Menjadi Diri Sendiri (2)
Masih cerita tentang pelatihan penulisan di lingkungan santri. Ternyata saya memang harus menghadapi kejutan demi kejutan. Santri, tidaklah “sekolot” yang saya bayangkan. Mereka agresif dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat, juga terang-terangan dalam mengungkapkan ketidaksetujuan akan satu atau beberapa hal. Suasana begini yang saya suka di ruang kelas. Hidup.
Juga masih cerita tentang penulisan feature atau tulisan khas. Selaku tutor, saya punya kewenangan untuk bertanya di dalam kelas. Maka saya meminta seorang peserta untuk menjelaskan apa yang ditemuinya saat meliput suasana Mal Ambasador. “Saya tertarik melihat cewek-cewek cantik,” kata seorang peserta. Tentu saja ia berjenis kelamin pria.
“Punya cerita dari cewek-cewek cantik yang keluar masuk Mal Ambasador?” tanya saya.
“Tidak. Saya hanya terpukau melihat mereka. Jadi saya tidak punya cerita.”
“Oke. Setidaknya, apakah cewek yang masuk Mal Ambasador itu semua cantik?”
“Tidak juga. Ada juga yang biasa-biasa.”
“Mana yang lebih banyak, cewek-cewek cantik atau cewek yang berparas biasa-biasa seperti katamu?”
Peserta ini berpikir sejenak sebelum menjawab, “Sepertinya lebih banyak cewek-cewek cantiknya.”
“Hemm, kamu kurang yakin? Kenapa tidak dicatat saat itu kalau itu menarik perhatianmu? Bukankah kamu bisa menyimpulkan sementara waktu kalau cewek-cewek yang datang ke Mal Ambasador cantik-cantik?” kata saya dan masih melanjutkan tanya, “Kamu wawancara salah satu di antara mereka?”
“Tidak,” jawabnya jujur.
Saya potong, “Berarti kamu tidak punya cerita!”
Peserta pelatihan masih nampak bingung. Saya tidak mau menyiksa mereka terlalu lama dan melanjutkan, “Seandainya kamu tanya beberapa cewek yang menurutmu cantik-cantik dan kamu mendapatkan kenyataan, misalnya, bahwa cewek-cewek itu datang dari luar Jakarta, hemmm… bukankah kamu punya cerita di sini…”
Suasana hening. Saya tekankan lagi bahwa menulis feature bukanlah menulis cerita pendek yang bisa karang sana karang sini. Menulis feature harus melihat fakta dan bahkan melakukan peliputan partisipatif kalau memungkinkan.
Dulu rekan wartawan senior saya, Hendrowiyono, menyaru menjadi sopir taksi selama seminggu dan berusaha menyelami kehidupan sopir taksi di Jakarta. Dia gambarkan bagaimana sopir taksi itu makan, istirahat, dan bahkan buang air kecil kalau sedang bekerja di jalan. Hal-hal sepele yang tidak terpikirkan oleh kita, tetapi dapat ditangkap dengan baik lewat peliputan partisipatif. Menarik, bukan?
Masih rekan senior saya, DJ Pamoedji. Dia menyaru sebagai kernet truk jurusan Merak-Surabaya hanya untuk mengetahui kehidupan sopir truk selama perjalanan, yang konon punya banyak pacar di hampir setiap tikungan. Selain memotret kehidupan sopir truk dan “perjalanan batinnya” di warung-warung remang-remang, tulisan itu juga memotret prilaku polisi yang memalak sopir di hampir semua daerah.
Pokoknya tulisan itu begitu hidup. Kedua rekan yang saya hormati itu sekarang sudah pensiun, tetapi sesekali masih menulis untuk Kompas.
Waduh, sampai dimana ya saya bercerita, kok jadi ngalor-ngidul. Begini… saya masih memancing peserta pelatihan dengan pertanyaan, siapa di antara mereka yang sudah membaca salah satu dari empat novel Dan Brown yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ini karena ada pertanyaan dari peserta sulitnya mereka menentukan laporan utama untuk membuat majalah atau buletin intern pesantren. Sayangnya, belum ada seorang peserta pun membaca novel-novel Dan Brown.
Mereka terlihat keheranan mengapa tiba-tiba saya bertanya seperti itu. “Andai saja kalian membaca ‘The Davinci Code’ atau “Angels and Demons’, pasti ada hal yang menarik untuk kalian diskusikan di bilik-bilik pesantren. Sayangnya kalian tidak ada satupun yang membacanya… Jadi, mari kita diskusikan ke hal lain saja!” ajak saya.
Waw, saya sampai lupa kalau saya hendak menceritakan tentang bagaimana pentingnya menjadi diri sendiri saat menulis feature. Saya katakan, menulis berita, itu bisa diseragamkan oleh para editor. Ada standar berita tertentu. Inilah gaya Kompas, inilah gaya koran lain, misalnya. Tetapi bila wartawan menulis feature, itulah gaya si wartawan yang bersangkutan. Editor pun memberikan kebebasan dalam mengeksplorasi masing-masing gaya itu.
Tetapi memang harus saya akui. Kadang kita terpengaruh gaya bahasa penulis lain hanya karena kita sangat mengagumi penulis tertentu. Katakanlah pada saat mahasiswa dan awal-awal saya bekerja di Kompas saya sangat mengagumi kepenulisan Pramoedya Ananta Toer. Tetapi di sisi lain, saya juga terpengaruh gaya penulisan Mary Shelley yang menulis novel “Frankenstein”. Tetapi untungnya saat itu saya belum menjadi wartawan, hanya sebatas menulis cerpen atau cerita bersambung saja.
Akan tetapi setelah selama setahun penuh di ruang pendidikan Kompas, saya bisa memahami arti penting gaya bahasa masing-masing wartawan dalam menulis feature.
Waktu saya menjadi bagian desk politik, saya pernah mendapat penugasan untuk menulis sosok KH Ali Yafie. Saya pelajari sebelumnya siapa tokoh ini. Tentu saja dari buku, hasil karya, dan ucapan serta tindakannya di koran-koran. Hanya satu hari persiapan, dan itu berarti saya harus ngebut semalaman hanya untuk "mengenali" siapa tokoh yang akan saya temui besok dan saya wawancarai itu.
Setelah dirasa saya punya bekal, saya menemuinya dan menuliskan hasil wawancara itu. Hasilnya, saat itu sejumlah editor menganggap tulisan tentang kyai berkharisma ini sebagai “Gaya Bahasa” saya, yang bisa dibedakan dari gaya bahasa wartawan-wartawan lainnya. Sahabat ingin membacanya? Silakan ikuti feature yang kemudian dimuat Kompas, Rabu 17 September 1997 hal 24 ini...
KH ALIE YAFIE: MUARANYA KEPENTINGAN UMAT
PROFESOR Quraish Shihab, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, punya cerita tentang ulama kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah. Kalau KH Ali Yafie, ahli fiqih ini menyuruh orang untuk mengantarkan surat ke kantor pos, dia tidak terkesan menyuruh. Ali Yafie akan berkata, "Apakah engkau akan lewat jalan Z? Kalau memang lewat, tolong sekalian titipkan surat ini ke kantor pos."
Contoh lain, pada peluncuran bukunya Wacana Baru Fiqih Sosial, yang dikaitkan dengan peringatan 70 tahun kelahirannya, awal September lalu. Saat itu ia sudah 71 tahun, karena ia dilahirkan 1 September 1926. "Yang dititikberatkan bukan perayaan ulang tahun saya, tetapi penyajian buku ini untuk kepentingan ilmu dan mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Ali Yafie.
Ia tidak mengatakan bahwa itu kesalahan teknis panitia, meski belakangan panitia mengaku "salah"!
Bijaksana. Itulah kesan yang kita tangkap manakala secara langsung berhadapan dengan kiai yang dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu fiqih oleh Institut Ilmu Al Quran (IIQ) 12 Oktober 1991 itu. Pengusaha Probosutedjo berkata, "Mendengar namanya saja sejuk rasanya hati ini, apalagi membaca pemikirannya."
Menteri Agama Tarmizi Taher menilai Ali Yafie sebagai kiai yang lembut dalam bertutur, mendalam isi bicaranya, dan membawa keteduhan bagi lingkungannya. Pemikirannya yang berusaha membumikan Islam di Tanah Air, khususnya ilmu fiqih, patut diteladani.
**
ORANG menyebut keberhasilan Ali Yafie menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu yang toleran, ramah, dan penuh pertimbangan matang. Komentar Ali Yafie, "orang mengatakannya demikian."
Ilmu fiqih yang dalam bahasa Arab disebut al-fiqh (paham yang mendalam), merupakan salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam, yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun hubungan manusia dengan penciptanya.
Anggapan bahwa ilmu fiqih angker, kaku, beku, dan ketinggalan zaman, menurut Ali Yafie merupakan bagian dari opini untuk menampilkan citra fiqih secara negatif sehingga melemahkan potensi Islam. Oleh karenanya sedikit banyak berpotensi pemecah belah.
"Itu semua merupakan satu rangkaian yang tidak lepas dari strategi global," kata cucu Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama Indonesia terkemuka yang menjadi guru besar pertama di Masjidil Haram (Arab Saudi) ini.
Yafie mengajak untuk melihat fiqih secara integral. Katanya, ada tiga lingkaran dalam ilmu fiqih, di mana menurut Ali Yafie tuduhan hanya dialamatkan pada lingkaran terakhirnya saja. Lingkaran pertama, fiqih dalam pola dasarnya, yakni berpikir sistematis dan rasional untuk memahami norma-norma. Lingkaran kedua, pola umum dari fiqih, yakni memberikan garis-garis besar norma-norma dasar dan umum mengenai tatanan hidup yang diinginkan. Lingkaran ketiga, yakni norma-norma dijabarkan dalam materi hukum yang rinci, dalam arti bagaimana teknik orang melakukan ibadah agar dapat diterima Allah.
Atas anggapan ini, studi fiqih menjadi tidak berkembang, yang berkembang hanya mengenai ibadahnya saja. Setiap orang menyebut fiqih, terbayang soal pengaturan ritual beragama, sementara masalah-masalah sosial tidak berkembang.
"Sekarang faktor ini sudah mulai tersingkirkan dengan keberhasilan pembangunan. Sudah saatnya kita memberdayakan ilmu fiqih untuk mendorong peningkatan wawasan umat," kata suami Siti Aisyah ini.
**
YAFIE yang bernama asli Muhammad Ali, belajar ilmu fiqih dari ayahnya, KH Muhammad Yafie, dengan metode sorogan. Sang ayah membacakan kitab kuning dan menerjemahkannya, Ali Yafie kecil dan murid-murid lain menghafalkannya. Pada usia 12 tahun Ali Yafie sudah mampu membaca kitab kuning yang diajarkan ayahnya sejak dia berumur lima tahun. Saat beranjak dewasa, ia bertekad meluruskan pandangan orang terhadap ilmu fiqih yang sudah dibiaskan sedemikian jauh itu.
Ali Yafie menunjuk kemunduran umat Islam selama lima abad terakhir, diperparah dengan merasuknya faktor eksternal, yang menjadi penyebab tertekannya perkembangan dunia Islam. Penjajahan dan penaklukan yang dilakukan orang-orang Eropa, di mana dalam petualangannya kemudian turut melumpuhkan potensi Islam, juga turut menciptakan lahan subur tumbuhnya dugaan miring terhadap ilmu fiqih.
Dari sinilah wawasan keagamaan dijadikan sasaran. Pada dasarnya, kata tokoh Ikatakan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) ini, agama Islam membangkitkan satu dinamika dalam diri manusia, termasuk ajaran fiqihnya. Dinamika ini terdeteksi, sehingga orang Belanda mengatakannya maacht van de Islam, kekuatan Islam. Katanya, "Ada kekuatan di dalam Islam. Kekuatan itulah yang dilumpuhkan."
Maka selain melalui penguasaan ekonomi, Belanda (baca: Eropa) juga melakukan penguasaan kultural. Dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di negeri jajahan, juga ditempuh pendidikan sekuler, di mana agama (Islam) sama sekali tidak diberi tempat di dalam pendidikan formal. "Tujuannya, bangsa yang dididik lewat lembaga mereka itu, paling sedikit diharapkan jauh dari agamanya. Bahkan yang ideal buat mereka, orang Islam membenci agamanya sendiri."
**
BAGAIMANA usaha Ali Yafie meluruskan opini orang terhadap ilmu fiqih? Salah satunya lewat organisasi. Keterlibatannya dalam berbagai organisasi, dari organisasi DDI (Dar-ud Da'wah wal Irsyad), Nahdlatul Ulama (NU), ICMI, sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI), semua dikatakannya untuk kepentingan umat.
Bahkan Yafie "rela" masuk dunia politik. Maka sejak tahun 1971-1987 ayah empat anak ini berkantor di Senayan sebagai anggota DPR, setelah sebelumnya DPR-GR Sulawesi Selatan 1963-1969.
Ali Yafie yakin, bahwa dari pemahaman agama yang dinamakan jamaah, yaitu kebersamaan, seseorang haruslah mencari kawan. Maka ia tidak segan-segan menyampaikan syi'ar agamanya, khususnya dalam usahanya meluruskan opini orang soal ilmu fiqih, kepada orang-orang dari berbagai kalangan yang dianggapnya kawan tadi, termasuk petinggi negeri ini. "Hakikatnya yang mendorong saya bukan semata-mata politik, tetapi masalah agama, yakni untuk kepentingan umat."
Ciri penting sikap politik Ali Yafie digambarkan Rektor IIP Prof Ryaas Rasyid sebagai mengutamakan keharmonisan, atau paling tidak menghindari konfrontasi terbuka dengan pemerintah. Namun keulamaan Yafie lebih menonjol dibanding politisi. Pada diri pria yang beribukan Maccaya ini, tersimpan sifat lembut, tenang, sederhana, dan berwibawa, demikian Ketua PP Muhammadiyah Lukman Harun menulis dalam salah satu bukunya.
Namun Yafie, penulis buku Menggagas Fiqih Sosial (1994) ini, pernah "meledak" juga. Sebagai Wakil Rois Aam PB NU, ia menyatakan diri keluar 5 November 1991. Berdasarkan dokumen yang dia temukan, ia sampai pada satu kesimpulan bahwa PB NU positif menerima "santunan" dari yayasan pengelola SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Tiada seorang pun yang mampu menghentikan langkahnya.
Ribut-ribut soal kriteria pimpinan nasional, juga tidak luput dari perhatiannya. Boleh jadi sekadar merendah apabila Ali Yafie mengaku, "Saya tidak punya kriteria". Nyatanya dia punya, meski kriterianya tidak lepas dari pandangan fiqih. Dikutiplah pandangan Imam Mawardi yang bicara soal lima kriteria pimpinan tertinggi dalam komunitas Islam yang menurutnya masih relevan.
Ali Yafie juga gundah dengan maraknya korupsi-kolusi. Tetapi ia mengajak orang berpikir jernih dalam persoalan ini, melihat kembali kepada watak kehidupan yang dikatakannya sebagai pertarungan antara yang benar dan yang tidak benar. Kolusi-korupsi pada masyarakat manapun tetap dianggap sebagai kejahatan, tetapi tidak pernah akan hilang. Al Quran juga mengabadikan nama penjahat semacam Firaun, misalnya. Maksudnya mengajak kita berpikir, inilah watak kehidupan.
"Dunia ini perjuangan. Maka yang perlu kita ciptakan adalah dominasi kebaikan," katanya. (pepih nugraha)
Pepih Nugraha
Saturday, December 09, 2006
Berbagi Pengalaman Menulis (17)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 6:20 PM
Label: Alie Yafie, Berbagi Pengalaman Menulis, Sosok
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
jadi inget saat masih jadi wartawan dulu. paling asyik memang menulis feature ini. apalagi membacanya. terasa ada yang berbeda.
selamat akhir pekan ya kang.
Post a Comment