam nada ring back tone itu, saya tidak percaya bahwa itu dihasilkan oleh bunyi-bunyian dari bambu, angklung. Bahan baku yang bisa dipakai untuk tangga tradisional, bilik rumah, mainan bedil lodong yang menghasilkan bunyi menggelegar, sampai dimakan saat masih berbentuk rebung, ternyata menghasilkan nada yang tidak kalah elegan dengan piano.

Bagaimana mungkin simfoni yang biasa terdengar dari sebuah orkestra rumit bisa mengalir dengan lancar namun indah dari buluh-buluh bambu. Terus terang, sambutan paling meriah dari penonton terjadi saat simfoni Mozart ini mengalun merdu.

Lebih penting lagi, pertunjukkan itu benar-benar tidak asal “narsis”, yakni menonjolkan kehebatan si seniman sendiri di atas panggung, tetapi benar-benar melibatkan penonton lainnya. Penonton diajak serta bermain angklung bersama dengan lagu-lagu yang sudah akrab di telinga seperti “Burung Kakaktua” dan “The Song of De Re Mi” yang populer lewat film “The Sound of Music” itu. Semua lagu dimainkan oleh orkestra lengkap, melibatkan arumba (alunan rumpun bambu), saron, gong, sampai drum. Tentu saja tidak lupa angklung, yang menjadi “ikon” padepokan seni itu.

Saat bermain angkung bersama, seluruh penonton diberi pinjam angklung, mulai yang menghasilkan nada do sampai ti. Jadilah ratusan penonton itu terbagi dalam sedikitnya tujuh kelompok. Dua instruktur membimbing penonton dengan cepat nada-nada yang harus dibunyikan hanya dengan melihat gerakan tangan kanan tertentu sebagai kode. Setiap nada diwakili oleh gerakan tangan yang berbeda. Memang diperlukan konsentrensi tinggi.

Namun kenyataannya, dalam beberapa menit saja sebuah lagu “Falling in Love” yang dipopulerkan Julio Iglesias, terdengar mengalun merdu, sebuah orkestra yang dihasilkan para penonton yang mungkin baru pertama kali memegang angklung! Tidak terasa, tiga lagu yang kami mainkan terasa masih kurang. Kami masih ingin bermain angklung dengan lagu lainnya. Ternyata bermain angklung itu sedemikian mudah.

Pada akhir acara, penonton diajak menari bersama. Ratusan pemain angklung dengan sigap menggandeng satu persatu penonton. Tidak ada yang menolak, mereka mau saja diajak bergoyang dan turun dari tempat duduk. Penonton dan pemain musik menyatu, melebur dalam suasana gembira. Barangkali sejenak bisa melupakan keruwetan hidup sehari-hari dengan bermain angklung dan menari bersama.

Tidak terasa waktu dua jam sudah berlalu. Pertunjukkan pun usai. Saya tentu saja harus kembali pulang. Saya masih sempat mendengar celotehan para pelancong Malaysia yang rupanya amat puas, sekaligus terperangah, dengan sajian para seniman muda Saung Angklung Udjo. Seorang pelancong bergumam dalam bahasa Melayu, “Ya, ya… memang hebat angklung dari Jawa Barat ini.” (Selesai)