Tuesday, September 09, 2008

Catatan (63): Rama Pratama



Suara Khas Mahasiswa

ISENG-ISENG saya mengajak Rama Pratama berteman di Facebook. Setelah menunggu kurang lebih lima hari, baru Selasa 9 September 2008 ini saya menerima jawaban bahwa pertemanan saya diterima olehnya. Mendengar nama ini, ingatan saya kembali teringat masa-masa liputan jurnalistik saya dulu antara tahun 1997-1998. Rama adalah mahasiswa yang berani bersuara lantang, kritis, dan tidak segan turun ke jalan.

Salah satu pertemuan saya dengan Rama yang saya catat adalah ketika ia bersama empat senat mahasiswa menghadiri tabligh akbar dengan pembicara utama Ketua Umum PP Muhammadiyah HM Amien Rais di Masjid Al Azhar Jakarta, 15 Mei 1998. Saya meliput peristiwa itu sendirian dengan memberi judul berita "Amien Rais: ABRI Masih Bisa Diharapkan". Berita itu dimuat di Harian Kompas keesokan harinya. Lead berita yang saya buat adalah sebagai berikut:

Golkar dan partai politik tidak dapat diandalkan dalam membawa nasib bangsa ini karena sudah kehilangan arah. Harapan masih ada pada ABRI yang masih jelas dalam melihat misi. ABRI masih memiliki sense of mission sebagai saptamargais dan pancasilais. Tetapi dalam batas-batas tertentu ABRI sudah tidak punya lagi sense of direction.

Tentu saja pernyataan Amien Rais saat itu sangat keras dan langsung menohok Presiden Soeharto yang kala itu masih berkuasa, tetapi kekuasaannya sudah berada di ujung tanduk, diambang kejatuhan. Karena liputan saya di DPR dan organisasi massa termasuk Muhammadiyah, saya mengenal betul karakter pemberani Amien Rais. Dia seakan-akan sudah mencium bahwa jatuhnya Soeharto hanya tinggal menghitung hari.

Amien seperti menyanjung ABRI (TNI sekarang), tetapi pernyataannya justru mendelegitimasi organisasi serdadu itu. Dua institusi yang paling ditakuti saat itu, Presiden dan ABRI, justru Amien sikat sekaligus. Memang terbukti, baik Soeharto maupun ABRI pasca kejatuhan pemerintah yang sudah berkuasa selama 32 tahun, tidak pernah berkuasa lagi.

Di antara empat ketua senat mahasiswa yang hadir sebagai pembicara, selain juga Ketua Umum Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Fachri Hamzah, saya mewawancarai Ketua Senat Mahasiswa Universita Indonesia (SMUI) Rama Pratama. Saya juga menanyakan soal kemungkinan kepemimpinan pasca Soeharto tak berkuasa lagi menurut pendiriannya.

Saat itu Rama yang lahir di Jakarta 17 November 1974 tidak mempersoalkan siapa yang akan jadi pemimpin nanti, tetapi lebih menekankan kepada sistem. Ia menyatakan akan mendukung siapa pun yang terbukti melakukan perbaikan. "Apabila tetap tidak ada perubahan, kami (mahasiswa) akan demo lagi. Inilah peran mahasiswa independen yang tidak memiliki kepentingan apa pun," katanya. Ciri khas suara lantang mahasiswa.

Yang saya tahu, baik Fachri Hamzah maupun Rama Pratama kini sudah duduk di Senayan menjadi anggota legislatif mewakili Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Saya sudah tidak liputan lagi di DPR sejak 2001 sehingga tidak begitu mengenal lagi kiprah Rama setelah ia menjadi anggota DPR lewat Pemilu 2004 lalu. Kecuali tahun 1999 ketika Rama kala itu menjadi anggota Tim Panita Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (PPPKPU).

Dengan diterimanya pertemanan saya oleh Rama di Facebook, mau tidak mau mengingatkan kenangan lama saya dengan mahasiswa pergerakan di era reformasi, termasuk Rama.

No comments: