Monday, September 22, 2008

Dari Kompasiana (3)


Tragedi Kemanusiaan Pasuruan*

APA arti lembaran kertas senilai 20.000 perak? Nyawa! Lebih tragis lagi, 21 nyawa perempuan melayang demi uang sejumlah itu. Rekan saya, Ahmad Subechi, menggambarkan dengan baik derita para ibu perjuang yang malang itu di Kompasiana ini. Deritamu adalah Derita Kita, demikian ia memberi judul tulisannya.

Mengapa para ibu, para pejuang kehidupan itu rela mati demi 20.000 rupiah? Karena kertas itu begitu berharga. Karena kertas itu bisa memperpanjang hidup barang sehari dua hari. Kertas itu bisa memberi makan sekeluarga, entah itu makan sahur atau saat berbuka puasa. Jangan-jangan di antara para ibu, mereka yang sedianya menerima zakat itu, ada yang berpikir bahwa uang itu untuk bekal lebaran nanti!

Mengapa begitu banyak para ibu yang berharap menerima zakat dari pengusaha setempat bernama Saikhon? Mengapa jumlahnya mencapai ribuan hanya untuk mendapatkan uang senilai itu? Kemiskinan dan kemelaratan, itu barangkali jawaban paling tepat. Kalau ribuan ibu itu hidupnya sejahtera, cukup sandang, pangan dan papan sebagaimana yang diidealkan pemerintah, tragedi Pasuruan yang mengentak kesadaran itu tidak akan pernah terjadi.

Seorang rekan kerja saya bilang, di Pasuruan berkembang isu bahwa para korban tewas terinjak-injak saat berebut zakat itu karena memang “dikorbankan” untuk pesugihan. Konon tahun kemarin juga tiga orang tewas di tempat yang sama, hanya saja tidak sempat teramaikan di media massa. Karena korbannya mencapai 21 tewas, katanya, “Si pengusaha itu akan semakin kaya di tahun depan!”

Saya menyangkal habis pendapat rekan saya yang berbau klenik ini, meski tidak tertutup kemungkinan pikiran semacam ini hinggap di sementara orang, termasuk Anda barangkali. Saya berkhusnuzon (berpikir positif)  bahwa Haji Saikhon adalah pengusaha sarang walet yang sedang melaksanakan salah satu dari lima Rukun Islam, yaitu kewajiban berzakat. Alangkah tragisnya pula jika niat baik berbagi harta kepada sesama dalam bentuk zakat itu harus berakhir di terali besi yang dingin dan beku.

Sudah terdengar pernyataan yang memojokkan, bahwa Haji Saikhon seharusnya menitipkan harta untuk berzakat ini kepada badan amil zakat yang diurus pemerintah. Haji Saikhon disalahkan karena membagikan zakat secara langsung tanpa meminta bantuan aparat keamanan. Repotnya hidup di negeri ini, berbuat amal baik pun masih disalahkan. Jangan-jangan ia membagikan langsung zakat itu karena tidak lagi percaya pada pemerintah.

Terdengar pula kabar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutus seorang menterinya ke Pasuruan untuk menyampaikan bela sungkawa, yang memang sudah seharusnya dilakukan. Demikian juga para politisi mencari kesempatan tragedi ini untuk mencari simpati. Para pejabat teras negeri ini juga menunjukkan simpati terhadap para korban tragedi Pasuruan ini dengan cara masing-masing.  

Mudah-mudahan sambil bersimpati mereka juga merefleksi diri; sudah cukupkah mereka berbuat untuk rakyat negeri ini? Masih pantaskah mereka meneruskan amanah untuk membuat negeri ini gemah ripah loh jinawi? Atau sebaiknya mereka berbesar hati dengan mengaku “kami memang tidak mampu!”

Ah, mana mereka mau!

Tulisan saya ini diambil utuh dari Kompasiana, blog jurnalis Kompas.

1 comment:

opini-prayitno.ramelan said...

Memang mengerikan ...tiap lebaran mesti korban berjatuhan, ya mau kasih zakat, mau mudik, banyak yang meninggal sia-sia. Btw saya mengirim artikel dengan judul Mengantar Nyawa Saat Lebaran, semoga sudah diterima ya Mas Pepih...saya berharap barangkali bisa ditayangkan di Kompasiana. Salam Mas.Prayitno Ramelan