Tuesday, November 28, 2006

Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (5)



Perjuangan Dimulai

SEBELUM terminal bus antarkota dipindahkan ke Kampung Rambutan di timur Jakarta, dulu terminal bus antarkota berada di Cililitan. Bahkan dengan menyebut “Cililitan” saja, orang tahu maksudnya ke terminal bus itu. Namun sejak awal tahun 1990-an, saat Gubernur DKI Jakarta dijabat Surjadi Soedirja, terminal bus antarkota Cililitan dipindahkan ke Kampung Rambutan. Alasannya, tentu saja Terminal Cililitan sudah sangat crowded.

Nah, sekitar pukul 03.00 dinihari itulah saya tiba di Terminal Cililitan. Memang masih terlalu pagi. Tetapi saya manfaatkan untuk mandi di tempat sewa mandi, sekalian wudlu untuk persiapan shalat subuh.

Saya sering membaca bahwa terminal bus manapun rawan kejahatan, apalagi Terminal Bus Cililitan yang merupakan terminal transit bagi mereka yang akan meneruskan perjalanan ke jantung kota Jakarta. Sering saya dengar para bandit berkeliaran mencari mangsa, khususnya perempuan desa yang tidak tahu kemana harus melangkah setelah sampai di Terminal Bus Cililitan. Kerap perkosaan dengan kekerasan atau pemberian obat bius secara paksa terjadi di sini akibat lugunya para gadis desa.

Saya segera melupakan cerita-cerita seram yang saya baca di koran-koran. Toh saya bersyukur tidak ada kejadian mengerikan menimpa saya. Saya percaya diri saja. Jarak Bandung-Jakarta tidaklah terlalu jauh, tetapi memang saya jarang berkunjung ke ibukota ini. Akan tetapi bekal hidup di perkampungan kumuh Tambora, Jakarta Barat, saat masa kecil saya menjelang TK cukup memberi bekal, saya tidak perlu takut Jakarta.

Saya menumpang bus kota “46” ke arah Grogol dan harus berhenti di perempatan Slipi. Setelah itu mencari Mikrolet 09 jurusan Tanahabang-Kebayoran Lama untuk berhenti di Palmerah Selatan, tepatnya depan Pasar Pamlerah. Dari situ saya tinggal jalan kaki ke belakang pasar. Di sanalah kantor Harian Kompas berdiri.

Tes pertama berlangsung sangat menegangkan. Setidak-tidaknya itu yang saya rasakan, padahal tes bersifat umum, yakni psikotes. Artinya, calon wartawan pun saat itu besar kemungkinan disatukan dengan calon pustakawan. Yang membuat saya terkejut, ternyata ada beberapa teman satu kuliah yang mengadu nasib ikut tes. Saya tahu mereka juga belum punya ijazah seperti saya. Kami saling tersenyum dan tentulah masing-masing bergumam, “Aksi diam-diam itu akhirnya ketahuan juga!”

Tes berlangsung selama kurang lebih lima jam. Sangat menguras energi dan pikiran. Anehnya saya enjoy saja mengerjakannya, tanpa sedikit pun nervous. Padahal sebelum tes dimulai, kegugupan dan rasa tidak percaya diri sempat datang menyergap. “Toh saya ‘kan masih kuliah,” hibur saya dalam hati. Sebelum psikotes berakhir, para penguji yang di kemudian hari saya tahu dari bagian SDM (Sumber Daya Manusia), tidak lupa mengingatkan bahwa hasil tes akan diumumkan sebulan kemudian.

Sebulan kemudian, saya dinyatakan lulus psikotes dan harus kembali datang ke Jakarta untuk tes ilmu pengetahuan umum dan bahasa. Karena memakan waktu dua hari tes, saya terpaksa minta ditemani ayah karena tidak terpikir dimana saya harus menginap. Karena ayah saat itu menjadi Ketua PGRI Ranting Pagerageung, maka tujuannya adalah Wisma PGRI di jalan Tanah Abang III yang gedungnya nyaris berhadap-hadapan dengan pabrik pemikiran Orde Baru, CSIS. Di Wisma PGRI itulah saya menginap.

Dua minggu berikutnya, saya dinyatakan lulus dan kembali harus ke Jakarta untuk tes kecakapan khusus, menyangkut kemampuan dan bidang masing-masing. Saya kembali ke Wisma PGRI dengan membawa surat rekomendasi ayah sebagai Ketua PGRI. Ayah waktu itu tidak lagi bisa menemani. Lagi pula, masak saya harus diantar terus. Berbekal surat rekomendasi itu, saya menuju Wisma PGRI. Tatkala saya datang sendiri menjelang petang hari, wisma sudah penuh sesak. Tidak ada kamar tersisa!

“Sudah penuh semua, Dik, seluruh kamar sudah terisi rombongan guru-guru peserta konferensi,” kata resepsionis pria saat saya menyerahkan surat rekomendasi itu.

Saya bingung tujuh keliling. Dimana saya harus menginap? Di tempat saudara? Memang ada beberapa saudara saya di Jakarta, tetapi dimana mereka tinggal? Saya tidak membawa satu nomor telepon pun. Malangnya lagi, saya tidak mungkin menghubungi kedua orangtua saya di Ciawi, sebab rumah di sana pun belum terpasang telepon!

Saya terpaku dengan tas yang masih tersandang di pundak, menatap resepsionis itu tanpa kata-kata. Memang sempat terpikir untuk kembali ke Terminal Bus Cililitan, setidak-tidaknya saya bisa pura-pura membaca semalam suntuk di mushola yang ada di terminal itu, sambil sekalian ikut mandi. Karena tidak mungkin memaksa si resepsionis, saya permisi membalikkan tubuh untuk pergi.

“Dik, tunggu sebentar!” itu suara resepsionis.
Saya berhenti dan segera menoleh. Tampak resepsionis itu melambaikan tangan, menyuruh saya kembali mendekat. “Mau kemana?” tanyanya setelah saya mendekat.
“Ke Terminal Bus Cililitan,” jawab saya.
“Pulang lagi ke kampung?
“Tidak, numpang tidur di mushola.”

Entah apa yang dipikirkan si resepsionis. Saya juga tidak terlalu berharap saat itu. Tetapi cukup mengejutkan kalau petugas wisma bagian depan itu menawarkan sesuatu. “Adik mau tidur di aula?”tanyanya.

Aula? Pastilah itu ruangan sangat besar, tidak pantas untuk ditolak. Apa salahnya! “Mau,” saya yakinkan bahwa saya akan membayar penuh sesuai ongkos kamar, meski saya harus menginap di gudang sekalipun, asalkan jangan di toilet saja.

Legalah hati saya tatkala resepsionis itu membimbing saya ke sebuah lorong yang menuju ruangan besar yang disebut aula. Tidak ada bangku atau meja, apalagi tempat tidur, kosong melompong. Si resepsionis menyalakan salah satu lampu di aula itu dan meminta saya menunggu. Beberapa menit kemudian ia mendorong velbed beroda yang biasa saya lihat di rumah-rumah sakit. Ia menyiapkan velbed itu lengkap dengan kasur dan spreinya.

“Adik tidur di sini saja, ya!” katanya.
Saya mengangguk sambil menjabat erat tangannya, “Terima kasih!” (Bersambung)
**

Pepih Nugraha
Jakarta, 28 November 2006

No comments: