Monday, September 29, 2008

Catatan (66): Selamat Berlebaran


Mudik dan Maaf Lahir Batin

DENGAN kursi roda yang dikayuh tangannya, Sukamto (55), seorang penyandang cacat, mudik ke kampung halamannya di Ponorogo. Ia mengayuh kursi roda dengan kekuatan kedua lengannya dari Surabaya. Keinginannya pulang kampung tidak terbendung. Sudah bertahun-tahun dia tidak mudik, menengok kerabatnya.

Itu tulisan yang saya baca di harian Kompas hari ini. Sementara ribuan pemudik pengendara sepeda motor berkumpul di satu titik, Sunter Jakarta, untuk sama-sama menuju beberapa titik lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada juga rombongan pemudik menggunakan bajaj, kendaraan roda tiga. Satu keluarga, dengan lima nyawa di dalam satu bajaj, mencoba meraih cita-cita mulia, bersilaturahmi dengan kerabat di kampung halaman. 

Tetapi yang saya dengar dan lihat di televisi, seorang suami harus kehilangan anak dan istrinya untuk selamanya setelah kecelakaan tragis menimpanya, padahal sisa jarak yang harus mereka tempuh tinggal 25 kilometer lagi untuk sampai di Cirebon setelah berjuang di jalanan yang panas dari Jakarta. Tragis.

Jutaan warga muslim lainnya berjuang susah payah berjejal-jejal di kereta api kelas ekonomi dan bus-bus umum menuju tanah Jawa. Drama tahunan yang terus berulang, kerumunan orang di terminal bus dan stasiun keretaapi, selalu terjadi. Drama manusia berebut agar biasa masuk ke dalam keretaapi, seperti yang tampak dalam foto di atas (sumber: Kompas), menjadi ritual tahunan yang kadang terasa memilukan. Jutaan orang yang berpindah sementara dari Jakarta menuju kota dan desa-desa lainnya di luar Jakarta itu hanya punya satu tujuan mudik: silaturahmi. 

Bayangkan, silaturahmi yang mulia itu kadang harus dilakukan dengan bertaruh nyawa  di jalanan yang panas dan ganas. Tidak peduli kesulitan menghadang di setiap ruas jalan, asalkan jiwa dan raga bisa fitri dan bersih kembali tanpa cela terhadap sasama dan sanak saudara. Kadang urusan nyawa diserahkan saja pada Sang Empunya sekaligus Sang Pemberi, asalkan hati bisa kembali fitri.

Maka, tidak ada salahnya dalam kesempatan ini saya mengucapkan "Selamat berlebaran, mohon maaf lahir dan batin...."   

Wednesday, September 24, 2008

En Passant


Long Tail

SAYA beruntung dapat mengikuti paparan Chris Anderson penulis buku laris "Long Tail" di Amsterdam, Belanda, beberapa waktu lalu. Saya menyimak betul paparannya meski belum baca bukunya kala itu. Rekan saya, Budi Putra yang sudah membacanya mengompori saya untuk segera membacanya. Kini saya sudah membacanya.

Intinya buku itu mengajarkan bagaimana kita mengambil untung dari banyaknya ceruk (niche) yang diibaratkan ada pada ekor naga yang panjang itu. Saya jadi teringat bisnis cara ini sudah dipraktikkan sejak lama oleh para pengusaha kecil di Wonogiri sampai Tasikmalaya. Caranya jualan dengan jenis yang beragam pilihan tapi ngambil untung sedikit saja. Analoginya: ambil untung sedikit dari yang banyak, jangan ambil untung banyak dari yang sedikit!

Dengan cara itu, untuk apa bikin film box office dengan biaya triliunan rupiah kalau hanya meraih untung setarikan napas saja. Bagi penjual CD film, lebih baik menjual kembali film-film lama atau bahkan klasilk dengan membeli murah hak cipta daripada menjual film-film box office.

Dalam kesempatan berharga di Amsterdam itu, saya mendapat pelajaran bagaimana cara berbisnis dengan menggratiskan barang dan khususnya jasa, tetapi kita mendapat untung dengan cara lain. Contoh, saya tidak percaya kalau ada tiket pesawat Spanyol-Amerika yang harganya cuma US$10 atau sekitar Rp 94.000.

Bagaimana perusahaan penerbangan bisa untung? Ternyata untuk memesan tiket murah itu dilalukan lewat internet dengan keharusan berkunjung ke situs milik maskapai itu. Dalam sekejap, situs itu dikunjungi jutaan orang. Dengan cerdik, maskapai itu menawarkan halaman situsnya untuk memasang iklan. Jadi, maskapai itu mendapat untung besar dari pemasang iklan, yang keuntungannya jauh lebih besar daripada menjual tiket pesawat terbang!

Di Kompas, saya pernah menulis artikel yang menyarankan agar Kompas digital atau Kompas epaper (http://epaper.kompas.com/) digratiskan saja, jangan sekali-kali menjadikan dia koran digital berbayar. Jangan pungut uang pembaca. Toh kalau digratiskan, banyak orang yang berkunjung ke situs Kompas digital itu.

Darimana Kompas dapat untung? Dari pemasang iklan! Ini beda dengan pemasang iklan di Harian Kompas, tapi memasang iklan dengan tampilan "rich media" yang kaya, hidup, interaktif, dan bergaya. Sampai sekarang, saat Kompas epaper diluncurkan awal Juli lalu, masih digratiskan. Tapi sayang orang-orang iklan belum menggarap dan menganggap bahwa itu tambang uang baru!

Sama saja dengan konsep "free paper" ala Rupert Murdoch yang mengratiskan korannya tapi bisa menghasilkan uang dari pemasang iklan! Di Jakarta, band Naif menggratiskan CD rekaman terbarunya, tapi keuntungannya ia bisa manggung dimana-mana dengan perolehan besar. Saat saya bertugas di Makassar, penyanyi Iwan Tompo tidak berharap banyak dari royalti kaset dan CD rekamannya karena serangan pembajak. Tapi ia bisa hidup layak dari panggung ke panggung karena ia menjadi terkenal. Kaset dan CD yang tidak menguntungkan itu ia anggap sebagai promosi gratis!

Di Semarang saya bisa mengajar, jadi dosen terbang, pembicara dalam seminar, tampil di televisi, dan jadi dosen di Universitas Media Nusantara (UMN), sedikit banyak berkat menggratiskan kemampuan saya di bidang jurnalistik dan penulisan di blog Beranda t4 Berbagi ini. Banyak tawaran mengajar dan membuat buku hanya karena mereka membaca blog Beranda ini. Padahal, saya ikhlas berbagi ilmu dan pengalaman.

Di Semarang ini pula saya teringat Chris Anderson dengan "Long Tail"-nya. Tidak terasa, ternyata selama ini saya telah mempraktikkan bisnis "free" dan "long tail" secara tidak langsung. Hasilnya baru terasa sekarang ini.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Monday, September 22, 2008

Dari Kompasiana (3)


Tragedi Kemanusiaan Pasuruan*

APA arti lembaran kertas senilai 20.000 perak? Nyawa! Lebih tragis lagi, 21 nyawa perempuan melayang demi uang sejumlah itu. Rekan saya, Ahmad Subechi, menggambarkan dengan baik derita para ibu perjuang yang malang itu di Kompasiana ini. Deritamu adalah Derita Kita, demikian ia memberi judul tulisannya.

Mengapa para ibu, para pejuang kehidupan itu rela mati demi 20.000 rupiah? Karena kertas itu begitu berharga. Karena kertas itu bisa memperpanjang hidup barang sehari dua hari. Kertas itu bisa memberi makan sekeluarga, entah itu makan sahur atau saat berbuka puasa. Jangan-jangan di antara para ibu, mereka yang sedianya menerima zakat itu, ada yang berpikir bahwa uang itu untuk bekal lebaran nanti!

Mengapa begitu banyak para ibu yang berharap menerima zakat dari pengusaha setempat bernama Saikhon? Mengapa jumlahnya mencapai ribuan hanya untuk mendapatkan uang senilai itu? Kemiskinan dan kemelaratan, itu barangkali jawaban paling tepat. Kalau ribuan ibu itu hidupnya sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan sebagaimana yang diidealkan pemerintah, tragedi Pasuruan yang mengentak kesadaran itu tidak akan pernah terjadi.

Seorang rekan kerja saya bilang, di Pasuruan berkembang isu bahwa para korban tewas terinjak-injak saat berebut zakat itu karena memang “dikorbankan” untuk pesugihan. Konon tahun kemarin juga tiga orang tewas di tempat yang sama, hanya saja tidak sempat teramaikan di media massa. Karena korbannya mencapai 21 tewas, katanya, “Si pengusaha itu akan semakin kaya di tahun depan!”

Saya menyangkal habis pendapat rekan saya yang berbau klenik ini, meski tidak tertutup kemungkinan pikiran semacam ini hinggap di sementara orang, termasuk Anda barangkali. Saya berkhusnuzon (berpikir positif)  bahwa Haji Saikhon adalah pengusaha sarang walet yang sedang melaksanakan salah satu dari lima Rukun Islam, yaitu kewajiban berzakat. Alangkah tragisnya pula jika niat baik berbagi harta kepada sesama dalam bentuk zakat itu harus berakhir di terali besi yang dingin dan beku.

Sudah terdengar pernyataan yang memojokkan, bahwa Haji Saikhon seharusnya menitipkan harta untuk berzakat ini kepada badan amil zakat yang diurus pemerintah. Haji Saikhon disalahkan karena membagikan zakat secara langsung tanpa meminta bantuan aparat keamanan. Repotnya hidup di negeri ini, berbuat amal baik pun masih disalahkan. Jangan-jangan ia membagikan langsung zakat itu karena tidak lagi percaya pada pemerintah.

Terdengar pula kabar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutus seorang menterinya ke Pasuruan untuk menyampaikan bela sungkawa, yang memang sudah seharusnya dilakukan. Demikian juga para politisi mencari kesempatan tragedi ini untuk mencari simpati. Para pejabat teras negeri ini juga menunjukkan simpati terhadap para korban tragedi Pasuruan ini dengan cara masing-masing.  

Mudah-mudahan sambil bersimpati mereka juga merefleksi diri; sudah cukupkah mereka berbuat untuk rakyat negeri ini? Masih pantaskah mereka meneruskan amanah untuk membuat negeri ini gemah ripah loh jinawi? Atau sebaiknya mereka berbesar hati dengan mengaku “kami memang tidak mampu!”

Ah, mana mereka mau!

Tulisan saya ini diambil utuh dari Kompasiana, blog jurnalis Kompas.

Sunday, September 21, 2008

Citizen Journalism (28)

Robot Melek Ponsel




DIMANA ada robot melek telepon seluler dan segala games yang ada di ponsel N-Gage? Di Amsterdam, Belanda! Tetapi bukan robot betulan. Itu manusia biasa yang menggunakan kostum salah satu tokoh dalam games yang sudah ditanam di ponsel Nokia seri N-Gage, Star Wars. Tidak urung kehadiran si tokoh Star Wars ini membetot perhatian pengunjung pameran tersebut, apalagi ia hero modern yang baik hati karena selalu membagi-bagikan kartu mainan Star Wars kepada setiap pengunjung yang mendekat. Foto ini saya abadikan saat berada di Amsterdam, beberapa waktu lalu. (PEPIH NUGRAHA)


Thursday, September 18, 2008

Catatan (65): Foto Soeharto


Foto Pak Harto Yang Bersejarah


SAYA sudah menulis panjang lebar mengenai Presiden Soeharto saat mantan orang nomor satu di republik ini meninggal dunia beberapa waktu lalu. Akan tetapi dalam cerita itu, saya tidak menyertakan foto bersejarah yang saya jepret sendiri di kediaman Soeharto di Jalan Cendana, 19 Desember 1998. Alasannya sederhana saja, waktu itu saya belum tahu kalau foto berformat PDF ternyata bisa dipindahkan ke format JPG. Karena saya menganggap peristiwa dan foto yang saya dapatkan begitu penting, setidak-tidaknya bagi saya, maka saya tampilkan lagi foto Pak Harto dengan Gus Dur di atas. Sementara tulisan tentang Pak Harto meninggal dan bagaimana sebagai jurnalis saya bereaksi atas meninggalnya Pak Harto, bisa dibaca di sini. Silakan! (PEPIH NUGRAHA)

Citizen Journalism (27)

Limbah Bermanfaat


LIMBAH botol plastik bekas minuman kemasan ini jika ditanam di tanah konon tidak akan terurai sampai ratusan tahun. Pemulung bisa menjual limbah ini Rp 10 sampai Rp 50 perbotol kepada pengepul. Bahkan mungkin hitungannya perkilogram yang harganya tidak seberapa. Tetapi di Situ Panjalu, Ciamis, Jawa Barat, sebuah tempat wisata ternama di daerah itu, limbah ini dijual Rp 500 perbotolnya. 

Lho kok bisa semahal itu? Bukankah harga per botol minuman kemasan itu paling mahal Rp 2.500? Ya, namanya di daerah wisata, apa-apa bisa jadi duit. Ternyata botol plastik bekas itu dijual untuk kepentingan wisata yang akan mengambil "air suci" di pulau (nusa) yang berada di tengah Situ Lengkong atau Situ Panjalu. Foto ini diambil sekitar akhir Juli 2008 lalu saat saya journey ke tempat-tempat wisata di empat kabupaten: Tasikmalaya, Ciamis, Garut, dan Bandung. (PEPIH NUGRAHA)  

Wednesday, September 17, 2008

Dari Kompasiana (2)


Elegi Daging Daur Ulang*

COBA sekali-kali pakai pola pikir dan pola tindak para pemimpin negeri ini, coba kita sedikit berempati kepada SBY, JK, AL, GK, dan HN misalnya, orang-orang yang kita anggap pantas mewakili negeri ini sebagai pemimpin saat ini. Lalu hadapkan pada persoalan daging daur ulang yang menurut pandangan Kang Ush bermuasal dari kemiskinan, lantas apa yang bisa mereka perbuat, para pemimpin itu?

Sudah dapat ditebak, paling tidak sebatas “menyesalkan”, “Meminta untuk ditindak”, “mengutuk”, “tegakkan peraturan” dan seterusnya, kata-kata baku yang sering dikutip media. Tidakkah mereka bertanya pada diri sendiri, merefleksi diri, mengapa ini semua terjadi?

Kemiskinan! Itu jawaban singkatnya. Orang-orang dekat Presiden boleh saja berbusa-busa mengatakan bahwa kemiskinan menurun. Buktinya? Daging daur ulang adalah salah satu indikasinya. Tidak adanya lapangan pekerjaan, tidak adanya jaminan sosial bagi orang miskin, tidak bekerjanya dinas sosial dan alat-alat pemerintah lainnya yang bertugas menyejahterakan rakyatnya, mengakibatkan daging daur ulang itu ada.

Bahwa ada orang-orang “kreatif” semacam para pendaur ulang daging sisa itu, dari sisi si pelaku, itu harus diletakkan pada kebutuhan dasar bahwa mereka juga perlu makan. Apa yang bisa mereka makan saat pekerjaan tidak ada, apalagi bicara modal. Ya mengais-ais sisa makanan itulah.

Di negeri ini, jangankan rakyatnya yang sudah banyak menderita lapar, bangsa kucing dan anjing pun dalam waktu dekat akan segera menemui ajal akibat kelaparan. Mengapa? Karena daging sisa yang seharusnya buat mereka, malah didaur ulang untuk makanan manusia Indonesia. Salahkah rakyat yang membeli? Tidak! Sebab hanya dengan uang terbatas di kantong itulah mereka bisa memenuhi kebutuhan makan keluarga dengan membeli daging daur ulang!

Apa yang Anda bayangkan dengan mobil mengkilat para pejabat, rumah dinas mewah dengan fasilitas lengkap, uang berlimpah dari hasil kongkalikong yang boro-boro sampai menetes ke bawah, dan kebiasaan menghambur-hamburkan uang belanja di luar negeri, dihadapkan dengan persoalan daging daur ulang yang ternyata menjadi makanan penting sebagian penduduk Indonesia?

Kita, orang-orang mengerti yang bekerja di media massa, sudah seharusnya meyakinkan kepada para pembacanya untuk selalu memercayai dan menaati pemerintah lengkap dengan seperangkat aturan hukumnya. Lama-lama saya ragu, jangan-jangan “rakyat” pembaca menganggap kita sebagai orang tidak waras, karena rakyat sudah lebih dahulu merasa tidak harus memercayai dan menaati pemerintah, wong ada atau tiada pemerintah sama saja. Wah….

* Opini saya ini diambil utuh dari Kompasiana, yaitu blog para jurnalis Kompas.

Tuesday, September 16, 2008

Citizen Journalism (26)


Kala "Roy" Jualan Sepeda


MASIH ingatkah sosok pria berkepala plontos nyebelin penggoda Sarah dalam sinetron kondang "Si Doel Anak Sekolahan" beberapa tahun lalu? Dialah Djoni "Roy" Irawan, pengacara yang pernah memainkan peran antagonis itu. Dimana dia sekarang?

Sudah sedemikian bangkrutkah ketika pada hari Minggu, 14 September lalu dia terlihat berjualan sepeda tua di bazaar amal sekaliber kompleks perumahan Vila Bintaro Indah? Tidak tanggung-tanggung, selusin lebih sepeda ontel dia tawarkan kepada para peminat, termasuk aksesorisnya.

Tunggu dulu! Pria yang berteman baik dengan Wakil Bupati Tangerang Rano Karno ini masih tetap pengacara dan bahkan punya kantor sendiri. Lalu mengapa dia mendadak jadi penjual sepeda? "Tidak juga, ini sekedar display aja," katanya saat saya tanya alasannya, ketika pria beranak empat ini menunggui koleksi sepeda ontel bersama teman-temannya.

Tak pelak lagi, bazaar amal bertambah meriah dengan kehadiran sepeda antik dari masa tahun 50-60'an itu, meski tak satupun sepeda ontel itu terjual. Beberapa orang bahkan diperbolehkan menjajal sepeda antik itu keliling arena bazaar, tanpa dibebani keharusan membeli. Ya, namanya juga display alias pameran.

Gambar Si "Roy" dengan koleksi ontel dan sejumlah detail sepeda antik itu ada di sini:


Monday, September 15, 2008

En Passant



Kompasiana Go Online

INI proyek yang pengerjaannya paling sering tertunda, mungkin juga dipilih sebagai prioritas terakhir. Akan tetapi sejak 1 September 2008, blog khusus para jurnalis Kompas itu sudah bisa diakses di alamat http://kompasiana.com/.

Semangatnya, semua jurnalis Kompas yang mencapai 250 itu punya kavling masing-masing dengan mengisi kontennya sesuai preferensi individu. Saya sendiri punya kavling dengan alamat http://pepihnugraha.kompasiana.com/. Begitu juga jurnalis lainnya punya nama blog sesuai nama masing-masing.

Nama Kompasiana diusulkan wartawan senior yang biasa menulis kolom "Politika", yakni Budiarto Shambazy. Kompasiana sendiri adalah kolom pendiri Harian Kompas, PK Ojong. Budiarto sendiri menamai blognya di Kompasiana sebagai "Politiking". "Istilah itu tidak selalu berkonotasi negatif, saya akan kasih gambaran bagaiman berpolitik yang baik," katanya.

Sebagai pengasuh Kompasiana, saya harus selalu mengenalkan dunia blog, khususnya keberadaan Kompasiana kepada para jurnalis yang supersibuk. Tidak semua jurnalis akrab dengan blog. Jangankan punya, membaca blog orang saja barangkali belum pernah. Jadi alangkah senangnya ketika ada sejumlah jurnalis yang mau dibuatkan blog di Kompasiana, bahkan ada yang langsung mengisi kontennya seperti Agus Hermawan di alamat http://agushermawan.kompasiana.com/.

Mengapa jurnalis, termasuk jurnalis Kompas, harus ngeblog? Itu karena keniscayaan. Tengok koran-koran berskala internasional yang punya blog jurnalis sendiri. Uniknya, blog jurnalis ini justru lebih sering dikunjungi pembaca. Di blog ini si jurnalis bisa langsung berinteraksi dengan pembacanya.

Begitu pula harapan saya dengan Kompasiana dimana jurnalis Kompas bisa saling menyapa dengan para pembacanya. Di samping itu, Kompasiana memberi kesempatan jurnalis berpikir bebas mengenai hal apapun, yang tidak mungkin pemikirannya itu bisa ditulis di Harian Kompas sendiri.

Satu hal, dalam Kompasiana seorang jurnalis bisa menceritakan "behind the story" yang tidak bisa secara terang-terang diberitakan di koran. Jika tida sepaham dengan editor dan harus di-"kalahkan" atas nama kebijakan struktural, di sinilah tempatnya jurnalis mengungkapkan ketidaksetujuannya.

Kini Kompasiana masih dalam tarap pengembangan dan belum dikaitkan di navigasi Kompas.com, tetapi dalam waktu dekat siap diluncurkan. Hanya saja, satu fase penting, yakni mengajak jurnalis Kompas ngeblog, sudah terlampaui. Sekarang saya tinggal mengurus kontennya.

Selamat mengklik jurnalis blog http://kompasiana.com/.

Perjalanan macet Bintaro-Palmerah, 15 September 2008.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Saturday, September 13, 2008

Catatan (64): UMN


Memberi Kuliah Pertama


KAMIS 11 September 2008 mestinya tercatat sebagai hari bersejarah, setidak-tidaknya bersejarah buat saya pribadi. Bukan untuk mengenang tragedi WTC, juga bukan pula menyongsong peringatan G30S/PKI. Hari itu pukul 15.00 hingga 16.50, untuk pertama kalinya saya memberi kuliah mata pelajaran "Bahasa Jurnalistik" di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ini adalah universitas milik Jakob Oetama, taifun media massa Indonesia.

Mengapa saya bersedia menjadi dosen atau pengajar setidak-tidaknya untuk satu semester ke depan?

Pertama, karena UMN punya Jakob sendiri, boss besar saya di Harian Kompas. Bahkan sepekan sebelumnya, Jakoblah yang melakukan peletakan batu pertama kampus UMN di atas tanah seluas delapan hektar di Summarecon, Serpong, Tangerang. Kampus berlantai sembilan itu akan dikebut pengerjaannya sehingga diharapkan selesai  9 September 2009. Masak saya menolak ketika pihak UMN meminta saya untuk mengajar!?

Kedua, karena saya merasa mampu memberika materi kepada mahasiswa mengenai apa yang saya kerjakan selama lebih dari 18 tahun sejak bergabung dengan Kompas. Dari sekitar 70 dosen yang mengajar di UMN, saya sendirilah yang barangkali "hanya" lulusan S1. Selebihnya adalah lulusan S2 dan S3. Apakah saya terlalu percaya diri dan tidak minder dengan lulusan S1 saya? Tidak! Saya berprinsip: buat apa minder. Bagi saya, "pengakuan" di atas segala-galanya. Tentu dengan pertimbangan serius ketika UMN mengajak saya bergabung.

Ketiga, pada dasarnya saya suka berbagi ilmu. Ini karena bapak-ibu saya seorang guru yang merangkap sebagai petani. Saya masih ingat mendiang ibu menghendaki saya menjadi dosen di Universitas Padjadjaran dibanding saya harus lari ke Jakarta tahun 1990 lalu. Alasan mendiang sederhana, "Ibu dan bapak saja dengan menjadi guru SD bisa hidup dan mampu menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, apalagi kalau kamu jadi dosen!"

Keempat, saya sudah terbiasa memberi pelatihan jurnalistik dan penulisan berita sebelumnya di berbagai perguruan tinggi dan sekolah menengah, juga tampil sebagai pembicara di seminar sehingga tidak harus "takut" berhadapan dengan mahasiswa di ruang kuliah. Selain itu, saya merasa ilmu jurnalistik yang selama ini saya praktikkan, sudah lebih dari cukup dibanding membaca buku-buku teori selama bertahun-tahun!

Kelima, saya punya misi untuk lebih mengenalkan dunia online, khususnya Kompas.com dimana saya ditugaskan selama ini. Setidak-tidaknya dalam lingkup terbatas, yakni satu kelas, toh dengan cara kita memberi contoh soal dari berita-berita online, setidak-tidaknya mahasiswa dipaksa terbiasa untuk mengklik www.kompas.com. 

Keenam, karena atasan saya, Taufik Mihardja, mengizinkan. Tanpa izin itu, mana berani saya ambil keputusan sendiri. Saya taat organisasi, meski tidak selalu taat pada pimpinan. Tetapi dengan izin Taufik dan bahwa UMN juga masih punya kelompok usaha Kompas-Gramedia, saya menerima tawaran mengajar di UMN. 

Jadi, peristiwa itu layaklah saya masukkan ke dalam catatan harian saya di sini!

Citizen Journalism (25)


Bedah Buku Di Toko Buku


DI Bangalore, India, meresensi atau membedah buku biasa dilakukan di toko-toko buku. Si penulis buku biasanya bertugas sebagai pembicara, plus pembahas buku dan moderator. Para pembeli bisa langsung meminta tanda tangan si penulis buku. Cara yang baik untuk mendekatkan penulis dengan pembacanya, sekaligus promosi bagi si penjual buku. Di Indonesia rupanya kegiatan serupa sudah menggejala. Foto di atas adalah suasana di luar saat acara bedah buku di salah satu toko buku ternama di Bangalore, yang saya ambil beberapa waktu lalu. (PEPIH NUGRAHA)

Thursday, September 11, 2008

Citizen Journalism (24)

"Fastfood" Korea dan Starbucks Botol


MEMESAN makanan serba cepat saat berada di Bandara Internasional Incheon Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu, adalah pilihan bijak daripada menahan lapar di tengah udara dingin mencekik. Dibilang cepat karena pramusaji yang hanya bisa berbahasa Korea itu akan menyiapkannya dalam beberapa menit saja cukup dengan menunjukkan gambarnya.

Bagi musafir Muslim seperti saya, paling aman memesan makanan yang ada kata "beef" atau "chicken", sementara saya tidak boleh tertarik bangsanya mie-mie Korea, meski sesungguhnya saya suka mie setengah mati.

Ada nasi wangi semangkok yang lengket seperti ketan, tumis tauge a la Korea, plus lobak cuka alias kimchi yang wajib tersaji setiap makan apapun. Bahwa saya bernapsu menghabiskan kari sapi Korea yang lezat, itu karena adanya Sturbucks kemasan botol yang disajikan secara dingin. Pilihan tentu saja jatuh pada Cappucino, sebagaimana kalau saya ngopi panas di Starbucks manapun di seluruh dunia. (PEPIH NUGRAHA)

Citizen Journalism (23)

Petunjuk Bermanfaat

PETUNJUK bermanfaat ini bisa ditemukan di Taman Hutan Kota Senayan, sebuah kawasan di jantung ibukota yang kadang luput dari perhatian. Selain bisa menghirup udara segar, melihat berbagai tanaman langka, dan mendengar kicauan beraneka ragam burung, di hutan taman kota ini tersedia berbagai fasilitas olahraga yang sederhana, misalnya palang sejajar untuk senam. Manfaat dan cara menggunakannya pun tersedia dengan jelas, seperti tertera pada foto di atas yang diambil beberapa waktu lalu. (PEPIH NUGRAHA)

Tuesday, September 09, 2008

Catatan (63): Rama Pratama



Suara Khas Mahasiswa

ISENG-ISENG saya mengajak Rama Pratama berteman di Facebook. Setelah menunggu kurang lebih lima hari, baru Selasa 9 September 2008 ini saya menerima jawaban bahwa pertemanan saya diterima olehnya. Mendengar nama ini, ingatan saya kembali teringat masa-masa liputan jurnalistik saya dulu antara tahun 1997-1998. Rama adalah mahasiswa yang berani bersuara lantang, kritis, dan tidak segan turun ke jalan.

Salah satu pertemuan saya dengan Rama yang saya catat adalah ketika ia bersama empat senat mahasiswa menghadiri tabligh akbar dengan pembicara utama Ketua Umum PP Muhammadiyah HM Amien Rais di Masjid Al Azhar Jakarta, 15 Mei 1998. Saya meliput peristiwa itu sendirian dengan memberi judul berita "Amien Rais: ABRI Masih Bisa Diharapkan". Berita itu dimuat di Harian Kompas keesokan harinya. Lead berita yang saya buat adalah sebagai berikut:

Golkar dan partai politik tidak dapat diandalkan dalam membawa nasib bangsa ini karena sudah kehilangan arah. Harapan masih ada pada ABRI yang masih jelas dalam melihat misi. ABRI masih memiliki sense of mission sebagai saptamargais dan pancasilais. Tetapi dalam batas-batas tertentu ABRI sudah tidak punya lagi sense of direction.

Tentu saja pernyataan Amien Rais saat itu sangat keras dan langsung menohok Presiden Soeharto yang kala itu masih berkuasa, tetapi kekuasaannya sudah berada di ujung tanduk, diambang kejatuhan. Karena liputan saya di DPR dan organisasi massa termasuk Muhammadiyah, saya mengenal betul karakter pemberani Amien Rais. Dia seakan-akan sudah mencium bahwa jatuhnya Soeharto hanya tinggal menghitung hari.

Amien seperti menyanjung ABRI (TNI sekarang), tetapi pernyataannya justru mendelegitimasi organisasi serdadu itu. Dua institusi yang paling ditakuti saat itu, Presiden dan ABRI, justru Amien sikat sekaligus. Memang terbukti, baik Soeharto maupun ABRI pasca kejatuhan pemerintah yang sudah berkuasa selama 32 tahun, tidak pernah berkuasa lagi.

Di antara empat ketua senat mahasiswa yang hadir sebagai pembicara, selain juga Ketua Umum Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Fachri Hamzah, saya mewawancarai Ketua Senat Mahasiswa Universita Indonesia (SMUI) Rama Pratama. Saya juga menanyakan soal kemungkinan kepemimpinan pasca Soeharto tak berkuasa lagi menurut pendiriannya.

Saat itu Rama yang lahir di Jakarta 17 November 1974 tidak mempersoalkan siapa yang akan jadi pemimpin nanti, tetapi lebih menekankan kepada sistem. Ia menyatakan akan mendukung siapa pun yang terbukti melakukan perbaikan. "Apabila tetap tidak ada perubahan, kami (mahasiswa) akan demo lagi. Inilah peran mahasiswa independen yang tidak memiliki kepentingan apa pun," katanya. Ciri khas suara lantang mahasiswa.

Yang saya tahu, baik Fachri Hamzah maupun Rama Pratama kini sudah duduk di Senayan menjadi anggota legislatif mewakili Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saya sudah tidak liputan lagi di DPR sejak 2001 sehingga tidak begitu mengenal lagi kiprah Rama setelah ia menjadi anggota DPR lewat Pemilu 2004 lalu. Kecuali tahun 1999 ketika Rama kala itu menjadi anggota Tim Panita Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (PPPKPU).

Dengan diterimanya pertemanan saya oleh Rama di Facebook, mau tidak mau mengingatkan kenangan lama saya dengan mahasiswa pergerakan di era reformasi, termasuk Rama.

Thursday, September 04, 2008

En Passant


"Ngeblog" dari Blackberry

SUDAH lama ada keinginan ngeblog sambil lalu atau "en passant", tapi baru hari ini saya mencoba dan berhasil melakukannya. Ke depan, dimanapun saya berada tidak harus membuka laptop, cukup merogoh ponsel Vadafone dengan aplikasi Blackberry.

Jadi, tidak ada lagi cerita saya menunda ngeblog hanya karena keterbatasan PC dan internet. Saya bisa ngeblog dimanapun, sedang menanti pesawat di bandara, bahkan saat sedang berkendaraan. Saya bisa ngeblog sambil jalan kaki atau menanti pesanan tiba di rumah makan. Soal tampilan, nanti di-edit bila sudah dalam suasana tenang. Anggaplah "en passant" ini ngeblog saat dalam keadaan darurat.

Ini adalah postingan pertama hasil ngeblog secara mobile menggunakan ponsel. Saya memberi rubrik ini "En Passant" yang berarti sambil lalu. Maksudnya saya mengisi konten ini sambil bergerak lewat aplikasi Blackberry. Terima kasih teknologi!

Jakarta, 4 September 2008

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Wednesday, September 03, 2008

Catatan (62): Tentang Harmoko (4)


Safari Ramadhan, Safari Politik
KARENA saya ditempatkan di partai politik, dan partai politik itu adalah Golkar, mau tidak mau saya harus mengikuti setiap gerak langkah ketua umumnya, yakni Harmoko. Termasuk ketika saya ditugaskan mengikuti acara "Safari Ramadhan", sebuah tradisi berbau politik yang dimulai saat Harmoko menjadi menteri penerangan tahun 1983.

Saat mengikuti safari itu saya sudah langsung mencium bahwa ini adalah safari politik kendati dibungkus dengan nama "Safari Ramadhan". Ada embel-embel Ramadhan di sana karena memang selalu dilaksanakan setiap kali Ramadhan tiba. Safari bisa berlangsung dua minggu, tetapi ketika saat ikut Safari Ramadhan tahun 1998, safari dilaksanakan kurang lebih 10 hari. Bayangkan, selama 10 hari itu saya harus mempersiapkan stamina yang tidak boleh kedodoran karena harus mengikuti safari sampai selesai. Rasa capek dan penat tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak puasa, apalagi saat itu krisis moneter sedang menerpa negeri ini.

Repotnya, usai Harmoko pidato atau "menyapa" rakyat dimanapun, sekalipun di tengah hutan, saya harus selalu mencari dan menemukan koneksi telepon agar bisa mengirimkan berita. Biasanya yang jadi andalan rumah pejabat setempat yang punya saluran telepon atau kantor-kantor Telkom ada. Program FTP untuk mengirimkan berita sering terputus di tengah jalan di saat berita belum terkirim. Begitu setiap hari. Tidak tenang karena harus selalu mencari sambungan telepon!

Saat perjalanan dimulai dari markas besar DPP Golkar di Slipi, Harmoko sudah tidak menjabat lagi sebagai menteri penerangan. Saat itu Menpen dipegang Hartono dan saya punya cerita beberapa saat setelah Harmoko diberhentikan sebagai Menpen, yang akan saya ceritakan dalam kesempatan lain. Saya mengirimkan terus berita dari hasil safari menyusuri Pulau Jawa itu.

Saya juga mencoba merekam suasana Safari Ramadhan saat itu dalam sebuah tulisan yang bisa Anda nikmati di bawah ini. Tulisan ringan ini dimuat di Kompas edisi Senin, 26 Januari 1998 halaman 15:

Safari Ramadhan
ADA TIKUS, ADA KRISIS MONETER

"Selamat pagi, Pak Menteri!"
"Lho, saya sudah bukan menteri lagi, saya ini orang Golkar."

Sapaan spontan seorang penduduk Gunungkidul dijawab Ketua Umum DPP Golkar Harmoko saat berlangsung Safari Ramadhan 8-13 Januari 1998 lalu. Melanjutkan tradisi. Itulah kata yang paling tepat untuk kiprah Harmoko selama enam hari berkeliling Pulau Jawa. Dengan berkendaraan bus bersama 12 wartawan dan fungsionaris Golkar, tidak kurang dari 13 kabupaten, enam pondok pesantren, dan puluhan industri kecil disinggahi.

Safari Ramadhan yang sudah dimulai tahun 1983, sejak Harmoko menjabat Menteri Penerangan, sesungguhnya merupakan perjalanan yang sarat bermuatan komunikasi politik. Dikatakan bermuatan komunikasi politik, karena sepanjang perjalanan dan tempat yang disinggahi, pesan-pesan pembangunan disampaikan kepada rakyat. Kalau toh makna komunikasi politik ini diplintir menjadi untuk kepentingan intern Golkar, juga tidak ada salahnya. Sebab, kerap saat berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan kader Golkar, Harmoko menyampaikan pesan-pesan politiknya.

Berbicara Safari Ramadhan adalah bicara tentang Harmoko. Atau kalau mau dibalik, Harmoko identik dengan Safari Ramadhan. Maka trade mark ini tetap melekat, meski hal itu dilakukan setelah Harmoko tidak lagi menjadi Menpen. Bahwa Safari Ramadhan juga identik dengan kegiatan Departemen Penerangan, itu tidak terlalu keliru. Soalnya saat Safari Ramadhan dimulai, Harmoko menjabat Menpen. Kini boleh diklaim Safari Ramadhan Golkar.
***

KRISIS moneter menjadi topik utama meskipun tidak pernah ditentukan sebelumnya. Maka sejak menginjak Sukabumi di Jawa Barat sampai Ngawi di Jawa Timur, dengan tak kenal lelah Harmoko menjelaskan krisis moneter kepada rakyat sekaligus bagaimana cara kita semua menyikapinya.

Di Kabupaten Madiun, misalnya, Harmoko memulai penjelasan soal krisis moneter dengan bertanya kepada sekelompok ibu-ibu. Apakah ibu-ibu merasa barang kebutuhan sehari-hari naik? tanya Harmoko yang dibenarkan ibu-ibu. "Bagus ibu-ibu menjawab 'naik', sebab kalau ibu-ibu menjawab 'turun' itu tidak benar. Harga-harga memang naik," sambung Harmoko disambut tawa hadirin.

Lalu dijelaskanlah asal-muasal mengapa harga kebutuhan sehari-hari naik yang dimulai dengan jatuhnya mata uang sejumlah negara Asia. Di Asia Tenggara krisis mata uang dikatakan Harmoko mulai dengan jatuhnya baht, Thailand, yang berlanjut ke ringgit Malaysia dan kemudian rupiah. Harmoko meyakinkan, bahwa tidak hanya Indonesia saja yang mengalami krisis moneter, tetapi juga negara-negara lain.

Solusi yang ditawarkan Harmoko untuk mengatasi krisis moneter adalah pengetatan ikat pinggang alias penghematan yang dikatakannya harus dari berbagai arah. Cara Harmoko menawarkan penghematan kepada rakyat cukup dengan menjelaskan, ibu-ibu yang biasanya membeli satu kilo minyak goreng, dianjurkan membeli seperempat kilo. Kalau pada akhirnya minyak goreng tidak terbeli, maka dianjurkan untuk direbus atau dikukus.

Demikian juga tatkala mencontohkan penghematan gula dan beras, Harmoko menyarankan hal yang sama seperti minyak goreng. "Kalau suami ibu protes mengapa kopinya pahit," kata Harmoko, "Jelaskan bahwa kopi itu memang pahit. Lalu sarankan suami ibu minum kopi kletakan: sruput kopinya, kemudian gulanya di-kletak atau digigit sedikit demi sedikit. Sama saja toh!"

Ketika harus menjelaskan reformasi politik dan reformasi ekonomi, Harmoko menjelaskan dengan mengumpamakan krisis moneter sebagai tikus yang menggerogoti lumbung padi. Dikatakan, yang harus dilakukan adalah mengatasi tikusnya, bukan malah membakar atau menghancurkan lumbung padinya. "Demikian pula kalau nyamuk (krisis moneter) masuk ke kelambu, nyamuk itu yang harus diatasi, bukan malah mengganti kelambu dengan kelambu buatan Amerika Serikat," kata Harmoko.

Safari Ramadhan juga menghasilkan temuan adanya anggota dewan yang sama sekali tidak pernah turun ke daerah pemilihan atau daerah binaannya. Ini terjadi di Desa Bendungan, Sragen. Keluarlah instruksi agar anggota F-KP, baik di DPRD I, DPRD II, maupun DPR agar rajin turun ke bawah (turba). "Ini masalah konduite, wakil rakyat yang tidak turba akan diberi peringatan. Kalau membandel, tidak mustahil kita recall," kata Harmoko.

Akankah tradisi yang sudah 16 tahun bergulir terhenti setelah Harmoko tidak lagi menjadi Ketua Umum DPP Golkar, misalnya, mengingat Munas Golkar akan berlangsung pada akhir 1998 nanti? Harmoko sendiri sebelum Safari Ramadhan menegaskan, "Saya akan tetap bersafari Ramadhan kendati sudah tidak menjabat apa pun." (PEP)

Berbagi Pengalaman Menulis (73)


Monica Oemardi

SAYA membuat berita Senin lalu, baru dimuat kemudian Rabu, 3 September 2008 di rubrik "Nama dan Peristiwa" Harian Kompas. Awalnya saya menghadiri peluncuran buku almarhumah blogger Inong yang diterbitkan komunitas "We R Mommies". Pendiri komunitas itu Monica Omeardi. Karena Monica mantan artis dan model, saya menunggu kesempatan dia selesai diwawancarai televisi entertainment. Monica mau saya ajak ngobrol dan jadilah berita di bawah ini, sementara foto saya ambil dari Google karena belum berhasil menemukan foto hasil karya sendiri yang sampai saat postingan ini ditayangkan belum berhasil saya temukan.


Absen "Ngenet"

Pemain film yang populer pada 1990-an Monica Oemardi (34) sangat dekat dengan dunia internet dan web. Bahkan, dialah pendiri blog yang khusus didekasikan buat para ibu, We R Mommies, yang beralamat di http://wrm-indonesia.org/.Apa masih aktif mengurus situs itu?

”Wah, selama satu tahun terakhir ini saya tak aktif ngurus We R Mommies. Ini gara-gara saya pindah rumah dan untuk memasang sambungan internet susah sekali,” katanya di sela-sela peluncuran buku Cooking with Love di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ditemani suaminya, Aria Wijaya, Monica yang tengah mengandung anak ketiga bercerita, ia absen pula berinteraksi dengan internet alias absen ngenet.

Kalau blog atau situs We R Mommies masih berjalan, bahkan bisa meluncurkan buku ketiganya, itu karena ada yang menangani, juga dari kalangan ibu-ibu sendiri.”Anggota We R Mommies tidak banyak, paling ratusan, tetapi mereka sangat aktif,” kata Monica.

Soal tawaran bermain film, pemeran film Cinta dalam Sepotong Roti ini mengaku sering menolak. Alasannya, ia ingin lebih memerhatikan anak-anak. Sementara itu, Cooking with Love adalah buku yang didedikasikan kepada almarhumah Inong, blogger yang selalu berbagi resep masakan dan juga anggota We R Mommies. (PEP)

Monday, September 01, 2008

Citizen Journalism (22)


Parkir Tak Beraturan

SEKALI lagi saya menangkap dua momen aneh di dua tempat parkir berbeda. Sedihnya lagi, satu tempat parkir justru berada di lingkungan kantor dimana saya bekerja. Satu lagi di Bintaro Plaza, dimana dua mobil sama-sama terparkir di tempat yang tidak semestinya, Minggu (31/8) lalu. Di tempat parkir kantor saya, sebuah Kijang kapsul yang biasa digunakan mobil dinas wartawan, terparkir di luar batas yang ditentukan. Memang tidak mengganggu orang yang hendak parkir karena tidak mengambil tempat parkir lain, tetapi malah mengganggu mobil lain lewat karena persis mengambil badan jalan tikungan. Sedangkan di Bintaro Plaza, dua mobil sama-sama terparkir saling mengambil tempat parkir lain. Pertanyaannya, buat apa-apa kotak-kotak yang dicat putih itu, apakah itu hanya sekedar hiasan belaka?

Citizen Journalism (21)


Masilam Masuk WEB

MEMBACA judul di atas harus sedikit mengernyitkan dahi, setidak-tidaknya apa maksudnya? Masilam di sini bukan nama batak "Marsilam", tetapi kependekan dari "Manusia Masa Silam" dan WEB di sini bukan situs di internet, tetapi "Week End Bazaar", sebuah bazzar mingguan di halaman Restoran Wong Solo, Bintaro. Gambar di atas adalah dua orang pecinta sepeda ontel, lengkap dengan aksesori masa silamnya, yakni topi caping atau dalam bahasa Sunda dudukuy cetok, plus sepeda ontel yang memang berasal dari masa silam. Saya mengabadikannya dari sepeda ontel juga. Tentu saja mereka bukan manusia masa silam sesungguhnya, tetapi manusia masa kini yang hobi mengenang keanggunan masa silam. (PEPIH NUGRAHA)

Citizen Journalism (20)


Persiapan Sambut Paceklik?

MINGGU, 31 Agustus 2008 lalu adalah "mimpi buruk" bagi yang berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan manapun. Di hampir semua kasa pembayaran tercipta antrian panjang yang mengular tidak seperti hari biasanya. Waktu antri saja bisa mencapai satu jam lebih sebelum sampai ke tempat pembayaran, seperti di antrian Makro Ciputat. Hampir seluruh kasa dipadati antrian serupa. Di Carefour Bintaro (dulunya Alfa Bintaro) bahkan mobil pun tidak bisa masuk karena tempat parkir yang luas terisi penuh. Menurut Paramitha, warga Ciganjur, padatnya antrian di pusat-pusat perbelanjaan karena tiga hal: bulan muda, hari libur, dan menghadapi puasa Ramadhan. Alhasil. warga pun berbelanja apa yang bisa mereka bawa, seperti membekali diri saat-saat menghadapi paceklik panjang. Padahal, hanya menghadapi puasa Ramadhan, yang "ironisnya" justru mengajarkan kesederhanaan dan belajar berbagi rasa dengan sesama, terutama kaum papa. Apakah sebagian yang mereka borong itu juga buat kaum papa? Semoga.... (PEPIH NUGRAHA)

Citizen Journalism (19)


Pandangan Yang Terbatas

JANGAN pernah melawan alam, lebih baik bersahabatlah dengannya! Barangkali ini pepatah bijak. Baru diberi hujan lebat di jalan tol, Minggu, 31 Agustus 2008 lalu, pandangan ke depan pun menjadi sangat terbatas. Saya dan keluarga waktu itu berniat ke Makro Ciputat lewat jalan tol. Baru pertengahan jalan, hujan lebat turun bagai tercurah dari langit. Anehnya, kendaraan tidak juga memperlambat lajunya. Istri terbenam tidur, sementara sambil mengemudi saya keluarkan ponsel kamera dan mengambil beberapa momen dari belakang kemudi. Saya tahu ini berbahaya, tetapi hujan terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Hujan adalah sahabat saya. Salah satu momen yang saya abadikan itu adalah foto ini, pandangan yang terbatas! (PEPIH NUGRAHA)

Dari Kompasiana (1)



Pemerintah "Ngadalin" Rakyat *


TIDAK tahan juga untuk tidak bereaksi, setidak-tidaknya di blog ini, menyikapi kenaikan harga gas elpiji. Baru akhir Juni lalu Pertamina menaikkan harga elpiji ukuran 12 kilogram, kini dua bulan kemudian harga itu naik lagi, dari yang semula Rp 63.000 menjadi 69.000. Saya tentu harus merogoh kantong lebih dalam lagi manakala harus membeli elpiji, juga orang lain tentu yang hidupnya sangat bergantung kepada gas alam cair ini.

Saya menjadi bertanya-tanya, pemerintah macam apa sekarang ini? Pemerintah yang benar-benar tidak punya nurani, pemerintah yang diisi oleh orang-orang yang sama sekali tidak cakap, pemerintah yang memakai segala cara untuk menutupi segala ketidakcakapannya itu. Ini pemerintah yang paling lembek, yang tidak punya kebijakan jelas. Bayangkan, para petinggi ini berbusa-busa meminta rakyat mengalihkan penggunaan minyak tanah ke gas elpiji. Iklan di televisi diputar besar-besaran yang menyatakan gas elpiji lebih murah dan lebih irit. Jutaan tabung gas elpiji tiga kiloan berwarna hijau tosca pun diadakan. Rakyat pun rela beralih. Eh, setelah beralih sekarang harga gas terus dinaikkan!

Saya menaruh hormat kepada rakyat kita, bangsa Indonesia yang teramat santun dan selalu memaafkan ketidakbecusan pejabat dalam mengelola negeri ini, yang manut begitu saja ketika pengalihan yang disebut konversi minyak tanah ke gas elpiji itu dilakukan. Memang ada reaksi terutama ketika di satu wilayah minyak tanah ditiadakan, karena selama hidupnya orang cuma tahu minyak tanah. Banyak orang yang tidak memperoleh tabung gas tiga kiloan, bahkan di beberapa tempat orang kaya malah disubsidi tabung gas tiga kiloan! Tetapi semua berjalan mulus ketika rakyat bisa merasakan manfaat elpiji yang memang lebih bersih dan higienis itu.

Akan tetapi, belum lama rakyat mersakan kenikmatan itu, tiba-tiba Pertamina, sebuah BUMN yang jelas milik pemerintah, menaikkan lagi harga elpiji. Saya langsung mengumpat, ini pemerintah tipu-tipu, pemerintah yang bisanya cuma “ngadalin” rakyatnya!!!

Mengapa demikian? Bayangkan, untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam hal ini minyak tanah, bensin, solar dan kerabatnya, pemerintah perlu berkonsultasi dengan DPR. Bahkan keputusan yang diambil atas kenaikan harga BBM itu pun keputusan bersama, pemerintah dan DPR. Lha bagaimana mungkin setelah rakyat mematuhi kemauan pemerintah untuk beralih ke gas elpiji, kini pemerintah lewat Pertamina menaikkan harga elpiji tanpa berkonsultasi dengan DPR. Artinya, pemerintah mengambil kebijakan sendiri!

Saya tidak tahu apakah kenaikan elpiji ini dimaksudkan sebagai pembusukan dari dalam terhadap duet SBY-JK oleh lawan-lawan politik mereka jelang Pemilu dan Pilpres 2009 atau memang bentuk nyata ketidakberdayaan SBY-JK dalam mengelola negeri ini? Kita tidak bicara investasi yang hancur, investor yang kabur, aset negara yang dijual kelewat murah, harga pertamax yang terus naik, dan kemiskinan rakyat yang ada nyata di depan mata. Bahkan, sekadar menambah pemasukan dengan menaikkan elpiji pun tega-teganya pemerintah “ngadalin” rakyatnya.

*Opini saya ini diambil utuh dari Kompasiana, yaitu blog para jurnalis Kompas dan beberapa jurnalis yang bernaung di kelompok Kompas-Gramedia, yang bisa diakses mulai 1 September 2008 ini, meski dengan tampilan sementara dan belum sempurna. Saya menulis mengenai apapun, segala hal yang menggelitik ketidakpahaman saya mengenai suatu peristiwa atau pemahaman terbatas tentang apa yang sedikit saya ketahui.