BAB 3
Khilaf dan Panik
KARENA kurang tidur, saya agak terkantuk-kantuk ketika berada di Mikrolet 08 jurusan Kota-Tanahabang yang kemudian bersambung naik Mikrolet 09 Tanahabang-Kebayoran Lama. Saya sudah sekalian pamitan kepada pengurus Wisma PGRI setelah membayar uang penginapan penuh, sebagaimana saya menginap di kamar biasa.
Sebelum meninggalkan wisma, saya tidak menceritakan pengalaman “mengerikan” tadi malam kepada si petugas wisma, khawatir dikira mengada-ada yang ujung-ujungnya dikira meminta potongan harga. Saya teringat film-film Hongkong dimana orang yang mau makan gratis di restoran dengan sengaja mencemplungkan lalat atau cicak di sisa makan mereka, lalu melancarkan protes kepada si pemilik restoran dan ujung-ujungnya tidak mau membayar. Saya tidak mau dikira seperti itu.
Biar sajalah, ini menjadi rahasia pribadi. Tetapi saya sangat hormat kepada si penjaga wisma. Selain karena saya sudah diberi tumpangan menginap, petugas juga menyediakan sarapan pagi berupa telur rebus dan sepotong roti tawar, plus teh manis panas, yang asapnya masih mengepul menerbitkan selera. Makanan untuk sarapan itu digeletakkan begitu saja di lantai tanpa membangunkan saya yang sempat tertidur.
Semula saya ragu-ragu memakannya, jangan-jangan ini sesaji buat mengusir hantu. Tetapi saya yakinkan sendiri bahwa sarapan itu buat saya. Saya pun menyantap makanan itu tadi, sebelum mandi. Nikmat sekali!
Saat mikrolet tersendat di sekitar Slipi, saya sempat teringat adik perempuan kesayangan keluarga kami, Tania, yang kala itu masih berusia sembilan tahun, masih kelas lima SD. Alangkah senangnya kalau saya bisa membelikan sesuatu atau oleh-oleh kalau saya sudah mendapat penghasilan sendiri. Tetapi saya tidak yakin akan keputusan saya melamar di Kompas ketika orangtua justru berharap saya menjadi dosen. Jangan-jangan mereka tidak berdoa atas usahaku.
Padahal kalau lulus, alangkah bahagianya saya sebab setelah diwisuda tidak harus mencari-cari pekerjaan lagi. Saya juga bisa membantu uang kuliah Dadang, adik saya yang saat itu kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Bukankah saya juga bisa membeli buku sesuka saya, atau pergi kemana saya suka dengan gaji yang kelak akan saya terima. Alangkah, alangkah….
Juga kepada teman-teman kuliah, barangkali bisa menjadi inspirasi bahwa jurusan baru pun, yakni jurusan ilmu perpustakaan, bukanlah jurusan yang lulusannya bakal jadi “calon penganggur” atau sarjana yang menenteng-nenteng map keluar masuk kantor untuk melamar bekerja. Tidak. Saya ingin membuktikan bahwa sebelum diwisuda pun jurusan baru itu bisa dibutuhkan, bisa siap pakai. Apalagi kalau pembuktiannya adalah bisa diterima bekerja menjadi pustakawan Kompas. Bangga, barangkali.
Nyatanya, saat tes yang menentukan itu saya terserang kantuk berat. Padahal ini tes kecakapan khusus, sudah memasuki tes bidang, yakni bidang ilmu perpustakaan. Wah, ini gara-gara semalam didatangi hantu sehingga saya tidak bisa tidur. Saya memaki diri sendiri, mengapa harus takut makhluk halus kalau jadinya begini.
Materi yang diujikan pagi itu adalah meresensi atau membuat intisari (summary) dari artikel tentang politik dalam negeri Filipina, khususnya kinerja pemerintahan Corazon Aquino. Artikel panjang itu diambil dari Majalah Asiaweek serta Far Eastern Economic Review (FEER) dan harus dibahasakan menurut pemahaman sendiri dalam bahasa Indonesia. Jadi bukan menerjemahkan. Penguji sudah mewanti-wanti ini sebuah kerja meringkas, bukan menerjemahkan.
Sesungguhnya saya tidak kaget-kaget amat dengan laporan utama sebuah majalah berbahasa Inggris. Selama menjadi mahasiswa, saya kerap datang ke perpustakaan universitas untuk meminjam buku-buku berbahasa Inggris. Juga membaca-baca majalah berbahasa Inggris di British Council, dan bahkan majalah-majalah berbahasa Jerman di Goethe Institut. Jelas sudah terbiasa membaca dalam bahasa asing yang sulit-sulit.
Satu hal lagi yang menolong saya, selama satu tahun terakhir saya bergabung dengan tabloid mingguan Memorandum yang terbit di Yogyakarta. Ceritanya saya diajak teman sekelas saya, Mohammad Toha, yang lebih dahulu bergabung sebagai reporter yang ditempatkan di Bandung. Maksud saya bergabung di situ bukan karena materi alias mencari uang, tetapi sekadar mencari pengalaman. Toh saat itu cerpen-cerpen saya sudah menjadi langganan majalah anak dan remaja, juga koran-koran dewasa.
Benar saja, selain tahu bagaimana meliput dan mewawancarai (salah satunya wawancara dengan pakar linguistik Dr Jus Badudu), saya juga berkesempatan menerjemahkan majalah-majalah berbahasa Inggris seperti New Scientist. Tidak persis menerjemahkan, hanya memindahkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan susunan kalimat yang tidak sama persis, kecuali kutipan-kutipan.
Ternyata kebiasaan itu sangat membantu mengerjakan soal yang diberikan dalam tes kecapakan khusus itu. Apalagi waktu yang diberikan cukup panjang, empat jam. Saya bergumam, bukankah saya biasa mengerjakan tiga lembar soal seperti ini cukup satu jam setengah saja.
Ah, saya terlalu percaya diri. Mungkin juga sombong. Saya tidak ngeh dan kurang teliti kalau soal itu sebenarnya enam halaman, karena difotokopi secara bolak-balik. Pantas orang lain tekun mengerjakannya dan bahkan beberapa di antaranya berkeringat di ruang berpenyejuk udara, tetapi saya tenang-tenang saja dan sudah saya kerjakan dalam waktu satu setengah jam saja. Meski demikian, saya tetap memutuskan untuk tidak keluar lebih dahulu untuk menyerahkan hasil tes itu.
“Kalau sudah selesai, silakan kumpulkan saja,” kata penguji ketika waktu tinggal setengah jam lagi, seakan-akan tahu kalau saya sudah tidak betah duduk di situ. “Jangan lupa lho, lembaran itu bolak-balik, seluruhnya enam halaman.”
Astaga!
Saya menjerit dalam hati. Dalam hidup ini saya pernah merasa kaget dan terpukul dua kali, yakni saat dinyatakan tidak lulus Sipenmaru tahun 1984 dan saat saya diputuskan pacar pada hari dimana saya dinyatakan tidak diterima di universitas negeri alias tidak lulus Sipenmaru! Itu saja. Sekarang terpukul yang ketiga kalinya.
Keringat dingin mulai keluar. Apa artinya saya membaca majalah-majalah berbahasa Inggris dan menuliskannya kembali dalam Bahasa Indonesia kalau saya tidak tahu bahwa dua berita utama itu seluruhnya enam halaman. Saya hanya mengerjakan tiga halaman saja tanpa melihat apalagi membaca halaman sebaliknya pada masing-masing lembar. Huh, sekarang sudah bukan kening saja yang berkeringat, tetapi seluruh badan sudah berlumur keringat. Satu kata yang saya teringat kala itu: gagal!
Ah, tidak boleh gagal!
Pada sisa waktu tigapuluh menit terakhir, saya pura-pura menyalin kembali apa-apa yang sudah saya tulis dengan alasan agar lebih baik dan bisa terbaca. Penguji pun terheran-heran. “Waktunya sudah hampir selesai lho, kenapa harus disalin kembali, itu buang-buang waktu,” kata si penguji. Saya menerima kalimat itu sebagai vonis: kamu tidak bakal lolos! Saya tetap menyalinnya sambil menyisipkan kalimat-kalimat yang saya dapat dari sisa tiga lembar sebaliknya yang belum saya sempat baca.
“Apakah ada penambahan waktu?” tanya saya putus asa ketika waktu tersisa sepuluh menit lagi.
“Tidak ada!”
Penguji, dibantu beberapa asisten, malah sudah mulai mengumpukan kertas-kertas kerja ujian dari peserta lainnya. Saya membaca cepat dengan teknik scanning dan bahkan jamming, teknik membaca cepat yang pernah saya baca dari buku perpustakaan.
“Ya, waktunya habis. Kumpulkan!”
Usai si penguji sekaligus pengawas itu mengetukkan kalimatnya, saya sudah hampir membuat tulisan revisi. Benar-benar revisi karena selain ditulis ulang, juga harus menyisipkan kalimat-kalimat penentu yang ternyata banyak bertebaran di tiga lembar yang justru tidak saya baca.
Bagaimanapun, saya harus bersyukur kepada Allah SWT, sebab rasanya mustahil mengerjakan ulang resensi saya dalam waktu 30 menit. Ah, nyatanya bisa. Saya merasa ada invisible hands atau tangan-tangan yang tidak kelihatan yang meringankan tangan saya mengerjakan soal-soal resensi itu. Paling tidak, dalam dua atau tiga hari lagi saya sudah menerima putusan diterima atau tidak. Saya hanya bisa menunggu.
Pepih Nugraha
Jakarta, 15 Desember 2006
Friday, December 15, 2006
Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (7)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 2:44 PM
Label: Menulis, Otobiografi Virtual, Pepih Nugraha
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment