Thursday, December 21, 2006

Catatan (14): Orang Hilang


Hilangnya Orang-orang Tercinta

Pernahkah di antara kita kehilangan saudara dekat atau bahkan keluarga kita karena suatu sebab? Bisa hilang di medan perang, bisa hilang di negeri orang saat berjuang mencari nafkah, atau bahkan hilang di negeri sendiri karena suatu sebab pula. Konon, peristiwa kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan keluarga yang kita kasihi di negeri sendiri!

Mengapa kehilangan orang terdekat sangat menyakitkan? Karena kita seperti digantung seumur hidup tetapi tidak kunjung mati juga. Bila orang yang kita kasihi itu meninggal atau tewas karena suatu kecelakaan, rasa penasaran kita tidak akan digantung sepanjang raga masih bernyawa karena kita tahu persis dimana kuburnya.

Makam atau kuburan adalah bukti perjalanan terakhir hidup manusia. Ia adalah tonggak dimana raga seseorang ditanam di pelukan tanah merah. Sedang orang hilang yang tak tentu rimbanya? Ia akan menjadi malapetaka sepanjang hayat bagi keluarga dekat yang ditinggalkannya. Kita tidak pernah tahu apakah ia sudah meninggal atau masih hidup. Mereka yang kehilangan saudara atau orang terdekatnya, harus menanggung malapetaka itu selama ia membuka mata.

Aku punya tetangga yang sudah setahun lebih ini kehilangan anak gadisnya yang masih muda. Ia hilang tanpa jejak. Kita tidak pernah tahu apakah ia mati terbunuh, korban perdagangan perempuan, atau hal lainnya, mengingat anak tetangga itu tergolong wajah berpunya. Ingin rasanya aku menulis tentang anak gadisnya yang hilang tanpa jejak itu dan mem-posting-kan tulisan serta fotonya di blog ini jika tetangga saya itu mengizinkan. Siapa tahu, di antara kita ada yang mengenalnya.

Aku sendiri pernah akan kehilangan anakku satu-satunya (paling tidak satu-satunya untuk saat ini), saat anakku dan bundanya serta bibinya berkunjung ke Makassar, saat aku bertugas di kota Anging Mammiri itu. Peristiwa terjadi Januari 2003, sebuah momen hidup yang terus kuingat dengan baik.

Sore itu aku masih bekerja memeriksa berita teman-teman di Biro Kompas Indonesia Timur di Kompleks Panakukkang Mas, Makassar. Aku melihat di luar kaca jendela seorang anak bercelana pendek melongok-longokkan kepalanya di luar kaca, melihat ke dalam ruangan. Ia mengenakkan T-Shirt cokelat bergaris putih. Ia mengetuk pintu, tetapi tidak terdengar karena gemuruh lalu lintas kendaraan yang cukup ramai di depan kantor. Untungnya pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang kerja terbuka dan aku duduk di kursi sehingga bisa melihat ke arah luar. Astagfirullah, bukankah itu anakku…

Aku membuka pintu dan anakku memelukku erat sambil menangis. Kudekap dia dan kurasakan jantungnya berdebur keras. Ia tidak bisa menjawab mengapa bisa sampai di kantor, di tempatnya yang tidak ia kenal karena “habitatnya” selama ini adalah Jakarta. Rupanya anakku, Zhaffran, tidak bisa menemukan kendaraan yang diparkir bunda dan bibinya di sebuah toko pakaian, yang jaraknya ke kantor kurang lebih satu kilometer. Padahal, bunda dan bibinya masih berada di toko itu. Anakku menganggap mereka sudah pulang duluan dan ia harus segera menyusul pulang. Pilihannya tidak pulang ke rumah dinas di cluster Gladiol, mungkin dengan pertimbangan sore-sore begini aku masih bekerja. Suatu pertimbangan yang matang!

Syukur, anakku yang kala itu masih berusia enam tahun tidak panik saat berusaha menelusur kantor tempatku bekerja. Beruntung pula ia tidak panik dan kemudian memutuskan naik pete-pete (angkot) yang biasa mangkal di pertokoan itu tetapi tidak pernah lewat depan ke kantor Kompas karena harus berbelok ke Jalan Adhyaksa. Kalau dia sampai naik pete-pete yang pasti akan membawanya ke pusat keramaian lapangan Karebosi, tipislah harapanku bisa bertemu lagi dengan anakku…

Mungkin ia akan hilang tak tentu rimbanya, di kota Makassar yang tentu sangat asing baginya, atau seseorang mengapalkannya ke luar Makassar untuk dipekerjakan di jermal-jermal yang tak terjangkau akal!

Yang akan kuceritakan ini adalah orang hilang di lingkungan dekat mertuaku, pasangan Achmad Suhendi dan Eutik yang berdomisili di Bandung. Suhendi adalah anak tertua dari 14 bersaudara. Ia kehilangan salah satu adiknya, Achmad Sobana bin Muhammad Soelkan yang biasa dipanggil Memed, anak kelima dari 14 bersaudara itu. Bayangkan, ia telah dianggap hilang sejak tahun 1963, saat ia pamit ke Jakarta untuk bekerja sebagai guru.

Ia lahir 9 Juni 1940, dengan demikian saat ia meninggalkan Bandung menuju Jakarta masih berusia 23 tahun. Anehnya, setelah itu ia hilang tak tentu rimbanya, tiada kabar dan berita. Menurut Suhendi, kontak terakhir dengan si orang hilang terjadi pada 1967. Setelah itu, Memed seperti hilang ditelan bumi. Dari dokumentasi fotonya yang aku dapat di Bandung saat lebaran lalu, tampak ia masih sangat muda sebelum berangkat ke Jakarta.

Agar lebih rinci siapa kakak-adiknya, berikut urutan keluarga besar itu: 1. Achmad Suhendi, 2. Siti Maemunah, 3. Siti Hapipah, 4. Achmad Kurnia, 5. Achmad Sobana, 6. Suhud Priyatna, 7. Barnas Setiawan, 8. Dedeh Juaendah, 9. Siti maridah, 10. Tedjaningsih, 11. Herliyani, 12. Herlina, 13. Rohman Suhendar, dan 14. Rohmat Wibisana.

Setiap tahun, saat idul fitri tiba, keluarga besar Suhendi selalu berkumpul memanjatkan doa agar “si hilang” bisa kembali. Doa yang dipanjatkan setiap tahun tanpa bosan dan tanpa harus merasa sia-sia. Dalam kesempatan ini, sengaja kucoba mempostingkan foto Achmad Sobana alias Memed itu di atas. Siapa tahu, di antara sahabat blogger ada yang memiliki rekan, tetangga, saudara, suami, kakek, atau ayah bernama Achmad Sobana yang kini sudah berusia 66 tahun, mengenalnya dan memberitahuku, minimal di blog ini, atau melempar informasi ke alamat imel pepih_nugraha@yahoo.com.

Salah satu doa dan harapan keluarga besar itu yang masih kuingat adalah, “Kembalilah, Saudaraku, kami masih tetap menunggu….”

Pepih Nugraha
Jakarta, 21 Desember 2006

No comments: