Monday, November 26, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (39)


Ikut Saran Teman


SEBAGAI jurnalis, sudah seharusnya kita pasang mata dan telinga terhadap isu tertentu. Tanpa membuka jaringan dan komunitas, misalnya, tidak akan mungkin kita mendapat berita yang penting dan menarik untuk dibaca orang.

Dunia internet, adalah wilayah yang masih asing bagi saya, kendati setiap hari saya belajar secara otodidak soal dunia interet ini. Untuk itu, saya tidak ragu lagi saat Mas Heru, teman dari KCM, mengajak saya menjumpai seseorang. "Siapa tahu Mas Pepih tertarik menulis tentang Budi Putra," katanya, menyebut nama seseorang.

"Apa menariknya ya kalau saya menulis tentang Budi Putra?" tanya saya yang dijawab Mas Heru, "Dia blogger sejati. Orang yang rela meninggalkan pekerjaannya hanya untuk nge-blog."

Menarik! kata saya dalam hati. Tetapi saya harus menggali dan membuktikannya.

Maka perjumpaan pun dilakukan di sebuah tempat, bertiga. Mas Heru menulis untuk Kompas.com, dan saya menulis untuk Kompas cetak. Meski ketika tulisan sosok itu dimuat, Bos Kompas.com, Taufik Mihardja bilang, "Alangkah indahnya kalau Pep menyebut 'Kompas.com' dalam tulisan sosok itu."

Well, sangat layak dipertimbangkan, dan hanya karena alpa saja sehingga ikon 'Kompas.com' tidak muncul. Berikut adalah tulisan saya tentang blogger Budi Putra:

BUDI PUTRA, BANGGA BERPROFESI "BLOGGER"
Oleh Pepih Nugraha

Tahun 1996, seusai menyelesaikan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, ia mendapat beasiswa belajar di Jepang. Saat dia berada di Jepang, pesawat Garuda Indonesia DC-10 mendapat musibah, terbelah menjadi tiga bagian di Bandara Fukuoka dan menewaskan tiga dari 261 penumpang yang sebagian besar warga Jepang.

Karena saat itu dia adalah wartawan untuk sebuah harian di Padang, Sumatera Barat, naluri kewartawanannya terpanggil. Ia menulis dan melaporkan peristiwa itu ke koran Singgalang, tempatnya bekerja. Bagi koran daerah, ini berita eksklusif yang dilaporkan langsung on the spot. Ia kirim laporan empat sampai lima kali lewat faksimile yang sangat mahal biayanya.

"Di Jepang internet sudah mewabah, tetapi saya tak tahu bagaimana memanfaatkannya," kenang Budi Putra, si penerima beasiswa, saat ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta. Akan tetapi, ia segera sadar, "Kalaupun saya bisa memanfaatkannya, apa bisa tersambung ke Padang, wong di Jakarta saja internet masih langka."

Rasa minder karena gaptek (gagap teknologi), khususnya gagap teknologi informasi (TI), tak membuat dia terasingkan. Justru ia bangkit dan ingin menguasai TI. Apalagi setelah membaca buku Nicolas Negroponte, Being Digital, keinginannya menjadi bagian dari warga digital semakin menggebu-gebu.

Jepang adalah titik awal persinggungannya dengan teknologi internet. Sekembalinya ke Tanah Air, pria kelahiran 12 September 1972 ini langsung mengejar ketertinggalannya. Tetap, bagaimana caranya? Kebetulan di kantor pos Padang saat itu sudah tersedia Wasantara.net, fasilitas milik PT Pos yang saat itu dipergunakan untuk mengirimkan wesel elektronik.

Lewat Wasantara.net itulah Budi Putra yang gemar menulis sejak duduk di sekolah menengah pertama membenamkan diri di depan komputer. Dia menelisik bagaimana internet digunakan dan apa manfaatnya.

"Saya bisa sewa sampai empat jam sehari. Padahal, saat itu biaya sewanya Rp 12.000 per jam," kata suami Elvi Susanti ini.

Liputan TI

Perkenalan Budi Putra dengan TI membawanya ke alam yang tidak jauh dari dunia itu. Saat ia menjadi wartawan koran Tempo, ia juga diserahi tugas meliput TI dan mengelola versi on-line. Dengan berbekal ilmu TI yang dimilikinya pula, Budi Putra memutuskan keluar dari koran itu, lalu sepenuhnya hidup dan menghidupi diri dari pengetahuan TI, khususnya internet.

Bagaimana caranya ia hidup independen dari internet? Menjadi blogger!

Itulah dunia usaha yang ditemukan Budi Putra dari hasil pengembaraan pengetahuannya tentang internet yang ia kenal saat berada di Jepang. Bagaimana blog alias catatan web pribadi itu bisa menjadi tumpuan kehidupan dan dapat digunakan sebagai tambang usaha? Budi Putra punya jawaban menarik.

Menurut dia, blog sekarang sudah tak bisa dianggap enteng dan sekadar pengisi waktu luang. Blog bisa berarti tambang uang. Technorati (situs pencatat web) mencatat, sampai September 2007 sudah terdapat 106 juta blog. Di Indonesia ada 130.000 blog. Sayang, tidak banyak orang tahu bagaimana menambangnya. Ada berbagai cara, tetapi Budi Putra "baru" menemukannya beberapa cara.

Pertama, blog yang mulai berkembang sejak 1998 itu adalah web yang bisa dipasangi iklan oleh pihak ketiga. Membuat blog sendiri gratis dari penyedia blog, seperti Blogger, Movable Type dan Wordpress. Pemasang iklan akan datang bila suatu blog diakses banyak visitor.

Kedua, memasang AdSense dari Google. Namun, nilai nominalnya sangat kecil karena bergantung pada lalu lintas web kita. Semakin banyak yang berkunjung, semakin tinggi kemungkinan iklan Google di web kita akan diklik oleh pengujung. Setiap iklan yang diklik itulah yang akan dibayar oleh Google.

Ketiga, menjadi pay blogger, yakni blogger berbayar. Seorang blogger dengan keahlian yang dimilikinya bisa diminta sebuah institusi media on-line untuk menulis kolom tetap. Pay blogger mendapat honor dari apa yang ditulisnya, besarnya antara Rp 300.000 dan Rp 500.000 per tulisan.

Keempat, blogger profesional bisa mengembangkan diri menjadi konsultan blog, tempat bertanya bagi perorangan atau perusahaan yang berminat membuat blog. Dia mendesain blog dan menjadi pembicara. "Saya memilih menjadi pay blogger dan konsultan blog," kata Budi Putra.

Karena merupakan tambang baru yang belum banyak digali orang, Budi Putra nekat meninggalkan pekerjaannya sebagai wartawan pada 1 Maret 2007. Ia sepenuhnya mencurahkan perhatian pada urusan blog, sampai-sampai profesi di kartu namanya pun tercantum sebagai blogger.

"Saya tidak malu, malah bangga," ucapnya.

Budi Putra mendirikan perusahaan blog, yang boleh jadi perusahaan blog pertama di Indonesia, Asia Blogging Network (ABN). Sementara sebagai pay blogger, ia rutin menulis untuk harian The Jakarta Post. Tempat Budi ngeblog antara lain di CNET Asia, The Asia Tech, Indonesia Tech dan 3Gweek. Untuk blog yang didirikannya, Budi Putra berhasil mengumpulkan 40 blogger yang dibayar untuk menulis olahraga, gaya hidup, bisnis, dan teknologi.

Koran masuk sekolah

Dilahirkan di Payakumbuh, perkenalan Budi Putra dengan dunia tulis-menulis dimulai sejak sekolah menengah pertama tahun 1987. Secara rutin tulisannya muncul di "Koran Masuk Sekolah" yang merupakan lembaran khusus Harian Singgalang. Saat sekolah menengah atas, tulisan dia dimuat antara lain di Tabloid Bola dan Majalah Gadis. Setelah reformasi pecah, tahun 1999 ia menerbitkan Harian Mimbar Minang.

Lahir dari pasangan Bachtiar dan Musril, keduanya guru di Payakumbuh, Budi Putra mengembangkan kariernya sebagai penulis. Tahun 2002 ia pindah ke Jakarta, bergabung dengan Grup Tempo. Kini, blogger yang sudah menulis lima buku teknologi internet ini mengajar di FISIP Universitas Indonesia tentang blog.

Untuk melengkapi pengetahuan, ia memiliki 30 buku khusus tentang blog. Ia kuliah S-2 bidang manajemen komunikasi di universitas di mana dia mengajar mahasiswa S-1. Tesis yang ia susun pun tak jauh dari blog, yakni Political Marketing Through Blog, dengan kajian tiga menteri yang aktif ngeblog.

Tuesday, November 13, 2007

Komentar Anda (2)


Blog "Abah" Iwan

SAYA mendapat surat dari Nurjamila, yang merupakan putri dari Iwan Abdulrachman, pencipta sekaligus penyanyi balada legendaris. Ia meminta dua postingan saya bisa dimuat di blog khusus Iwan Abdulrachman, yakni http://abahiwan.wordpress.com/. Dengan senang hati saya meluluskannya. Berikut surat Nurjamila yang ia tulis dalam bahasa Sunda, yang kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

Nurjamila meninggalkan pesan pada postingan "Catatan: Belajar dari Iwan Abdulrachman (3)":

Punten kang Pepih, nepangkeun abdi putri Abah Iwan. Bade ngiring copy seratan akang, ku abdi bade dilebetkeun ka blog Abah. Tiasa ditingal di abahiwan.wordpress.com. Eta teh kempelan seratan sobat-sobat abah, sareng kempelan artikel-artikel anu ngamuat perkawis pun bapa. Hatur nuhun sateuacanna.

(Maaf kang Pepih, perkenalkan saya putri Abah Iwan. Ingin ikut mengkopi tulisan akang, saya akan memasukkannya ke dalam blog Abah. Bisa dilihat di http://abahiwan.wordpress.com. Itu merupakan kumpulan tulisan sahabat-sahabat abah, dan kumpulan artikel yang memuat tentang ayah saya. Terima kasih sebelumnya.)

Di bawah ini balasan saya, juga dalam bahasa Sunda, yang intinya saya menyilakan Nurjamila mengambil tulisan saya untuk dimuat di blog Abah Iwan Abdulrachman. Saya katakan, saya juga berniat memuat cerita tentang Abah Iwan itu dalam blog bahasa Inggris saya di http://pepih.wordpress.com/ (pepih's pepblog), sekaligus menerjemahkan lirik lagu-lagunya ke dalam bahasa tersebut. Berikut balasan saya:

Hatur nuhun, sami-sami nepangkeun. Bingah pisan Salira tiasa rurumpaheun ka ieu blog. Perkawis bade dikopi mah, mangga teu langkung, ngiring bingah. Abdi oge tangtos kantos ningalian blogna Abah, saminggu kapengker.

Kapayunanna, sim kuring gaduh rencana bade nyerat blog nganggo basa Inggris di alamat
http://pepih.wordpress.com (pepih's pepblog) ngeunaan Abah Iwan sacara berseri, komplit sareng teks laguna nu Insya Allah bade diterjemahkeun kana basa Inggris.

Dupi maksad mah bade nepangkeun Abah Iwan ka Mancanagara salaku aset nasional. Sanes kanggo dibisniskeun da maksad ngadamel blog mah mung sakadar iseng-iseng aya manfaat. Upami kawidian, Insya Allah abdi nepangan salira di Bandung, tos komo tiasa ngobrol sareng Abah Iwan mah. Pangdugikeun salam kareueus sareng hormat sim kuring ka Abah. Hatur nuhun.

Pepih Nugraha

Monday, November 12, 2007

Catatan (33): Resensi Adhi KSP


Resensi untuk Beranda t4 Berbagi


BUKAN Bermaksud pamer atau narsis kalau saya cantumkan tulisan sahabat saya, Robert Adhi Kusumaputra, yang meresensi blog Beranda t4 Berbagi di blog miliknya. Resensi ini sangat bermakna, paling tidak buat saya sendiri, karena mampu menyemangati dan memacu saya untuk terus berbagi pengalaman menulis di blog ini.

Adhi adalah wartawan Kompas, yang berarti satu kolega dengan saya. Ia punya blog yang sangat impresif karena dikunjungi ratusan ribu orang dari ratusan negara. Ia sangat-sangat rajin memperbarui postingannya, juga dengan sabar membalas semua orang yang meninggalkan jejak berupa pesan-pesan. Ia sangat rajin bekerja dan selalu menikmati hari-harinya.

Berikut resensi Adhi mengenai blog saya dengan penambahan foto diri saya yang paling baru tahun 2007 (foto di atas), setidak-tidaknya lebih baru dari foto yang dicantumkan Adhi untuk melengkapi resensinya, yakni pasfoto saya tahun 1998 lalu:


Pepih Nugraha, Beranda t4 Berbagi


BLOG Pepih Nugraha adalah salah satu blog wartawan Kompas yang aktif dan selalu di-update. Blog yang dibuat sejak Februari 2006 ini berisi berbagai pengalaman Pepih, termasuk kiat-kiat menulis. Karena dia suka catur, blog ini pun beberapa di antaranya berisi permainan catur.

Memang, blog bisa berisi apa saja yang diinginkan pemiliknya. Pepih mengisi blognya sesuai dengan hobinya. Tapi alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung ini tak lupa membagi ilmu. Beberapa isi blognya tentang "berbagi pengalaman menulis" yang dimuatnya berseri.

Bagi mereka yang ingin memulai menulis, tentu blog Pepih ini sangat bermanfaat. Setidaknya ada pengetahuan yang dapat dipetik. Satu hal yang diyakini Pepih adalah tentang masa depan blog atau weblog, yang dapat menjadi kekuatan baru, mengalahkan mainstream media. Setiap orang adalah wartawan. Apapun yang ditulis di blog, langsung dapat dibaca jutaan orang di dunia berkat internet.

Blog Pepih yang pernah menjadi "Click of the Week" versi Maverick Indonesia ini, menegaskan bahwa kita bisa menulis apa saja, tentang apa saja dari kehidupan sehari-hari kita. Mulailah menulis catatan harian, demikian pesan Pepih.

Saya kutip kalimat Pepih di blognya: Tidak ada yang lebih menyenangkan selain bisa berbagi pengalaman, syukur kalau di dalamnya terselip ilmu yang bisa dimanfaatkan. Hal tersulit dalam menulis adalah memulai. Maka, jangan pernah ia musuhi. Jadikan memulai sebagai sebuah tantangan, bukan tentangan. Menulis saat bahagia itu biasa, baru luar biasa jika bisa menulis dalam keadaan berduka, tertekan atau bahkan terluka. Biasakan menulis sekalipun dalam suasana hati yang ekstrem, dalam lara maupun suka. Bukankah susah dan senang hanyalah permainan rasa belaka...

Tuesday, November 06, 2007

Berbagi Pengalaman Menulis (38)


Apa Syarat Menulis Opini Kompas ? (Bagian 4)

ARTIKEL atau opini yang ditulis untuk Harian Kompas, menunjukkan siapa, apa dan bagaimana kapasitas penulisnya. Untuk itu, artikel yang ditulis oleh dua orang atau lebih sudah otomotis akan dianulir alias dikembalikan kepada para penulisnya. Artikel mutlak harus ditulis sendiri, tidak boleh tandem.

Mengapa artikel harus ditulis sendiri? Sebab artikel itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh penulisnya sendiri. Ibarat mempertahankan skripsi, tesis atau disertasi, semua harus dilakukan sendiri oleh penulisnya. Bukankah tidak ada yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi secara keroyokan? Begitu pula menulis artikel.

Memulai menulis bukan berarti harus tandem dengan penulis yang sudah jadi atau ternama. Asumsinya, penulis ternama yang sudah biasa menulis di media massa, adalah jaminan mutu. Dengan demikian ia bisa "mempromosikan" kolega, kerabat atau keluarganya untuk "sama-sama" menulis. Sebaliknya, penulis baru bisa mendompleng nama penulis yang sudah dikenal. Pokoknya asalkan nama penulis itu bisa termuat di koran. Alhasil, artikel ditulis oleh dua orang atau lebih. Ini tidak boleh dilakukan kalau ingin menulis artikel di Kompas. Sendiri saja dan percaya diri sajalah.

Atribusi atau penyebutan yang melekat ke dalam diri penulis, juga harus menunjukkan kepakaran penulisnya. Misalnya: Polan, penulis adalah Dokter Bedah. Atau penulis adalah Peneliti LIPI, atau penulis adalah Guru Besar Linguistik, atau bahkan penulis adalah Guru TK, dan seterusnya. Jadi, tidak ada lagi atribusi yang menyebutkan bahwa penulis adalah pengamat seni atau penulis adalah penikmat sastra. Tidak ada lagi atribusi yang tidak menunjukkan kepakaran penulisnya.

Pengamat dan penikmat meskipun bisa dan mampu menulis, tetapi tentu saja kedalaman bahasan yang mereka tulis akan berbeda dengan penulis yang sudah teruji kepakarannya. Namanya juga pengamat apalagi penikmat, hal itu bisa dilakukan sambil lalu saja, tidak benar-benar mendalami persoalan yang ditulisnya. Padahal, pembaca artikel atau opini Kompas tidak sedang membaca sambil lalu. Para pembaca memerlukan opini yang mencerahkan, sesuatu yang baru atau setidak-tidaknya ada kebaruan (novelty), suatu bahasan atau kajian yang berbeda dari yang lain dan syukur kalau bisa memberikan inspirasi.

Postingan berikutnya, masih soal tips menulis artikel untuk Kompas, yakni menyangkut substansi yang dibahas dalam artikel. Harap bersabar.....

Saturday, November 03, 2007

Komentar Anda (1)





Komentar Priyady atas "Teh Ida"






KEBETULAN saya orang Majalaya, saya kira penggunaan kekerasan untuk memenangkan persaingan bisnis, pada jaman sekarang seharusnya dikurangi kalau tidak bisa dihilangkan, dan diganti dengan persaingan sehat seperti kualitas, harga, pelayanan ,purnajual dll.


Penggunaan kekerasan dalam persaingan tidak membedakan manusia sebagai mahluk sempurna dengan mahluk lainnya, seperti binatang akan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan daerah kekuasaanya (mempertahankan makanan dan betina-betinanya) dimulai penandaan batas wilayah dengan kencingnya sang pemimpin binatang di suatu tempat/pohon dan usaha pengusiran dengan kekekrasan kalau ada binatang lain yang akan mencoba memasuki daerah kekuasaan.


Dampak lain akan timbul saling balas dendam, orang Majalaya akan memperlakukan hal yang sama apabila ada pesaing dari karawang. Balas dendam ini juga merupakan perilaku standar semua mahluk, harus nya manusia tidak berperilaku standar seperti kebanyakan mahluk karena manusia adalah mahluk sempurna dan menjadi khalifah di muka bumi.


Sekian dari saya, ini hanya komentar saja. Selanjutnya saya mau konfrimasi apakah pemilik blogger ini berasal dari Ciawi,Tasik pernah tinggal di Cikoko Barat belakang bank Bukopin, temennya Sofyan Halim dari Tasik, tinggal di lantai atas , suka memutar lagu cianjuran? kalau betul saya adalah pengagumnya, saya mengucapkan selamat atas kesuksesan karirnya , semoga terus maju dan sukses, serta jadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan agama.


Karena hidup hanya sementara dan satu kali, sehingga kalau hidup tidak berguna untuk kehidupan ini, sangat disayangkan (ini hanya pendapat saya aja), saya yakin bapak Pepih ini adalah manusia pilihan yang sangat berguna bagi kehidupan ini, amiin.


Balasan saya:


Terima kasih atas komentarnya Kang Priyady, setidak-tidaknya saya mengakangkan saja, daripada menyebut Akang dengan sapaan "Bapak". Bukankah Kang Priyady orang Majalaya?


Begitulah, Kang, saya hanya mengungkapkan apa adanya dari apa yang dituturkan Teh Ida (lihat Catatan: Menyapa Warga-1) , seseorang yang saya temui begitu saja di jalanan. Maaf kalau saya terpaksa harus menyebut Majalaya, kota kelahiran Akang (?), bukan bermaksud mengkonfrontasikan antara orang Karawang dengan orang Majalaya. Mungkin kebetulan saja yang ingin mencari nafkah sebagai pembeli/penjual beras itu orang Majalaya.


Tentu saya setuju soal keharusan tidak ada batas wilayah dalam hal mencari nafkah. Bukankah para bapak pendiri negeri ini telah bersepakat bahwa kita bernaung dalam payung NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Logikanya, kita mau hidup, mencarii nafkah, menitipkan badan, bisa di lingkup NKRI. Sentimen kesukuan, ras, golongan dan agama harus dihilangkan jika kita bersepakat hidup dalam ikatan keindonesiaan. Bukan begitu, Kang?


Bahwa ada orang yang bersikap seperti suami Teh Ida, mungkin orang seperti inilah yang butuh pencerahan kita bersama. Kita tidak boleh tersulut atau terprovokasi, tetapi cukup memaklumi bahwa masih ada di antara kita orang-orang yang rela mati dan bermusuhan hanya karena urusan rejeki, yang kita yakini itu semua diatur oleh Allah.


Soal bahwa saya pernah kost di Cikoko Barat selama kurun waktu 1990-1992 dan teman Sofyan Halim, seratus persen benar. Semoga kita bisa bertemu kapan-kapan. Hanya saja mohon maaf jika saya tidak bisa menelusur lebih jauh keberadaan Akang.

Citizen Journalism (10)





Hari "Blog Nasional"



SABTU, 27 Oktober lalu, saya berkesempatan menghadiri "pesta blogger" di Mega Blitz, Jakarta. Luar biasa antusiasnya para blogger yang datang dari penjuru tanahair dan bahkan luar negeri itu. Saya bersama wartawan Kompas lainnya, Robert Adhi Kusumaputra, bersepakat akan menuliskan peristiwa itu dalam sebuah tulisan yang lebih detail. Adhi juga menggarap hotspot peristiwa ini untuk Kompas.com.



Adhi menulis laporan utama peristiwa itu (klik http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0711/02/telkom/3966897.htm), sementara saya melengkapinya dari persperktif lain, yakni suatu missi mengajak orang, siapa saja dan lebih khusus lagi wartawan, untuk jangan malu memulai membuat blog. Tulisan pelangkapi bernada provokatif, dalam arti mengajak orang itu di muat di Harian Kompas, Jumat 2 November 2007, bisa sahabat lihat di bawah ini, sementara foto di atas saya ambil saat peserta pesta blogger memilih blog terbaik berbagai kategori:



BLOG

Jangan Malu Memulai!



Pepih Nugraha



PADA masa awal kelahirannya, blog atau situs pribadi dianggap sebelah mata, bahkan cenderung dilecehkan. Sampai sekarang pun sikap nyinyir terhadap blogger tidak pernah hilang. Disebutlah blogger itu narsis yang buang-buang waktu percuma. Persis lahirnya sebuah revolusi, kehadiran awalnya diragukan.



Sekarang, orang yang melek internet tetapi belum nge-blog, istilah merujuk aktivitas dalam membuat dan mengisi blog, dianggap tertinggal zaman. Blog sudah menjadi gaya hidup, mulai dari anak sekolah dasar, selebriti, sampai menteri. Bahkan, 94 dari 96 surat kabar cetak terbaik di Amerika Serikat memiliki blog. Hanya empat surat kabar saja yang "jadul" alias terseret zaman karena tidak memiliki blog.



Jelaslah, di belahan dunia sana blog sudah masuk salah satu kriteria penting sebagai penentu berkualitas tidaknya sebuah surat kabar. Beberapa surat kabar cetak di Indonesia sudah memiliki kesadaran lebih dini dengan membuat blog sebagai tempat curhat para wartawannya atau tempat mengekspos kegiatan keseharian surat kabar itu, yang tidak mungkin termuat dalam surat kabar.



Di Eropa atau Amerika, surat kabar online pun memiliki blog sendiri-sendiri, plus blog pribadi wartawannya yang bisa diklik di jajaran navigasi global pada tampilan surat kabar online tersebut. Ada "cerita di balik berita" yang lebih bebas terungkap dalam blog, yang kadang justru lebih menarik daripada peristiwa itu sendiri. Ada forum dialog intens yang hangat antara wartawan dan para pembaca. Ada keakraban di sana.



Seluruh wartawan, editor, dan pemilik surat kabar bisa disapa serta ditanya tentang berbagai hal. Wartawan yang menulis berita tidak lagi asal lempar tulisan setelah itu tutup telinga: "terserah tulisanku mau dibaca atau tidak, pokoknya masa bodoh". Hubungan antara koran yang diwakili wartawan dan para pembacanya menjadi berjarak. Wartawan kerap dicap sebagai "orang pintar" yang duduk di menara gading, yang sulit dan tidak bisa disapa pembaca.



Akan berbeda persoalannya jika sebuah surat kabar memiliki blog sendiri. Suasana lebih akrab bisa terjalin karena dipersatukan minat yang sama. Wartawan yang biasa menulis rubrik khusus, seperti otomotif, teknologi informasi, dan politik, memiliki "basis massa" pembaca yang luar biasa besar.



Sayang, selama ini aliran informasi hanya satu arah sifatnya. Tidak ada dialog interaktif untuk menangkap umpan balik (feedback) pembacanya, yang kemungkinan ada persoalan baru lainnya yang muncul dari hasil dialog interaktif itu untuk bahan tulisan berikutnya. Bukankah dalam dunia media online ada adagium bahwa berita adalah percakapan itu sendiri?



Wartawan memang manusia supersibuk yang tidak punya waktu membalas sapaan pembacanya di blog. Membalas sapaan pembaca di blog berarti buang-buang waktu sehingga waktu untuk menulis tersita. Tentu saja wartawan tidak harus memelototi blog tiap hari. Kalau tidak punya waktu, barangkali cukup seminggu sekali, sebulan dua kali, atau boleh juga sebulan sekali. Sekadar "say hello" saja kepada pembacanya.



Maka, berkumpulnya para blogger dari berbagai penjuru Tanah Air di Blitz Megaplex Jakarta, 27 Oktober lalu, menjadi penting. Selain menunjukkan keberadaan para blogger, ada semangat memperekat komunitas blogger. Meski belum pernah bertemu secara fisik dan hanya bertutur sapa di dunia maya lewat media maya, toh pertemuan itu menjadi "kopi darat" pertama yang terbesar.



Beberapa wartawan peliput acara yang kemudian diklaim sebagai "Hari Blogger Nasional" itu adalah blogger, karena kesadaran mereka untuk berada dalam satu komunitas yang sama, yang sudah terbiasa saling menyapa dalam dunia maya.



Jumlah 130.000 blogger Indonesia belum apa-apa dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sudah menyundul angka 230 juta jiwa. Namun, melihat antusias orang yang terus membuat blog di seluruh dunia, jumlah itu rasanya terlalu kecil. Tengok Wordpress, salah satu situs penyedia blog terdepan saat ini, di mana setiap harinya mencatat 50.000 pembuat blog baru. Anda? Jangan malu untuk memulai!