KAMIS 11 September 2008 mestinya tercatat sebagai hari bersejarah, setidak-tidaknya bersejarah buat saya pribadi. Bukan untuk mengenang tragedi WTC, juga bukan pula menyongsong peringatan G30S/PKI. Hari itu pukul 15.00 hingga 16.50, untuk pertama kalinya saya memberi kuliah mata pelajaran "Bahasa Jurnalistik" di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ini adalah universitas milik Jakob Oetama, taifun media massa Indonesia.
Mengapa saya bersedia menjadi dosen atau pengajar setidak-tidaknya untuk satu semester ke depan?
Pertama, karena UMN punya Jakob sendiri, boss besar saya di Harian Kompas. Bahkan sepekan sebelumnya, Jakoblah yang melakukan peletakan batu pertama kampus UMN di atas tanah seluas delapan hektar di Summarecon, Serpong, Tangerang. Kampus berlantai sembilan itu akan dikebut pengerjaannya sehingga diharapkan selesai 9 September 2009. Masak saya menolak ketika pihak UMN meminta saya untuk mengajar!?
Pertama, karena UMN punya Jakob sendiri, boss besar saya di Harian Kompas. Bahkan sepekan sebelumnya, Jakoblah yang melakukan peletakan batu pertama kampus UMN di atas tanah seluas delapan hektar di Summarecon, Serpong, Tangerang. Kampus berlantai sembilan itu akan dikebut pengerjaannya sehingga diharapkan selesai 9 September 2009. Masak saya menolak ketika pihak UMN meminta saya untuk mengajar!?
Kedua, karena saya merasa mampu memberika materi kepada mahasiswa mengenai apa yang saya kerjakan selama lebih dari 18 tahun sejak bergabung dengan Kompas. Dari sekitar 70 dosen yang mengajar di UMN, saya sendirilah yang barangkali "hanya" lulusan S1. Selebihnya adalah lulusan S2 dan S3. Apakah saya terlalu percaya diri dan tidak minder dengan lulusan S1 saya? Tidak! Saya berprinsip: buat apa minder. Bagi saya, "pengakuan" di atas segala-galanya. Tentu dengan pertimbangan serius ketika UMN mengajak saya bergabung.
Ketiga, pada dasarnya saya suka berbagi ilmu. Ini karena bapak-ibu saya seorang guru yang merangkap sebagai petani. Saya masih ingat mendiang ibu menghendaki saya menjadi dosen di Universitas Padjadjaran dibanding saya harus lari ke Jakarta tahun 1990 lalu. Alasan mendiang sederhana, "Ibu dan bapak saja dengan menjadi guru SD bisa hidup dan mampu menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, apalagi kalau kamu jadi dosen!"
Keempat, saya sudah terbiasa memberi pelatihan jurnalistik dan penulisan berita sebelumnya di berbagai perguruan tinggi dan sekolah menengah, juga tampil sebagai pembicara di seminar sehingga tidak harus "takut" berhadapan dengan mahasiswa di ruang kuliah. Selain itu, saya merasa ilmu jurnalistik yang selama ini saya praktikkan, sudah lebih dari cukup dibanding membaca buku-buku teori selama bertahun-tahun!
Kelima, saya punya misi untuk lebih mengenalkan dunia online, khususnya Kompas.com dimana saya ditugaskan selama ini. Setidak-tidaknya dalam lingkup terbatas, yakni satu kelas, toh dengan cara kita memberi contoh soal dari berita-berita online, setidak-tidaknya mahasiswa dipaksa terbiasa untuk mengklik www.kompas.com.
Keenam, karena atasan saya, Taufik Mihardja, mengizinkan. Tanpa izin itu, mana berani saya ambil keputusan sendiri. Saya taat organisasi, meski tidak selalu taat pada pimpinan. Tetapi dengan izin Taufik dan bahwa UMN juga masih punya kelompok usaha Kompas-Gramedia, saya menerima tawaran mengajar di UMN.
Jadi, peristiwa itu layaklah saya masukkan ke dalam catatan harian saya di sini!
3 comments:
Selamat menjadi dosen, semoga segera dapat kesempatan nambah S2 dan S3 juga!
Pendidikan kita memang memprihatinkan, dan salah satunya karena orang malas jadi guru atau dosen sebab zaman sekarang kayaknya guru/dosen bisa memintarkan anak orang tapi anak sendiri bisa jadi terlantar...
Wah selamat buat mas pepih, tambah lagi dech satu profesi yang sangat mulia.....
Goodluck mas!!...
HALOO Pak PEPIH...
saya Trias Prayogi mahasiswa baru di UMN. Il. kom Jurnalistik...
salam kenal ya pakkkk
Post a Comment