Wednesday, November 29, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (16)



Santri Yang Bergairah (1)

Kamis, 23 November 2006, saya diminta hadir oleh Mbak Agnes Aristiarini, Manajer Pendidikan dan Latihan (Diklat) Kompas di Pelatihan Jurnalistik Santri Tingkat Nasional. Acara berlangsung di Gedung Diklat Pemda DKI Jakarta di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dan berlangsung sepekan, mulai Senin (20/11) hingga Sabtu (25/11).

Tentu saja bukan sekali ini saya terlibat dalam pelatihan menulis atau pelatihan jurnalistik bagi pelajar maupun SMA, mulai SMA Santa Ursula Jakarta sampai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Demikian juga saat saya bertugas di Makassar dan Surabaya, kerap saya diminta menjadi tutor penulisan tingkat SMA maupun universitas.

Di daerah saya harus otonom menentukan sendiri apakah saya datang atau tidak pada suatu pelatihan, tetapi di Jakarta saya berkoordinasi dengan Diklat sehingga apa yang saya lakukan masih dalam “koridor”. Terakhir, permintaan sering datang resmi dari Diklat dengan tembusan ke Redaktur Pelaksana dan Kepala Desk Investigasi dimana saya berada sebagai wakilnya. Pendeknya, saya mengajar atas nama lembaga, Kompas.

Berat memang membawa nama lembaga yang harus terikat etika profesi. Akan tetapi saat berada di ruang pelatihan dengan suasana yang mengasyikkan, saya bisa bebas bicara apa saja mengenai topik yang diminta, tetapi saya akan “berdiplomasi” –untuk tidak mengatakan bungkam- jika peserta pelatihan meminta saya menceritakan “dapur” Kompas. Saya harus menghormati lembaga dimana saya bekerja. Segala rahasia yang ada di dalamnya, pantang saya ungkapkan, kecuali alur kerja sebuah media yang bersifat umum dan berlaku dimana-mana.

Kembali ke soal pelatihan tadi. Saya merasa surprise juga tatkala harus memberi pelatihan jurnalistik di lingkungan santri yang kemudian saya tahu berasal dari 22 daerah di seluruh tanahair. Sebelumnya panitia, Sdr. Mahrus dan Addin, datang ke kantor untuk memastikan kesediaan saya. Saya katakan, karena ini tugas dari lembaga, saya pasti hadir karena kehidupan wartawan selalu terikat dengan komitmen. Lebih surprise lagi ketika saya menghadapi kenyataan: pelatihan berlangsung hidup!

Para santri datang dari berbagai pesantren yang berbeda, didikan berbeda, dan “ideologi” berbeda. Mulai pesantren beraliran halus, tengah, sampai beraliran keras. Saya tidak harus memerinci satu persatu, tetapi di mata saya menghadapi kurang lebih 100 santri ini; mereka adalah anak-anak negeri ini, saudara-saudara saya dimana nasib negeri ini juga sebagian berada di pundak mereka.

Hem, terlalu tinggi melangit ya saya berbicara… Oke deh, kembali menukik ke bumi.

Saya diberi panitia satu kisi-kisi bahwa saya harus menjelaskan mengenai penulisan feature, kolom, dan analisa. Tekanannya pada penulisan feature. Pada awal pembicaraan saya katakan bahwa feature merupakan kelanjutan dari penulisan berita langsung (straight news). Seorang jurnalis pasti harus mahir dulu menulis berita langsung dari lapangan daripada feature yang harus mengungkapkan sisi-sisi humanis seorang sumber.

Seorang editor tidak akan memaksa wartawan barunya (cub reporter) untuk menulis feature sebelum mahir benar menulis berita langsung. Namanya juga feature yang biasa disebut karangan khas, tentu berita yang disampaikannya pun harus unik, menarik, luar biasa, dan hanya orang itulah yang dapat melakukannya. Toh saya tetap memberi batasan lain, bahwa menulis feature dimulai dengan pengamatan!

Kemudian ada pertanyaan peserta, apakah menulis feature itu sama dengan menulis cerpen karena karakteristikya yang bebas menggunakan bahasa lebih lentur. Saya jawab, feature bukanlah cerita pendek yang fiktif, tanpa harus ada peristiwa. Feature adalah peristiwa nyata, bukan fiktif. Ia hadir justru karena pengamatan yang intensif, pendekatan kepada sumber dengan metoda partisipatif, dan lebih banyak menggambarkan daripada mengutip omongan orang (talking news).

Kalau mau menulis mengenai kehidupan buruh pabrik di pinggiran Tangerang, misalnya, jurnalis yang baik akan hadir dan melihat kehidupan senyatanya (living reality), bagaimana rumah atau tempat ngontraknya, bagaimana keadaan kamarnya, bagaimana setiap hari dia pulang pergi rumah-pabrik, bagaimana dia mengatur makan dan pengeluaran sehari-hari dari gajinya yang pas-pasan. Lantas tunjukkan, bukan katakan (show it, not tell it). Saya sudah menjelaskan tentang ini sebelumnya.

Saya katakan, menulis feature tidak melulu harus tentang manusia. Bila perlu tentang hewan maupun benda mati, tidak ada salahnya. Mungkin sahabat sering menemukan majalah motor dan mobil atau majalah khusus tentang hewan peliharaan. Nah, mereka itu bukan manusia, kan” Toh orang bisa menuliskannya. Jadi, betapa lentur dan luasnya cakupan kita menulis feature.

Seorang peserta perempuan dari Makassar, Nur, bertanya, ia mengaku tidak menemukan sisi menarik dari empat orang pedagang kaki lima yang ia wawancara kemarin di lapangan. “Bagaimana saya bisa menulis feature kalau saya tidak menemukan sisi yang menarik?” tanyanya.

Pertanyaan yang jujur. Saya siap menjawabnya dan kembali melempar tanya, “Apa yang dijual oleh keempat pedagang kaki lima itu?” Jawab Nur, “Tiga orang jualan makanan dan minuman, satu orang jualan kursi roda bekas.”

Kena, pikir saya. Saya melanjutkan tanya, “Dari sisi kemenarikan, mana yang paling menarik menulis tiga pedagang kaki lima yang berjualan makanan dan minuman yang sama, atau pedagang kaki lima yang menjual kursi roda bekas?” Kini yang menjawab hampir seluruh kelas, “Pedagang kakilima kursi roda bekas!”

“Bukankah itu hal yang menarik? Mengapa ia berdagang kursi roda bekas? Darimana ia punya gagasan itu?” saya menumpahkan tanya. “Apakah kursi roda bekas adalah satu-satunya barang yang ia dagangkan?” tanya saya kepada Nur. Nur menjawab, “Tidak. Dia juga berdagang tongkat untuk orang cacat. Alasan ia berjualan kursi roda, karena di Jakarta banyak kecelakaan. Kebetulan yang kecelakaan itu orang tidak berpunya sehingga ia terpaksa membeli kursi roda bekas dengan harga miring di kakilima.”

Saya katakan kepada Nur, “Kamu tadi sudah menyusun feature-mu sendiri!” Ia terbelalak tak percaya, tetapi itulah kenyataannya. Saya segera memakluminya kalau peserta pelatihan kurang bisa menangkap hal penting dan menarik dari sebuah peristiwa. Toh mereka sedang belajar, bukan? Bukankah saya hadir di sana untuk memberi pemahaman?

Sampai di sini, saya baru saja sekilas bercerita tentang penulisan feature atau karangan khas. Rasanya sebelum saya beranjak ke penulisan artikel, kolom atau analisa, saya harus bercerita barang satu hal lagi tentang feature, tentang keharusan “menjadi diri sendiri” dalam menulis karangan khas. Kelak ditampilkan pula salah satu feature yang saya buat. Juga masih mengenai kegairahan santri dalam mengikuti pelatihan penulisan. Tetapi tidak sekarang tentunya, lain waktu…


Pepih Nugraha
Jakarta, 29 November 2006

No comments: