Friday, February 23, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (20)



Ikut Tak Berarti Takut



"Terima kasih dukungannya, terima kasih juga atas masukan dan kritikannya ya, Mas!"



DEMIKIAN pesan singkat yang sampai di ponsel Motorolla lama saya beberapa waktu lalu. Pengirimnya Rozanna, humas Hewlett-Packard (HP) Indonesia yang berkantor di Gedung Danamon, Jakarta. Dara cantik kelahiran 1981 ini ikut bersama rombongan lima wartawan Indonesia ke Seoul, Korea Selatan, 23-26 Januari lalu untuk menghadiri peluncuran HP TouchSmart PC, sebuah desktop dengan teknologi layar sentuh.



Tentu saja pihak pengundang dengan mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi wartawan berharap peluncuran itu menjadi ajang promosi bagi produk yang diluncurkannya. Sesungguhnya bisa saja pihak pengundang memasang iklan di sejumlah media massa. Akan tetapi, hasil tulisan atau laporan wartawan dianggap jauh lebih kredibel dibanding apabila tulisan itu dibuat oleh penulis iklan.



Untuk itulah mengapa pihak pengundang senang mengundang wartawan daripada harus memasang langsung iklan. Dihitung-hitung pula, biaya akomodasi dan transportasi, meski itu harus berangkat ke luar negeri, masih lebih murah dibanding pasang iklan!



Yang ingin saya tekankan di sini, wartawan adalah tetap wartawan. Meski kita diundang dan selalu mendapat perjamuan istimewa yang diselenggarakan pihak pengundang, kita sebagai wartawan tidak boleh larut dan ikut "gendang" pengundang, hanyut menari dan ikut irama yang mereka mainkan. Senjata wartawan adalah independen, mandiri, bebas, tidak terkooptasi, dan tetap harus selalu kritis.



Terhadap produk atau barang baru yang diluncurkan, pastilah kita silau akan kebaruan dari produk itu. Namanya barang baru, pasti sulit menemukan catatnya. Tetapi tidak berarti kita harus mencari-cari kesalahan dan cacatnya barang. Kita bisa dengan mudah mengatakan barang ini baik atau sebaliknya, jika sudah memiliki pembanding, memahami produk lain dengan spesifikasi yang sama. Dari pembanding ini kita beranjak untuk mengkritik atau sebaliknya, memuji. Tetapi memuji sangat jarang diberikan wartawan!



Tatkala menghadapi HP TouschSmart PC, penampilan yang futuristik dan "kesederhanaan" teknologi serta kemudahan penggunaannya, cukup membuat kita terpana. Apalagi dekstop itu merupakan konvergensi dengan televisi layar datar berresolusi tinggi, mesin cetak foto, printer, sekaligus pemutar CD/DVD lengkap dengan pengendali jarak jauhnya. Tetapi "titik lemah" itu setelah saya telusuri, terletak pada hal sepele, yakni soal penggunaan/aplikasi bahasa.



Produk tersebut diluncurkan di Seoul, Korea Selatan, untup pasar Asia Pasifik. Kita tahu di Asia Pasifik negara paling dominan adalah China dan Jepang. Menjadi pertanyaan saya, mengapa desktop itu tidak akomodatif terhadap aksara-aksara Asia seperti huruf China, Jepang, Korea, Thailand, dan lain-lain. Desktop itu hanya dijalankan dengan menggunakan bahasa Inngris semata.



"Titik lemah" itu pulalah yang saya tanyakan kepada para petinggi HP, baik saat sesi wawancara ramai-ramai atau sendiri-sendiri. Hasilnya, mereka mengakui "kelemahan" itu dan bermaksud memperbaikinya di masa mendatang. Berikut tulisan hasil kunjungan saya ke Seoul itu, yang meski sebagai pihak yang diundang, tetapi sikap kritis tetap terjaga sampai kepada tulisannya. Silakan klik www.kompas.com/kompas-cetak/0702/09/tekno/3302809.htm, atau langsung membacanya di sini:



Kembali ke… Desktop!

PEPIH NUGRAHA

The Shilla Hotel di tepian kota Seoul berdiri di atas kaki bukit. Arsitektur luar hotel bergaya bangunan kerajaan Shilla, 57 SM sampai 953 M, tetapi di bagian belakang mencuat bangunan bertingkat bercitra hipermodern. Di ruang utama hotel inilah produsen terbesar komputer pribadi, Hewlett-Packard (HP), 24 Januari 2006, meluncurkan sejumlah seri produk terbarunya.

Mengusung ikon lifestyle computing dengan jargon "Personal… Like Nothing Before", peluncuran dibuka dua rapper lokal yang mengulang kata-kata "PC" (personal computer) di akhir lirik lagu. Disusul empat anak muda yang menggoyangkan tubuh gaya breakdance, mencerminkan produk yang diluncurkan tidak jauh-jauh dari dunia anak muda.

"Generasi muda tumbuh cepat. Kami (HP) hadir untuk mereka. Memang peluncuran dilakukan di Korea yang memiliki jaringan internet supercepat, tetapi produk kami ditujukan untuk pengguna PC di Asia Pasifik yang berjiwa muda dan bergaya," kata Chin Hon Cheng, pejabat HP untuk urusan bisnis Asia Pasifik saat memberi sambutan.

Sebagai kampiun dalam bisnis PC, kali ini HP memberi tekanan pada kata-kata kunci, seperti: anak muda, gaya, gaya hidup, hitam, ramping, desain, dan inovasi. Tentu saja gaya hidup menggunakan PC atau PC itu sendiri sebagai gaya hidup dan barangkali "seksi" di antara PC terdahulu atau dibanding sejumlah PC dari pesaing lain. Gaya hidup tidak hanya terbatas pada busana serba hitam Prada, tetapi juga PC dengan sekian variannya. Tidak heran di salah satu ruang presentasi koleksi gaun dan sepatu Prada bersanding dengan PC serba hitam. PC in black!

Ada empat produk HP terbaru yang meluncur dari Pulau Jeju di mana Hotel Shilla berdiri tegak dengan kerlap-kerlip lampu pijarnya di udara bersuhu minus 5 derajat celcius malam itu. Akan tetapi, hanya satu produk yang amat membetot perhatian puluhan jurnalis Asia Pasifik, termasuk Kompas, serta pengamat PC yang menyaksikan peluncuran itu, yakni hadirnya HP TouchSmart PC.

Ia adalah sebuah desktop empat bagian yang terintegrasi menjadi satu dengan hanya menggunakan satu kabel tunggal. Rozana, humas HP Indonesia, menyebut layar sentuh yang terpasang di desktop ini sebagai satu "keunikan", sementara Chin menyebutnya "belum pernah ada di desktop lain".

Tiga produk lain adalah laptop HP Pavilion tx1000 yang bisa dilipat dan berputar 180 derajat sehingga bisa menjadi PC tablet, desktop rumahan dengan lima variannya, plus HP iPAQ rw6828 dengan ikon "multimedia messenger". Meski benda kecil di telapak tangan sering mencuri perhatian, dalam peluncuran produk HP kali ini tidak lain dari si desktop dengan layar sentuh cerdas itu tadi.

Bentuknya futuristik dalam arti belum ada desktop serupa yang pernah diciptakan orang. Desainnya disebut all in one karena empat bagian, yakni CPU, layar, papan ketik, dan printer tergabung menjadi satu.

Perkecualian papan ketik dan printer yang removable alias mudah dipindah-lepaskan, tetapi tetap tersambung meski tanpa kabel karena dilengkapi bluetooth. Seperti halnya televisi, desktop dilengkapi dengan remote control untuk memilih saluran televisi atau membuka CD.

Desktop umumnya diletakkan secara terpisah. CPU bisa di bawah meja, layar di atas meja, papan ketik di depan layar, dan printer di tempat tersendiri. Bila didekatkan, layar ditaruh di atas CPU, papan ketik di depan dengan printer di samping. Keempat benda tadi tersambung oleh kabel yang saling silang dan kurang elok dari sudut estetika. Di sini HP mengklaim TouchSmart terdepan di kelasnya.

Kerja sama Microsoft

Dengan teknologi layar sentuh dan harapan bisa diletakan di sembarang tempat di rumah, dari dapur sampai ruang keluarga, sejatinya desktop hadir memenuhi kebutuhan keluarga. Unsur hiburan, khususnya yang berbasis internet seperti TV, radio, film, dan musik, mendapat penekanan penting. Dengan layar sentuh dan tampilan menu Windows Vista Home Premium berkat kerja bareng raksasa industri peranti lunak Microsoft, seluruh anggota keluarga mulai anak-anak sampai orang dewasa bisa menggunakannya.

Berkat Windows Vista yang sudah terpasang di dalamnya, anak-anak sekalipun mampu membuat catatan dengan tulisan sendiri, yakni cukup menulis dengan jari tanpa bantuan tetikus (mouse) atau merekam suaranya lewat voice recording.

Komputer ini dapat mengenali berbagai coretan aksara Latin dan menyimpannya pada tanggal yang diinginkan. Karena menggunakan layar sentuh, dolanan catur dari Chess Titans yang sudah terpasang di dalamnya pun bisa digerakkan dengan jari sebagaimana bermain catur sesungguhnya.

Unsur hiburan lain yang disajikan adalah cetak foto secara mudah. Ini upaya mengadopsi meledaknya penggunaan kamera digital murni maupun ponsel kamera. Mengedit foto, sebagaimana Kompas praktikkan, dari cropping sampai masking, cukup menggunakan jari telunjuk. Meski demikian, Adrian Koch, Senior Vice President Personal System Group HP untuk Asia Pasifik dan China, kurang mantap menjawab pertanyaan Kompas mengapa TouchSmart hadir untuk pasar Asia Pasifik tetapi tidak menggunakan operasi berkarakter huruf China, Jepang, Korea, dan Thailand, apalagi ia diperuntukkan juga bagi keluarga.

Hanya semata-mata bahasa Inggris! Itulah "kelemahan produk" ini yang kurang beradaptasi dengan kebutuhan lokal keluarga Asia Pasifik yang mayoritas menggunakan hurufnya sendiri. Koch, misalnya, mengaku membangun TouchSmart dan PC layar sentuh ini di negara yang berbahasa Inggris. "Sistem operasional menggunakan karakter khusus sangat menarik dan menjadi perhatian kami," kilahnya.

Kennet Lundin, GM Windows Client Group untuk Microsoft Asia Pasifik, dalam paparannya menjelaskan, persandingan antara HP TouchSmart dan Windows Vista sebagai keseimbangan antara kekuatan (power) dan kesederhanaan (simplicity). Windows Vista, katanya, mengusung empat kelebihan: lebih mudah, lebih aman, terkoneksi lebih baik, dan lebih menghibur. "Anak muda yang berkumpul di kafe selalu ingin tersambung ke komputer, juga haus akan hiburan. Kami menyediakan teknologi untuk semua itu," katanya.

Di dapur

HP TouchSmart PC yang hanya menggunakan kabel tunggal memiliki lebar layar 19 inci dengan display LCD high definition yang disebut BrightView. Karena berkonsep desktop keluarga, ia biasa hadir di ruang keluarga, kamar keluarga, dan di dapur. Kerja bareng HP dengan Microsoft dengan produk Windows Vista yang sudah terpasang di dalamnya memungkinkan "komunikasi keluarga" terjalin lebih erat lagi. Setiap anggota keluarga bisa dengan mudah mengetahui agenda masing-masing melalui kalender.

Pada tampilan depan terdapat HP SmartCentre yang merupakan halaman personal yang komplet untuk akses cepat pada informasi dan link pada aplikasi favorit di mana prosesnya cukup menyentuh (touch) layar komputer. Ada juga HP SmartCalendar yang menerakan tanggal hari ini dengan lembaran-lembaran memo anggota keluarga yang ditulis tangan.

HP Photosmart Touch memungkinkan pengguna menyimpan, mengurus, mengedit, sampai mencetaknya secara digital. Sebab, desktop dilengkapi dengan photoprinter portabel yang berada di bawah layar. Layarnya dapat dinaikturunkan sesuai sudut pandang penggunanya. Selain dilengkapi speaker yang terintegrasi, desktop juga dilengkapi microphone dan webcam 1,3 megapiksel yang memungkinkan untuk melakukan konferensi video jarak jauh atau video chatting. Meski sudah berteknologi layar sentuh, selain papan ketik, ia juga masih dilengkapi dengan tetikus nirkabel, stylus (untuk menulis), dan remote control.

Prosesor menggunakan AMD TurionTM 64x2 Dual-Core TL-52 dengan teknologi AMD PowerNow!TM. Tersedia pula FM dan TV tuner dengan high-performance 2.0 speaker. WLAN dan bluetooth sudah terpasang di dalamnya. Sayangnya untuk ukuran saku keluarga Indonesia, harga desktop keluarga berteknologi layar sentuh ini masih tergolong mahal, sekitar 2.499 dollar AS atau Rp 22,7 juta.

Saat ditanyakan kepada Chin soal harga yang lumayan harus merogoh saku dalam-dalam ini, ia menjawab, "Saya tidak pernah berpikir pasar Indonesia tidak mampu menyerapnya. Ada satu segmen masyarakat yang mampu membeli produk ini."

Jakarta, 23 Februari 2007

Monday, February 12, 2007

Catatan (15): Hati-hati Penyakit Mapan!



Wartawan adalah Menulis


Penyakit wartawan adalah mapan. Maka, janganlah cepat menjadi mapan kalau ingin menjadi wartawan yang berkualitas. Penyakit mapan itu ibarat kanker yang siap menerjang dan menempelkan sakit kemana saja sesuai aliran darah yang mengalir di tubuh. Kalau penyakit mapan sudah menjalari tubuh wartawan, maka penyakit malas bisa merasuki tubuh. Mapan mengalir ke otak, ia akan menjadi malas berpikir dan menganalisis. Bila lari ke hati, ia menjadi malas bertindak, beranjak, dan bekerja. Tiba-tiba, tubuh merasa berat sekadar membaca hal-hal ringan, apalagi menghadapi layar komputer untuk menulis.


Sayangnya, banyak wartawan yang cepat merasa mapan. Merasa menjadi "penguasa" beat di posisi tertentu saja sudah merasa menjadi tahu segalanya. Sikap ini mengabaikan pendapat orang lain. Segala sesuatu tampak "sudah biasa" dan "bukan berita". Maka, ketajaman dan nalurinya sebagai seorang wartawan dengan sendirinya tumpul. Itu baru bicara posisi. Apalagi ia mendapat "jabatan" koordinator liputan, kepala biro, atau editor, yang pasti lebih memabukkan lagi. Ketajaman lapangannya mulai memudar. Mau ke lapangan, "ah 'kan ada wartawan bawahan yang kerja."


Nah, yang lebih gawat lagi bila mapan dalam pendapatan datang menyerang wartawan. Ini persoalan serius. Ketika segala hal berbau materi sudah didapat, dari jabatan, rumah sampai kendaraan, daya juang terhadap satu berita mulai mengendur. Maunya jalan-jalan saja sama keluarga, makan di restoran enak, tidur nyenyak di kamar ber-AC sambil nonton televisi atau main games. Perkara banjir Jakarta yang menenggelamkan 70 persen wilayah ibukota, menewaskan 80 warga dan menjadikan 350.000 warga mengungsi, apa urusannya. Ada wartawan dan editor lain yang bertanggung jawab.


Semua yang saya ceritakan di atas adalah penyakit wartawan. Tidak mutlak wartawan memang, tetapi juga penyakit para penulis umumnya. Seharusnya, memang jangan lekas merasa mapan! Ingatlah, dalam dunia wartawan tidak ada karya "master piece". Semua karya adalah "in the making", dalam proses. Selalu dalam proses. Kalau sudah merasa karya atau laporan kita "master piece", maka ketajaman terhadap hal-hal kecil tetapi pantas menjadi berita, berlalu begitu saja. Merasa pekerjaan (sebagai wartawan) sudah selesai.


Jabatan, rumah, kendaraan, harus dianggap sebagai "alat" semata, alat yang memudahkan wartawan bekerja, bukan tujuan. Komitmen terhadap keluarga harus lebih ditekankan lagi, bahwa mereka harus diberi tahu lagi mengenai risiko berayahkan atau beribukan seorang wartawan. Berdamailah dengan waktu. Dalam arti, ada saatnya kita menghabiskan waktu dengan keluarga, jika mereka menuntut. Pekerjaan memburu berita, tetaplah bisnis inti seorang wartawan, apapun jabatannya.


Di harian Kompas, setelah menjalani "pendaerahan" dengan memegang Indonesia Timur dan Jawa Timur, saya masih diberi kepercayaan untuk tetap duduk di struktural selaku wakil kepala desk investigasi. Tentu saja dengan iming-iming ini, saya (bergantian dengan kepala desk) tinggal merancang liputan untuk rubrik "Fokus" yang biasa muncul setiap hari Sabtu, lantas yang liputan lapangan orang lain. Uniknya, kalau mau, saya juga bisa meminta bantuan anggota desk lain di Jakarta, teman-teman dari daerah, tergantung bahasan "Fokus".


Untungnya, penyakit mapan yang biasa menjangkiti wartawan itu selalu saya halau dengan obat mujarab, obat yang ada dalam diri saya juga, yakni "keresahan": keresahan kalau tidak meliput, keresahan kalau tidak turun ke lapangan, keresahan kalau tidak bertemu orang (sumber), keresahan kalau terlalu lama di rumah, dan terutama... keresahan kalau tidak menulis! Ya, harus resah, sebab pekerjaan wartawan adalah menulis. Sekali lagi beruntung, sebab di desk "Fokus" setiap anggota desk, tidak terkecuali yang punya jabatan struktural, diwajibkan menulis, menulis, dan menulis. Ini menolong wartawan tidak cepat kena penyalit mapan itu tadi.


Maka, tidak aneh untuk mengejar waktu di lapangan, hal-hal praktis masih menjadi pertimbangan utama, yang penting bisa lekas sampai ke tujuan dengan cepat dan tepat dan tidak mengecewakan sumber. Jika punya kendaraan, janganlah digunakan kalau harus menerabas kemacetan untuk menemui Gubernur Sutiyoso di Jalan Medan Merdeka Selatan, misalnya. Ojek yang mangkal di depan kantor biasa menjadi langganan saya. Ke Balai Kota bisa kena Rp 25.000. Memang bisa lebih murah kalau menggunakan bus umum, cuma Rp 5.000. Tetapi waktu? Pasti jauh lebih lambat. Dengan taksi, selain pasti lebih mahal dibanding ojek, tetapi tidak menjamin perjalanan lancar. Ojek adalah pilihan praktis-strategis. Jangan gengsi!


Ke tempat lain ke Departemen Pekerjaan Umum untuk menemui seorang Dirjen, juga naik ojek dan pulang naik bajaj dengan total biaya Rp 30.000. Ini masih lebih mampu mengejar waktu dibanding membawa kendaraan sendiri. Tidak jarang juga harus jalan kaki, menembus banjir, hanya sekadar bertanya kepada para korban dan sesekali ikut merasakan penderitaan mereka. Kalau merasa mapan, bukankah lebih baik duduk-duduk saja di kantor atau bahkan tidur di rumah.


Jadi, hati-hatilah dengan penyakit mapan ini, kawan!


Jakarta, 12 Februari 2007

Tuesday, February 06, 2007

Novelet: Mystery of Love (12) -Tamat


"Mystery of Love"
Oleh TIA

Di Gorky Park Rusia, Winter 2007

AKU berjalan sendiri, mengendap-ngendap hendak memotret kucing yang sedang terlelap di Gorky Park. “Bundaaa…lagi apa sih.” Lia anakku mengagetkanku, “Ssst Sayang, lihat tuh, Bunda lagi mau memotret pus itu…” aku menunjuk ke arah kucing berwarna coklat belang hitam itu.

“Ihh..lucunyaaa !” Lia berkata polos.”Ssstt…hahaha, kamu ini gimana Sayang, tuh lari kan kucingnya.” Aku tertawa dan membelai rambut Lia.

“Maaf Bunda, hmmm, kok Papa, Mama, dan kak Nisa lama banget sih ke Bolshoinya?” Lia memandangku dengan wajah cemberut.

“Ya mungkin pertunjukan Swan Lake nya belum selesai, ahh itu mereka Sayang.” Aku menunjuk ke arah depan, Lia mengikuti arah jariku, dan ia kemudian berlari memelukmu dan kamu pun langsung menggendongnya.

Wanita di sebelahmu menghampiriku, “Maaf menunggu lama Dek, yuk kita makan yuk Pa, kasihan Dek Ara nih, lagian sekarang dia juga harus memberi makan yang di dalam perut ini.” Mbak Angel berkata kepadamu sambil mengelus-elus perutku yang sudah membuncit di balik mantelku.

“Oke, mau makan apa Hun?” tanyamu, kamu menatapku sambil tersenyum mesra.” Apa sajalah, yang penting Nisa dan Lia juga suka.” Aku melempar pandanganku ke arah kedua gadis cilik itu.

“Ah Dek, kalau mereka sih maunya paling cuman junk food, yuk Nisa, Lia ikut Mama, tidak boleh junk food hari ini yah, Dede kalian yang di perut kasihan entar.” Mbak Angel melepaskan Lia ke dalam gendonganmu, menurunkannya dan menggandengnya berdua Nisa.

Kamu menatapku, dan mengelus-elus perutku…, ”Kamu bahagia Hun?”
Aku menatapmu, mencium pipimu sekilas dan berkata, ”Ya, bahagia banget Cinta, kamu?”
Aku menggandeng lenganmu, menatap wajahmu, dan kamu menatapku balik, ”Sangat bahagia.”. “Anak kita menurut USG cowok ya Hun?”
Aku mengelus perutku, ”Insya Allah Cinta…”
Kamu menatapku mesra, ”Aku ingin nama tengahnya Trafalgar.”
Aku menatapmu heran..,”Loh, kok Trafalgar?”
Kamu menatap ke arah depan sambil tersenyum, ”Tempat Hun jatuh cinta kepadaku untuk pertama kalinya.”

Aku mencubit lenganmu, ”Ugh, bukannya kamu duluan yang jatuh cinta, semenjak di atas lift itu? hahaha.”

“Papaaa, Bundaaa ayo dong…kita udah pada lapar niii.” Terdengar suara Nisa memanggil kita. Kulihat Mbak Angel tersenyum-senyum penuh arti kepadaku dan kamu, suaminya.
Aku dan kamu bergegas ke arah mereka, dan kemudian aku menggandeng tangan Mbak Angel.

Ketika cinta membuka tabir gelap dalam dadaku,
Aku membiarkannya masuk menembus sukmaku,
Membiarkannya menembus labirin rongga hatiku,
Membiarkannya memenuhi ruang sepi dalam jantungku,
Ijinkan aku mencintainya, walau kutau dia masih milikmu,
Ijinkan aku juga, untuk mencintaimu sebagai saudariku…

(Tamat).
Puri Anjasmoro Semarang, 4 – 5 November 2006

Catatan:

Terima kasih saya ucapkan kepada Tia, blogger yang tampaknya sangat menyukai dunia tulis-menulis. Novelet karyanya ini cukup mendapat sambutan dari sejumlah blogger juga, bahkan ada yang bertanya apakah novelet itu sudah dibukukan (simak beberapa komentar di akhir beberapa bagian noveletnya). Ini modal yang tidak sedikit, katakanlah penyemangat. Penghargaan ini sejatinya dapat terus memompa semangat Tia untuk menulis. Saya yakin, suatu saat penerbit akan tertarik dengan cerita-cerita Tia, karena Tia punya modal besar: kalimatnya mengalir deras seperti orang bercerita, yang tidak perlu penggambaran suasana detail. Novel atau novelet ringan yang begitulah yang kenyataannya sangat disukai pembaca. Mohon maaf pula kalau postingan untuk bagian terakhir noveletnya agak telat berhubung kesibukan saya dalam pekerjaan. Bravo untuk Tia! Kepada sahabat blogger lainnya, saya siap kembali mempostingkan hasil karyanya. Karya sahabat ditunggu di pepih_nugraha@yahoo.com.