Wednesday, November 08, 2006

Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (2)

Mencerna Sejenak



CIAWI adalah sebuah desa di sebelah barat Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia adalah “tanah air” dimana saya lahir dan dibesarkan. Dari arah Bandung, desa ini terletak di timur sejauh 80 kilometer. Dari arah Bandung pula, kita harus melalui Nagreg, sebuah turunan tajam bercabang dua, satu arah Tasikmalaya dan satunya lagi arah Garut, yang menjadi “bintang televisi” setahun sekali, saat mudik dan arus balik berlangsung. Di Nagreg inilah kemacetan gila-gilaan sering terjadi, terus ke timur menuju Limbangan, Lewo, Malangbong dan desa Ciawi.

Di desa itu, sebuah kolam ikan di pinggir Jalan Tanjakan Cangkudu boleh jadi menjadi saksi kekesalan saya sore itu. Sialnya, ikan yang saya pancing sama sekali malas menyentuh mata kail dan umpannya. Rupanya beberapa jam sebelumnya ayah telah menebar pakan yang gurih berupa dedak halus bercampur lumpur tanah. Pantas saja ikan tak mau datang, meski saya sudah tepekur lama di sana membuang rasa kesal.

Tetapi di saat ngelangut dan pikiran yang masih melayang-layang, kembali bayangan iklan lowongan kerja itu munculi. “S1 Sarjana Perpustakaan”, demikian iklan itu mengatakan. Tiba-tiba saya terperangah: ah, yang benar saja! Dimana di Indonesia ini ada Sarjana Perpustakaan?

Selanjutnya, serenceng pertanyaan bermunculan begitu saja dalam benak ini. Bukankah satu-satunya fakultas yang membuka strata satu ilmu perpustakaan itu baru di Universitas Padjadjaran? Bukankah saya salah satu mahasiswa angkatan pertama Jurusan Ilmu Perpustakaan? Bukankah jurusan itu baru dibuka untuk pertama kalinya tahun 1985 dan sampai tahun 1989 saat iklan lowongan kerja itu dimuat belum menghasilkan seorang pun sarjana S1 perpustakaan?

Kesimpulan dari bertubi-tubi pertanyaan itu adalah: saat itu belum ada sarjana perpustakaan yang dihasilkan perguruan tinggi manapun di Indonesia! Saya berani bertaruh. Dan saya benar-benar bertaruh dengan diri sendiri.

Tentu saja saya hampir terloncat dari tempat saya tepekur di pinggir kolam. Bukan karena mata kail disambar ikan, tetapi karena lagi-lagi menghadapi kenyataan, di Indonesia belum ada sarjana perpustakaan. Nah, mengapa saya tidak coba-coba bikin lamaran dan katakan dalam surat lamaran itu bahwa saya sebentar lagi menjadi sarjana perpustakaan, bahwa kini sedang menyelesaikan skripsi, bahwa saya bla bla bla…

Saya bersyukur, dalam keadaan frustasi dan terpuruk seperti itu, selalu saja ada jalan jika kita mau mencarinya, jika kita mau merenungi dan kemudian mencernanya. Mungkin juga dituntun oleh naluri bahwa seseorang, termasuk saya, tidak bisa menerima nasib buruk begitu saja tanpa ada sedikitpun usaha. Sebagai orang yang beragama, saya selalu yakin adanya tangan-tangan yang tidak tampak yang dengan kemurahan-Nya siap menolong siapapun, siap memberi jalan.

Ibarat jalan berlampu dalam sebuah lorong pesawat di kala gelap, cahaya membentang yang redup namun sangat jelas di kegelapan itu membimbing saya untuk tidak menyerah, tidak terpuruk, dan tidak termakan frustasi begitu saja.

Boleh jadi kalau saat itu tenggelam dalam rasa frustasi yang dalam karena iklan lowongan kerja itu, saya tidak akan menjadi wartawan Kompas seperti sekarang ini. Berbekal upaya merenungi, mencermati, menghayati dan mencerna isi lowongan kerja itu, gairah untuk mencoba itu tiba-tiba muncul. Ini benar-benar tantangan. Menyeruak dari dalam batin saya bahwa saya harus mencoba. Harus!

Saya membereskan alat-alat pancing segera. Berlarilah saya kembali ke rumah tanpa satu pun ikan di tangan. Ibu saat itu tengah duduk santai mengangkat cangkir ditemani ayah yang sudah siap-siap berangkat shalat Maghrib. “Bu, mana kopi saya yang tadi?”

Ibu tersenyum. “Nih,” katanya menyodorkan cangkir. Itu cangkir kopi saya tadi yang isinya sudah tandas, tinggal ampasnya saja. “Ibu pikir kamu sudah tidak meminumnya lagi!” (Bersambung)

Pepih Nugraha
Jakarta, 8 November 2006

4 comments:

Alma said...

salam kenal, saya muthe (yang masih nyoba menulis baik dengan tulisan sangat buruk sekali atau biasa2 aja khu..khu...)

bener tuh mas, ilham dateng dari mana aja, petunjuk dateng kapan aja. tinggal kitanya apa bisa menagkap ilham atau petunjuk yang datang, mengolahnya, dan melakukannya, atauuu..malah ngebiarin tu petunjuk malang melintang terus hilang deh...

ayo semangat!!!!

Asyuha said...

saat saya masih kuliah di Mesir, saya aktif di sebuah Buletin mahasiswa, TeROBOSAN, saat saya bertemu dengan bapak Muzammil Basyuni, saya kurang bahan untuk pembicaraan, karena waktu bertemu juga tanpa perencanaan.

saat bertemu beliau, akhirnya saya mengeluarkan jurus kewartawanan, bertanya dan mendengarkan kemudian bertanya lagi. akhir dari pertemuan itu saya tulis di Buletin TeROBOSAN pada rubrik profile dengan format ala Blukutuk ^.^

ogh iya.. waktu saya masih di Mesir saya sering berkunjung ke tempat Pak Mustafa Abdurrahman, wartawan kompas untuk timteng(?), kebetulan dia penasehat organisasi kami. apa gak ada rencana ke Mesir pak?.. yah paling tidak untuk liat mumi ato piramid :D

Anonymous said...

Bukankah satu-satunya fakultas yang membuka strata satu ilmu perpustakaan itu baru di Universitas Padjadjaran? Kesimpulan dari bertubi-tubi pertanyaan itu adalah: saat itu belum ada sarjana perpustakaan yang dihasilkan perguruan tinggi manapun di Indonesia! Saya berani bertaruh. Dan saya benar-benar bertaruh dengan diri sendiri.<---apa ini bisa dipertanggungjawabkan mas pepih? Setau saya, Jurusan Ilmu Perpustakaan di UI sudah ada sejak taun 60an?

Oki said...

Kesimpulan dari bertubi-tubi pertanyaan itu adalah: saat itu belum ada sarjana perpustakaan yang dihasilkan perguruan tinggi manapun di Indonesia! Saya berani bertaruh. Dan saya benar-benar bertaruh dengan diri sendiri.
Untungnya Mas Pepih bertaruh dengan diri sendiri, jadi kalau kalah nggak terlalu rugi. CMIIW, setahu saya, jurusan ilmu perpustakaan sudah ada cukup lama di indonesia sebelum tahun 1985. Di UI saja, Jurusan Ilmu Perpustakaan sudah ada sejak tahun 1960-an. Itu yang saya ingat dari waktu saya masih belajar di JIP UI.

Terima kasih