Friday, November 17, 2006

Karya Sahabat (6)


Tema dan Stigma

TEMA dalam khasanah ilmu menulis, sering kita dengar dan orang sudah banyak mafhum artinya. Tetapi stigma masuk ke horizon ilmu menulis? Belum tentu! Bahkan mungkin tidak pernah ada. Memang, ini hanya pengandaian saya saja kok.

Saya kurang cakap mendefinisikan sesuatu, apalagi disuruh menghafal. Sebab bagi saya, definisi tidaklah penting-penting amat. Dalam benak saya, kalau saya mau bikin kamar mandi, misalnya, ya bikin aja, tidak perlu mendefinisikan apa itu “kamar mandi”. Itu kasarnya. Artinya kalau kita mau bikin cerpen, ya bikin saja tanpa harus tahu definisi cerpen. Begitu, kan?

Intinya begini. Sahabat bisa buat cerita pendek, novel, atau bahkan puisi, dengan tema tertentu. Misalnya "kejujuran dibalas dusta", "makna pahlawan di era digital ini", "kebaikan akan selalu keluar sebagai pemenang", "orang jahat pasti akan kalah", "kesetiaan dibalas kemunafikan", atau "kasih sayang dibalas dengan tipu daya…" Masih banyak lagi tema yang bisa menjadi titik awal dari sebuah cerita.

Bila saya ambil salah satu tema, katakanlah tema “kasih sayang dibalas tipu daya” alias penipuan, kita akan sampai pada cerita pendek karya Yoanna Chandra di bawah ini, yang ia persembahkan buat sahabat blogger dan tidak keberatan untuk dikritik.

Saya tahu, Yoanna bukan orang kemarin sore membuat cerita, setidak-tidaknya cerpen. Sebab, alur ceritanya (plot) sudah lancar. Adegan berjalan cepat, berkelebatan, yang kalau saya ibaratkan sebuah adegan dalam film, para pelakonnya bergerak aktif, tidak statis dan mobil. Kita terayun dan terseret cerita yang disodorkannya, kita menjadi ikut arus. Ini modal yang baik dalam sebuah cerita. Lalu kejutan disodorkan di akhir cerita.

Nah, yang ingin saya ceritakan di sini soal stigma. Wah, ini ‘kan istilah politik yang artinya “cap” yang diberikan kepada seseorang atau benda, sehingga sampai kapan pun “cap” itu terus melekat. Biasanya “cap” ini terus melekat sampai kapanpun. Ingat dulu Partai Golkar yang punya stigma “Partai Orde Baru”, Presiden Soeharto diberi stigma “Diktator”, Presiden Bush diberi stigma “Pembohong”, dan seterusnya. Padahal, stigma itu belum tentu benar lho, hanya saja karena ia telanjur terpahat di jidat, akan susah menghapuskannya.

Membaca cerpen “Nurani” karya Yoanna, saya kok tiba-tiba menjadi benci dan harus hati-hati kepada sopir taksi! Lho kenapa? Sebab, Yoanna telah memberi stigma kepada sopir taksi (meski tidak sengaja), bahwa sopir taksi itu penipu! Nah, ini stigma, bukan. Bayangkan kalau saya percaya pada cerpen Yoanna bahwa kelakuan sopir taksi seperti itu, duh kasihan sopir taksi lainnya, padahal di Indonesia ini ada ratusan ribu sopir taksi. Tapi bagaimanapun, ini pertanda cerpen Yoanna berhasil mengolah emosi pembacanya, termasuk saya.

Dalam cerpen itu diceritakan, bagaimana seorang sopir taksi menipu penumpangnya dengan berpura-pura tidak berdaya karena harus membayar ongkos operasi istrinya yang akan melahirkan anaknya. Kalau tidak punya uang seharga ongkos operasi melahirkan, maka pihak dokter tidak akan melakukan operasi. Saya akui, cerita ini cukup menyentuh. Perasaan mana yang tidak tergerak mendengar keluh kesah dan sosok sopir taksi yang seperti putus asa sehingga seorang penumpang pun tak sadar mengeluarkan uangnya, meski uang itu untuk kebutuhan sekolah anaknya! Konflik dan jalinan ceritanya cukup menawan, bukan?

Tetapi itu tadi, stigma! Ah, untungnya ini cerita, bukan berita, sehingga saya segera menghapus ingatan saya akan sopir taksi sebagaimana diceritakan dalam cerpen Yoanna. Maklum di Jakarta ini saya sering menggunakan jasa sopir taksi kalau saya males nyetir sendiri. Maklum lagi, saya belum bisa menggaji sopir pribadi, sehingga kerap saya harus bersinggungan dengan sopir taksi.

Untungnya, setiap pengarang diberi kebebasan berekspresi (licencia poetica), sehingga sah-sah saja mau mengakhir cerita dengan ending apapun: happy ending atau tragic ending. Silakan saja. Tetapi kita semua berharap, pertimbangkan stigma itu tadi, stigma yang diterakan di jidat seseorang yang kebetulan sopir taksi. Bukankah kita bisa mengakhiri cerita dengan sesuatu yang tetap menyentuh perasaan kita, misalnya dengan mengambil tema netral “keterpaksaan” si sopir taksi menjadi penipu, bukan tema “penipuan” yang dilakukan si sopir taksi?

Bisa saja si sopir taksi menipu para penumpangnya karena betul-betul kebutuhan mendesak, tetapi pada akhirnya ia insyaf dan meminta maaf kepada orang-orang (penumpang) yang pernah ditipunya dengan asumsi ia tahu alamatnya, meski ia tidak bisa mengembalikan uang hasil menipunya itu. Bahwa dia nanti mendapat ganjaran dilaporkan ke polisi atau dipukuli massa, bukankah di sini dramatisnya sebuah cerita? Selain itu, tema langsung kita dapatkan, bahwa ternyata “kejujuran tidak selamanya menuai kebaikan”. Ternyata juga, “kata maaf harus dibayar mahal dan bahkan nyaris dibayar nyawa”. Cukup menggetarkan, bukan?

Ah, asyik sekali ‘kan kalau sahabat rajin mengeksplorasi imajinasi sendiri untuk menghadirkan sebuah cerita yang menawan, tanpa harus memberi stigma kepada orang lain. Tetapi bagaimanapun, cerita yang Yoanna gubah adalah sah-sah saja adanya. Kalau tidak suka dengan pertimbangan saya, bisa jalan terus… dan teruslah berkarya untuk menghasilkan cerpen yang kuat.

N U R A N I
Oleh Yoanna Chandra

Ya ampun, kesiangan lagi! Untuk kesekian kalinya dalam minggu ini aku terpaksa mengeluarkan ongkos taksi. Jika Raka tidak rewel karena kehilangan pensil warna tentu aku sudah duduk manis di mobil antar jemput kantor. Raka, anakku semata wayang, baru duduk di bangku TK. Setiap pagi aku harus mempersiapkan segala keperluannya sebelum berangkat bekerja.


Setengah berlari aku menuju halte di depan komplek perumahan. Sambil terengah-engah kuedarkan pandangan di sekitar halte berharap mobil antar jemput masih menunggu. Tentu saja harapan yang sia-sia karena mobil antar jemput tidak pernah menunggu lebih dari dua menit. Sementara aku sudah terlambat sepuluh menit.

Lima menit berlalu aku masih berdiri di halte tanpa melihat satupun taksi kosong lewat. Sebenarnya naik ojek lebih praktis, cepat sampai dan murah ongkosnya. Tetapi aku pernah terjatuh dua kali dari ojek karena menabrak sepeda dan angkot. Pengalaman yang cukup traumatis. Dalam hati aku berdoa semoga waktu berjalan lebih lambat sehingga aku tidak mendapat surat peringatan karena terlambat untuk yang ketiga kalinya minggu ini. Oh God, help me, please!

Dari jauh sebuah taksi berwarna hijau meluncur ke arahku. Dengan cepat kulambaikan tangan. Taksi berhenti dan aku bergegas masuk.

“Putar balik ya, Pak,” perintahku pada sopir taksi.
Tanpa menyahut sopir taksi mengambil arah memutar. Sebuah sepeda motor hampir terserempet. Remnya berdecit nyaring. Aku memekik kaget. Jantungku serasa copot. Aku agak kuatir dengan cara menyetir sopir taksi ini. Kelihatannya ia kurang berkonsentrasi.


“Mau ke arah mana, Bu?” tanyanya mengagetkanku.
“Kawasan industri Pulogadung, Pak,” sahutku cepat. Dadaku masih berdegup kencang.

Aku melirik pergelangan tangan. Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Semoga perjalanan lancar sehingga aku bisa sampai di kantor sebelum pukul setengah delapan. Sebenarnya jika tidak macet jarak dari rumah ke kantor bisa ditempuh dalam waktu kurang dari limabelas menit. Tetapi siapa yang dapat menebak padatnya jalan di ibukota ini pada jam-jam sibuk. Kadang-kadang jika sedang macet waktu tempuh ke kantor bisa molor sampai empat puluh lima menit.

“Maaf, Bu, saya tidak memakai seragam,” ujar sopir tiba-tiba.
“Tidak apa-apa, Pak,” sahutku agak bingung. Baru kali ini seorang sopir taksi minta maaf padaku karena tidak memakai seragam. Boro-boro memperhatikan seragamnya, aku sendiri sedang sibuk dengan pikiranku, mencoba menenangkan diri dan berharap segera sampai ke tujuan.
“Soalnya sudah dua hari ini repot mondar-mandir mengurus istri yang akan melahirkan. Jadi tidak sempat mencuci seragam,” lanjutnya.
“Oya?” sahutku berusaha ramah.
“Iya, Bu, dari kemarin subuh sudah pecah ketuban tetapi bayinya belum bisa keluar karena sungsang. Mana istri saya sudah lemas sekali.”
“Mungkin harus dioperasi, Pak. Kasihan ibu dan bayinya kalau tidak segera ada tindakan.”
“Iya, memang harus dioperasi, Bu. Tetapi uang mukanya belum cukup.”
“Di rumah sakit mana, Pak?”
“Di Bintaro, Bu. Daerah Jurang Mangu.”
“Kok jauh sekali, Pak?”
“Iya, baru saja saya dari rumah saudara di daerah Pondok Bambu sini untuk meminjam uang tetapi ternyata dia sedang pulang kampung. Mungkin sudah nasib saya, Bu. Tapi ya sudahlah, saya cari penumpang saja untuk menambah biaya rumah sakit.”
Tiba-tiba ia terisak. Lalu dengan suara tersendat ia melanjutkan.
“Uang mukanya Rp 1.700.000,- saya sudah menyerahkan uang Rp 1.175.000,- tetapi rumah sakit tetap belum mau mengoperasi istri saya. Padahal badannya sudah biru semua.”

Isaknya bertambah. Berulang kali ia mengusap mata dan menyusut hidungnya. Aku terdiam. Perasaanku bercampur aduk. Kasihan, prihatin, kuatir, sekaligus marah. Sungguh keterlaluan! Bagaimana mungkin rumah sakit yang seharusnya mengutamakan keselamatan pasien dan bersifat sosial menjadi sangat komersial sehingga membuat orang yang seharusnya mujur bisa menjadi sial? Bagaimana bisa beberapa lembar uang lebih penting daripada dua buah nyawa yang sedang berjuang keras untuk sebuah kehidupan? Di mana hati nurani dan kepedulian bersembunyi? Oh Tuhan, bagaimana jika dua nyawa itu tidak terselamatkan, siapa yang harus bertanggungjawab? Seharusnya kehadiran sebuah kehidupan baru merupakan anugerah yang membahagiakan bukan musibah yang memilukan.

Lalu lintas tersendat di perempatan. Meskipun lampu pengatur lalu lintas berfungsi normal namun nafsu untuk saling mendahului dan tidak peduli membuat semua menjadi kacau. Jangankan keselamatan orang lain, keselamatan diri sendiri pun tak peduli. Lalu lintas terkunci. Dan semua berlomba memencet klakson tanpa henti. Seolah hanya dengan memencet satu tombol semuanya akan lancar kembali. Begitulah di jaman yang serba instant ini.
Tiba-tiba terdengar raungan sirine. Syukurlah, dua orang polisi datang menghampiri. Berbekal senjata peluit dan dua buah tangan yang bergerak kesana kemari perlahan lalu lintas mencair kembali.

Kami membisu. Larut dalam pikiran masing-masing. Aku membuang pandang keluar jendela. Sebuah sepeda motor mencoba mendahului dari sebelah kiri. Pengemudinya seorang pria -tanpa helm pengaman- membocengkan anak perempuan berseragam merah putih yang menggendong tas di punggungnya. Rambutnya dikepang dua berkibar-kibar terbawa angin. Anak itu memegang erat-erat pinggang pria yang memacu motor dengan kencang. Mungkin agar tidak terlambat sampai di sekolah. Terburu-buru. Berkejaran dengan waktu. Kecepatan nomor satu. Keselamatan bukan lagi hal yang perlu.

Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Kuperhatikan wajah sopir taksi dari samping. Umurnya sekitar 35 tahun. Mungkin juga lebih muda dari perkiraanku. Sebab tekanan hidup sering membuat orang kelihatan jauh lebih tua dari umurnya. Kulitnya sawo matang dan berkumis. Ia mengenakan kemeja lengan panjang –yang digulung ujungnya- berwarna hijau tua. Wajahnya tampak lelah. Mungkin karena sudah dua hari tidak istirahat ditambah lagi dengan kecemasan atas nasib istri dan bayinya. Kubayangkan tadi subuh ia berangkat dari Jurang Mangu ke Pondok Bambu dengan segudang harapan. Namun ternyata harapan tinggal impian.

Aku meraba tas di pangkuanku. Di dalamnya hanya berisi beberapa puluh ribu rupiah untuk ongkos dan biaya makan siang. Seandainya saja ada uang berlebih di dompetku… Tiba-tiba aku teringat kemarin menitipkan uang Rp 300.000,- pada Felis -kasir di kantor- untuk disetor hari ini ke rekening tabungan pendidikan Raka. Tetapi aku bimbang sejenak. Haruskah aku mengorbankan uang pendidikan Raka untuk orang yang tidak kukenal ini? Bagaimana aku harus mengganti uang Raka? Setiap awal bulan aku selalu mengatur keperluan untuk satu bulan. Keuangan kujaga dengan ketat karena aku tidak ingin besar pasak daripada tiang. Maklumlah aku dan suamiku hanya pegawai biasa yang harus pandai-pandai menjaga stabilitas keuangan rumahtangga.

Kupandangi lagi wajah lelah di depanku. Tegakah aku membiarkan ia kehilangan anak istrinya sekaligus? Apakah aku juga harus menyembunyikan hati nuraniku di depannya dan hanya bisa mencela orang lain? Bukankah aku bisa mengganti uang Raka dengan bangun lebih pagi dan memasak untuk bekal makan siang sehingga tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar makan siang dan ongkos taksi?

Sambil berdoa di dalam hati kusingkirkan kebimbanganku. Kuraih ponsel dan mengirim pesan pendek kepada Felis. Lis, tolong uang yang kutitipkan kemarin diberikan pada resepsionis di depan. Sebentar lagi aku sampai. Thanks.

“Ibu sudah punya anak?”
Aku terkejut. Hampir saja ponsel terlepas dari tanganku. Entahlah, kenapa pagi ini aku jadi mudah terkaget-kaget begini.
“Oh, sudah, Pak.”
“Ini anak pertama saya, Bu, kalau selamat.”
“Siapa yang menemani istri Bapak di rumah sakit?”
“Tidak ada, Bu. Orang tua saya baru datang besok pagi dari kampung.”
Ya Tuhan, keluhku dalam hati, begitu sengsaranya istri Bapak ini. Tak terbayangkan betapa ia sangat kesakitan dan ketakutan. Tolong Tuhan, ketuklah hati mereka agar bersedia menolongnya.
“Kenapa nggak ke rumah sakit lain saja, Pak? Siapa tahu bisa cepat tertolong.”
“Sama saja, Bu. Malah di rumah sakit lain minta uang jaminannya lebih besar lagi.”
“Aduh, jadi susah sekali ya, Pak?”
“Iya, Bu. Sekarang tinggal pasrah saja. Biarlah Tuhan yang menjaga anak istri saya.”
Apalagi yang harus dilakukan setelah berbagai usaha gigih seolah sia-sia belaka? Rupanya ada suatu tempat di ibukota ini yang tidak tersentuh oleh kecepatan waktu dan juga tidak peduli bahwa keselamatan seharusnya nomor satu. Karena ada yang jauh lebih penting dari semua itu.
“Pak, berhenti di dekat motor yang parkir itu ya.”
“Baik, Bu.”

Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk. Tiga menit lagi kartu absenku akan berwarna merah. Aku mengulurkan ongkos taksi yang diterimanya dengan ucapan terimakasih. Dengan tergesa kubuka pintu taksi.

“Pak, tunggu sebentar ya, jangan pergi dulu.”
Setengah berlari aku menghampiri resepsionis dan mengambil amplop yang dititipkan Felis. Secepat kilat aku kembali keluar. Ternyata taksi telah memutar. Kukejar taksi dan kuketuk jendelanya. Ia membuka kaca. Wajahnya tampak kuyu. Kuulurkan amplop ke tangannya.

“Pak, ini ada sedikit uang. Semoga anak istri Bapak selamat ya.”

Aku berlari kembali ke kantor. Dengan terengah-engah kumasukkan kartu absen ke mesin amano. Pukul setengah delapan tepat. Thank God!

Pagi ini entah sudah berapa kalori yang terbakar untuk mengejar waktu. Aku memasuki ruang kerja dengan lega. Asri dan Mila tampak sedang mengobrol.

“…iya Mil, orang itu menangis sambil bercerita anaknya harus dioperasi tetapi tidak ada biaya. Tante gue kasihan dan kasih uang. Itu kejadian dua minggu lalu. Eh, ternyata dia penipu. Soalnya kemarin tante gue bertemu orang itu lagi dan dia menangis lagi dengan cerita yang sama. Gondok nggak sih?”

Aku terpaku di kursi yang belum dua menit kududuki. Cerita Asri menohok tepat di jantung hatiku. Pikiranku melayang cepat kepada sopir taksi tadi. Apakah aku telah tertipu? Rasanya tak mungkin orang itu menipu. Aku juga yakin sekali tidak terhipnotis olehnya. Sebab aku ingat setiap detail percakapan kami dan situasi sepanjang perjalanan tadi. Tetapi tak urung kebimbangan menyergap hatiku. Apakah ini modus penipuan paling mutakhir dengan cara mengaduk-aduk emosi korban agar tergerak hatinya dengan sukarela?

Kugelengkan kepala menghapus segala keraguan dan prasangka. Aku menghela napas panjang. Tuhan maha mengetahui setiap niat yang tersembunyi di sudut hati umatNya. Baik yang tulus maupun akal bulus. ***

Ok, sahabat, sampai jumpa di karya sahabat berikutnya...

Pepih Nugraha
Jakarta, 17 November 2006

No comments: