Tuesday, October 28, 2008

Dari Kompasiana (6)


Mengapa JK Selalu Dicurigai?

TIDAK seorangpun mampu memahami kemana Jusuf Kalla (JK) melangkah, kecuali dirinya sendiri. Langkah di sini tentunya manuver politik yang dilakukannya terkait dengan Partai Golkar yang dipimpinnya, juga langkahnya menginjak tahun 2009 nanti, apakah ia maju sebagai calon presiden, atau cukup puas dengan menjadi calon wakil presiden, mengulang sejarah manis tahun 2004 lalu.

Awal tahun 2004, saya berkesempatan menumpang pesawat JK bernama “Atthira” dari Makassar ke Ambon. Waktu itu JK sudah menyatakan mundur dari kabinet Megawati. Di atas pesawat, saya dipanggil duduk di sebelah JK. Dia mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, lalu mulai menuliskan angka-angka. Saya berpikir, JK benar-benar saudagar yang gemar berhitung, meski baru di atas kertas. Inti dari coreng-morengnya di atas kertas berisi perhitungan itu, JK yakin akan menjadi wakil presiden dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pasangannya, akan dipilih rakyat menjadi presiden.

Delapan bulan kemudian, hitung-hitungan di atas kertas JK menjadi kenyataan!

Paket militer-saudagar ini ternyata laku dijual, menggusur tiga pasangan lainnya di putaran pertama dan menumbangkan duet “Nasionalis-Hijau” Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi di putaran kedua. Sebagian besar rakyat Indonesia, paling tidak jumlah yang saat itu memilih presiden/wapres secara langsung, memilih pasangan SBY-JK.

Pertanyaan yang kerap publik lontarkan, akankah SBY masih satu perahu dengan JK atau mereka dengan perhitungan rumit (lagi-lagi sebagai saudagar JK pasti sudah mulai menghitungnya) harus pisah haluan?

SBY, tentu saja tidak akan “turun pangkat” jadi calon wapres. JK, masak iya harus jadi calon wapres lagi? Meminjam Jenderal Naga Bonar, “Apa kata dunia kalau JK masih jadi calon wapres? Apa kata dunia Gokar sebagai partai besar (apalagi kalau memenangi pemilu 2009) cukup puas hanya memajukan kadernya sebagai wapres?” Yah, apa kata kita-kita juga?

Sekarang, langkah JK di intern partainya dicurigai sebagai “langkah siluman” atau langkah diam-diam JK ber-zoon politicon. Ibarat pesawat siluman Stealth, JK bebas bermanuver di angkasa atau bahkan menukik ke daratan tanpa terdeteksi radar politik pihak lawan. Manuver apapun, tentu saja untuk kepentingan 2009, bukan?

Mengapa JK dicurigai kawan dan lawan? Di intern partai JK misalnya menghapuskan “Konvensi Golkar” untuk menjaring bakal calon presiden yang dirancang Akbar Tandjung. Tujuannya bisa ditebak, JK tidak mau tersandung di konvensi dengan tidak dipilih sebagai calon presiden partainya. Kemungkinan kalahnya JK di Konvensi bukan hal yang mustahil. JK siap diberondong kadernya sendiri karena gagalnya Golkar menjadikan kader partainya sebagai kepala daerah, gubernur atau bupati/walikota. Juga akan dipertanyakan tidak atau jarangnya JK turun ke bawah menyapa para kadernya, setidak-tidaknya dibanding Akbar dan Harmoko.

Mengapa Konvensi Golkar harus dihapus? Bagi JK ini sederhana saja. “Wiranto yang lolos konvensi partai saja gagal di putaran pertama dan hanya mampu menduduki peringkat tiga, masak konvensi harus diulang kembali!?” Demikian kira-kira kalau mengikuti jalan pikiran JK sebagai saudagar.

Mengapa pula JK sampai sekarang tidak segera mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden? Jawabannya juga sederhana, “Kalau itu saya lakukan, pemerintah sekarang tidak akan berjalan karena banyaknya kader Golkar di kabinet yang harus berlawanan dengan SBY, dan kalau kalau pemerintahan tidak jalan yang menjadi korban ‘kan rakyat juga.” Demikian kira-kira jawabannya.

Tidak perlu dululah membahas munculnya banyak calon-calon presiden dan wapresnya dari Partai Golkar sendiri, yang pasti sudah diperhitungkan pula oleh JK. Tetapi dengan menghapus konvensi dengan alasan hasilnya “tidak bergigi” dan tidak maunya sekoci pemerintahan oleng hanya karena mengumumkan pencalonan dirinya sebagai calon presiden, bukankah itu manuver yang logis dan masih masuk akal?

Kalau begitu, mengapa JK selalu dicurigai? Saya tidak tahu….!

Palmerah, 28 Oktober 2008
Hari Soempah Pemoeda

*Tulisan saya ini diambil dari Kompasiana, blog jurnalis Kompas.


Sunday, October 26, 2008

Dari Kompasiana (5)


Fariz Rustam Munaf

SAYA terkejut juga ketika tulisan ringan saya mengenai penyanyi Fariz Rustam Munaf, yang lebih dikenal dengan Fariz RM, dibaca 747 kali saat saya masukkan ke Kompasiana hingga pukul 20.30 WIB Sabtu hari ini. Bagi saya itu jumlah pembaca yang lumayan besar dan terukur. Bukan karena tulisan itu menarik untuk dibaca, tetapi lebih faktor Fariz RM yang sampai sekarang masih punya banyak penggemarnya, dan bahkan di antara mereka masih banyak yang menantikan kehadiran album barunya.

Saya bertemu istri Oneng itu pada Kamis (23/10) lalu di kantor Redaksi Kompas setelah diajak rekan saya, Budiarto Shambazy. Terlalu sayang kalau dilewatkan begitu saja pertemuan saya dengan salah satu musisi yang saya kagumi. Maka saya menulis laporannya untuk Kompas.com beberapa menit setelah wawancara itu usai. Sedangkan tulisan yang saya maksud "inside story" itu saya tulis di Kompasiana.

Sahabat yang sama-sama ingin belajar menulis bisa membandingkan bagaimana penulisan tentang Fariz RM untuk Kompas.com yang resmi dibanding dengan tulisan untuk Kompasiana yang lebih ringan dan merdeka. Kompasiana adalah blog para jurnalis Kompas yang lambat tapi pasti mendapat pembacanya sendiri.

Friday, October 24, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (74)


Lagi-lagi tentang "Bagaimana Memulai Menulis"

BEBERAPA waktu lalu saya menerima pertanyaan dari rekan Prasetiyo Yudhi seputar bagaimana memulai menulis. Kebetulan dalam beberapa postingan sebelumnya, saya juga bicara soal bagaimana menyingkirkan rintangan saat memulai menulis. Berikut surat Presetiyo yang masih kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Assalamualaikum wr.wb...
halo mas pepih, gmn kbrny ..? mudh2 selalu dlm keadaan sehat wal afiat... perkenalkan n saya yudhi mahasiswa fikom unpad, saya suka dengan posting2 yg ada di blog-nya mas pepih, dan sy salut dengan anda...mas, saya ingin sharing nich:

1. bgmn cara memulai untuk menulis????, terkadang kita itu suka males...

2. gmn supaya menulis itu menjadi sebuah kebutuhan sehari2 atau kebiasaan...????

3. teknik menulis yg baik dan cepat menurut mas pepih ?

3. cara menambah perbendaharaan kata ?

4. kayanya sbg seorang jurnalis, mas pepih mempunyai kemampuan berbahasa asing yang baik. Saya mempunyai kesulitan berkomunikasi dlm berbahasa inggris, ingin rasanya saya lancar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa inggris..berdasarkan pengalamannya, apa mas pepih punya tips dan trik paling cepat untuk belajar bahasa asing...???????

tolong yang mas...trims.....smoga mas pepih sukses selalu.....
assalamualaikum wr.wb...

Di bawah ini jawaban yang bisa saya berikan, mungkin tidak cukup memuskan:

Waalaikum salam, Yudhi...
Saya juga alumnus FIKOM Unpad, hanya angkatan lama, angkatan 85. Mungkin kamu belum lahir kali ya saat saya masuk kuliah hehehe? Alhamdulillah saya dalam keadaan sehat wal afiat.

1. Dalam blog Beranda beberapa postingan saya menekankan bagiamana menerobos rintangan dalam memulai menulis. Memulai adalah sesuatu yang amat sulit, seperti kata pepatah lama Jerman "Aller Anfang ist Schwer" (semua permulaan itu sulit). Banyak cara yang dilakukan, antara lain mulailah menulis di catatan harian (diary). Apa yang ditulis? Apa saja! Peristiwa sehari-hari di seputar kita, lihat tetangga bertengkar, lihat anak keracunan makanan, lihat motor tabrakan dll. Jika niatnya untuk menjadi wartawan, pergunakan "alat bukti" peristiwa berupa kamera sederhana atau ponsel berkamera. Bidik peristiwa dan komentari peristiwa itu. Jangan ditunda! Dimana kamu menulis? Ya di catatan harian itu. Catatan harian itu bisa catatan harian dalam pengertian sebenarnya berupa buku atau yang agak moderan, BLOG. Jadi wajib kamu punya blog!

2. Anggap menulis itu sebuah perjuangan untuk mendapatkan makanan dan minuman, pasti kamu akan berusaha melakukannya!

3. Menulis yang baik itu dimana tulisan kita bisa dimengerti dan dipahami semua orang berbagai tingkatan. Jangan menulis dengan bahasa yang rumit dengan kalimat yang panjang2 sehingga sulit bernafas. Ciptakan kalimat yang pendek2 saja. Soal menulis cepat, itu persoalan latihan saja dan kebiasaan saja.

4. Cara menambah perbendaharaan kata tidak lain dari BACA, BACA, dan BACA. Apa saja. Jangan abaikan percakapan anak-anak muda/remaja, dimana bahasa kreatif sering muncul dari kalangan ini.

5. Di Kompas, kemampuan bahasa Inggris aktif itu WAJIB bagi jurnalis seperti saya. Tidak ada obatnya untuk bisa seperti ini selain belajar dan berlatih setiap hari.

Okay itu saja dulu, sukses ya studimu! O ya, tanggal Kamis, 23 Oktober 2008 nanti di Aula Unpad saya diundang bawakan makalah. Ya saya mau cerita soal kecenderungan media kini dan bagaimana mahasiswa FIKOM mengantisipasinya. Kalau mau ketemu, datang aja ya!

Salam, Pepih

Wednesday, October 22, 2008

Citizen Journalism (32)



Belakang 3 Huruf


BARU beberapa bulan lalu belakang nomor polisi untuk sepeda motor keluaran terbaru tidak lagi dua huruf, tetapi sudah tiga huruf. Ini karena sudah semakin banyaknya sepeda motor di Jakarta, sehingga kuota atau jatah dua nomor semua sudah terpakai habis. Tidak lama kemudian, belakang nomor polisi untuk mobil pun sudah tiga huruf, seperti yang tertera pada mobil sedan keluaran terbaru. Ini berarti, mobil baru pun semakin menyesaki ruas-ruas jalan di ibukota. Foto saya ambil beberapa waktu di sekitar Tanah Kusir, Jakarta Selatan, saat saya berada di belakang kemudi untuk berangkat kerja. (PEPIH NUGRAHA)

Monday, October 20, 2008

Catatan (68): Wader



Elegi Sekumpulan Wader


WADER baru saya dengar saat bertugas di Surabaya dua tahun lalu. Saat itu wader merupakan pesanan favorit makam malam teman-teman kerja. Saya coba-coba karena penasaran. Ternyata enak juga! Wader tidak lebih dari ikan sungai kecil-kecil yang digoreng kering tetapi dimakan bersama sambal terasi yang pedas. Waktu kanak-kanak, saya suka memancing di Sungai Cipamali atau Jati di desa kelahiran saya, Ciawi, Tasikmalaya. Saat itu ikan yang didapat antara lain ikan "beunteur" sebesar kelingking orang dewasa. Sisiknya keperakan dan kalau digoreng dibuang dulu isi perutnya. Bagi saya, wader adalah nama lain dari "beunteur". Sampai sekarang, kalau ada orang yang datang dari Surabaya, wader biasa di pesan. Beberapa hari lalu pesanan wader datang. Jadilah dia teman nasi setiap sarapan pagi. Dengan kopi Sidikalang yang pekat dan sop tofu jamur kuping, wader sambal terasi terasa dahsyat. (PEPIH NUGRAHA)

Sunday, October 19, 2008

Citizen Journalism (31)



Colourful Coconuts


DIMANA bisa kita temukan kelapa berwarna-warni bagai pelangi? Di Jalan Raya Jombang, Pondok Aren, Tangerang, dekat sekolah SD/SMP An-Nisa. Tentu saja bukan asli dari "sononya" berwarna-warni seperti biru, merah dan putih, melainkan hasil kerja tangan-tangan kreatif saja. Kelapa kering itu ditempelkan di dahan pohon rindang sebagai teaser es kelapa muda yang disebut "Kelapa Ijo". Lumayan juga, kumpulan kelapa kering yang dicat warna-warni itu menarik perhatian pelintas jalan, termasuk saya yang iseng menggambil fotonya beberapa hari lalu. (PEPIH NUGRAHA)

Monday, October 13, 2008

Dari Kompasiana (4)


Sebuah Reuni Keluarga*

SAYA membaca tulisan Taufik H Mihardja di Kompasiana ini, Mudik Menciptakan “Reuni Kecil” saat saya melaju dalam perjalanan mudik balik. Saya terkesan dengan isinya yang sederhana. Saya coba merekonstruksi kebahagiaan penulisnya saat bertemu teman-teman lawasnya, setelah lebih 20 tahun tidak bertemu. Pastilah ada cerita-cerita yang tak terungkap di antara pelaku peristiwa!

Reuni pada hari kedua lebaran adalah tradisi di keluarga saya dari pihak ayah yang punya 11 saudara. Bayangkan, setiap 12 tahun barulah reuni kembali berlangsung di tempat semula. Reuni kali ini berlangsung di rumah salah seorang bibi saya di Sindangbarang. Anda tahu dimana itu Sindangbarang? Di tempat yang sulit dibayangkan meski dengan imaji liar sekalipun!

Sindangbarang ada di “atap dunia”, paling tidak kalau dilihat dari Ciawi, Tasikmalaya, desa tempat saya dilahirkan, padahal jaraknya tidak lebih dari 20 kilometer. Anda punya mobil sedan? Jangan berangan-angan bisa sampai ke sana. Dari Ciawi, Anda harus melintas kecamatan Pagerageung yang masih termasuk Kabupaten Tasikmalaya, sebelum moncong kendaraan mengarah ke angkasa, melintas pepohonan pinus dan jati.

Sindangbarang? Itu sebuah desa yang berada di Kabupaten Ciamis. “Atap dunia” itu diapit batas tiga kabupaten; Tasikmalaya, Ciamis, dan Kawali! Siaplah dengan posisi duduk astronot saking menanjaknya jalan sempit dan berliku menuju ke sana. Untunglah sekarang jalannya sudah beraspal. Dua tahun lalu, saya nyaris balik arah turun lagi karena jalannya yang masih berbatu dan berlubang seperti mengancam jiwa. Reuni kali ini, saya bahkan berani menumpang mobil bak terbuka.

Tetapi bukan soal kurun waktu, bukan soal pertemuan menyenangkan dengan teman-teman seperti yang dialami Taufik, bukan pula soal sulitnya menjangkau “atap dunia” yang mau saya cerita. Saya mau bercerita tentang perjalanan hidup dan nasib seseorang yang begitu cepat berganti hanya dengan mengalami reuni itu saja.

Bayangkan, setahun lalu, salah seorang paman masih bergelimang kekayaan berkat menantunya yang “berhasil dalam usaha”. Paman bersama istrinya, juga dua anak mereka, dengan enteng membagi-bagikan “angpao” berupa uang segar dan pakaian dengan kepala masih mendongak. Reuni kali ini, saya melihat paman itu tertunduk lesu dan menangis saat bersalaman dengan siapapun.

Selama setahun ini paman dan istri serta anak-anaknya menjadi “buronan” preman yang mengejar-ngejarnya karena urusan piutang berbau penipuan. Menantu yang “usahanya berhasil” itu ternyata menggelapkan uang perusahaan, menjual mobil rental milik orang, dan akhirnya harus berurusan dengan preman suruhan yang menagihnya. Rumah yang menjadi simbol sebuah keberhasilan usaha disita bank. Tidak ada seorang pun yang tahu dimana istri paman, menantu dan anak-anaknya sekarang berada.

Reuni tahun lalu, suami salah seorang bibi saya masih segar-bugar dan bahkan masih membanggakan anak-anaknya yang konon berhasil dalam usahanya di Jakarta. Reuni kali ini, suami bibi itu sudah tidak tampak lagi di antara kami karena ia baru dipanggil Yang Kuasa tiga minggu sebelumnya.

Reuni keluarga kali ini, juga tanpa kehadiran salah seorang adik kandung saya karena harus menjaga istrinya yang menderita sakit cukup berat, yang mengharuskannya menjalani kemoterafi!

Salah seorang keponakan saya, seorang lelaki muda, sangat berhasil dalam usahanya di Jakarta. Ia punya mobil truk, mobil bak terbuka, dan beberapa mobil keluarga. Ia mengaku berjualan buah-buahan di Jakarta. Akan tetapi, tidak seorang pun boleh tahu tempat usahanya menjual buah-buahan di Jakarta, bahkan adik dan orangtuanya pun tidak boleh tahu! Aneh! Usaha apa gerangan? Dari tahun ke tahun hartanya bertambah tetapi siapapun tidak boleh tahu apa yang dikerjakannya itu!

Sebagai jurnalis, saya mencium hal ganjil dari salah seorang keponakan yang tidak pernah dekat dengan saya itu karena saking banyaknya keturunan ketiga (para cucu) di keluarga besar itu. Pun tidak pernah tahu dimana dia tinggal di Jakarta meski saya juga bekerja di ibukota ini. Ia seorang pemuda gagah berusia 25-an tahun.Tetapi saya melihat “jiwa yang terbelah” pada dirinya. Ia “kemayu”, lebih luwes dari seorang perempuan. Salah seorang suami bibi saya berbisik, “Anak saya pernah menemukan fotonya dengan pakaian perempuan dan bergaya sebagai perempuan pula!” Naudzubillahi mindzalik!

Well, tidak harus diberitahu, saya cukup tahu. Masuk akalkah ia berjualan buah-buahan di Jakarta dengan hasil ratusan juta setahunnya? Mengapa ia melarang siapapun untuk mengetahui dimana rumah dan tempat usahanya di Jakarta? Ah, peduli amat dia keponakan kalau ternyata tidak lebih seorang seorang homo yang menjadi piaraan ekspatriat berduit, yang bisa dan biasa memberinya tips jutaan rupiah sekali main sehingga menghasilkan harta berlimpah!

Saya menjadi bingung sendiri, di rumah orangtunya di sebuah desa di ujung dunia, saya melihat stiker menempel di kaca-kaca jendela rumah dengan tulisan mencolok: “Waspada AIDS!”. Tidak ada seorang pun peduli dengan stiker itu, kecuali saya. Ya Tuhan, apakah stiker itu dimaksudkan sebagai peringatan untuk dirinya sendiri? Hanya dia yang tahu!

Waktu pasti akan terus berputar dan reuni demi reuni keluarga pasti akan datang lagi. Saya tidak tahu lagi apakah saya masih bisa menulis cerita tentang reuni itu tahun depan dan menyaksikan nasib demi nasib saudara-saudara saya silih berganti, atau nasib lebih kejam justru akan menimpa diri saya? Tentu saya berharap tidak, tetapi saya tidak tahu!

Bandung, lebaran hari ketiga 1429 H.

Tulisan saya ini diambil utuh dari Kompasiana, blog jurnalis Kompas.


