“Virginity”
Kali ini sahabat kita dari Surabaya, Dena, mengirimkan cerpen “Ratri” untuk kita nikmati bersama. Persoalan inti dari cerpen ini sesungguhnya hal yang “menantang” (atau tabu) untuk didiskusikan, yakni masalah keperawanan (virginity). Mengapa diskusi ini menarik dan bahkan sampai diangkat dalam sebuah cerpen, tentu si penulis cerpen punya alasan.
Akan tetapi, saya harus berkata jujur, Dena kurang mengeksplorasi arti sebuah virginity, padahal, inilah “nafas” cerpennya, di samping juga arti sebuah keteguhan sekaligus rasa bersalah Ratri terhadap suaminya, karena ia tidak menyerahkan keperawanannya kepada suaminya, Adi. Ia malah menyerahkannya kepada mantan pacarnya yang nakal, Haris. Itu jalan ceritanya, dan itu hak pengarang yang punya lisensi kebebasan berekspresi.
Karena sifatnya yang harus pendek, cerpen biasanya selesai dalam “setarikan nafas” saja. Kalau tokoh Ratri tidak bisa tidur dan iri kepada mereka yang bisa tidur lelap, seharusnya jelaskan kenapa Ratri tidak bisa tidur saat itu, apakah karena memikirkan rasa bersalah karena telah membohongi suaminya atau karena hal lain? Juga dalam plot (alur cerita), tidakkah sebaiknya semua adegan selesai dalam “ketidakmampuan” Ratri tidur malam itu, meski pikirannya harus melayang pada SMS Haris, pada kedatangan Haris dan janji dengannya untuk bertemu, pada pelatihan pilates selaku instruktur, dan kejadian lainnya.
Saya ingin mengetengahkan arti penting sebuah eksplorasi untuk menghidupkan konflik atau persoalan sebuah cerita. Jelas yang harus dicari, dieksplor dan ditelesur rekan Dena adalah virginity itu tadi. Bercerita tentang ini tentu akan terlepas dari konotasi jorok jika diletakkan dalam konteks budaya, misalnya, setidak-tidaknya “pembenaran” sepihak kaum pria bahwa istrinya haruslah seorang perawan suci saat malam pertama. Memang klasik, tetapi percaya atau tidak, sampai sekarang masih saja ada orang yang memegang teguh asumsi itu.
Jika sahabat Dena menghiasi cerpennya dengan mengeksplorasinya sebuah contoh bagaimana Ken Dedes dengan wajah masam dan menangis harus menyerahkan keperawanannya kepada si buruk rupa Tunggul Ametung, dengan dayang-dayang yang siap meletakkan kain putih di atas kasur Dedes, kita akan menjadi paham bahwa persoalan virginity sudah ada sejak zaman kerajaan dulu (baca Dedes Arok, Pramoedya Ananta Toer).
Juga bagaimana Srintil dengan sukarela menyerahkan keperawannnya kepada Rasus kekasihnya, sebelum ia dinobatkan menjadi ronggeng pada usianya yang ke-11(lihat Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari), sebelum beberapa menit kemudian Srintil harus melayani Si Lurah pemabuk yang haus keperawanan. Meski Si Lurah harus kehilangan kerbau dan sawahnya, ia rela saja kehilangan itu semua demi prestis “keperawanan” Srintil yang dijual kakek-neneknya. Karena bersetubuh saat mabuk, Si Lurah tidak bisa merasakan Srintil perawan atau bukan.
Atau, pernahkah sahabat Dena mendengar berita adanya “perkawinan semalam” saja setelah si pengantin pria mengetahui kalau istri yang dinikahinya sudah tidak perawan lagi dengan indikasi tidak menetaskan darah pada malam pertama? Atau pernikahan yang sudah bertahun-tahun dan sudah punya anak banyak tetapi harus bercerai hanya karena di kemudian hari suami mengetahui istrinya (atau istri mengaku) dalam keadaan tidak perawasan lagi saat malam pertama dulu?
Sekali lagi eksplorasi. Eksplorasi bukan berarti kita harus mengalami dulu. Konyol namanya kalau pengarang mau bercerita tentang perampokan bank ia harus merampok bank terlebih dahulu! Pengarang tokoh Flash Gordon tidak harus mengalami pergi ke bulan saat dia menulis ceritanya, bukan? Memang pengarang terkaya di jagat ini JK Rowling pernah berpesan, mulailah menulis dari apa yang kita ketahui. Tetapi saya bisa tidak sependapat dengan pencipta tokoh Harry Potter itu, bahwa saya bisa saja memulai menulis dari apa yang saya tidak tahu. Caranya? Eksplorasi!
Mungkin karena kerangka pikir saya yang seorang jurnalis, saya pasti akan cari dan telusur informasi tentang virginity di berbagai kamus dan ensiklopedi. Bagaimana konsep virginity ini menjadi persoalan sosial, budaya, etnis, dan bahkan religi! Kalau sahabat blogger malas ke perpustakaan, klik saja Wikipedia atau Google dan masukkan kata kunci virginity atau "keperawanan", setidak-tidaknya informasi tentang hal ini sekilas akan terbahas disertai rujukannya. Artinya, menulis cerpen pun harus disertai kedalaman dan pemahaman masalah yang memadai, agar cerpen menjadi bernilai.
Sekarang, kita nikmati bersama cerpen karya Dena di bawah ini, dengan tampilan apa adanya (tanpa proses editing dari saya), termasuk “kalimat berani” saat menjelaskan proses, maaf... persetubuhan. Untuk media blog, saya bisa memahaminya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan dalam rangka saling belajar satu sama lain. Tetapi kelak detail ini bisa diperhalus, dipersingkat, atau bahkan dihilangkan saja jika itu dimaksudkan untuk dimuat di media massa yang kemungkinan dibaca anak yang belum waktunya membaca, tanpa menghilangkan makna sesungguhnya (bagian ini saya blok dengan huruf merah, tanpa menghapusnya) . Lalu ciptakan kalimat pendek dengan alinea (paragraf) yang pendek pula, biar tidak menyiksa nafas pembaca.
Pesan saya pada Dena, jangan putus asa, teruslah menulis, menulis dan menulis. Jika sudah terbiasa, kelak menulis akan semudah berbicara, semudah penyiar menghamburkan kata-kata di radio. Sahabat bisa memberi komentar langsung karya Dena atau mengirim komentarnya ke alamat pepih_nugraha@yahoo.com, silakan…
RATRI
Oleh Dena
RASANYA aku pantas iri pada orang-orang itu. Mereka bisa tidur lelap diatas tumpukan kelapa dagangannya sambil diterpa angin malam yang dingin. Mereka juga bisa nyenyak di atas tumpukan batu dengan hanya beralaskan tikar dan dihajar angin di atas truk berkecepatan tinggi yang membawa mereka ke tempat mereka bekerja, entah dimana. Mereka juga bisa terlelap hanya dengan beralas koran dan berselimut sarung kumal di trotoar sembari dibuai gemuruh deru lalu-lalang kendaraan.
Ya, Ratri memang pantas iri pada mereka. Kasur empuk, sejuknya AC, indahnya pemandangan taman mungil di balik jendela kamarnya tidak mampu mengantarkan Ratri tidur lelap. Dengkur halus suaminya di sampingnya membuat Ratri semakin tidak bisa memejamkan mata. Pada saat-saat seperti ini, suara cicak di dinding kamarnyapun terasa sangat menganggu. Suara indah gesekan daun palm botol yang tertiup angin di samping kamarnya yang biasanya menjadi lullaby bagi Ratri, sekarang justru terasa sangat memekakkan telinga.
Ratri mencoba berbagai posisi tidur. Menghadap suaminya, berbalik lagi menghadap taman, memeluk guling sampai melipat bantalnya menjadi dua tetap saja tidak mampu membuat Ratri nyaman. Dilihatnya wajah lelah suaminya disampingnya. Beberapa hari terakhir ini Adi, suaminya sering mengeluh tentang pekerjaannya.
“Adi itu ngga pantes jadi wartawan. Logikanya ngga jalan, akibatnya kerjaanku jadi tambah. Aku harus turun tangan wawancara dengan narasumber untuk melengkapi tulisannya yang amburadul itu,” keluhnya suatu hari.
Adi memang seorang perfeksionis. Kadang-kadang malah –dimata Ratri- dia haus pujian. Itulah makanya, Adi selalu berusaha memberikan yang menurutnya baik untuk kantornya. Akibatnya tuntutannya pada bawahannyapun tinggi. Padahal Adi sadar kemampuan mereka –dimata Adi- masih belum mencapai standar, kalau tidak boleh disebut parah. Tapi untunglah, Adi hanya mengutarakan itu pada istrinya. Bagi Adi, biarlah dia sombong di depan istrinya asal tidak di depan orang lain. Toh istrinya sudah tahu siapa dia seutuhnya.
“ Teng, teng".
Terdengar, bunyi tiang listrik dipukul 2 kali. Ah..sudah jam 2 pagi, aku masih belum bisa tidur, pikir Ratri. Lalu bayangan kejadian siang tadi kembali berkelebat di benaknya...
Suara lembut Norah Jones dari telpon genggam yang tergeletak di dashboard memaksa Ratri mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depannya. Tidak ada nama. Ratri tidak segera menjawab panggilan itu karena bersamaan dengan itu lampu didepannya menyala hijau. Tangan kiri Ratri segera meraih persenelling kemudian kaki kanannya menginjak pedal gas perlahan. Jalanan agak sedikit macet siang itu. Setelah mobilnya berjalan tangannya meraih telepon gengganmya.
"Halo."
"Selamat siang, dengan Riri?"
Riri! Siapa lagi orang yang memanggilnya dengan sebutan itu selain...Mas Haris. Dada Ratri berdegup kencang. Debar yang sudah lama sekali tidak pernah dirasakan Ratri. Mas Haris!! Untuk beberapa saat Ratri terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa.
"Mas Haris?"
"Ya, ini Haris. Apa kabar Ri? Kok sms ku ngga dibalas?"
"Oh, maaf Mas, aku..nnggg.. aku bingung mau jawab apa."
Beberapa hari sebelumnya Haris mengirim pesan singkat yang isinya mengungkapkan kerinduannya pada Ratri. Kalimatnya cukup lugas, Riri, aku kangen, Haris. Meskipun sempat kaget, tapi Ratri segera melupakan sms itu. Paling orang iseng, pikirnya waktu itu. Mana mungkin Mas Haris tahu nomer telponnya. Kalaupun tahu apa mungkin Mas Haris masih menyimpan rindu untukku?
Keraguan Ratri terjawab sudah. Haris meneleponnya dan apa yang ditulisnya di sms diucapkannya di telepon.
"Ri, aku kangen."
Ratri terdiam. Duh, Mas Haris, berhentilah menggodaku, batinnya.
Haris, lelaki dari masa lalu, begitu Ratri menyebutnya bila sedang bernostalgia dengan teman-temannya yang juga mengenal Haris, memang punya tempat khusus di hati Ratri. Bukan karena wajahnya yang ganteng atau otaknya yang encer, bukan juga karena dia cinta pertama Ratri tapi lebih karena sesuatu yang terus membekas hingga sekarang...
"Halo, Ri, kok diem, sih. Aku serius, lho.
"Eh..mmm..iya Mas. Gimana kabar Mbak Ninuk?"
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
"Maaf Mas, aku lagi nyetir, nanti aja ya telpon lagi kalau aku sudah nyampe rumah."
Ratri langsung memutuskan hubungan teleponnya. Beberapa kali Haris mencoba menghubungi Ratri, tapi tidak dijawabnya. Ah, Mas Haris tetap saja seperti yang dulu, pantang menyerah, agresif, percaya diri dan agak sedikit nakal, Ratri tersenyum mengingat bagaimana dia dulu jatuh cinta pada Haris. Segala hal yang disukainya ada pada Haris. Bahkan kebiasaan Haris yang suka berselingkuh saat masih pacaran dulu menjadi bagian yang 'disukai' Ratri. Perasaan puas saat berhasil merebut kembali Haris dari selingkuhannya menjadi kenikmatan tersendiri bagi Ratri.
Petualangan Haris baru berakhir ketika seorang perempuan bernama Ninuk mengaku hamil dan meminta Haris bertanggungjawab. Ratri tidak kaget, meski jauh dalam hatinya dia sangat kecewa, ketika Haris memilih meninggalkannya dan menikah dengan Ninuk. Haris memang lelaki yang bertanggungjawab, walaupun untuk itu dia harus membayar mahal. Menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya. Ratri sangat yakin hanya dia satu-satunya perempuan yang ada di hati Haris. Dan kini..setelah sekian tahun, keyakinan yang sempat memudar itu kembali menguat.
**
UNTUK ukuran perempuan seusianya, Ratri termasuk perempuan yang menarik, bugar, enerjik dan tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Profesinya sebagai instruktur pilates, olahtubuh yang banyak digunakan untuk menyembuhkan asma, cedera otot dan efektif menurunkan berat badan secara cepat -seperti diakui banyak murid-murid Ratri- membuat postur tubuh Ratri tetap proporsional. Dua garis vertikal di perut sebelah kiri dan kanan menunjukkan kalau Ratri rajin melatih otot perutnya. Tanda-tanda kalau dia sudah pernah 3 kali melahirkan sama sekali tidak tampak di perutnya. Hanya sedikit stretch-mark di kedua pangkal paha dan perut bagian bawahnya menunjukkan bahwa Ratri pernah mengandung.
Pernah suatu kali Ratri mengutarakan keinginannya menghilangkan strecth-mark itu. Tapi Adi menentangnya.
"Dengan garis-garis itu kamu masih kelihatan seksi kok. Ngapain buang-buang duit."
"Jelek, lho, Mas."
"Halah, wong ngga kelihatan gitu kok."
"Tapi Mas kan bisa lihat."
"Tapi aku kan tetep napsu, he..he.."
Biasanya kalau sudah kalah berargumentasi, Ratri lalu menggoda suaminya dengan gerakan-gerakan tubuh yang erotis untuk kemudian, ganti, giliran dia yang 'mengalahkan' suaminya di ranjang.
Sepertinya Haris tidak main-main dengan ucapannya. Pesan singkat itu makin memupuskan keraguan Ratri atas kesungguhan Haris. Satu jam lagi aku tiba di bandara Juanda. Tolong jemput aku, begitu bunyi pesan singkatnya. Sesaat Ratri tertegun. Dadanya berdegup kencang. Perasaan senang, takut, tersanjung dan berbagai rasa lain bercampur aduk di dadanya. Ada keraguan juga. Perdebatan sengit antara ya dan tidak berkecamuk dalam batin Ratri. Bayangan Adi, suaminya yang begitu baik, penyayang, sabar dan tulus mencintainya melintas bergantian dengan bayangan masa lalunya yang indah bersama Haris. Letih dirasakan Ratri beberapa hari ini. Bukan tubuhnya tapi batinnya, pikirannya. Haris sudah begitu banyak menyita energinya. Tapi Ratri juga tidak bisa begitu saja mengusir bayangan lelaki yang pernah dicintainya itu dari benaknya, malah sepertinya Ratri justru menikmati kehadiran Haris dalam bayangannya, dalam mimpi-mimpinya. Berbagai peristiwa yang pernah dialaminya berdua dengan Haris sengaja dia hadirkan lagi dalam pikiran liarnya. Dalam beberapa kesempatan, di mimpi-mimpinya, Ratri bahkan membiarkan Haris melakukan hal-hal yang didambakannya. Memeluk, membelai, mencumbu... Ah..kenapa aku begitu terpesona pada lelaki ini, batin Ratri berteriak.
Pesawat yang ditumpangi Haris mendarat di bandara Juanda. Meleset sedikit dari waktu yang dijanjikan Haris pada Ratri. Hal pertama yang dilakukan Haris ketika kakinya menginjak tanah adalah menghubungi Ratri, memastikan dia sudah ada di terminal kedatangan. Tapi yang diharapkan ternyata tidak muncul. Tidak mungkin dia mengabaikan aku. Aku tahu siapa Ratri, bertahun-tahun aku mengenalnya, pikir Haris. Tidak mungkin dia berubah secepat ini, Haris masih yakin dengan pikirannya. Bukan tanpa alasan Haris mempertanyakan ketidakhadiran Ratri di bandara untuk menjemputnya. Lima tahun dia berpacaran dengan Ratri dan selama itu pula berkali-kali Haris mengkhianati Ratri dan berkali-kali juga Ratri membukakan pintu maafnya untuk Haris.
Sementara itu pada saat yang sama dada Ratri bergemuruh. Dorongan kuat untuk menjumpai Haris, menumpahkan kerinduan yang tiba-tiba muncul sejak pesan-pesan singkat Haris mebombardirnya beberapa hari terakhir. Dada yang bergemuruh itu juga menyimpan birahi yang tak kalah besar disimpannya rapi dalam angannya. Dibiarkannya fantasi-fantasi liar menguasai pikirannya. Didiamkannya tangan Haris yang dengan lembut melepas helai demi helai pakaian yang melekat di tubuhnya. Sejenak Ratri lupa siapa dia, siapa Haris, yang ada hanya desah nafas mereka berbaur dengan peluh yang mengalir deras.
Ratri tidak pernah menyesal telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya. Bagi Ratri Haris hampir pasti menjadi suaminya, sampai suatu ketika datang Ninuk membuyarkan impiannya, membuka kekhawatiran akan hadirnya lelaki lain selain Haris yang rela menikahi perempuan ternoda seperti dirinya. Tapi ternyata kekhawatiran itu tidak beralasan. Adi, pria yang sama sekali jauh dari bayangan idealnya tiba-tiba muncul seperti bintang jatuh dari langit membawa perhatian dan cinta. Sejujurnya tidak ada cinta untuk Adi, tapi bagi Ratri cinta adalah sesuatu yang lentur. Cinta bisa datang kapan saja dan Ratri yakin itu. Adi pria yang baik tidak ada alasan bagi Ratri untuk menolaknya. Ratri tidak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya, dan karena alasan itulah dia tetap menyimpan rapat rahasia besarnya bersama Haris. Ratri memilih berjudi, mengadu nasib di malam pengantinnya.
Noda merah di sprei ranjang pertamanya menjawab segala ketakutan Ratri sekaligus menjadi penanda Ratri telah memenangkan perjudian yang dirancangnya sendiri tanpa sepengetahuan siapapun. Selaput dara, meskipun tidak mutlak bisa dijadikan indikasi seseorang masih perawan atau tidak, tapi bagi sebagian orang masih sangat berarti. Untuk orang yang pernah ternoda seperti Ratri, bisa mempersembahkan setetes darah di malam pengantin sungguh hal yang luar biasa melegakan. Antara lega, gembira dan terharu juga rasa bersalah berkecamuk dalam dada Ratri. Adi pria yang baik tapi dia mendapatkan yang tidak sepatutnya dia dapat. “Ah…aku sangat berdosa,“ Ratri menarik nafas.
“Mbak, jam berapa latihannya dimulai?” suara Dina, membuyarkan lamunan Ratri. Dia segera bangkit dan mengambil fit ball kemudian memulai kelas pilatesnya. Dibiarkannya Haris menunggu, bukan karena dia tidak ingin bertemu lelaki pujannya itu tetapi Ratri ingin menghormati lelaki yang selama ini juga menghormatinya. Ratri ingin belajar menjadi wanita yang pantas bagi Adi, lelaki yang sedikit demi sedikit mulai dicintainya. ***
Jakarta, 6 November 2006
Pepih Nugraha
Monday, November 06, 2006
Karya Sahabat (4)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 4:50 PM
Label: Cerpen, Karya Sahabat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
kang, koreksi, kayaknya bukan Dedes Arok deh bukunya Pram, tapi Arok Dedes.
Post a Comment