Wednesday, September 17, 2008

Dari Kompasiana (2)


Elegi Daging Daur Ulang*

COBA sekali-kali pakai pola pikir dan pola tindak para pemimpin negeri ini, coba kita sedikit berempati kepada SBY, JK, AL, GK, dan HN misalnya, orang-orang yang kita anggap pantas mewakili negeri ini sebagai pemimpin saat ini. Lalu hadapkan pada persoalan daging daur ulang yang menurut pandangan Kang Ush bermuasal dari kemiskinan, lantas apa yang bisa mereka perbuat, para pemimpin itu?

Sudah dapat ditebak, paling tidak sebatas “menyesalkan”, “Meminta untuk ditindak”, “mengutuk”, “tegakkan peraturan” dan seterusnya, kata-kata baku yang sering dikutip media. Tidakkah mereka bertanya pada diri sendiri, merefleksi diri, mengapa ini semua terjadi?

Kemiskinan! Itu jawaban singkatnya. Orang-orang dekat Presiden boleh saja berbusa-busa mengatakan bahwa kemiskinan menurun. Buktinya? Daging daur ulang adalah salah satu indikasinya. Tidak adanya lapangan pekerjaan, tidak adanya jaminan sosial bagi orang miskin, tidak bekerjanya dinas sosial dan alat-alat pemerintah lainnya yang bertugas menyejahterakan rakyatnya, mengakibatkan daging daur ulang itu ada.

Bahwa ada orang-orang “kreatif” semacam para pendaur ulang daging sisa itu, dari sisi si pelaku, itu harus diletakkan pada kebutuhan dasar bahwa mereka juga perlu makan. Apa yang bisa mereka makan saat pekerjaan tidak ada, apalagi bicara modal. Ya mengais-ais sisa makanan itulah.

Di negeri ini, jangankan rakyatnya yang sudah banyak menderita lapar, bangsa kucing dan anjing pun dalam waktu dekat akan segera menemui ajal akibat kelaparan. Mengapa? Karena daging sisa yang seharusnya buat mereka, malah didaur ulang untuk makanan manusia Indonesia. Salahkah rakyat yang membeli? Tidak! Sebab hanya dengan uang terbatas di kantong itulah mereka bisa memenuhi kebutuhan makan keluarga dengan membeli daging daur ulang!

Apa yang Anda bayangkan dengan mobil mengkilat para pejabat, rumah dinas mewah dengan fasilitas lengkap, uang berlimpah dari hasil kongkalikong yang boro-boro sampai menetes ke bawah, dan kebiasaan menghambur-hamburkan uang belanja di luar negeri, dihadapkan dengan persoalan daging daur ulang yang ternyata menjadi makanan penting sebagian penduduk Indonesia?

Kita, orang-orang mengerti yang bekerja di media massa, sudah seharusnya meyakinkan kepada para pembacanya untuk selalu memercayai dan menaati pemerintah lengkap dengan seperangkat aturan hukumnya. Lama-lama saya ragu, jangan-jangan “rakyat” pembaca menganggap kita sebagai orang tidak waras, karena rakyat sudah lebih dahulu merasa tidak harus memercayai dan menaati pemerintah, wong ada atau tiada pemerintah sama saja. Wah….

* Opini saya ini diambil utuh dari Kompasiana, yaitu blog para jurnalis Kompas.

No comments: