Thursday, November 30, 2006

Novelet: Mystery of Love (1)





“Power of Love” atau “Mystery”

Saya tidak ingin mendebat mana yang paling tepat apakah “Power of Love” atau “Mystery of Love”. Rasanya dua-duanya benar untuk novelet (novel pendek) karya rekan Meytia Mutiara (Tia). Tetapi bagi saya, novelet yang konon menurut penulisnya merupakan cerita pertamanya itu, terlalu sempurna untuk dikritik. Kalimatnya mengalir cepat, apa adanya, dengan sedikit menggunakan bahasa Indonesia yang funky.

Setting tempat berubah-ubah, mulai kota besar di Amerika Serikat, Trafalgar di London Inggris, Itali, Belanda, Rusia, Spanyol, Thailand, Malaysia, Singapura, sampai Jakarta, berkelebatan terus. Saya seperti mengikuti sebuah pesawat terbang tunggal bernama “Aku”, yang dalam cerita bernama lengkap Prahara Samudra (Ara), kemanapun si “Aku” melayang pergi dan hinggap di suatu tempat. Yah, ke tempat-tempat yang dia singgahi itu.

Sahabat Tia juga sudah menjadi “kamera” yang baik, yang mengamati cukup detail kota-kota yang diceritakannya itu. Salut.

Bahasa boleh funky, yang penting pesannya dapat dimengerti, bukan? Ibarat mengunyah popcorn, bahasa yang digunakan Tia sangatlah renyah, rangu, kata orang Sunda, dan tentu saja tidak terasa cepat habis dilalap tanpa harus bersusah payah mengunyah, apalagi mengernyitkan dahi. Mungkin, sahabat Tia tidak ingin menyulitkan pembacanya dengan bahasa yang njelimet dan plot alias alur cerita yang ribet. Itulah yang membuat mengapa novelet ini begitu genuine, asli, dan hadir seperti gadis tanpa riasan tetapi tetap menawan.

Perkara isi cerita, itu terserah pembaca sajalah. Saya tidak mau berdebat soal etika si “Aku”, perempuan yang mencintai suami yang sudah beristri dan berputri dua. Juga tidak mau menghardik tokoh Nata, yang tidak tahu diri mencintia perempuan lain di saat dia sadar akan statusnya sendiri, yang tentu saja masuk kategori selingkuh. Ya, saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa soal yang satu ini. Sebab, bukankah cinta sukar dilogikakan? Sahabat pasti punya pendapat sendiri-sendiri tentang hal ini.

Tetapi yang jelas, saya ingin menghadirkan novelet Tia ini dalam blog saya secara berkala, seperti halnya cerita bersambung. Saya berani menampilkan novelet ini tentu saja atas izin dan bahkan permintaan penulisnya. Saya ingin, sahabat juga bisa menampilkan karya-karyanya di sini, apa saja; cerpen, puisi, artikel, karangan khas (feature) , catatan perjalanan, atau bahkan catatan harian! Ini dimaksudkan agar kita bisa saling berbagi pengalaman menulis, syukur-syukur dijadikan kampus (camp) virtual untuk belajar menulis.

Agar tidak berpanjang-panjang kata, sahabat bisa mengikuti cerita Tia mulai hari ini…

Pepih Nugraha
Jakarta, 30 November 2006


"Mystery of Love"

Oleh TIA



AKU bertemu pertama kali denganmu di Trafalgar Square, London. Saat itu musim dingin… Kau memakai mantel abu-abu gelapmu, berdiri terdiam menikmati rintik salju. Jarakku hanya 10 meter di samping kirimu dan pandanganku hanya terpaku ke kamu. Tiba-tiba matamu melihat ke arahku, dan kurasakan pipiku menghangat seketika.

Kamu memberikan senyummu, senyum termanis yang pernah kulihat dari seorang pria.
Aku ragu apakah senyummu untukku… Aku pun melihat ke arah samping dan belakangku, tapi yang ada hanya aku. Kamu tertawa kemudian, membuat pipimu yang kemerahan semakin tembem, tapi aku suka… suka sekali.
Aku pun memberikan senyumku untukmu, aku usahakan senyum itu indah di matamu.

“Hi…It’s really cold yeah?” Suaramu terdengar merdu saat itu…berat dan sangat tenang.
“Yes…I am lucky that my nose isnt bleeding”. Ugh... sepertinya suaraku terdengar grogi dan gemetar…
“Dari Indonesia ya Mbak?” Kamu mendekatiku, “Kok bisa tau aku dari Indonesia?” Aku bertanya heran.
“Dari logat dan penampilan fisikmu.”

Sekarang kamu berdiri tepat di depanku…Ah, semakin dekat semakin tampan mukamu, sedikit chubby sesuai tipeku. Umurmu sekitar 35 tahun, matamu teduh, bibirmu tipis, dan baru kusadari ada tahi lalat di ujung hidungmu. Aku pun tersenyum.

“Ada apa? Ada yang aneh dengan muka saya?”
Waks, malunya aku, ah kemana akal sehatku sehingga bisa bertingkah bodoh di depanmu.
“Saya dari Solo tapi lama di Singapura, kalau Mas?” suaraku sudah mulai kedengaran normal, tepatnya aku usahakan senormal mungkin
“Dari Jakarta, panggil saja saya Nata.” Kamu mengulurkan tanganmu untuk berjabat tangan.
“Ara.” Ah, walau kulit tangan kita berdua dibatasi oleh kaus tangan tebal, tapi genggaman tanganmu sangat erat.

Itulah sekelumit perkenalan kita, aku masih mengingatnya sampai sekarang, dan terus tersenyum di kala mengingatnya. Namun, aku sedikit kecewa waktu itu, ketika mendengar bahwa kamu sudah menikah dan memiliki 2 orang putri, karena sewaktu aku mencuri pandang ke arah jari manismu, tidak ada suatu simbol pun yang menyatakan engkau telah menikah. Namun, aku terkesan dengan kejujuranmu.

Tapi mungkin saja kamu jujur karena memang tidak ada minat denganku yah…

Sewaktu menikmati malam bermandikan cahaya lampu di Tivoli, Copenhagen, kembali aku melihat sosokmu. Dirimu sedang menikmati alunan musik biola dari pengamen jalanan. Kali ini kamu memakai jaket kulit biasa, karena udara di malam hari yang tidak begitu dingin. Aku sangat ingin menyapamu, tapi aku ragu kamu masih mengingatku. Aku pun berjalan cepat melewati belakang tubuhmu. Dan kudengar suara yang paling aku idam-idamkan di dunia ini memanggilku.

“Ara.”
Aku pun menengok ke belakang, dan mendapatkan senyummu.
Akhirnya malam itu di Tivoli kita bercakap banyak untuk pertama kalinya, di sebuah café. Kamu bercerita banyak tentang pekerjaanmu, anak-anakmu dan Indonesia yang kamu rindukan. Ternyata tebakanku tentang umurmu sangat tepat, yah baru Juli kemarin kamu berumur 35 tahun.

“Aku musafir Ara…pengembara yang sangat ingin pulang ke rumah, tetapi karena tuntutan pekerjaan, rasa kangen itu harus kutiup jauh-jauh dari hatiku.” Suaramu terdengar sedih ketika mengatakan itu.
Sesekali aku pancing kamu untuk cerita tentang istrimu ( padahal andai kamu tahu, aku sudah merasakan cemburu saat itu, tapi rasa itu kalah oleh rasa ingin tahuku yang sangat besar tentangmu ). Istrimu wanita yang sibuk, tapi dari ceritamu ia adalah istri yang baik untuk anak-anakmu. Kamu tidak bercerita banyak tentang istrimu. Dan aku pun tidak menanyakannya lagi.

Malam itu aku baru tahu kalau ternyata kamu humoris dan pintar. Wawasan kamu sangat luas, kamu bercerita tentang tempat-tempat di negara lain yang pernah kamu kunjungi.
“Suatu saat nanti kita berdua harus mengunjungi Malostranské Bridge di Prague,” katamu sambil menatapku.
“Loh kita? Kok kita sih mas?” hampir saja aku tersedak dengan hot tea yang aku pesan.
“Hehehe, entahlah Ara…tiba-tiba saja aku ingin bersamamu ke sana.” Aku melihat semburat merah di pipimu ketika kamu menyatakan itu.

Aku pun tersenyum mendengarnya, ah andai kamu tau perasaanku. (Bersambung)

1 comment:

angin-berbisik said...

Mas pepih, seneng banget baca reviewnya mas pepih...saya jadi tambah giat menulis