Thursday, November 09, 2006

Berbagi Pengalaman Menulis (13)


Dengar, Dengarkan Saja Mereka!

Larry King, pewawancara terkemuka dengan pertanyaan paling tajam di dunia yang bekerja di jaringan televisi CNN pernah menyatakan, untuk menjadi pembicara atau penanya yang baik (wartawan), pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjadi pendengar yang baik. Bagi King, mendengar jauh lebih sulit karena memerlukan energi ekstra, setidak-tidaknya kerja otak yang jauh lebih keras ketimbang berbicara.

Karena sifatnya yang jurnalis media massa tulis, saya kerap mempraktikkan petuah jitu ini dalam setiap kesempatan peliputan, khususnya liputan lapangan saat bertemu dengan orang-orang (people) ternama. Lain barangkali kalau saya jurnalis elektronik atau penyiar yang harus terus ngoceh daripada mendengarkan. Kalau tidak begitu nyerocos, bisa-bisa dikira pandir karena dianggap tidak menguasai masalah.

Sayangnya, tidak sedikit jurnalis maupun penulis (yang melakukan wawancara untuk penulisan buku) kurang menyadari pentingnya mendengar narasumber. Ia lebih dominan bertanya dan menguasai percakapan, padahal fungsi pewawancara dalam kegiatan jurnalistik maupun penulisan adalah membiarkan narasumber berbicara selugas-lugasnya dan apa adanya. Biarkan mereka bicara!

Dalam kesempatan ini saya mau berbagi pengalaman menulis kisah pendek artis yang saya temui sambil lalu atau tidak sengaja (by accident) . Mengapa artis, sebab mereka ini masuk dalam kategori prominent people alias orang ternama. Bolehlah mengambil bahasa Perancis, celebre, atau bahasa Belanda, bekend, yang sama-sama berarti kondang atau terkenal. Masuk ke dalam kategori ini antara lain politisi, da’i, tokoh masyarakat, tokoh agama, pengusaha, atlet, bahkan penyiar atau wartawan ternama.

Namun, saat bertemu prominent people, sering wartawan yang sudah pengalaman pun kadang kurang pede alias kurang percaya percaya diri. Nah jika kurang percaya diri untuk bicara, maka sebaiknya dengarkan saja ia bicara. Tetapi tentu perlu keberanian jurnalis untuk memulai percakapan. Kalau kita tahu artis itu bermain bagus dalam sebuah film, mulailah membuka “basa-basi” tentang film. Percaya deh, ia pasti menyambut. Tetapi kalau malu atau ragu, perkenalkan diri saja bahwa saya wartawan a, b, c, dan seterusnya.

Menulis prominent people bukanlah monopoli jurnalis yang biasa meliput artis. Jurnalis apapun bisa, bahkan kita, para blogger pun bisa. Janganlah karena kita wartawan politik, misalnya, maka tidak ada “kewajiban” menulis artis. Ini anggapan yang keliru. Sepanjang menjadi wartawan Kompas, saya belum pernah sekalipun ditempatkan di desk budaya atau desk minggu yang harus bersinggungan dengan artis. Tetapi untuk menulis artis, mengapa tidak? Saya lakukan juga sepanjang ada rubrik yang disediakan untuknya. Masak hanya karena kita wartawan politik yang biasa meliput kegiatan presiden di istana, kita lewatkan begitu saja pembunuhan sadis yang menewaskan tiga anggota keluarga di lingkungan kita? Tidak demikian, bukan?

Saya menulis sejumlah artis beken (menurut pandangan saya) secara tidak sengaja dalam perjalanan atau bertemu di jalan. Boleh dibilang berita jenis god given facts alias berita yang turun dari langit. Berita jenis ini ternyata tidak melulu kejadian bencana alam atau kecelakaan dahsyat, tetapi juga anugrah bertemu artis dan orang ternama lainnya. Saya ambilkan saja tiga contoh tulisan di rubrik Nama & Peristiwa di Harian Kompas yang ketiga-tiganya bercerita tentang artis.

Perlu sahabat ketahui, meski tulisan dalam rubrik ini kecil saja dan harus disertai foto terbaru, ini rubrik yang paling ekslusif karena tidak bisa sembarangan orang bisa menjadi cerita di sini, kecuali orang yang dianggap celebre itu tadi.

Pertama, Utha Likumahuwa. Dia penyanyi Ambon yang atraktif di panggung. Saya bertemu dengannya secara tidak sengaja, Sabtu, 4 November 2006 di sebuah Toko Sepeda di kawasan bisnis Bintaro Jaya, saat saya membelikan sepeda untuk Zhaffran, anak saya. Terus terang saja, saya tidak mengira kalau orang yang saya sapa dan ajak bicara soal sepeda itu adalah Utha. Saya sudah tidak mengenalinya lagi sebab kepalanya plontos. Pada saat dia menjauh, saya tanya pelayan toko sepeda. “Itu Pak Utha Likumahuwa, ia langganan sepeda di sini,” jawab si pelayan ketika saya bertanya. Astagfirullah, terasalah bahwa saya kurang cermat!

Saya kembali menemui Utha dan meminta maaf kalau saya tidak mengenalnya lagi. Di luar dugaan, Utha orangnya baik dan tidak mudah tersinggung hanya karena dia sudah tidak dikenali lagi. Lantas darimana saya harus memulai menulis sosok ringkasnya? Tidak jauh-jauh dari dunianya (menyanyi) dan apa yang sedang dilakukannya sekarang (bersepeda gunung). Jadilah sebuah tulisan yang dimuat Kompas, Selasa, 7 November halaman 16.

SEPEDA GUNUNG UTHA

Lama tidak terdengar, penyanyi Utha Likumahuwa (53) kelihatan asyik di sebuah toko khusus sepeda di sebuah kawasan perumahan di Jakarta Selatan akhir pekan lalu. Lengkap dengan kostum bersepedanya, ia tengah membetulkan sepeda gunungnya.

Sudah pensiun menyanyi? "Tidak juga, selalu ada job kecil-kecilan, tetapi memang tidak seramai dulu," kata pelantun tembang Puncak Asmara ini. Adakah kaitan antara bersepeda dan menyanyi? Dengan bersepeda, katanya, ia bisa mengatur napas panjang saat menyanyi. "Sehari minimal saya tempuh jarak sepuluh kilometer. Kalau disuruh menyanyi dua jam atau push up, saya masih sanggup. Ini berkat bersepeda," katanya serius.

Ketika kegiatan menyanyi boleh dibilang setengah vakum, tawaran berusaha pun datang dari salah satu rekannya yang kebetulan pebisnis. Toh, penghasil album Koleksi Klasik (2003) ini saat ini lebih suka disebut "penganggur" saja dan tidak mau menyebut rencana usahanya.

Tidak berhasrat come back ke dunia rekaman atau beraksi di layar kaca dengan kepala plontosnya? Ia tercenung sejenak, sebelum bilang, "Mudah-mudahan orang masih mengenal saya."(PEP)

Kedua, Rachel Maryam Sayidina. Ia artis film mungil yang cantik. Saya satu acara yang sama di Timika, Papua Barat, untuk meliput pemancangan stasiun base receiver sebuah operator ponsel dimana Rachel diundang sebagai MC (Master of Ceremony), sedang artis penyanyi lainnya yang meraimaikan acara adalah Fatur. Saya duduk berdampingan dengannya; Rachel di window (jendela) sementara saya di aisle (lorong).

Kami semula tidak saling bercakap-cakap, tetapi percakapan mulai menghangat justru saat pesawat hendak mendarat, saat "kejadian mengerikan" itu tiba. Kemudian saya mendengar unek-unek Rachel tentang kejadian yang membuatnya ketakutan itu. Mengapa saya menulis Rachel? Mengapa saya tidak menulis penyanyi Fatur yang juga satu rombongan dengan kami di Timika? Saya putuskan menulis dua-duanya, tetapi beat atau tekanan tentu saja pada Rachel. Hasilnya? Sebuah berita "ketakutan" Rachel dimuat Kompas, 26 Agustus 2003 halaman 12.

NAMA DAN PERISTIWA

Aktris Rachel Maryam Sayidina (23) penakut? Paling tidak, ia takut jatuh dari pesawat terbang. Beberapa detik sebelum pesawat Merpati mendarat di Bandara Hasanuddin, Makassar, Minggu (24/8) pukul 13.15, setelah terbang 2,5 jam dari Timika, Jayapura, pemeran Renata Adhiswara dalam film Andai Ia Tahu itu "terpaksa" merapat ke Kompas yang kebetulan duduk di sebelah kirinya.

"Wah, wah, mengapa kok pesawat oleng begini," katanya dengan raut wajah yang asli ketakutan. Maksudnya, tidak pura-pura seperti kalau ia berakting. Terang saja dia ketakutan. Penumpang lain pun menyatakan hal yang sama saat pilot terlalu tajam bermanuver meski tidak seheboh Rachel yang sempat dua kali berpegangan erat ke kursi depan akibat guncangan cukup mengagetkan itu.

"Belum pernah saya mengalami kejadian seperti ini," kata dara kelahiran Bandung, 20 April 1980, ini sambil membuka seat bealt karena harus transit 40 menit di Makassar sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Selama dua hari Rachel berada di Timika. Ia diminta menjadi MC dalam acara temu pelanggan sebuah perusahaan telekomunikasi untuk telepon seluler.

Keberadaannya sebagai seorang aktris cukup dikenal masyarakat Timika yang sebagian besar pendatang. Ia bermitra dengan penyanyi Fatur, yang juga memeriahkan acara tersebut. "Ada wartawan gosip enggak ya di Timika sini. Saya takut digosipin dan gosipnya sampai di Jakarta. Padahal kita enggak ada apa-apa ya Fatur," kata pemeran sinetron Strawberry ini.

Fatur malah ngocol. "Ya, kalau mau sama aku, doain aja putus sama pacar saya." Rachel Maryam keliru, setidaknya ada wartawan yang mendengarnya. (PEP)

Ketiga, Puput Novel. Saya bertemu dengannya dalam pesawat dari Jakarta menuju Pekanbaru. Puput pemalu, tetapi setelah bercerita, ia akan berbicara dengan antusias. Di sini saya membiarkan Puput bicara dan saya mendengarkan. Tulisan itu dimuat Kompas, 4 Juni 1999 halaman 12.

NAMA DAN PERISTIWA

Penyanyi Puput Novel (23) tidak hobi tidur, tetapi kalau ada kesempatan untuk memejamkan mata, kesempatan itu tidak disia-siakan. Ini ia buktikan dalam perjalanan Jakarta-Pekanbaru, Rabu (2/6), yang makan waktu satu jam 20 menit. Dalam kabin pesawat yang dingin itu seluruh waktunya hampir dicurahkan buat tidur. Makanan dan teh yang dari pramugari bahkan tidak mengusiknya.

"Saya ngantuk berat Mas, kurang tidur," aku mahasiswa jurusan Bahasa Inggris tingkat akhir ini. Begadang sampai larut malam? Usut punya usut, ternyata pemilik rambut panjang tergerai ini punya sisa pekerjaan yang mesti diselesaikan, yaitu merampungkan jingle sebuah sinetron garapan Starvision. Meski sudah berusaha merampungkannya sampai pukul dua dini hari, tetap saja belum tuntas. Judul sinetron? "Saya lupa, tetapi musiknya digarap Mas Dwiki (Dharmawan). Sebentar lagi siap tayang," katanya.

Lalu mengapa dibela-belain terbang ke negeri Lancang Kuning meski pekerjaan di Jakarta sedang menumpuk? Apakah karena telanjur simpati pada partai politik yang mengundangnya berdendang di sela-sela kampanye partai? Puput yang dulu beken sebagai penyanyi anak-anak mengaku, sudah terikat kontrak dengan partai yang bersangkutan. Tidak takut diserang massa? "Ada juga sih, tetapi saya percaya diri sajalah," ujarnya. Iyalah. (PEP)


Pepih Nugraha
Jakarta, 10 November 2006

No comments: