Monday, June 30, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (62)

Menulis Perjalanan (1)


SETELAH menulis perjalanan ke Pulau Galang di Batam beberapa waktu lalu, saya tertantang menulis setiap perjalanan yang saya lakukan. Saya tertantang menulis tempat-tempat yang saya kunjungi. Bagi saya, setiap tempat di dunia ini punya masing-masing hikayat. Tidak ada salahnya kalau saya mencatat kembali setiap perjalanan yang saya lakukan ke tempat manapun yang saya kunjungi.

Kali ini saya menulis catatan perjalanan ke Saung Angklung Udjo di Bandung. Saya menulisnya dalam dua bagian yang kemudian dimuat di http://www.kompas.com/. Selain bisa langsung klik di kolom Travel Story, Sahabat bisa juga mengikuti dua tulisan itu di bawah, mulai hari ini dan besok.




Simfoni Mozart dari Buluh Bambu (1)

Oleh PEPIH NUGRAHA

Benarkah ada USA di Padasuka Bandung? Kalau yang dimaksud United States of America alias Paman Sam, jelas tidak mungkin ada, kecuali beberapa gelintir warganya yang jadi pelancong. Tetapi kalau USA berarti Udjo Saung Angklung, saya baru percaya. Soalnya sudah sejak lama saya mendengar sanggar kesenian alias padepokan seni di Bandung, Jawa Barat, ini yang bernama Saung Angklung Udjo.

Benar, nama aslinya memang Saung Angklung Udjo (SAU), bukan USA. Tetapi terus terang, nama USA malah menggelitik rasa ingin tahu orang, termasuk saya.

Kerap saya berkunjung ke Bandung setelah selama lebih 18 tahun meninggalkan kota berjuluk Kota Kembang atau Bumi Parahyangan ini karena bekerja di Jakarta. Antara tahun 1985-1990, saya menghabiskan waktu menuntut ilmu di perguruan tinggi di kota ini. Setiap kali ke Bandung, wisata yang paling kerap saya kunjungi tidak lain wisata kuliner. Maklum, Bandung dikenal sebagai surganya jajanan.

Jadi, wisata ke Bandung kali ini agak lain. Bukan wisata melihat eloknya pemandangan alam Parahyangan yang hijau di lihat dari Gunung Tangkuban Parahu, bukan wisata mandi air panas di Ciater, bukan mengunjungi “saudara tua” di Kebon Binatang (Bonbin) Bandung yang sangat kawentar ka janapriya (terkenal ke seluruh dunia) itu, bukan pula wisata rohani dan religi ke makam-makam orang suci dulu, juga bukan wisata kuliner yang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya bermaksud wisata seni dengan mengunjungi Saung Angklung Udjo. Ada mungkin bertanya, apa iya itu wisata?

Ah, saya tidak terlalu peduli dengan istilah. Juga terminologi wisata seni yang barangkali belum bisa diterima dan masuk dalam khasanah ilmu pariwisata. Bagi saya, selain ruh ini di-refresh dengan pertunjukkan kesenian angklung, juga dapat melihat budaya setempat secara langsung. Kita tinggalkan dulu perdebatan soal istilah, mari kita melanjutkan perjalanan.

Melesat dari Jakarta menelusur Jalan Tol Cikampek lantas bersambung terus ke Tol Cipularang, tidaklah terlalu sulit. Memang itu jalan yang paling mudah. Kalau naik kendaraan umum bus, misalnya, dari Jakarta bisa dari dua terminal utama, yakni Lebak Bulus dan Kampung Rambutan. Bus berhenti di terminal Leuwipanjang. Dari terminal ini naik angkot ke jurusan Terminal Cicaheum. Wisata dengan menggunakan sepeda motor tentunya jauh lebih mudah lagi karena bakal terhindar dari kemacetan di beberapa ruas jalan di Bandung ini.

Karena lokasinya berada di Jalan Padasuka No 118, paling gampang memang keluar dari gerbang tol Pasteur, dengan catatan membawa kendaraan roda empat sendiri. Setelah keluar dari gerbang tol Pasteur, terus saja lurus ke arah Jalan Suci menuju Terminal Cicaheum. Sebelum sampai ke Terminal Cicaheum, terdapat Jalan Padasuka yang berbelok ke kiri, jalan dua arah yang menuju padepokan seni Saung Angklung Udjo.

Terus terang, hal yang mendorong saya ingin mengetahui padepokan seni ini gara-gara panas hati dengan negara tetangga kita, Malaysia, negara yang gemar main klaim khasanah budaya milik orang lain, termasuk angklung ini. Masak setelah Reog Ponorogo, batik, dan lagu Rasa Sayange diklaim miliknya sebagaimana halnya Sipadan dan Ligitan, giliran angklung Jawa Barat mau dimiliki pula. Wah, benar-benar tak tahu diri, pikir saya.

Seingat saya, saat pertama kali duduk di kelas satu sekolah dasar tahun 1972 lalu, guru-guru sudah memperkenalkan alat musik tradisional terbuat dari buluh bambu ini. Bagaimana mungkin itu jadi milik Malaysia? Untuk klaim yang satu ini hati saya berteriak, “No Way!”

Ironisnya, saat saya tiba di Saung Angklung Udjo, Minggu tanggal 25 Mei lalu, sebuah bus besar sudah terparkir di halaman padepokan seni yang luas dan rimbun itu. Saya melihat serombongan orang turun dan langsung menyerbu galeri di padepokan itu untuk belanja. Saya dengar percakapan mereka yang bercampur antara bahasa Melayu dan Inggris. Tidak salah, ini pasti pelancong Malaysia, duga saya.

Dugaan saya tidak terlalu meleset. Seorang penjaga tiket melalui telepon yang saya kuping mengabarkan mengenai kedatangan pelancong ini. “Lima puluh orang dari Malaysia, Bu,” katanya. Tuh, benar ‘kan Malaysia!

Di luar bahwa mereka suka main klaim, diam-diam saya merasa bersyukur atas kedatangan para pelancong negeri tetangga ini. Bukan karena mereka mendatangkan devisa dan berbelanja banyak oleh-oleh karya seni di Saung Angklung Udjo, tetapi sekaligus ingin sekali kami menunjukkan bahwa angklung adalah anak kandung Bumi Pertiwi, angklung sedemikian mendarah-dagingnya dalam tubuh Tanah Air kami. Wah, tiba-tiba rasa keindonesiaan saya mulai meledak dan menjalari urat nadi.

Beberapa turis bule dan turis Asia lainnya, dari Jepang dan Korea, juga hadir atas jasa baik travel yang mengantarkan mereka ke Saung Angklung Udjo ini. Umumnya para pelancong tidak tahan melihat berbagai kerajinan yang berjejer dan tertata rapi di galeri itu. Antara lain miniatur alat-alat musik berbagai warna seperti gitar, drum, gamelan dan goong (gong), bahkan kendang rampak dan kacapi, alat musik petik khas Sunda. Wayang golek berbagai ukuran juga banyak diminati. Yang terbanyak tentu saja angklung itu sendiri, baik angklung ukuran asli yang bisa dimainkan, maupun angklung akseseoris yang bisa dikalungkan di leher.

Karena saya datang bersama keluarga, kami memesan tiket seharga Rp 50.000 perkepala untuk pertunjukkan yang dimulai pukul 15.30 itu. Sebagaimana warga Jawa Barat, para petugas sangat someah alias sopan, mudah senyum, dan responsif jika diminta pertolongan. Saya berkeliling dulu di galeri yang tempatnya berdampingan dengan gedung pertunjukkan utama, bangunan dengan ruangan yang sangat terbuka berbentuk lingkaran.

Saya membeli seruling mini sebesar kelingking yang harganya Rp5.000. Memang harganya variatif, dari mulai Rp5.000, Rp 10.000, Rp 15.000 sampai termahal Rp 25.000. Entah mengapa saya memilih seruling yang paling mungil, yang dalam bahasa Sunda disebut suling ini. Bukan karena keberatan mengeluarkan uang lebih mahal dari suling yang saya beli, tetapi karena saya memang suka yang kecil-kecil.

Tidak seperti tangga nada diatonis yang memiliki 7 nada (do-re-mi-fa-so-la-ti), suling Sunda yang saya beli hanya memiliki 5 nada, yakni da-mi-na-ti-la. Saya mencoba meniupnya dan mencoba menyanyikan lagu Pat Lapat, sebuah lagu melankolis yang sangat terkenal di Tatar Sunda. Lagu itu menceritakan sebuah perahu layar yang terombang-ambing gelombang, yang layarnya putih dan semakin mengecil karena terdorong ke tengah oleh ombak, yang kemudian hilang dari pandangan mata.

Ternyata tangan saya masih terampil memainkannya. Alhasil suara suling itu ngagelik (suara melankolis) seakan-akan ditiup oleh maestro dadakan. Di rumah sesekali saya memang meniup recorder, sehingga tidak aneh dengan suling Sunda yang cenderung bersuara melankolis ini. Adakah dalam pertunjukan nanti lagu Pat Lapat ini dimainkan? Saya tidak tahu.

Tetapi sebelum pertunjukan dimulai pukul 15.30 hingga 17.30 menurut jadwal, saya berkesempatan jalan-jalan di seputar padepokan seni karena memang masih punya banyak waktu. Tentu saja saya melihat bagaimana cara pengrajin membuat angklung yang banyak diekspor ke luar negeri ini.

Di Saung Angklung Udjo ini, ada dua tempat pembuatan angklung yang dibiarkan terbuka. Maksudnya agar pengunjung juga dapat melihat proses pembuatannya. Ini juga sekaligus atraksi yang menawan, kerena membuat angklung tidak semata-mata menyusun bilah-bilah bambu yang direnteng dan menghasilkan suara dengan cara digerak-gerakkan itu. Membuat angklung selain harus memiliki keterampilan “tukang”, juga dituntut memiliki kepekaan seni tinggi karena ini terkait dengan ilmu bunyi. (bersambung)

Thursday, June 26, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (61)

Jubing dan "Hujan Fantasy"


SAYA ingin menekankan pentingnya memelihara sumber. Sebagai jurnalis, sebaiknya "say hello" kepada sumber yang pernah kita wawancarai atau kita tulis, tetap dilakukan meski kerap kita tidak bertemu lagi. Ini untuk memelihara hubungan personal sekaligus mengusir anggapan lama bahwa wartawan punya prinsip "habis manis sepah dibuang".

Salah satunya, saya tetap memelihara hubungan baik dengan gitaris akustik Jubing Kristianto. Bukan karena saya telah menulis profilnya, tetapi saya merasa memelihara hubungan itu amat penting untuk menyerap informasi terbaru dari "dunia" yang digelutinya. Maka saat Mas Wandy Gotama mengirim saya sampel CD permainan gitar Jubing berjudul Hujan Fantasy, dan sehari sebelumnya Jubing berkirim surat elektronik menceritakan akan meluncurkan CD terbarunya, saya pun menulis resensi CD itu setelah mendengarkannya bolak-balik.

Resensi saya tulis untuk http://www.kompas.com/ di rubrik Entertainment dengan agak leluasa karena tidak ada batasan space. Tulisan itu bisa Anda baca di bawah ini:



Jubing Ber-"Fantasy" Lagi Lewat Gitar

JAKARTA, RABU - Gitaris papan atas Jubing Kristianto dalam waktu dekat akan meluncurkan album gitar keduanya, Hujan Fantasy, Exploring Solo Acoustic Guitar Music II. Album Hujan Fantasy, dalam bentuk CD (compact disc), ini hadir setelah sukses Becak Fantasy, yang dilansir Mei 2007.

"Peluncuran album Hujan Fantasy akan saya laksanakan 16 Juli 2008 mendatang di Bentara Budaya Jakarta. Di acara itu ada keterangan pers dan konser solo gitar saya," kata Jubing, Rabu (25/6).

Pada album kedua ini, Jubing, gitaris kelahiran Semarang 42 tahun lalu, memperkenalkan permainan gitar akustik yang mengalir, lincah, dan tak terduga. Tidak terduga karena Jubing dengan mudah beralih dari nada mayor ke minor atau mengalihkan permainan gitar petik menjadi gitar kocok dan dinamis dengan tetap memelihara melodi.

Jubing membuka album tersebut dengan lagu Aku Cinta Dia (Adjie Soetama), yang beken dinyanyikan almarhum Chrisye. Ia kemudian meloncat ke lagu kedua, Bengong Jeumpa, lagu rakyat Aceh yang sangat terkenal se-Nusantara, bahkan sampai ke semenanjung Malaysia. Jubing membuat intro maupun koda Bengong Jeumpa dengan irama padang pasir. Alunan gitarnya menjadi persis seperti gambus. Lagu inipun sebenarnya layak diunggulkan dari album tersebut.

Dalam Bengong Jeumpa, suami dari penulis cerita anak-anak Reny Yaniar ini menampilkan teknik "gitar betot". Bahkan, nada harmonik yang dihasilkan dengan tidak memetik senar seutuhnya itu dipadu dengan teknik memukul-mukulkan ibu jari ke bas sehingga menimbulkan efek khusus. Pelan nyaris hilang, tetapi kemudian bergelegak lagi. Belum lagi, Jubing memukul badan gitar sambil mengocok gitar sehingga menghasilkan suara tabla dan meningkahinya dengan petikan tremolo yang bergetar.

Tidak pelak lagi, sesuai judul albumnya, Hujan Fantasy, Jubing mengunggulkan komposisi Hujan, lagu anak karya mendiang Ibu Soed. Anak-anak Indonesia mungkin sudah sangat akrab dengan lirik, "Tik tik tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira….” Lagu sederhana itulah yang diunggulkannya, lebih di atas lagu-lagu lain seperti Every Breath You Take (ciptaan Sting), I Wanna Hold Your Hand (John Lennon/Paul McCartney), dan bahkan Bohemian Rhapsody (Freddie Mercury).

Dalam Hujan Fantasy, Jubing mengaransemen sekaligus memainkan lagu tersebut menjadi sebuah keajaiban sekaligus fantasi. Persisnya, keajaiban bunyi alat musik berdawai bernama gitar dan fantasi yang mengajak kita masuk ke dunia masa silam. Lagu itu menjadi indah, tetapi dengan teknik permainan yang amat rumit. Jubing mengeksplorasi enam dawai gitar dari nada tertinggi sampai nada terendah sedemikian cepat, tetapi nada-nada yang dihasilkannya tetap mengalir bening.

Pada Hujan Fantasy ada teknik harmonik. Bahkan, lagu yang bernada mayor tersebut tiba-tiba saja tergelincir menjadi bernada minor. Melankolik sekali jadinya. Dengan gaya komponis Fernando Sor, yang biasa disajikan oleh duo John William dan Julian Bream, Jubing mengakhiri Hujan Fantasy dengan meremas-remas gitar akustiknya sampai kemudian fade away atau mengilang dari pendengaran.

Kalau ingin mengagumi permainan gitar akustik sesunggunhnya dengan aransemen menawan, dengarlah lagu Bohemian Rhapsody, yang kondang dinyanyikan oleh Freddie Mercury dari Queen. Telah banyak pemusik mengaransemen lagu itu dan memanggungkannya dalam festival dan resital gitar. Untuk yang satu ini, Jubing boleh dibilang mempertontonkan kehebatannya yang paling tinggi dalam teknik bermain akustik.

Masih banyak lagu lainnya, seperti Madu dan Racun, sebuah lagu yang meledak pada pertengahan 1980-an lewat vokal Arie Wibowo. Jubing memainkannya dengan irama sedikit ndangdut, meski tentu saja irama dangdut paling santer terdengar pada lagu Pengalaman Pertama, lagu dangdut yang dibawakan penyanyi A Rafiq.

Pada lagu Gundul-gundul Pacul, yang direkam secara live saat konsernya di sebuah mal di Yogyakarta, Jubing ditemani perkusionis Suryadi Plenthe. Lagu anak-anak gubahan RC Hardjasoebrata itu disulap menjadi sebuah komposisi asyik yang banyak mengundang tepuk tangan para penonton.

Di bawah ini 15 lagu dalam album Hujan Fantasy, yang direkam oleh Indo Music:
1. Aku Cinta Dia 2. Bengong Jeumpa 3. Once Upon A Rainy Day 4. Hujan Fantasy 5. Bohemian Rhapsody 6. Madu dan Racun 7. Astaga 8. Every Breath You Take 9. Moonrise 10. Windbells 11. Rickshaw 12. Gundul-gundul Pacul 13. Ye Liang Tai Wo Tie Sien 14. I Wanna Hold Your Hand 15. Pengalaman Pertama.

Komentar Anda:

vicrie
@ Jumat, 27 Juni 2008 15:23 WIB
Nuansa yg berbeda yg dihadirkan oleh Mr.Jubing ini emg bikin saya geleng2...Anda pun sebagai penikmat dari musik2 Mr. Jubing pasti demikian.. Penampilan yg santai dg High Skill-nya itu yg membuat orang takjub..Cuma di Singapore saya ga bisa hadir.. Coz perform manusia yg satu ini wajib dihadiri.. viva el Jubing..

Christianto
@ Jumat, 27 Juni 2008 14:13 WIB
Hebat, membaca artikelnya saja saya sudah tertarik untuk membeli CDnya. Mudah2an lebih banyak lagi pencinta2 gitar pop klasik yang juga membelinya. Saya setuju dengan Sdr. Wandy agar ada partiturnya. Dulu ada Rene Nessa, Nelson Rumantir dan beberapa pencinta pop klassik yang membuat partitur dan dijual di toko2 buku tapi sekarang sdh tidak ada lagi.

glory @ Jumat, 27 Juni 2008 13:34 WIB
Sukses Mas Jubing! Salut! Aku tersihir sekali oleh Hujan Fantasynya mas Jubing saat pertunjukkan live di Senayan. Benar-benar seolah-olah pintu dimensi menuju dunia fantasi terbuka lebar. Keren abizzz! Glory, penulis fiksi

agus sulistyono @ Jumat, 27 Juni 2008 12:50 WIB
terimakasih banyak buat mas Jubing yang telah bersusah payah membuat album solo gitar ke 2 hujan fantasi, insya-Allah saya akan langsung cari di toko CD di Surabaya. Semoga hujan fantasi ini sebagus resensi-nya di Kompas dan walau becak fantasi sudah bikin terkagum2 semoga album baru ini lebih hebat lagi. saya usul, untuk memajukan peminat pergitaran di Indonesia apa tidak sebaiknya pada CD tsb juga di selipkan partiturnya? jadi seperti narasi lagu pada musik2 vokal yang lain. terimakasih dan selamat untuk mas Jubing, semoga album hujan fantasi ini dapat meledak dipasaran khususnya penggemar gitar pop klasik. salam untuk keluarga

Wandy @ Jumat, 27 Juni 2008 12:37 WIB
Sukses selalu untuk Jubing! musiknya memang luar biasa. Membaca penulisan ini saja sudah dapat membayangkan betapa menyegarkan musiknya.

Tuesday, June 24, 2008

Citizen Journalism (12)

Belajar Menjadi Pewarta Warga

BEBERAPA kali saya pernah menulis mengenai citizen journalism atau jurnalisme warga di Harian Kompas. Antara lain saya menulis mengenai koran online Ohmy News di Korea Selatan dan blog Stomper milik The Straits Times, Singapura. Kedua koran online itu memuat berita yang semuanya ditulis oleh warga biasa. Saya mengistilahkannya sebagai citizen journalist atau pewarta warga.

Saya adalah wartawan profesional harian Kompas, yang kini diminta menangani masalah komunitas di Kompas.com. Saya bekerja berdasarkan etika jurnalis secara umum yang biasa disebut kode etik wartawan. Saya juga diikat oleh etika secara khusus dari Kompas, yang jauh lebih ketat dibanding kode etik wartawan pada umumnya.

Sebagai warga yang sedang tidak bekerja (karena hak libur), saya tetap memasang mata dan telinga. Kemanapun saya pergi, saya tidak lepas dari ponsel internet multimedia. Alat mungil ini bisa untuk merekam video selama satu jam lebih, mengambil gambar foto, merekam suara, menulis di office word dan mengirimkannya ke redaksi via internet. Sedangkan palmtop saya simpan di tas atau mobil.

Dengan cara ini, saya berkesempatan menjadi pewarta warga, yang bisa memberitakan sebuah peristiwa dengan gaya sesuka saya, asalkan tidak bohong. Beritanya memang "ecek-ecek" yang tidak mungkin dimuat di media massa mainstream. Maka saat di halaman parkir sebuah mal saya melihat sesuatu yang "aneh". Saya pun langsung saja membuat berita dan memberi judul berita itu sesuka saya, "Egois". Begini beritanya:

EGOIS

PADA hari Minggu, 22 Juni 2008 lalu, saya bersama keluarga mengunjungi Pondok Indah Mal (PIM), sebuah mal yang cukup megah di Jakarta Selatan. Karena hari libur, banyak orang berkunjung sehingga tempat parkir pun semuanya terisi. Di tempat parkir tidak ada indikator elektronik yang menunjukkan berapa lagi tempar parkir yang kosong, sehingga pengemudi harus berulang-ulang mengelilingi halaman parkir dengan harapan ada satu tempat parkir kosong.

Namun, alangkah jengkelnya hati saat saya melihat sebuah sedan hitam memarkir kendaraannya di dua tempat parkir sekaligus. Artinya, seperempat badan mobil berada di tempar parkir mobil orang lain. Tentu saja hak satu mobil untuk parkir terampas secara egois oleh orang itu.

Tidak ada kata lain selain menyebut pengemudi sedan hitam itu sebagai "egois". Saya bisa saja menyebutnya "kurang ajar", "tidak berpendidikan", "asosial", atau bahkan "sinting". Saya cukup memakai kata "egois" saja, sebab kalau empat predikat tadi saya gunakan, saya kuatir dikira orang jenius karena tebakan saya tepat.

Saya keluarkan kamera ponsel saya. Lalu saya jepret saja tanpa rasa takut ditegur satpam, toh saya seorang pewarta warga. Bukti hasil foto itu saya tampilkan di sini, tanpa ada montase atau sesuatu yang disembunyikan. Nomor polisi, warna dan jenis mobil bisa dilihat dengan jelas.

Jika nanti si pemilik mobil mewah itu marah dan mencak-mencak karena merasa dipermalukan, Anda boleh bilang saya memang seorang jenius karena perkiraan bahwa orang itu "kurang ajar", "tidak berpendidikan", "asosial", dan "sinting", menjadi terbukti dengan sendirinya. Ya iyalah.... sudah salah masih marah-marah! (PEPIH NUGRAHA)

Wednesday, June 18, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (60)



Menulis untuk Beragam Pembaca


PADA 24 Januari lalu saya menulis mengenai kiprah pengusaha Inggris Sir Richard Branson yang memperkenalkan dua model pesawat ruang angkasa sipil untuk tujuan komersial. Di luar dugaan, tulisan yang dimuat di http://www.kompas.com/ itu, tepatnya di sini, banyak dibaca dan dikomentari sedikitnya 24 netter.

Secara tidak sengaja saya mendapat pelajaran baru dari berita yang saya ambil dari wires atau kantor berita itu, bahwa pembaca media massa online atau koran digital tersegmentasi sedemikian rupa, sehingga apapun tulisan kita akan dibaca oleh pembaca yang segmented tadi. Saat saya menulis berita itu, saya tidak yakin kalau berita akan dibaca orang!

Dengan demikian satu lagi pelajaran yang saya dapatkan: jangan berpurbasangka dengan apa yang kita tulis! Juga jangan berprakira bahwa tulisan kita tidak dibaca orang. Yang saya sering ulang-ulang adalah pendapat saya sendiri, bahwa sekecil apapun atau seremeh-temeh apapun subyek yang kita tulis, toh tetap bermanfaat buat orang lain. Jadi menulislah, apapun subyeknya!

Di bawah ini adalah tulisan tentang kiprah Branson, dilengkapi foto sebagai pelengkap tulisan itu, juga komentar para netter:

Branson Perkenalkan Pesawat Ruang Angkasa Komersial

NEW YORK, RABU - Pengusaha Inggris Richard Branson memperkenalkan dua model pesawat ruang angkasa komersial miliknya yang diharapkan dapat membawa penumpang pertama ke luar angkasa paling lambat tahun depan.

Pesawat pertama Branson yang bernama “Virgin Galactic” mengenakan tiket seharga 200.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,8 miliar untuk sekali penerbangan menembus ruang angkasa. Sementara pesawat “SpaceShipTwo” diharapkan mulai menjalani tes terbang akhir tahun ini.

“Kami benar-benar ingin memiliki suatu situasi dimana ratusan ribu orang yang berhasrat pergi ke ruang angkasa dapat mewujudkan keinginannya itu,” kata Branson kepada pers, Kamis (24/1) WIB, American Museum of Natural History di Manhattan, seperti dikutip Reuters.

Meski nilai dollar tidak berarti lagi, harga tiket 200.000 dollar AS tetap masih sangat mahal untuk sebagian besar orang,” kata Branson soal harga tiket. “Dalam waktu lima tahun peluncuran, saya berharap harga tiket akan turun secara dramatis,” katanya lagi.

“Virgin Galactic” yang merupakan bagian dari perusahaan penerbangan milik Branson, kini sudah diantri oleh 200 peminat yang ingin merasakan sensasi berada ruang angkasa. Para peminat itu bahkan sudah menitipkan deposito sebesar 30 juta dollar AS atau Rp 282 miliar.

Komentar Pembaca:

John @ Kamis, 24 Januari 2008 12:31 WIB
Untuk rakyat kecil, kalau mau maju jangan cuma harapkan pemerintah meninggalkan kebiasaan korupsi. Rakyat sendiri juga harus punya mental dan disiplin yang jempolan! Amerika itu maju bukannya pemerintah di sana tanpa korupsi, tapi mental rakyatnya juga mantap! Contoh sepele ajalah, masih banyak rakyat Indo buang sampah sembarangan. bukan hanya yg miskin, yg dari mobil juga. Gimana mau maju?

rakyat kecil @ Kamis, 24 Januari 2008 12:12 WIB
Bangsa Indonesia kalau mau maju, TOLONG semua pihak tinggalkan kebiasaan korupsi, sogok menyogok, suap menyuap, istilah uang pelicin, uang rokok, uang korek, uang kopi, semua itu akan jadi KEBIASAAN, "TUMAN" istilah orang jawa bilang.

Yudo @ Kamis, 24 Januari 2008 11:57 WIB
cck.. cck... cck.... sementara bangsa lain sudah melakukan itu, kita masih berkutat pada kegagalan panen para petani dan masalah perut lainnya. coba kalau dari dulu kita belajar pada bangsa yang sudah lebih dulu maju, kita gak akan terpuruk sebagai bangsa penonton. mana makna 100tahun kebangkitan nasional kita???

alex capung @ Kamis, 24 Januari 2008 11:55 WIB
Gile benerrr... Eh, btw, mungkin UFO yang sering nongol itu juga salah satu rombongan wisata luar angkasa dari planet lain kali ya... Ntar kalo ada yang sempet ketemu UFO tolong tanyain ya berapa tarifnya...

asep kurnia @ Kamis, 24 Januari 2008 19:00 WIB
Toilet umum aja dulu yang dijaga biar bersih dan wangi......

didiek @ Kamis, 24 Januari 2008 14:09 WIB
Wah jangan2 UFO-Alien yang sering terlihat jg lagi picnik...wah menteri kebudayaan harus nyiapin promosi kebudayaan nih...

priyatmo @ Kamis, 24 Januari 2008 13:06 WIB
begitu murahnya nilai uang diluar sana hingga nilai 1,8M hanya digunakan untuk perjalanan wisata...bangsa kita sudah tertinggal demikian jauh baru ngurus perutnya saja sudah tidak mampu apa lagi bermimpi membangun teknologi maju sampai ke luar angkasa..LAPAN membangun sistem roket pun setelah belasan tahun hanya mampu membuat roket ala kembang api...padahal ironisnya tidak sedikit juga ilmuan kelahiran Indo yang ikut berkontribusi dalam pembangunan proyek2 luar angkasa NASA di USA..hmm..sudah saatnya Indonesia punya visi baru...paradigma pembangunan yang baru..dan tentunya pemimpin yang mampu membangun culture of excelent serta mentality of excelent bangsa ini..

timon @ Kamis, 24 Januari 2008 12:40 WIB
namanya juga indonesia

lina @ Jumat, 25 Januari 2008 10:33 WIBWow, ke luar angkasa, piknik di bulan.....

gege @ Jumat, 25 Januari 2008 08:08 WIB
Lho masih hebat orang Indonesia donk, baru juga ke luar angkasa kalau kita bisa di Luar NALAR... harga di luar Nalar, Korupsi di Luar Nalar, dll dech.. :-)

zein @ Jumat, 25 Januari 2008 06:14 WIB
Luar angkasa aja sampe dipromosikan oleh "warga luar" luar angkasa. Kapan kita bisa dipromosikan oleh warga luar Indonesia?

nur @ Kamis, 24 Januari 2008 20:17 WIB
Kalo bisa kita itu mengungguli orang barat lah, masa orang timur selalu terbelakang terus ??? malu donk.

EAsy Life @ Minggu, 27 Januari 2008 22:22 WIB
Yah, klo negara maju emang lain yah, jalan2 aja kluar angkasa, hari ini jalan2 100 tahun lagi kita perang dengan mahluk dari Mars ya

dimas @ Sabtu, 26 Januari 2008 16:08 WIB
emang penting yah ke luar angkasa, apa ngga mahal yah? emang orang bule udah pada tau bali dimana?hahahahahaha,kalau uadah tau bali dimana baru bisa ke luar angkasa........

Joshua @ Sabtu, 26 Januari 2008 12:48 WIB
Wah segera business property di galaksi

iMade @ Jumat, 25 Januari 2008 16:11 WIB
Kalo sudah bisa ke luar angkasa, so what?apa seluruh pelosok bumi sudah pernah dikunjungi?pergi ke luar angkasa mungkin penting nantinya, kalo udah punya apartemen di Mars Town Square, sekalian mudik..he..he.

angga @ Jumat, 25 Januari 2008 13:39 WIB
luar angkasa mah sudah biaasa atuh... lebih hebat dukun kita donk, bisa ke alam lain...ngobrol dan bisa nyuruh penghuninya lagi...

ino @ Kamis, 27 Maret 2008 02:39 WIB
aye jg pesen atu buat pjabat yg doyan korup nanti disana saya blng ga usah dipulangin ke indonesia lg

otman @ Senin, 28 Januari 2008 15:21 WIB
luar biasa.., salut buat bang Rihcard.., brrti paling lambat tahun depan., saya sudah bisa liat luar angkasa secara langsung..:))

jono @ Senin, 28 Januari 2008 15:13 WIB
luar biasa., brrti kita bisa jalan2 ke luar angkasa.., mungkin besok atau lusa saya segera pesan tiket utk 5 orng..:))

indra @ Senin, 28 Januari 2008 10:57 WIB
yah...tunggu aja besok,dia mau jalan2 ke luar angkasa silahkan...tapi aku mau buat biro perjalanan ke alam barzah....siapa yang mau ikut?ayo...tarif murah....!!!!!!

aristakov @ Senin, 28 Januari 2008 10:35 WIB
bangsa barat memang hebat....di saat bangsa ini pusing memikirkan perut sejak indonesia merdeka hingga kini ....bangsa barat sudah holiday ke luar angkasa....memang nasibmu bangsa yang malang wahai indonesia. ***

Tuesday, June 17, 2008

Catatan (53): Blogger Temu Producer



Nokia "Go Blogging"




SAYA agak surprise juga tatkala Nokia, produsen ponsel nomer wahid di dunia, mengumpulkan para blogger di Jakarta. Saya termasuk salah seorang blogger yang diundang pada pertemuan terbatas di Neovanity Club di Gedung Chartered yang baru, atas jasa baik Budi Putra, blogger kawakan, dan Humas Nokia untuk Indonesia, Regina.


Karena Kompas.com memiliki rubrik What's New (silakan klik http://www.kompas.com/ dan lihat di navigasi utama bagian atas), dimana setiap kegiatan yang melibatkan personil Kompas.com memungkinkan untuk dimuat dan diberitakan, maka kegiatan saya menghadiri pertemuan blogger itupun tidak luput dari pemberitaan, sebagaimana yang bisa dibaca di bawah ini:


Nokia Jumpa Blogger


Pepih Nugraha, salah seorang blogger dari KOMPAS.com, Jumat (13/6) lalu, turut menghadiri pertemuan terbatas 10 blogger yang difasilitasi pemilik Asia Blogging, Budi Putra, dan Nokia sebagai penyelenggara pertemuan. Dalam temu blogger itu hadir pula Humas Nokia, Regina.


Kesepuluh blogger satu sama lain saling berbincang mengenai blog masing-masing. Umumnya para blogger tersebut membuat blog dengan subyek yang berbeda-beda, antara lain mengenai kuliner dan gizi, fashion, gadget dan informasi teknologi, serta tutorial belajar menulis.


Regina mengatakan bahwa pertemuan blogger ini sebagai langkah awal dari pertemuan serupa yang lebih besar dan meluas di masa mendatang. Meski Nokia belum memproduksi ponsel khusus untuk kegiatan nge-blog, namun fitur-fitur di beberapa jenis ponsel, seperti N78 dengan geotagging-nya, dapat menolong blogger yang menggemari fotografi untuk dapat lebih mengeksplorasi kegiatan blogging-nya.


KOMPAS.com sendiri tengah mengembangkan blog dengan beberapa ciri khas tersendiri. Anda ingin sumbang saran soal KOMPASblog? Kami sangat ingin mendengarnya, silakan sampaikan melalui fitur komentar di bawah. (*/ET)

Monday, June 16, 2008

Catatan (52): Digital Native


Kemana Arah "Digital Native" Melangkah? (1)


HARI Rabu 11 Juni 2008 lalu, saya hadir sebagai salah seorang pemateri dalam Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik SMA Kolese Gonzaga Jakarta. Jumlah peserta pelatihan 249 siswa-siswi kelas 1 SMA tersebut. Mereka mengikuti pelatihan dengan antusias, banyak pertanyaan kritis terlontar, dan tidak segan mencecar jika dirasa belum mengerti.

Sebagai pemateri saya bertanya, siapa di antara 249 siswa-siswi itu yang pagi ini membaca koran cetak? Saya terkejut karena dari siswa-siswi sebanyak itu, hanya seorang saja yang membaca koran cetak! Pertanyaan saya kemudian: apa yang mereka baca saat memulai aktivitas hidup di pagi hari?

Lalu saya lanjutkan pertanyaan siapa di antara 249 siswa-siswi itu yang pada pagi itu membuka internet dan membaca Kompas.com? Sungguh di luar dugaan, belasan siswa-siswi mengacungkan tangan!

Saya yang bekerja untuk Harian Kompas, baik cetak maupun online, menjadi bertanya-tanya lagi: apakah lima atau sepuluh tahun mendatang mereka tidak mengenal koran cetak dan lebih memilih media massa online? Kalau generasi mereka saja sudah "tidak mengenal" koran cetak, bagaimana generasi-generasi setelah mereka? Inikah yang dinamakan generasi digital native, suatu generasi yang sejak mereka dilahirkan sudah akrab dengan internet, komputer pribadi dan ponsel berintenet?

Saya yang bekerja untuk koran, yang hidup matinya sebuah koran tergantung dari pembacanya (dengan asumsi semakin banyak pembaca semakin banyak iklan diraih), menjadi degdegan sendiri membaca fenomena ini, suatu gejala dimana generasi digital native yang tidak lagi mengenal koran cetak. Apakah hidup-mati koran cetak akan sangat tergantung pada generasi sekarang yang masih membaca koran cetak?

Saya masih berupaya menghibur diri sendiri bahwa koran cetak tidak akan pernah mati, kendati Philip Meyer dalam The Vanishing Newspaper meramalkan koran cetak akan mati pada 2043! Bagi saya, mungkin tidak lenyap sama sekali. Toh kehadiran radio, televisi dan media massa online, tetap saja tidak menggoyangkan koran cetak. Di Indonesia malah menunjukkan kenaikan tiras signifikan untuk beberapa penerbitan.

Benar, di belahan dunia sana, di Amerika Serikat dan Eropa, tiras koran cetak semakin menurun dan banyak di antara mereka berkonvergensi atau bahkan bermetamorfasa menjadi koran digital.

Kalau sekarang Kompas.com yang dulu bernama Kompas Cyber Media (KCM) berkonsentrasi untuk membesarkan diri dengan menambah konten-konten menarik dan mengerahkan wartawan serta editornya selama 24 jam, itu bisa saya mengerti karena masa depan bisnis media massa memang ada di sini, yakni di media massa digital ini!

Bagi saya yang sejak 1 April bergabung kembali dengan Kompas.com setelah empat bulan lamanya diminta mengurus Kompas Update, tidak ada cara lain bagi saya selain mencurahkan pikiran dan tenaga untuk turut membasarkan Kompas.com.

Karena saya diberi mandat untuk mengurusi komunitas (community), maka pelatihan jurnalistik dan menulis yang secara tidak sengaja sudah saya mulai sejak beberapa tahun sebelumnya atas permintaan Diklat Kompas, menjadi salah satu cara mengenalkan Kompas.ckom Reborn. Lebih dari itu, inilah cara saya untuk semakin mendekati dan bergaul dengan komunitas, sekecil apapun komunitas itu.

Saya harus mengetahui, apa maunya dan kemana arah native digital seperti yang ditunjukkan siswa-siswi SMA Gonzaga ini melangkah?

Di bawah ini selintas kegiatan saya saat memperkenalkan Kompas.com Reborn kepada SMA Gonzaga, yang dimuat di Rubrik What's New di http://www.kompas.com/.

Pelatihan Jurnalistik di SMA Gonzaga

Secara berkala Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Harian Kompas yang dipimpin Manajer Diklat Agnes Aristiarini, mengadakan pelatihan jurnalistik untuk siswa SMA, mahasiswa, sampai pesantren. Pada Hari Rabu-Jumat, 11-13 Juni 2008, Diklat Kompas mengadakan pelatihan di SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan.

Sebanyak 249 siswa kelas 1 SMA Gonzaga yang terbagi ke dalam 25 kelompok itu menyimak serius paparan para pemateri. Mereka adalah tim dari Diklat Kompas, yakni Santoso dan Cahyono, Pieter Gero (wartawan senior Harian Kompas), dan Pepih Nugraha (KOMPAS.com).

Output dari pelatihan selama tiga hari itu, masing-masing kelompok menerbitkan satu halaman majalah dinding atau koran dinding. Mereka menentukan sendiri pemred, redpel, wartawan, sampai fotografer. Pelatihan berlangsung secara interaktif.

Dalam kesempatan itu, Pepih dari KOMPAS.com, memperkenalkan KOMPAS.com Reborn kepada siswa SMA Gonzaga yang beberapa di antaranya mengaku fanatik dengan Kompas.com. Saat ditanya, "Siapa yang membaca koran cetak hari ini?" Hanya ada satu siswa yang angkat tangan. Tetapi ketika ditanya siapa yang membaca Kompas.com, banyak siswa yang mengangkat tangan dengan alasan melihat perkembangan sepakbola Piala Eropa.

Pepih menjelaskan bahwa Harian Kompas versi cetak saat ini diperkuat oleh versi online bernama KOMPAS.com. Kehadiran KOMPAS.com ini suatu keharusan di era digital yang semakin tersambung ke internet, untuk mewadahi kebiasaan baru membaca generasi "digital native" seperti halnya siswa-siswi SMA Gonzaga.

Hasil karya jurnalistik salah satu kelompok SMA Gonzaga, dan kelak siapapun yang mengadakan pelatihan, ditampilkan di blog khusus bernama "WE NETIZEN". Blog jurnalistik dengan tag "Beritakan Beritamu" itu beralamat di: http://www.pepih.dagdigdug.com/. (*)

Thursday, June 12, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (59)


Menulis dengan Hati (6)


TULISAN terakhir perjalanan saya ke Pulau Galang adalah mengenai vihara dan gereja. Saya tidak ingin berkomentar banyak mengenai dua obyek tulisan yang menjadi "monumen" keyakinan para pengungsi Vietnam atas hal-hal yang bersifat "Ilahiah", hal-hal yang diyakini "Mengatasi" kehidupan mereka. Sebagai orang beragama, saya bisa menyelami hasrat keberagamaan (religiositas) para pengungsi itu, bahkan di tengah-tengah derita dan ketidakpastian yang mendera mereka...


Apa yang Menarik di Batam (6)
Vihara dan Gereja, Bukan Sekadar Tempat Pelarian
Oleh PEPIH NUGRAHA

BENARKAH setiap orang memiliki potensi fatalis? Maksudnya, ketika seseorang “kepentok” nasib buruk yang tidak pernah berubah, kesengsaraan seakan-akan teman hidup abadi, dan merasa tidak menemukan seberkas sinar di ujung sebuah lorong, sebagian pelarian ujung-ujungnya kepada “yang di atas” juga. Fatalis adalah sikap yang lebih dari sekadar pasrah, tetapi mungkin sikap menyerah. Kadang saya bisa memaklumi sikap ini.

Tetapi tidak di Pulau Galang.

Di Pulau ini, saya menemukan sejumlah tempat ibadah yang diperuntukkan bagi pengungsi Vietnam dan sebagian kecil pengungsi Kamboja. Mereka tentu saja bukan kaum fatalis kalau dilihat lebih banyak yang survive daripada tewas. Mereka juga tidak gampang pasrah dan menyerah, meski masa depan mereka awalnya gelap-gulita. Buktinya mereka biasa bertahan berbulan-bulan di atas perahu kecil saat menjadi “manusia perahu”. Tidak sedikit eks pengungsi Pulau Galang kini memperoleh kehidupan layak di berbagai negara.

Maka, saya tidak melihat adanya vihara dan gereja ini sebagai simbol kepasrahan, kekalahan, dan lebih-lebih sikap fatalis. Vihara Quan Am Tu yang kokoh, Pagoda Cua Ky Vien yang megah, gereja Protestan dan Katolik yang unik, menunjukkan sisi lain dari sikap keberagamaan (religiositas) mereka. Di Pulau Galang, saya coba mengamati dua tempat ibadah itu, yakni Vihara Quan Am Tu dan Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem atau dalam bahasa Inggris Immaculate Conception Mary Church, dari dekat.

Vihara Quan Am Tu terlalu mencolok untuk dilewatkan karena bangunannuya yang full colour alias warna-warni, sudah nampak dari jalan tanpa harus berbelok. Saya tentu saja meminta John, sopir sekaligus pemandu saya, untuk membelokkan kendaraan karena saya akan singgah di vihara ini. Saat memasuki halaman vihara, bau hio yang dibakar menyergap hidung, sampai-sampai istri saya berkomentar, “China banget.”

Di dalam vihara, beberapa orang tengah bersembahyang, sementara seorang bhiksu Buddha tengah melayani konsultasi keagamaan dari sejumlah pengunjung. Sementara traveler seperti saya, sibuk mencatat dan mengambil foto-foto, tetapi tetap menghormati mereka yang tengah bersembahyang dengan memandang mereka tanpa bicara.

Yang mencolok dari bangunan itu tentu saja tiga patung berukuran besar warna-warni yang di depannya dijagai naga raksasa. Salah satu patung berukuran raksasa itu adalah Dewi Guang Shi Pu Sha. Biasanya para pelancong menyempatkan diri berfoto-foto di depannya, termasuk saya tentunya. Ada dua plakat yang diletakkan di kaki Sang Dewi, ditulis dengan huruf merah. Salah satunya berbunyi:

“Dewi Guang Shi Pu Sha bisa memberikan kita hoki, jodoh, dan keharmonisan dalam rumah tangga dengan cara: berdoa, semoga Dewi Guang Shi Pu Sha mengabulkan apa yang kita inginkan setelah selesai berdoa, melemparkan koin ke arah Guang Shi Pu Sha”.

Orang lain ikut melemparkan koin, tetapi saya tidak. Bukan karena saya pelit atau takut durhaka karena “menyalahi” keyakinan yang saya anut. Saya berbisik kepada John sambil melirik istri mengenai alasan mengapa saya tidak melempar koin, “Takut dapat jodoh lagi!” John ngakak.

Di samping plakat pertama, ada plakat kedua yang rupanya ditujukan kepada anak-anak. Tetapi di akhir pengumuman itu tetap sama, yakni diminta melempar koin ke arah Sang Dewi.

“Bagi anak-anak yang ingin pintar sekolah, cita-cita cepat tercapai berdoalah kepada Dewi Guang Shi Pu Sha supaya membantu kita mencapai apa yang diinginkan (yang halal)”.

Vihara Quan Am Tu diresmikan pada 10 Desember 1979, yang berarti sudah hampir 30 tahun ia berdiri di Pulau Galang. Saat saya berkunjung, beberapa tukang sedang merenovasi gerbang vihara itu. Dari keadaannya yang bersih, tampaklah kalau tempat ibadat itu terawat dengan apik. Memori tentang pendirian vihara yang tergambar dari rangkaian foto-foto berwarna yang sudah pudar, tetap dapat terpelihara.

Agak di bawah vihara, tepatnya di halaman parkir, terdapat tiga ruangan bersekat tanpa pintu yang penuh dengan ornamen lukisan. Meski tidak berpintu, orang tidak boleh masuk karena dipasangi rantai. Ruangan terbuka tanpa pintu yang terkesan seperti los di pasar itu digunakan untuk ritual pada hari-hari tertentu. John bertanya apakah saya sudah cukup melihat-lihat vihara itu, saya menjawab, “Okay, sekarang kita melihat gereja!”

Kami meninggalkan vihara itu saat orang-orang masih berdatangan untuk sembahyang dan berfoto-foto di depan patung Dewi Guang Shi Pu Sha, serta melempar koin setelah membaca dua plakat tadi. Saya sempat berpikir, pasti mereka yang ingin cepat mendapat jodoh. Tidak sampai sepuluh menit, saya sudah berada di depan sebuah bangunan, sebuah gereja.

Yang terlihat dari jauh mengenai kekhasan sebuah gereja tentu saja tanda salib di pucuk teratas atapnya. Tetapi yang mencolok dari Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem ini adalah patung putih Maria di bagian muka bangunan di bawah tanda salib. Maria yang sedang merentangkan tangan agak ke bawah, berdiri di atas bola dunia dengan jubah putihnya yang merentang seperti sayap. Kami harus melewati titian kecil melengkung terbuat dari besi yang kokoh untuk sampai di sana. Dasar titian terbuat dari kayu yang kuat sehingga saya tidak ragu untuk berpijak dan melintasinya.

Di dalam gereja, anak-anak tampak sedang berlatih bernyanyi, diiringi gitar yang dimainkan lelaki dewasa. Saya terus memutar mata dan tertarik pada sosok patung di sayap kanan gereja itu, agak jauh dan menepi. Itu sebuah patung Maria berjubah paduan biru dan putih, tetapi dengan pose menelungkupkan dan mempertemukan kedua telapak tangan di dadanya, berdiri di atas bola dunia. Bola dunia itu berada di atas patung perahu bernomor lambung VN.02.1985. Sedangkan di atas kepala patung itu terdapat lingkaran putih terbuat dari lampu neon, yang kalau malam hari lampu neon berbentuk lingkaran itu menyala, sebagai penanda “malaikat” atau orang suci lainnya.

John bercerita, sebelum patung ini dibangun, dua orang kakak-beradik melakukan bunuh diri beberapa hari setelah mereka mendarat di Pulau Galang. “Agak angker,” kata John. Tetapi saya cuwek saja, ambil foto sana-sini.

Seorang pria bersandal kulit mengenakan kemeja biru bercelana senada dengan kemejanya, terekam kamera saya saat ia melintas di depan patung Maria di atas perahu dan bola dunia itu. Di kiri-kanan patung Maria terdapat dua singa putih yang sedang “ngaso”, seakan-akan mengapit pria yang sedang melintas itu. Di atas kedua punggung singa terdapat inskripsi besar yang ditulis dalam bahasa Vietnam dan Inggris.

Salah satu inskripsi yang berjudul “Ta On Duc Me” itu berbunyi begini:

“O Mary, we are all deeply grateful for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be highly appreciated in our heart forever”.

Itu bukan salah satu doa para santo atau orang suci lainnya, melainkan salah satu harapan dan doa para pengungsi Vietnam penganut Katolik yang masih melihat secercah harapan di ujung lorong yang gelap. Sebuah harapan yang tidak saja menunjukkan bahwa mereka tidak fatalis, tetapi lebih menunjukkan sikap keberagamaan mereka, sikap religiositas mereka, meski penderitaan tengah menekan mereka tanpa ampun di Pulau Galang ini.

Saya harus mengakhir catatan saya di sini. Saya harus secepatnya meninggalkan Pulau Galang sebab matahari sudah nampak berat ke Barat, sebentar lagi tergelincir. Pesawat Garuda penerbangan pukul 18.30 WIB tujuan Jakarta sudah menunggu. Saya dan istri termasuk dua penumpang si burung besi itu.

“John, kita pulang,” kata saya. Mobilpun beranjak.

Selamat tinggal, Galang, selamat tinggal Nguyen…. (Selesai)

Komentar Pembaca:

miyu @ Selasa, 27 Mei 2008 10:39 WIB
yaahh.. sayang banget.. sampe 6 seri tapi kok isinya cuma barelang aja.. padahal banyak objek lain yang bisa dikunjungi di Batam. Ada wisata pantai di Nongsa, wisata blanja di Nagoya dsk, wisata kuliner sop ikan, asam pedas atau makan seafood maknyus di kelong2 pinggir laut..

Nella @ Selasa, 27 Mei 2008 09:52 WIB
Saya jd teringat lagi ke Batam, dulu kami dari gereja sering kesana ziarah. Ada juga tempat buat jalan Salib di deket camp Vietnam itu tp agak masuk kedalam hutannya sih. Enak disana teduh buat berdoa enak krn sepi hanya kedengaran suara burung n monyet2.

ivan @ Kamis, 29 Mei 2008 08:29 WIB
bagus ceritanya..... emang bangsa ini terlalu sering melupakan dan kurang menghargai sejarah. indonesia merasa memiliki kalau ada bangsa lain yang mengakuinya......

dhe nani @ Selasa, 27 Mei 2008 14:24 WIB
mengesankan mengikuti kisahnya, Nguyen memang inspiratif. saya sependapat jika travelling tak harus selalu happy, tapi dibutuhkan juga travelling yang membuka mata hati

Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:37 WIB
Nguyen, perempuan inspiratif tentang ketangguhan seorang wanita. Penulis saja "jatuh cinta " padanya. Saya sangat sependapat dengan penulis jika travelling tidak melulu harus happy. Happy-nya itu sendiri terkesan hedonis. Tapi juga perlu travelling yang membuka mata hati bahkan bisa untuk kontemplasi. Tulisan ini tidak hanya membuka wawasan tapi juga pembaca diajak berpetualang menuju imaji untuk bisa merekonstruksi kejadian masa lalu. Ditunggu tulisan yang lainnya, bertema, edukatif, inspiratif

Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:36 WIB
Nguyen, perempuan inspiratif tentang ketangguhan seorang wanita. Penulis saja "jatuh cinta " padanya. Saya sangat sependapat dengan penulis jika travelling tidak melulu harus happy. Happy-nya itu sendiri terkesan hedonis. Tapi juga perlu travelling yang membuka mata hati bahkan bisa untuk kontemplasi. Tulisan ini tidak hanya membuka wawasan tapi juga pembaca diajak berpetualang menuju imaji untuk bisa merekonstruksi kejadian masa lalu. Ditunggu tulisan yang lainnya, bertema, edukatif, inspiratif

didi @ Selasa, 27 Mei 2008 11:17 WIB
Terima kasih atas liputannya. Saya pernah tinggal kurang lebih 5 tahun di Batam. Dan ini sudah mengobati rasa rindu saya akan pulau "kalajengking". Tapi masih ada yang harus ditelusuri lagi yakni keberadaan suku asli di pulau Batam dan suka duka kehidupan dormitori muka kuning. Semoga...

Wednesday, June 11, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (58)


Menulis dengan Hati (5)


BARAK dan penjara sama-sama bangunan, sama-sama diperuntukkan bagi pengungsi Vietnam. Barak tempat beraktivitas sehari-hari orang-orang bebas, penjara tempat beraktivitas sementara pengungsi yang terlilit masalah hukum. Dua-duanya ada di Pulau Galang, dua-duanya sama-sama menarik perhatian saya. Maka saya pun memperhatikan detail kedua bangunan ini.

Mengenai barak pengungsian, saya sudah kerap mengunjunginya saat bertugas di Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, Maluku. Kedua barak pengungsian di tempat berbeda itu sama-sama menampung para korban konflik komunal di sana. Saat tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam, saya juga mengunjungi barak-barang pengungsian korban tsunami. Di barak-barak ini selalu tersimpan kisah muram dan memilukan. Ada ratap tangis dan harapan yang nyaris putus di sini.

Saya juga menangkap semua "perasaan" itu di barak penampungan pengungsi Vietnam, meski tinggal barak-barak bisu saja. Ini modal yang cukup buat saya untuk menulis bagian kelima dari enam tulisan perjalanan saya di Pulau Galang ini.

Soal penjara, saya pernah meliput kriminal dan hukum yang berurusan dengan penjara. Saya pernah berkunjung ke Devil's Island (Iles du Diable) Guyana Perancis tahun 2005 lalu, yang bertetangga dengan Brasil di Amerika Selatan, dimana di sana terdapat bekas-bekas penjara untuk menghukum mati para "penjahat" politik. Saya berada di penjara sempit sisa-sisa masa silam dan masih melihat sisa-sisa peralatan guilottine untuk memancung si terhukum.

Di pulau yang saya capai dengan menggunakan helikopter ini saya nyaris "kemasukan" arwah atau roh halus yang bergentayangan di pulau itu, sebab si makhluk halus sudah masuk melalui kuduk saya! Saat itu saya sudah pusing tujuh keliling, mata sudah melihat pemandangan yang tidak biasa dan seperti melihat suasanma atau "dunia lain". Saya juga mendengar suara-suara yang tidak umum, yang seperti menyusup dari kejauhan, terbawa liar tertiup angin pantai.

Maka, penjara dan barak adalah dua hal yang menarik perhatian, sehingga saya pun menuliskan tentang dua bangunan itu saat berkunjung ke Pulau Galang, sebagaimana terekam dalam tulisan saya di bawah ini...

Apa yang Menarik di Batam (5)
Barak dan Penjara, Monumen Derita Masa Silam
Oleh PEPIH NUGRAHA

Sebuah plang bertuliskan “KHONG PAN SU CAM PAO” membawa saya ke dua buah barak berbentuk “L” bekas penampungan pengungsi Vietnam yang lokasinya berada di tanah rendah. Itu adalah dua dari puluhan barak yang pernah berdiri di sana, yang kini diabadikan sebagai kenangan, tragedic of the past. Meski sudah menjadi “monumen” yang semestinya diurus agar pesan masa silam bisa sampai kepada generasi berikutnya, nampak tidak terurus dan menuju kehancuran total.

Atap barak yang terbuat dari seng dengan dinding kayu itu keadaannya menyedihkan, sama seperti nasib penghuninya di masa silam. Beberapa bagian seng sudah terangkat dan mengelupas karena akumulasi panas-dingin dipermainkan irama alam, terseret pergantian siang-malam. Beberapa tiang penyangganya sudah terkulai dimakan rayap. Kalaupun masih ada tiang yang berdiri, barangkali dengan dorongan kelingking saja tiang itu sudah rubuh.

Ukuran satu barak cukup luas, yang saya perkirakan bisa menampung ratusan jiwa. Saya teringat rumah gadang di Sumatera Barat yang bisa menampung puluhan keluarga, tentu saja keluarga dekat atau sanak-saudara yang masih dalam satu garis keturunan. Di barak ini, yang dalamnya melompong begitu saja, terserak ratusan jiwa yang tidak berasal dari satu klan. Bisa jadi satu sama lain tidak saling mengenal.

Bisa dibayangkan perkembangan psikologi penghuni di dalamnya, saat anak-anak mendengar bahkan menyaksikan “kegiatan” orang dewasa yang sebenarnya belum waktunya mereka saksikan. Sebaliknya, lelaki dewasa tergiur dengan gadis remaja yang beranjak dewasa, yang tertidur merana di sana. Semoga gadis itu bukan Nguyen, gadis Vietnam yang masih menancap dalam ingatan saya.

Di Pulau Galang, pulau berhutan karet seluas kurang lebih 80 hektar ini, barak para pengungsi Vietnam (beberapa di antaranya juga pengungsi Kamboja) terkonsentrasi di dua sayap. Saya memusatkan pada Khong Pan Su Cam Pao ini. Barak yang sudah terkepung rumput tinggi ini, kini dibiarkan kosong. Dari foto-foto lama yang dipajang di kuil Quam Am Tu (akan saya ceritakan dalam tulisan seri terakhir), saya bisa merekonstruksi para pengungsi itu tengah melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai menanak nasi, mandi, mencuci, sampai sesekali berinteraksi dengan penduduk lokal.

Dalam satu barak lainnya yang agak tinggi lokasinya, beberapa penduduk lokal nampak tengah bercengkerama. Sebuah tali jemuran terentang dipenuhi pakaian. Benar-benar tidak menunjukkan monumen sesungguhnya, yang sebaiknya dijadikan cermin sebuah perjalanan hidup manusia yang tidak boleh menimpa generasi berikutnya. Perang dimanapun tidak membawa kemenangan, tetapi membawa kesengsaraan.

Tahun 1996 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Bosnia, Kroasia, dan bahkan sempat melintas Serbia. Khususnya di Bosnia, dengan bantuan pengamanan pemerintah setempat dan PBB, saya melihat-lihat keganasan perang di bekas kamp-kamp penyiksaan tentara Serbia terhadap warga Bosnia. Sebuah pembersihan etnis yang gila-gilaan yang tidak menyisakan rasa kemanusiaan, juga rasa belas kasihan.

Waktu itu seorang warga Bosnia menjelaskan, hampir semua lelaki Bosnia yang tertangkap dibantai tanpa ampun oleh anak buah Slobodan Milosevic, sementara perempuan Bosnia diperkosa ramai-ramai, bergiliran, hanya sekadar untuk mengaburkan identitas Bosnia, agar nama Bosnia lenyap dari muka Bumi. Seluruh akta atau keterangan dibakar, dari KTP sampai rekening bank, sehingga orang Bosnia bukanlah siapa-siapa. Itulah perang. Di Bosnia, di Maluku, di Vietnam, perang sama saja; membawa petaka dan derita.

Manusia perahu dari Vietnam umumnya membuka mata dan perhatian dunia akan sebuah petaka perang yang berimbas pada derita orang. Di Pulau Galang, pengungsi ini mendapat perhatian penuh badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR). Melihat jejak sejarah yang ditinggalkan, Pulau Galang dengan pengungsi Vietnam di dalamnya merupakan sebuah “pemerintahan” ad interim (sementara), setidak-tidaknya ada administrasi yang mengatur warga pengungsi, entah itu diatur UNHCR yang bekerja sama dengan Otorita Batam. Mulai fasilitas kesehatan, sekolah Perancis yang dekelola LSM Perancis Ecoles Sans Frontieres (sekolah tanpa batas), sarana ibadah, kuburan, sampai penjara!

Penjara?

“Ya, penjara untuk pengungsi yang melanggar aturan,” jelas John, sopir yang mengantar saya. Saya memintanya menepi. Saya ingin melihat penjara itu dari dekat. Saya kembali teringat novel itu. Dalam salah satu bagian, si gadis melankolis Nguyen pernah dianggap melanggar aturan dan dijebloskan ke dalam penjara. Inikah penjara tempat dimana Nguyen pernah mendekam?

Saya meminta izin kepada petugas jaga untuk mengabadikan penjara berjeruji besi itu. Saya cermati dengan saksama, hanya ada dua sel dengan jeruji panjang-panjang membentuk pintu lipat berjeruji besi. Sehingga yang saya bayangkan, siapapun yang berada di dalamnya akan terlihat jelas dari luar. Sengajakah untuk mempermalukan si pelanggar aturan? Saya tidak tahu. Yang jelas, dua sel penjara itu bagian dari bangunan dua tingkat dimana keduanya berada di bawah. Di atas penjara itu ada kamar-kamar dengan jendela kaca. Untuk apa sebenarnya bangunan itu?

Saya kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan itu bukan dari John, sopir sekaligus pemandu saya, tetapi dari sebuah plakat yang terdapat di samping halaman depan bangunan itu. Begini bunyinya:

“Bangunan ini selain menjadi markas satuan Brimob Polri yang bertugas di ex-camp pengungsi Vietnam, juga berfungsi sebagai tempat tahanan para pengungsi,” demikian alinea pertama yang saya baca. Saya harus mengakui bahwa informasi John akurat sampai di sini.

Alinea kedua, “Pengungsi yang ditahan di tempat ini adalah mereka yang mencoba untuk melarikan diri dari camp pengungsian dan yang bertindak kriminal seperti mencuri, memperkosa, dan membunuh sesama pengungsi.”

Saya agak bergidik membaca kata-kata kriminal seperti mencuri, memperkosa, membunuh. Saya bahkan tidak menyadari kalau saya sebenarnya sedang traveling dan seharusnya merasakan hal yang happy-happy saja. Saya mengenyahkan argumen bahwa traveling itu hanya untuk senang-senang. Bagi saya, traveling juga bisa berarti kegiatan menggali ilmu pengetahuan di lapangan, memuaskan rasa ingin tahu, mengenal wilayah dan mengenal seni budaya masyarakat setempat.

Mencuri. Memperkosa. Membunuh.

Benarkah itu dilakukan pengungsi Vietnam? Benarkah orang-orang yang menderita itu saling menikam dan menghabisi sesamanya sehingga diperlukan dua sel penjara ini? Kalau demikian, apa kesalahan Nguyen saat itu? Semoga gadis itu bukan salah satu korban perkosaan atau bahkan korban pembunuhan!

Saya meneruskan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:

“Operasional bangunan ini diserahkan kepada pemerintah Indonesia dalam hal ini oleh Satuan Brimob Polri.”

“Seiring dengan peninggalan pengungsi pada tahun 1996, satuan Brimob yang bertugas di sini ditarik kembali ke markasnya di Batam kemudian bangunan ini diserahkan kepada Otorita Batam. Saat itu kondisi bangunan sudah mengalami banyak kerusakan sehingga oleh Otorita Batam diperbaiki kembali.”

Saya menarik napas panjang selepas membaca alinea terakhir plakat itu.

Tidak terasa, isi kepala saya dengan cepat merekonstruksi apa yang terjadi sekitar 30-an tahun lalu meski dengan ingatan yang sepotong-sepotong, saat prahara politik mendera kawasan Indochina di utara kita, khususnya Vietnam dan Kamboja. Orang-orang Vietnam berjudi nasib menjadi manusia perahu, terapung berbulan-bulan di tengah lautan tanpa kepastian. Sementara orang Kamboja yang tidak sempat mengungsi menjadi korban pembantaian rezim Khmer Merah di ladang pembantaian (The Killing Fileds), sebelum Komunis Vietnam menginvasi negeri ini. Di Kamboja ini, jutaan manusia terbantai sebelum mampu menjadi manusia perahu. Sekali lagi, itulah ganasnya perang!

Saya menyudahi “ziarah” kenangan saya di penjara Pulau Galang ini, sambil sesekali mengenang dan membayangkan Nguyen berdiri di kaki bukit di samping gereja, melambaikan tangan mengajak saya untuk mendengarkan segala ceritanya. Tetapi itu tidak akan pernah pernah terjadi, sebab Nguyen hanya ada dalam fantasi saya saja. Besok saya akan akhiri perjalanan ke Pulau Galang ini dengan menulis tentang religiositas para pengungsi Vietnam yang diwujudkan dalam sebuah kuil dan gereja di sana. (bersambung)

Komentar Pembaca:

Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:22 WIB
Nguyen, sosok inspiratif ketangguhan wanita, yang membuat sang penulis jatuh cinta. saya sependapat, jika travelling tidak harus happy, dengan pemikiran yang hedonis. tapi travelling juga bisa membuka mata hati dan kontemplasi diri, tergantung cara travelling apa yang bisa membawa kita membuka mata hati. saya tunggu tulisan inspiratif lainnya. thank's 2 mas Pepih.

siJori @ Senin, 26 Mei 2008 20:29 WIB
mmg kl baca kisah nguyen gw jd terharu begitu besar harapanmu nguyen...

cory @ Senin, 26 Mei 2008 17:35 WI
Bsaya tunggu kelanjutan ceritanya........

Tuesday, June 10, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (57)


Menulis dengan Hati (4)


ENTAH kenapa saya selalu tertarik dengan kuburan, tempat dimana tubuh-tubuh tanpa nyawa tertanam di dalamnya, tempat segala cerita seram bermuasal. Ternyata saya tidak sendirian. Teman kerja saya, fotografer Arbain Rambey, malah menjadikan makam atau kuburan sebagai obyek jepretan yang menarik. Setidak-tidaknya menarik bagi Arbain!

Bedanya, saya menggambarkan kuburan dengan kata-kata, Arbain menyajikannya lewat jepretan yang menawan. Kesannya memang sepi dan menakutkan, tetapi di sana terselip keindahan. Saya punya prinsip, jangan takut sama kuburan, toh cepat atau lambat kita semua akan menjadi penghuninya, bukan? Juga jangan takut mati, karena setiap orang bakal mengalaminya.

Saya sadar, menulis kuburan pasti menakutkan bagi sebagian orang. Statistik di Kompas.com dimana saya menulis perjalanan ke Pulau Galang ini menunjukkan, bagian empat tulisan ini paling sedikit dibaca dan dikomentari orang, paling tidak dibandingkan dengan lima tulisan saya lainnya. Bagaimanapun, kuburan adalah monumen yang menyimpan cerita, dan cerita itu bisa sahabat baca di bawah ini....

Apa yang Menarik di Batam (4)
Kuburan Bisu yang Bercerita Banyak
Oleh PEPIH NUGRAHA

SESUNGGUHNYA, sebelum tiba di lokasi monumen atau “saksi hidup” tiga perahu yang digunakan pengungsi Vietnam untuk sampai di Pulau Galang, saya melewati satu kompleks kuburan khas China. Ingatan saya kembali hinggap pada masa lebih 30 tahun lalu, saat saya baru masuk taman kanak-kanak di desa saya, Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Seorang warga China kaya di desa saya bernama Tek Tjay, meninggal dunia. Saya kebetulan diajak orangtua mengantarkannya ke pemakaman khusus di Kota Tasikmalaya. Seperti makam warga China di Tasikmalaya itulah ornamen makam Vietnam yang saya lihat di Pulau Galang. Maka saya minta John berhenti saat kembali melewati kuburan itu.

“Tidak takut melihat-lihat kuburan orang mati, Pak?” Tanya John.
Dimana ada kuburan orang hidup? pikir saya. “Saya kadang lebih takut sama orang hidup, John,” kelakar saya.

Entahlah, kenapa juga saya selalu tertarik dengan kuburan. Tentu saja bukan karena saya ingin buru-buru menjadi penghuninya, tetapi bagi saya kuburan merupakan satu tempat bisu membeku tetapi sebenarnya memiliki banyak cerita. Kalaupun tidak ada prasasti di ujung atas sebuah kuburan, pastilah tulang-belulang yang tertanam di dalamnya punya cerita tersendiri.

Saat saya memasuki sebuah goa tempat orang mati digeletakkan begitu saja di Tanatoraja tahun 2003 lalu, misalnya, saya melihat tulang belulang dan tengkorak yang kadang sudah agak menghitam. Lantas imaji saya coba merekonstruksi saat daging, kulit, dan nyawa masih menjadi bagian tulang-belulang itu, saat si mati masih hidup. Saya bayangkan, ia mungkin seorang raja kaya yang berkuasa, perempuan cantik penakluk para pria kaya, atau orang-orang yang berpengaruh lainnya yang di kala hidupnya sangat dihormati dan dipuja-puja.

Tetapi setelah menjadi tulang-belulang… tak lebih dari kumpulan benda yang tak berharga apa-apa, yang bisa kapan saja dimangsa srigala. Orang, dan bahkan sanak-saudara segera lupa siapa kita ketika kita sudah menjadi penghuni abadi kuburan. Bukan begitu, Bung, Non!?

Itu sebabnya mengapa saya punya ketertarikan tersendiri terhadap kuburan. Bahkan pada 13 Juni 1996, satu tulisan saya di Harian Kompas, bercerita mengenai Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang No 1 Jakarta. Dalam museum terbuka atau Open Air Museum satu-satunya di Indonesia itu, tertanam rangka para orang-orang penting Belanda, mulai dari gubernur jenderal pertama sampai rakyat Belanda biasa yang mati di Batavia. Kepala Museum saat itu, Ralin Manik, bahkan bertanya mengapa saya tertarik menulis kuburan. “Rasanya baru Anda wartawan yang meliput di museum ini,” katanya.

Kini saya berdiri di kuburan yang berbeda. Bukan di Tanah Abang tempat dimana orang-orang Belanda ditanam, tetapi saya berdiri di kuburan Vietnam di Pulau Galang. Pasti tanah beku ini juga punya cerita. Sepanjang 16 tahun, merujuk pada keberadaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang datang tahun 1979 hingga 1995, telah banyak pengungsi Vietnam yang meninggal di tempat ini karena berbagai sebab. Baik kematian alamiah atau karena depresi tak tertahankan akibat berbulan-bulan terkatung-katung di atas lautan sebagai manusia perahu, tercerai berai dari sanak-saudara dengan masa depan yang masih samara-samar.

Di depan pintu gerbang kuburan terdapat tulisan “Ngha Trang Grave” yang menunjukkan nama pemakaman itu. Di bawah gerbang, bersatu dengan nisan-nisan besar kuburan, terdapat satu inskripsi yang ditulis dalam lima bahasa, termasuk Bahasa Indonesia:

Dipersembahkan kepada para pengungsi yang meninggal dunia pada waktu perjalanan menju kebebasan” atau dalam bahasa Inggris, “Dedicated the people who died in the sea on the way to freedom”.

Perkiraan saya tidaklah terlalu meleset mengenai sebab-sebab kematian para pengungsi itu. Depresi di sini bisa berarti bunuh diri karena tak tahan menanggung beban mental. Saya kemudian membaca plakat berisi empat alinea pengumuman yang sedikit-banyak bercerita mengenai kuburan itu. Aliena pertama dan kedua plakat itu berbunyi begini:

“Di pemakaman ini terdapat 503 makam terdiri dari makam pengungsi Vietnam dan Kamboja dengan agama yang berbeda yaitu Kristen dan Budha”

“Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah.”

Saya tidak mengubah sedikitpun kata-kata yang tertulis dalam plakat itu. Saya biarkan apa adanya untuk memberi pemahaman utuh kepada pembaca. Sebanyak 503 makam, berarti sejumlah itulah warga pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang meninggal dunia. Kalau jumlah itu hanyalah10 persen dari pengungsi yang mati selama 16 tahun, bisa jadi sedikitnya pengungsi yang datang ke Pulau Galang sebanyak 5.000-an. Dari penelusuran sejumlah dokumen mengenai keberadaan pengungsi di hutan karet seluas 80 hektar itu, sedikitnya terdapat 10.000 pengungsi Vietnam. Kalau jumlah ini benar, artinya 5 persen pengungsi Vietnam menemui ajal di Pulau Galang ini.

Saya kemudian membaca inskripsi-inskripsi yang tertulis di atas nisan. Ada nama Dominico Nguyen Cong Cinh (lahir 1933, meninggal 1989), juga ada Daminh Nguyen Anh. Sudah dua “Nguyen”. Apakah yang terakhir itu Nguyen yang diceritakan dalam novel itu? Saya tak tahu. Melihat tanggal lahirnya yang tahun 40-an, tentulah dia bukan Nguyen si perawan Vietnam dalam novel memikat itu.

Tentu saja masih ada 500-an inskripsi lainnya yang tidak mungkin saya catat satu persatu. Pada hampir semua batu nisan tertulis nama jelas si mati, berikut tanggal lahir dan hari kematiannya. Jika tidak ada tahun kelahirannya, paling tidak saat dia tiba di Pulau Galang sampai ia meninggal, tertulis sebagai “sejarah” yang banyak berbicara. Mengapa disebut “banyak berbicara”? Karena pada monumen beku itulah sebuah prahara kemanusiaan pernah terjadi dan kuburan adalah sebagai pangkal ingatan atau memori untuk sampai ke sejarah kelam kemanusiaan itu.

Tengok misalnya salah seorang mantan pengungsi bernama Hai Yen Hyunh dan anaknya Tien Kran yang sudah menjadi warga negara Australia, sengaja datang bereuni ke Pulau Galang pada 3 April 2005, setelah belasan tahun meninggalkan Pulau Galang. Ibu dan anak ini bukan sekadar reuni atau temu-kangen dengan sesama pengungsi lainnya, tetapi mengunjungi suami atau ayahnya di Pekuburan Ngha Trang ini.

Suami Hai meninggal enam bulan sebelum ia dan anaknya pergi ke Australia tahun 1987, ”Saya sangat sedih harus meningalkannya,” kata Hai, kini berusia 55 tahun, yang pengalaman pribadinya tertulis dalam situs ThingAsian.

Saya masih berada di pekuburan Vietnam ini dan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:

“Ziarah kuburan ke makam ini oleh para keluarga dan sahabat yang pernah menjalani hidup bersama di pengungsian, sudah beberapa kali dilakukan.”

“Para peziarah adalah mantan pengungsi Galang yang memperoleh sponsor dari negara-negara seperti Australia, Kanada, Amerika Serikat serta negara lainnya yang kini hidup senang dan mapan di negara-negara tersebut.”

Memang Hai Yen Hyunh dan anaknya Tie Kran tidak sendirian. Ada sejumlah orang Vietnam lagi yang tidak harus menunggu sampai tahun 1995 sebagai batas akhir pemulangan pengungsi dari Pulau Galang. Ada beberapa pengungsi lainnya yang keluar sebelum tahun itu. Setelah Saigon jatuh tahun 1975, manusia perahu Vietnam dan Kamboja mencapai 147.000 orang yang berhasil selamat dan tinggal di sejumlah tempat penampungan pengungsi, termasuk Pulau Galang. Sebanyak 132.000 di antaranya diterima sebagai warga negara di negara ketiga. Ibu dan anak Hai-Tie termasuk 132.000 orang yang beruntung, meski di Australia ia menjalani hidup sebagai penjahit pakaian.

Saat pengungsi Vietnam yang tinggal di Pulau Galang harus segera dipulangkan, banyak di antara mereka memilih bunuh diri dengan cara gantung diri atau menenggelamkan diri ke laut dalam. Mereka lebih memilih mati daripada mati di tanah tumpah darahnya sendiri.

Kini para pengungsi Vietnam, termasuk yang pernah mukim di Pulau Galang, sebagian sudah menemukan kehidupannya di negeri ketiga, negara yang bersedia menerima mereka sebagai warga negara. Tidak ada satupun dari mereka yang bersedia kembali ke Vietnam karena mengira perang Vietnam masih berkobar. Sebagian lagi, tentu saja tertinggal di Pulau Galang, setidak-tidaknya 503 pengungsi Vietnam penghuni pekuburan Ngha Trang ini. (bersambung)

Komentar Pembaca:

cory @ Senin, 26 Mei 2008 09:41 WIB
jadi ingin ke batam........... ternyata banyak sekali sejrah di sana

veddys @ Minggu, 25 Mei 2008 16:55 WIB
ayo, lanjut cepat, kayaknya masih banyak yg belum di ceerita

ines @ Minggu, 25 Mei 2008 13:32 WIB
been theeree!! tempat pengungsian vietnam dulu.. sangat bersejarah.. sampai saya ke batam tahun lalu, saya ga pernah tahu kalau ternyata bangsa kita pernah berbaik hati menampung bangsa vietnam yang sekarang secara ekonomi semakin membaik.. :D ga kebayang mereka naik perahu mirip sampan utk sampai ke batam..

Monday, June 09, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (56)


Menulis dengan Hati (3)


TULISAN ketiga saya mengenai Pulau Galang adalah perahu. Mengapa benda mati ini yang saya jadikan obyek tulisan? Bekalnya hanyalah imajinasi. Kebetulan ada tiga "monumen kayu" berupa tiga perahu yang dulu digunakan para pengungsi Vietnam untuk sampai ke Pulau Galang. Imajinasi saya mulai bermain...

Saya membayangkan perahu itu dihuni oleh beratus-ratus "manusia perahu", saya bayangkan ada pengungsi stress yang melompat dari perahu itu jauh sebelum sampai ke Pulau Galang, saya bayangkan ada mayat yang dilemparkan dari atas perahu karena tak tahan menanggung derita fisik dan mental, saya bayangkan susahnya perjuangan perahu itu saat menghadapi badai di tengah lautan, dan seterusnya...

Tidak lupa saya membaca keterangan mengenai perahu itu. Saya kutip lengkap karena inilah informasi berharga saat tidak ada orang yang bisa memberi tahu saya. Tetapi yang jelas, saya berupaya merekonstruksi peristiwa dengan melihat "monumen kayu" berupa tiga perahu eks pengungsi Vietnam yang masih tersisa di Pulau Galang sebagaimana yang bisa sahabat baca di bawah ini....

Apa yang Menarik di Batam (3)
Saksi Bisu Tiga Buah Perahu
Oleh PEPIH NUGRAHA

Saya meneruskan perjalanan setelah puas menikmati Jembatan Habibie atau Jembatan Teungku Fisabilillah. Untuk sampai ke Pulau Galang, saya harus menempuh empat jembatan lagi, minus satu jembatan terujung yang menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru. Untuk itulah mengapa Jembatan Barelang yang merupakan kependekan dari Batam-Rempang-Galang itu memiliki enam jembatan.

Seperti yang saya ceritakan terdahulu, hanya satu jembatan yang paling fenomenal, baik dari struktur bangunan, panjang, maupun keindahannya. Kini saya sudah meninggalkan “Batam Coret”, yang dapat saya lihat di rambu-rambu sebelum menuju pulau berikutnya, Pulau Tonton. Dari kaca spion mobil, saya melihat bayangan Jembatan Barelang berdiri indah dan megah dengan jalan di tengahnya yang tidak rata dan seperti terangkat tali-tali kawat baja.

Semakin menjauh, semakin jarang mobil yang melintas. Kalaupun ada yang melintas, saya masih bisa menikmati merek dan jenis-jenis mobil yang aneh-aneh, yang tidak beredar di Jakarta, mulai dari jeep, sedan, sampai kendaraan serba guna buat keluarga. Sesekali berpapasangan dengan mobil double-deck, yang bagian belakangnya memang dipergunakan untuk mengangkut kayu. Memang untuk semestinya. Di Jakarta, tidak pernah saya melihat bagian belakang mobil double-deck digunakan mengangkut kayu atau hasil bumi lainnya, melainkan ditutup terpal atau memasang aksesoris mahal lainnya. Pokoknya double-deck di Jakarta 100 persen buat “ngegaya”, sementara double deck di Batam asli buat kerja.

Bagi peminat otomotif, yang mencolok saat kita keluar dari Bandara Internasional Hang Nadim, saat mencari taksipun sudah dihadapkan pada berbagai jenis dan merek kendaraan yang digunakan. Taksi yang saya tumpangi, misalnya, adalah Toyota hatchback yang dilengkapi airbag. Di Jakarta mungkin ada taksi yang dilengkapi alat keselamatan jika kendaraan berbenturan itu, tetapi itu masuk taksi “golden” atau “premium”, yang tarifnya aduhai. Di Batam, saya menikmati taksi sedan yang nyaris tanpa suara, dilengkapi airbag, tetapi dengan tarif biasa.

Meski terlihat sudah agak out of date, tetap saja berbagai jenis mobil itu terkesan mewah buat saya. Bayangkan, Toyota Harrier, Celica dan RAV4, Nissan Terano, Mitsubishi Pajero built up, yang hanya ada dalam angan-angan saya itu, berseliweran di jalanan Batam. Semua mobil itu didatangkan dari Singapura dengan bea masuk yang nyaris nol persen, sehingga jatuhnya pun menjadi murah sesampainya di Batam. Di Singapura, mobil-mobil itu baru dipakai paling tidak 4-5 tahun, setelah itu “dibuang” ke Batam.

Itu berarti, mobil-mobil itu masih “gres” saat tiba di Batam. Jalanan yang mulus dan jarak tempuh yang terbatas, pastilah membuat kondisi mobil tidak cepat rusak. Tetapi, jangan harap mobil di Batam bisa keluar dari Batam yang dikenal sebagai kawasan berikat itu. Ah, itu teori. Buktinya saat saya bertugas di Aceh beberapa pekan setelah tsunami, banyak mobil-mobil eks-Singapura yang berhasil dikeluarkan dari Batam. Apa yang tidak mungkin di negeri ini, Bung!

Jembatan Tonton-Nipah, Nipah-Setoko, dan Setoko-Rempang sudah saya lalui. Kalau seluruh enam jembatan itu dibentangkan, panjangnya bisa mencapai dua kilometer. Pada sebuah ruas, John membelokkan mobilnya ke arah kiri.

“Kita memasuki bekas kamp pengungsi Vietnam, Pak,” katanya. Wow, inilah yang saya tunggu-tunggu.

Saat kendaraan memasuki jalan yang lebih kecil setelah berbelok dari jalan besar, mata tertumbuk pada peta raksasa mengenai rencana pembangunan Pulau Galang. Saya menemui jalan bercabang. Ke arah kiri menuju Pelabuhan Karyapura, Masjid Baiturrahman, perumahan komunitas lokal atau penduduk asli Pulau Galang, dan Gereja Katolik Hati Kudus. Sementara ke arah kanan menuju bekas kamp pengungsi Vietnam. Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cata dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM.

“Kita langsung ke kanan saja, John,” pinta saya. John menurut. Mobil pun memasuki pintu gerbang.
“Bapak harus membayar tiket masuk,” kata John. Tanpa diberi tahu pun sebenarnya saya sudah tahu. Saya mempersiapkan uang lembaran limapuluh ribuan. Saat menurunkan kaca mobil, seorang petugas melongok.
“Berapa orang, Pak?”
“Dua,” jawab saya cepat, “Satu sopir travel”
“Duapuluh ribu saja,” katanya.

Saya melirik John, maksudnya meminta jawaban kok harganya semurah itu, padahal kami bertiga masuk dengan mobil. Saya jadi ingat Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta, penumpang dihitung perkepala. Sialnya, kendaraan masuk pun kena hitung, seakan-akan kendaraan itu ingin ikut menikmati Ancol! Rupanya di Pulau Galang ini tidak.

“Biasaya kalau mobil penuh kami memungut biaya dupapuluh lima ribu rupiah. Tetapi karena hanya dua orang, ya cukup sepuluh ribu rupiah saja,” kata petugas. Astaga, ternyata John tidak “direken” orang!

Setelah membayar, kami segera melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat. Di berbagai tempat terdapat plang bertuliskan “Galang, Memory of a Tragedic Past”. Kalau saya terjemahkan secara bebas, mungkin bunyinya “Galang, Kenangan akan Tragedi Masa Silam”. Segala fasilitas yang tersedia untuk pengungsi, masih ada di sana. Mulai dari barak tempat penampungan pengungsi, rumah sakit, sekolah, gereja, sampai kuburan. Tetapi mata saya langsung tertumbuk pada tiga perahu kayu. Inilah “malaikat penyelamat” nyawa para pengungsi Vietnam sesungguhnya yang terdampar di Pulau Galang!

Perahu. Tidak ada istimewanya dengan alat transportasi ini bagi saya. Beberapa tahun lalu saya dan teman-teman menyewa kapal yang tiga kali lebih besar dari tiga perahu yang ada di depan mata saya itu. Bukan karena terapung-apung mengungsi, tetapi sengaja mengapungkan kapal yang disewa belasan juta rupiah itu di tengah samudera di perairan antara Sulewesi dan Kalimantan semata-mata untuk bersenang-senang, yakni memancing ikan kakap di laut dalam. Sebuah pengalaman eksotis yang kemudian saya tulis di Harian Kompas.

Tetapi tiga perahu yang ada di depan saya itu, yang ukuran panjangnya saja tidak lebih dari lima belas meter, telah “berbicara banyak” dalam menyalamatkan puluhan nyawa pengungsi Vietnam yang berlindung di haluan sampai buritannya. Saya mencari-cari informasi mengenai tiga perahu itu. Tidak ada guide yang membimbing dan memberi saya informasi. Untunglah di depan tiga perahu itu ada plakat tiga alinea yang bunyi aliena pertamanya begini:

“Perahu kayu ini adalah sisa-sisa dari peninggalan pengungsi Vietnam yang sengaja ditenggelamkan di perairan Pulau Galang dan ada beberapa perahu yang dibakar oleh para pengungsi sebagai aksi protes dan penolakan pemulangan kembali ke negara Vietnam.”

Saya membayangkan Nguyen, si perawan Vietnam dalam novel itu berada di salah satu perahu itu. Terbayang pula setelah ia diperdayai si lelaki “Toloheor” yang kemudian meninggalkannya begitu saja, Nguyen terlunta-lunta karena cinta sucinya yang kandas, yang tersia-sia begitu saja. Saya membayangkan saat para pengungsi itu diminta paksa keluar dari Pulau Galang, Nguyen meronta-ronta karena tidak mau dikembalikan ke Vietnam. Maunya ia ingin tinggal di Indonesia, hidup bersama lelaki yang merenggut kegadisannya, yang dikira mencintainya sepenuh hati.

Saya membaca aliena kedua plakat itu:

“Setelah peninggalan mereka dari Pulau Galang tahun 1995, perahu ini oleh Otorita Batam diangkat ke daratan kemudian diperbaiki dan dipamerkan untuk publik sebagai obyek yang bernilai sejarah.”

Saya sangat setuju kalau tiga perahu itu bernilai sejarah. Saya tidak akan menyangkalnya. Tahun 1995. Artinya baru 13 tahun yang lalu terjadi prahara kemanusiaan yang menimpa pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Setelah merapat di Pulau Galang tahun 1979, setelah terapung-apung berbulan-bulan dan bahkan ada yang sampai terapung setengah tahun, mereka sampai di pulau ini dan mendapat perlindungan badan PBB untuk urusan pengungsi atau UNHCR. Dari 1979 ke 1995, itu artinya perjalanan waktu selama 16 tahun. Saya mulai menghitung-hitung…

Kala itu gadis Nguyen dalam novel dan hidup dalam fantasi saya itu berusia 17 tahun, gadis yang tengah mekar-mekarnya. Artinya, ia meninggalkan Pulau Galang saat usianya menginjak 33 tahun, usia yang menjadi ukuran puncak kedewasaan seorang perempuan, saat gurat-gurat kecantikan belum begitu banyak beranjak tergerus usia. Saya mau bilang, Nguyen pasti masih tetap cantik diusianya yang ke-33 saat ia dengan perasaan berat harus meninggalkan Pulau Galang, meninggalkan cintanya yang kandas. Nguyen, Nguyen…. dimana kamu sekarang?

Enam belas tahun. Tentu bukan waktu singkat. Saya bayangkan, di kamp pengungsian itu pasti ada bayi usia bulanan yang selamat saat pertama kali mereka. Maka ketika ia harus meninggalkan Pulau Galang, pastilah bayi itu sudah beranjak remaja, sama seperti saat Nguyen tiba. Kalau ada pengungsi Vietnam sudah berusia tua saat tiba di Pulau galang, pastilah ia juga meninggal dan ditanam di Pulau Galang. Maka kuburan pengungsi Vietnam akan menjadi fokus tulisan saya tersendiri, demikian pikir saya saat itu. Tetapi sekarang saya membaca alinea ketiga plakat itu:

“Perahu inilah yang dipakai para pengungsi mengarungi lautan Cina Selatan selama berbulan-bulan dan sejauh ribuan kilometer menuju berbagai belahan dunia dengan harapan dapat perlincungan dari negara lain, di antaranya sampai ke Pulau Galang ini dan sebagian dari mereka gagal mencapai daratan dan gugur di tengah lautan karena perahunya tenggelam”.

Saya memandang dan bahkan memegang satu perahu yang bagian lambung kirinya sudah hancur akibat kuasa bakteri. Satu perahu lagi, di ujung kiri-kanan haluannya, tertulis TG 1050 TS. Saya memuaskan diri berlama-lama di depan tiga perahu yang menjadi “saksi hidup” hidup-mati para pengungsi Vietnam, termasuk Nguyen di dalamnya.

Setelah puas, saya bergegas menuju segerumbul tanaman teduh, tempat kuburan para pengungsi Vietnam yang meninggal di Pulau Galang. Saya akan menuliskan tentang kuburan bisu tetapi “bercerita banyak” ini dalam tulisan perjalanan berikutnya… (bersambung)

Komentar Pembaca:

Nadya @ Rabu, 28 Mei 2008 13:47 WIB
Udah 3 taon gak pulang benar2 bikin kangen.Pulau2 yang indah,air laut pulau barelang yg biru..juga suasana malam kora batam...Akuuuuuuuuu mauuuuuuuuu pulang

Vira S. Irzan @ Senin, 26 Mei 2008 18:51 WIB
Waaaah, jadi kangen Batam nih. It's been more than a year kami ga ke Batam. Kami dulu sempat tinggal di Batam mulai medio Desember 2000 - Februari 2007. Memang, bekas kamp pengungsi Vietnam itu tidak terawat, bahkan sisa2 bangunan yg ada sudah nyaris lapuk dimakan pergantian cuaca. Pdh kan bisa dijadikan aset sejarah. Bagaimana nih OB dan Pemko Batam...?

J-Star168 @ Sabtu, 24 Mei 2008 09:17 WIB
Waduh... Selama 10 tahun gw tinggal dibatam belum pergi ke Galang terutama ke tempat pengungsi Vietnam. Selama ini hanya dengar-dengar orang tua cerita saja. Haha... Kali ini gw juga mau pergi liat langsung lah 3 perahu peninggalan Vietnam dan tempat-tempatnya.

heru @ Sabtu, 24 Mei 2008 08:48 WIB
Waaah.........kampung vietnam ini jadi ngingetin aku, kenangan indah bersama kawan-kawan 2 tahun yang silam. kapan yach ke batam lagi????

Friday, June 06, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (55)


Menulis dengan Hati (2)

BELAJAR menangkap "tag", "icon", atau "landmark", penting dalam penulisan. Setidak-tidaknya itu awal atau pembuka pikiran kita untuk menulis sesuatu. Bisa juga itu sebagai ide awal.

Saya tidak mau menerjemahkan apa itu "tag", "icon", atau "landmark". tetapi jelasnya begini, apa "penanda" Kota Jakarta yang paling dikenal banyak orang, jawaban paling umum tentu saja Tugu Monas. Apa penanda Kuala Lumpur atau bahkan Malaysia, jawabannya tentu saja Menara Petronas. Masih ada Big Ben di Inggris atau Eiffel di Paris.

Maka ketika seorang petugas travel di Batam menyebut berulang-ulang kata "jembatan" dan disambungkan dengan kata "Jembatan Barelang", saya mulai menangkap "landmark maya" tentang sebuah jembatan. Bahkan menurut dia, jembatan itu tidak hanya satu, tetapi enam!

Saya tidak tahu apakah Jembatan Barelang itu akan jadi penanda Batam atau Pulang Galang. Tetapi yang jelas, saya berhasil menangkapnya dan menuliskannya dalam seri kedua tulisan mengenai Pulau Galang ini.

Apa yang Menarik di Batam (2)
"Enam Bersaudara" Jembatan Barelang
Oleh PEPIH NUGRAHA

Bicara soal jembatan, sebuah "ikon" Kota Batam yang ditawarkan John, sopir yang mengantar saya menelusuri jalan lurus menuju Pulau Galang, saya teringat Golden Gate Bridge di Teluk San Francisco, Amerika Serikat, yang menghubungkan San Francisco dengan California. Seperti itukah Jembatan Barelang?

Dari kejauhan, saya belum melihat Jembatan Barelang. Tetapi dua pucuknya di kiri dan kanan menjulang ke langit membentuk kerucut, terlihat samara dari kejauhan. Pucuk kerucut sampai ke jalan raya mencapai 200 meter. Alangkah tingginya pucuk itu, gumam saya. Melihat pucuk yang menjadi titik tumpu kekuatan itu, saya juga teringat “ikon” baru Kota Bandung berupa jembatan layang di atas Pasteur.

“Itulah jembatan pertama dari enam Jembatan Barelang, Pak,” kata John dengan pandangan tertuju ke depan. “Apakah lima jembatan lainnya juga menjulang setinggi itu?”
John menjawab, “Tidak, hanya jambatan inilah yang terbagus. Lainnya biasa saja.”

Hemh, boleh juga Kota Batam ini, pikir saya. Tapi persoalan yang saya baca dari hari ke hari, adalah wajah industri Batam yang semakin muram. Banyak investor yang semula terkonsentrasi di Kawasan Industri Batamindo Muka Kuning, hengkang ke negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Alasan investor, karena adanya dualisme aturan yang membingungkan dunia usaha; aturan Pemerintah Kota Batam dan aturan Otorita Batam. Kerap karena ingin saling unjuk pengaruh, masing-masing aturan saling berbenturan, bukan malah saling melengkapi dan mendukung.

Pemerintah pusat bukannya tidak mengetahui persoalan ini. Pernah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyapa dan mengundang kembali para pengusaha agar menanamkan modalnya di Batam, bukannya di negara tetangga. Tetapi dalam dunia bisnis, imbauan penguasa atau raja sekalipun belumlah cukup. Para pengusaha tidak butuh cumbu rayu atau pemanis kata-kata penguasa. Yang mereka butuhkan adalah aturan yang tegas, aturan yang tidak membingungkan, aturan yang tidak mendua.

Mereka, para pengusaha itu, tidak keberatan dengan membayar pajak, asalkan pajak yang jelas, bukan “pajak siluman” yang harus menjadi beban pengusaha, mulai “pajak siluman” dari oknum aparat keamanan, oknum legislatif dan eksekutif, bahkan “uang keamanan” untuk sejumlah organisasi massa. Kalau para pengusaha sudah pada lari ke luar negeri, akibatnya sangat mengerikan.

Selain akan dipenuhi para pengangguran, Batam hanya akan menjadi rongsokan pabrik yang kosong di Muka Kuning. Akibatnya, tidak ada lagi pemasukan bagi kas daerah yang kelak mungkin hanya mengandalkan sektor wisata yang tidak seberapa nilainya karena tidak pernah digarap serius. Contohnya ya enam Jembatan Barelang ini.

Jembatan ini dibiarkan terentang apa adanya, sekadar pelepas penat warga Batam yang ingin menghirup udara segar di atasnya sambil memandang laut dan pulau-pulau kecil di bawahnya. Barelang yang dirancang sebagai kawasan industri terbesar negeri ini, hanya tinggal rencana di atas kertas. Ini kenyataan yang tak terbantahkan, paling tidak sampai saat ini.

Sinyal GSM yang memungkinkan ponsel internet bisa beroperasi sudah mulai putus. Tetapi beruntung tadi saya sempat membaca bahwa adanya Jembatan Barelang berkat jasa dan ide Pak Habibie. Beliau adalah mantan Presiden RI yang hanya menjabat 2,5 tahun sebelum digantikan Abdurrahman Wahid. Tetapi orang lebih mengenang Habibie sebagai “jagoan teknologi”, teknokrat ulung yang mengembangkan pabrik pesawat IPTN di Bandung, meski kemudian pabrik pesawat terbang yang berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) itu kini merana.

Sebanyak 50 insinyur aeronotika godokan IPTN sudah hengkang ke Malaysia, diiming-imingi pekerjaan dan kehidupan yang layak. Jangan heran, setelah memproduksi mobil Proton yang sudah berserakan di jalan-jalan Jakarta, sebentar lagi negeri jiran ini sudah bangga dengan pesawat produksi sendiri. Ratusan insinyur IPTN lainnya bekerja di pabrik-pabrik pesawat Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Spanyol, Brasil, dan negara lainnya. Ketika Habibie lengser dan nyaris tidak punya pengaruh apa-apa lagi, “menara pasir” tanpa fondasi kuat yang didirikannya pun ikut tersapu angin. Kalaupun masih ada, itu tinggal rangka-rangkanya saja.

Habibie adalah teknologi dan teknologi adalah Habibie. Di Jembatan Barelang yang sebentar lagi akan saya injak, saya kembali teringat jasa Pak Habibie. Bagaimanapun, beliau punya konsep mengenai Batam, Rempang dan Galang ini, yang bermaksud tidak hanya membangun Pulau Batam yang sudah penuh sesak dan jenuh, tetapi dengan melebarkan kawasan industri sampai ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Bahwa cita-cita tidak kesampaian, itu soal lain.

Saya percaya, ini bukan proyek tanpa konsep. Ada dasar pemikiran kuat, meski akhirnya saya tidak melihat perpindahan kawasan industri itu ke Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kawasan industri tetap saja umpel-umpelan di Kawasan Industri Batamindo Muka Kuning, Pulau Batam.

Nama resmi Jembatan Barelang itu sendiri sebenarnya Jembatan Tengku Fisabilillah, Raja yang memerintah Kerajaan Melayu Riau pada abad 15 hingga 18. Tetapi penduduk Batam dan sekitarnya terbiasa menyebut Jembatan Habibie, merujuk pada si empunya gagasan. Jembatan pertama yang ternyata kokoh namun indah ini menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton di titik terujungnya.

Membentang sepanjang 642 meter, jembatan yang mulai dibangun tahun 1992 itu tidak lebih dari jembatan gantung yang atasnya terentang kabel-kabel baja. Beberapa pilar beton raksasa ditanamkan ke dasar laut untuk menyangga badan jalan dengan empat jalur kendaraan di atasnya itu. Kabel-kabel baja sebesar lengan terikat di tepi jalan dengan jarak yang sudah dihitung, lalu seluruh ujungnya terkumpul di satu titik di atas puncak tonggak setinggi 200 meter.

Kalau dilihat dari jauh, nampaklah jembatan pertama Jembatan Barelang ini seperti jaring raksasa penjerat burung berbentuk segitiga, atau dilihat lebih jauh lagi, tampak seperti bayangan transparan piramida Mesir yang muncul dari permukaan laut!

John bercerita, kalau sore hari atau hari libur lainnya, jembatan ini penuh sesak oleh warga Batam dan pelancong yang menghabiskan waktu “menyantap” bulatan matahari kekuningan tergelincir di ufuk barat.

“Jadi kami boleh berhenti di Jembatan Habibie ini, John?” tanya saya.
“Tentu, Pak, saya ajak Bapak ke sini ini memang untuk menikmatinya. Silakan!” Toyota berkursi 14 yang tidak beredar di Jakarta ini menepi di kiri jalan. Saat menepi, beberapa pedagang asongan yang menawarkan gorengan udang dan gorengan kepiting menghampiri.

“View first, then cullinaire,” pikir saya. Lantas saya pun mengeluarkan Canon saku saya dan mulai membidik sana-sini. Setelah itu, barulah saya berpaling ke pedagang asongan tadi.

Saya tertarik dengan penganan itu bukan karena lapar, tetapi karena cara penyajiannya yang mengundang penasaran. Lima udang dijajarkan dan seperti menempel di lidi, kemudian digoreng dengan tepung berwarna kuning. Hasilnya adalah goreng udang tepung yang berongga besar dengan lidi sebagai “porosnya”. Pedagang menawarkan Rp 10.000 untuk empat gorengan udang. Satu lagi gorengan kepiting besesar telapak tangan berwarna merah saga. Baru kali ini saya melihat kepiting diperlakukan seperti itu, yakni digoreng dengan tepung. Harganya lumayan mahal, Rp 25.000 per ekornya.

Saya tidak tertarik membelinya. Bukan karena saya tidak suka udang dan kepiting, tetapi karena tujuan saya ke Pulau Galang, tempat ribuan pengungsi Vietnam bernaung, belum tercapai. Lagi pula John memberi second opinion terhadap kepiting malang itu.

“Dua puluh lima ribu untuk sejentik daging kepiting, rasanya terlalu mahal, Pak,” katanya.

Saya tidak mau mendebat John, tetapi saya ingin buru-buru melintasi empat jembatan lainnya agar bisa segera sampai ke Pulau Galang, pulau dimana gadis Vietnam bernama Nguyen hidup dalam bayang fantasi saya. (bersambung)

Komentar Pembaca:

Nella @ Selasa, 27 Mei 2008 09:57 WIB
Wah ini tempat favorit kami waktu di Batam..enak tuh kepiting n udangnya renyah banget. Enaknya sih kesana sore2 jd gak panas. Sambil nongkrong kita nyanyi2 n keliling sampai jembatan 5 enak banget. Tapi klo sdh malam kami gak berani ke camp vietnam takut serem banget kuburanya......

Hery Azwan @ Sabtu, 24 Mei 2008 09:46 WIB
Wah, kepiting gorengnya pasti enak tuh. 25 ribu? Ehm...kalau pake ukuran Jakarta pasti murah banget. Mentahnya aja di supermarket bisa 50 ribu sekilo (2 ekor).

Mia @ Jumat, 23 Mei 2008 19:17 WIB
Foto jembatannya dunk, bung Pep... :) Btw, jadi pengen nyoba kepiting gorengnya atuh...

cory @ Jumat, 23 Mei 2008 07:34 WIB
saya tunggu cerita selanjutnya ya...........