Tuesday, November 25, 2008

Catatan (69): Foto Lama

Para Pejuang




PARA pejuang. demikianlah Agus Hermawan, rekan saya yang biasa saya panggil Kang Ush, memasang foto-foto lama di Facebook miliknya. Foto diambil oleh rekan wartawan sendiri saat terjadinya kerusuhan Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, akhir Januari 1997. Sudah 11 tahun lewat, tidak terasa waktu berlalu. Dunia dan seisinya yang sudah semakin renta, termasuk saya tentunya.

Dalam dua foto itu saya antara lain berfoto bersama rekan-rekan sesama wartawan Kompas, yakni Kang Ush, Myrna Ratna (Mbak Myr), dan James Luhulima (JL). Rekan wartawan dari media lainnya antara lain Imannuddin (Jakarta Post), Farouk Al-Sururi (sekarang Pemred Sindo), Mulawarman (Surya), Edi Hidayat (Media Indonesia), Bachtiar, dan Aris. Begitulah, orang lain menghindar dari kerusuhan, para wartawan malah mendekat dan harus selalu berada di dekat kerusuhan.

Banyak kerusuhan yang bisa saya ceritakan di sini, Rengasdengklok hanya salah satunya saja. Ada Poso, Ambon, Papua, Kerusuhan Mei, Peristiwa Semanggi I dan II, Tasikmalaya, Makassar, Penyerangan Kantor PDIP 27 Juli, dan banyak kerusuhan lainnya yang terjadi semasa Presiden Soeharto berkuasa.

Setelah meminta izin tertulis di Facebook, saya postingkan foto kenangan lama di rengasdengklok itu di sini. Sahabat bisa menebak-nebak mana foto saya di kedua foto di atas. Maaf ya kalau agak-agak narsis sedikit....

Wednesday, November 19, 2008

En Passant

Kembali Teringat Ibu....

SAAT menulis catatan ini, saya masih di Starbucks Bandara Soekarno Hatta, menyeruput caffe latte hangat. Saya dalam perjalanan menuju Denpasar, Bali. Desk Nusantara Harian Kompas mengundang saya sebagai pemateri di sana.

Terus terang, perasaan kurang nyaman, bahkan tertekan, saat saya harus kembali ke Bali. Ini daerah cantik yang sebisa mungkin saya hindari. Bali is nightmare for myself only. Bukan karena takut akibat di wilayah ini pernah mengalami serangan teroris 12 Oktober 2002 lalu yang dikenal dengan "Bom Bali"-nya. Kenangan pahit saya mengenai pulau ini jauh menembus batas waktu, 3 tahun sebelum bom Bali meledak.

"Ledakan bom" paling dahsyat terjadi pada 12-17 Oktober 1999, saat saya hadir di Bali untuk tamasya, sekedar bersenang_senang. Di Bandung, pada saat bersamaan saya harus meninggalkan Ibu, perempuan yang melahirkan diri ini, dalam keadaan sekarat, menanggung derita sakit yang luar biasa.

Tak habis-habisnya saya mengutuki diri sendiri setiap teringat tindakan tertolol selama hidup yang pernah saya lakukan. Bagaimana mungkin saya meninggalkan Ibu yang sedang meregang nyawa akibat kanker mulut rahim, saya pergi ke Bali hanya untuk bersenang-senang dengan keluarga?

Kini saya harus ke Bali, satu wilayah yang sebisa mungkin tidak saya singgahi lagi. Saya sudah bersumpah, tidak akan pernah ke Bali lagi kalau tujuannya cuma untuk bersenang-senang. Itu akan menyakiti hati Ibu di alam kubur. Saya berani menginjak Bali karena urusan tugas semata seperti ini, atau karena pesawat harus transit di Ngurah Rai seperti akhir tahun 2002 lalu sehabis tugas dari Fukuoka, Jepang.

Ibu, saya tidak akan pernah menyakiti hatimu lagi! Please forgive me.....

Cengkareng, 19 November 2008, pukul 06.50, menunggu saat boarding tiba.

Powered by Telkomsel BlackBerry®