Friday, October 10, 2008

Catatan (67): My AXN


Jepretan Erik

SAYA tidak tahu kalau Erik, rekan liputan di lapangan - khususnya saat meliput Kongres PDI Soerjadi tahun 1998 lalu - menjepret saya diam-diam. Uniknya, Erik yang nama lengkapnya Yesiah Ery Tamalagi, yang masih bekerja di TPI itu memotret saya saat saya memotret orang lain. Siapa seorang pria ganteng di ujung foto ini dan siapa perempuan cantik di samping saya, mestinya tidak usah saya ceritakan lagi. Anda mungkin dapat menebaknya. Ya, mereka tidak lain suami-istri Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale. Foto diambil Erik beberapa waktu lalu, ketika ada acara MDG's di Hotel Santika, Jakarta. Erik memasang foto ini dan memajangnya di Facebook saya.

Wednesday, October 08, 2008

Citizen Journalism (30)

Ubi Cilembu


ANDA yang kebetulan sedang dalam perjalanan melewati jalur Tanjungsari-Jatinangor, Sumedang, atau bahkan ke arah Nagreg, Garut, akan menjumpai deretan pedagang ubi bakar Cilembu. Disebut ubi bakar tidak pas juga, karena umumnya ubi supermanis ini dimasak di-oven selama kurang lebih delapan jam untuk menghasilkan ubi atau hui (bahasa Sunda) yang ambucuy (sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia). Pokoknya ambucuy itu legit. Wah, legit juga susah dicari padanannya. Pokoknya sangat manis sajalah. Tentu saja gadis sangat manis tidak bisa dibilang ambucuy!


Tetapi jangan salah, belum tentu ubi yang dipajang di pinggir jalan itu asli dari Cilembu, meski boleh jadi yang jualan mengklaimnya sebagai "hui asli Cilembu". Kalau ingin menemukan yang benar-benar asli, salah satunya ada di dekat Masjid Agung di Kecamatan Tangjungsari. Nama kiosnya "Wawan". Di sini ubi oven dihargai "supermahal" untuk ukuran ubi, yakni Rp 15.000 per kilogram. Di tempat lain harganya bisa cuma separonya, tetapi ambucuy-nya tidak dijamin.



Uniknya, Mang Wawan, pemilik kios itu, punya sertifikat yang dikeluarkan Kepala Desa (lurah) Cilembu, yang menyatakan bahwa ubi yang didagangkannya asli dari Cilembu. Saya berani bertaruh, Mang Wawan jujur dan tidak bohong!


Saat mudik balik kemarin, 3 Syawal 1429 Hijriyah, saya tidak lupa memotret ubi Cilembu asli dan pemiliknya beberapa sekuel, seperti terlihat pada foto yang tersebar disini, khususnya sertifikat keaslian ubi Cilembu itu. Ambucuy, euy! (PEPIH NUGRAHA)

Monday, October 06, 2008

Citizen Journalism (29)


Pom Bensin "Unyil"


SAYA banyak menemukan pom bensin berukuran kecil di sepanjang ruas jalan Wado menuju Sumedang, Jawa Barat. Pom bensin ini bisa terdapat di keramaian atau bahkan di tempat sunyi yang jauh dari keramaian dan berada di bibir jurang dalam pula, seperti yang tampak dalam foto di samping. Hanya tersedia bensin dan solar. Bensin untuk roda dua dan kendaraan roda empat, solar untuk truk atau mobil disel. Maaf, belum ada bensin beroktan tinggi seperti pertamax, sebab mobil-mobil baru jarang lewat jalur ini kalau tidak terpaksa untuk menghindari macetnya jalur Nagreg. 

Foto di atas saya ambil saat mudik balik, 3 Oktober lalu dari arah Malangbong, Garut. Saat mudik balik saya bergerak dari Ciawi, Tasikmalaya menuju Bandung. Pom bensin "Unyil" ini laris manis diserbu pemudik yang tidak saja diri mereka sendiri yang kehausan, tetapi sepeda motornya juga. Saya menghindari jalur Nagreg yang pasti menjadi berita seksi tahunan karena terkenal kemacetannya. Herannya, para pemimpin yang didoakan dalam lagu "Hari Lebaran" ciptaan Didi dari Orkes Mus Mualim , yakni "selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin", tidak pernah memberi solusi atas kemacetan tahunan itu. Di Nagreg tahun ini memang ada usaha membedah kemacetan dengan "menoreh" sebagian badan jalan, tetapi kemacetan malah bertambah-tambah. Minal Aidin Wal Faidin... (PEPIH NUGRAHA)