Saturday, June 16, 2007

Catatan (21): Koran Jepang



Koran Lama




TAHUN 2002 lalu, saat saya menjadi Kepala Biro Indonesia Timur berkedudukan di Makassar, saya mendapat tugas ke Fukuoka, Jepang. Undangan datang dari pemerintah provinsi setempat (perfektur). Saya berangkat sendiri menggunakan JAL dari Jakarta. Mendarat di Narita Tokyo, lalu masih meneruskan perjalanan ke Fukoka dengan pesawat berbeda.


Saya menyiapkan beberapa tulisan, yang tentu saja sudah dimuat di Harian Kompas tidak lama setelah saya kembali ke Jakarta, kemudian ke Makassar. Kelak, saya akan melampirkan beberapa tulisan hasil perjalanan saya ke Fukuoka di sini.


Dalam satu sesi, saya berkesempatan mengunjungi koran lokal, namanya Nipponishi Shimbun. Saya menyaksikan proses mereka rapat sore dan menentukan perencanaan buat besok. Saat saya makan malam dengan ikan yang serba mentah (sushi), saya bisa bertatap muka dengan sejumlah wartawan, seusia saya kira-kira.


Harus saya katakan, saya tidak begitu menikmati ikan mentah, apalagi beberapa ikan yang disajikan dan telah diiris-iris berbentuk fillet itu masih hidup! Tidak tega rasanya, meski orang Jepang bilang "Oh, I'm sorry," sebelum men-chop ikan malang segar itu.


Sehabis makan, saya didaulat berfoto-foto. Lalu salah seorang editor meminta saya menuliskan kesan perjalan saya untuk korannya. Saya menyetujuinya. Sesampainya di Makassar, teman Jepang ini menagih lagi lewat imel. Saya ladeni permintaannya. Saya menulis menggunakan bahasa Inggris (yang pasti kacau balau), sebab tanpa disadari, inilah artikel pertama yang saya tulis dalam bahasa Inggris!


Artikel itu kemudian mereka terjemahkan dalam bahasa Jepang untuk dimuat, plus headshot saya yang mereka ambil diam-diam. Isinya mengenai suka-duka saya ditempatkan di Makassar yang harus meliput hot area alias daerah-daerah rawan konflik seperti Ambon, Papua, dan Poso. Saya tidak punya lagi kopian artikel dalam bahasa Inggris itu, mungkin masih nyangkut di komputer yang saya gunakan di Makassar.



Konon pula, koran itu memberi honor atas pemuatan tulisan itu, tetapi saya tidak pernah tahu karena Kompas tidak pernah memperkenankan kita menerima apapun dari pihak lain selain dari Kompas sendiri. Bagi saya, tulisan itu untuk mempererat tali silaturahmi saja, antara saya dan kawan-kawan Jepang saya. Tidak ada urusan bisnis, apalagi mendua dari Kompas. Setiap wartawan yang berkunjung ke Jepang, juga selalu diminta untuk membuat tulisan baik tentang perjalanan ke negeri sakura itu ataupun pengalaman meliput di tanah air, seperti yang saya tulisa kemudian.


Saya ternyata masih menyimpan koran asli Nipponishi Shimbun yang terselip di perpustakaan kecil pribadi saya di lantai dua. Saya ambil kamera dan memotret bagian foto diri saya, sementara tulisannya tidak bunyi sama sekali karena saya memang tidak bisa membaca hiragana, katakana, maupun kanji. Hanya foto itulah yang berbicara...

No comments: