Friday, August 08, 2008

Catatan (58): Tentang Harmoko (1)

Berani Menyapa

BERANILAH menyapa! Itu salah satu senjata jurnalis. Maka ketika saya bertemu dengan Harmoko, mantan menteri penerangan di era Soeharto di lobi Gedung Harian Kompas, saya langsung menyapa dan mengajaknya bercakap-cakap. Peduli amat dia tidak lagi mengenal saya. Akan tetapi, saya tetaplah seorang jurnalis yang masih menganggap Harmoko sebagai seorang prominent people.

Saya punya catatan khusus tentang Harmoko selama saya diminta meliput Partai Golkar di tahun 1996-1999, juga tentang Akbar Tandjung sebagai penggantinya. Saya akan menceritakannya dalam postingan berikutnya, tetap dalam konteks how to cover and to write it! Baiklah, di bawah ini adalah hasil sapaan saya kepada Harmoko yang saya tulis untuk KOMPAS.Com, Jumat 8 Agustus 2008. Tulisan juga bisa dibaca di sini, dengan fotografi karya Priyambodo:

Harmoko:
Bukan Soal Sehat, Yang Penting Waras

JAKARTA, JUMAT- Masih ingat Harmoko? Dialah mantan Menteri Penerangan di Era Soeharto yang kondang dengan seruan khasnya, “Menurut petunjuk Bapak Presiden”, setiap kali ia memberi keterangan pers. Pada usianya yang menjelang 70 tahun, politisi kelahiran Nganjuk yang mantan ketua umum DPP Partai Golkar itu masih nampak segar.

Jumat (8/8) pukul 10.00 tadi, ia berdiri menunggu sopir yang siap menjemputnya di kantor sebuah harian di Jakarta. Kamipun menyapanya, “Apa kabar, Pak Harmoko?” Mendapat sapaan demikian, iapun menjulurkan tangan mengajak berjabat tangan. “Ah you rupanya, masih kelihatan segar. Masih meliput politik?” tanyanya. You adalah sapaan akrabnya kepada jurnalis yang dikenalnya, yang biasa terlontar begitu saja.

Ditanya soal kesehatannya, ia mengaku sehat walafiat karena secara teratur berolahraga, khususnya tenis. Meski demikian, kolumnis sekaligus pemilik Harian Pos Kota yang pernah meminta Soeharto lengser di awal Era Reformasi ini mengatakan, seakrang yang lebih penting bukan sekadar kesehatan saja.

“Lho apa lagi, Pak, bukankah itu (kesehatan) yang paling penting sekarang ini?” kami bertanya. Harmoko melanjutkan, “Bukan sekadar sehat, lebih penting lagi waras. You tahu, sekarang ini lagi banyak-banyaknya orang yang tidak waras.”

Sayangnya, percakapan dengan Harmoko harus berakhir karena kendaraan Toyota Land Cruiser warna hijau gelap sudah menantinya. Harmoko pun pamit. Kamipun belum sempat menanyakan siapa-siapa saja sekarang ini orang-orang yang disebutnya “tidak waras” itu. Kamipun berani mengutip pernyataannya itu karena Harmoko tidak meminta, “Ini off the record ya!” (PEP)
***

DEMIKIANLAH sapaan saya terhadap Harmoko. Tanpa berani menyapa karena alasan gengsi, karena "dia (Harmoko) sudah tidak jadi apa-apa" dan karena dia "sudah bukan siapa-siapa" lagi, maka niscaya tidak akan ada berita di atas tadi. Saya tidak peduli sebagian orang membencinya. Bagi saya, Harmoko tetaplah tokoh, lebih karena "kelihaiannya" berpolitik, sehingga kekesalan orang yang sedemikian menumpuk menjadi sirna sama sekali hanya karena dia pernah "meminta Soeharto mundur"!

Sedemikian lihainya, bukan. Dan memang ajaib, ketika para pejabat Orde Baru kena hujat, termasuk  mereka yang hengkang dari kabinet saat-saat kejatuhan Soeharto sekalipun, Harmoko tidak pernah dihujat. Mahasiswa pun tidak pernah menyentuh dan menghujatnya. Benarkah Harmoko selamat karena kelihaiannya berpolitik atau semata-mata blessing in disguise saja? (Bersambung)

No comments: