Coba Melamar
TIDAK menyia-nyiakan waktu. Keesokan paginya saya sudah berada di pinggir jalan mencegat mobil “Elep” yang biasa datang dari Ciamis, kabupaten tetangga dengan Tasikmalaya dan berhenti di terminal Cicaheum, Bandung. Mobil “Elep” sebenarnya mobil penumpang umum yang biasa memuat 16 sampai 20 orang sekali angkut.
“Elep” tidak lain mobil keluaran Isuzu dengan nama dagang “Elf”. Tetapi sopir, kernet, dan lidah orang Sunda pada umumnya tidak bisa membedakan bahkan mengucapkan huruf “f” maupun “v”. Kedua huruf itu sama-sama akan diucapkan “p” yang tegas seperti mengucapkan kata “pepes”. Uniknya kalau naik “Elep”, sudah galib calon penumpang menawar kernetnya terlebih dahulu. Tetapi rata-rata untuk jarak Tasikmalaya-Bandung saat itu, tahun 1989, antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000.
Jarak Tasikmalaya-Bandung sekitar 100 kilometer. Karena jarak Tasikmalaya-Ciawi kurang lebih 20 kilometer, jadi sesungguhnya saya tinggal menempuh 80 kilometer lagi ke arah barat. Wajar kalau sudah mendekat Bandung, sang kernet biasa banting harga, yang penting seteron terkejar, syukur kalau ada lebihnya. “Elep” yang saya tumpangi menembus kabut pagi.
Sampai di Terminal Cicaheum, saya langsung naik angkot jurusan Ciroyom. Angkutan umum itu akan melewati Jalan Dipati Ukur, ruas jalan dimana Universitas Padjadjaran (sebelum pindah ke kampus di Jatinangor, Sumedang) berdiri. Di seberang depan Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur itu dulu ada perkampungan, namanya Haur Pancuh. Nah di belakang Haur Pancuh itu ada lagi Haur Mekar. Di salah satu rumah penduduk di Haur Mekar itulah, di rumah E. Kosasih, saya kos.
Saya langsung naik ke lantai (papan kayu) atas, tempat saya kos. Saya teringat dosen filsafat saya, Wasito Puspoprodjo (kini sudah meninggal) yang mampu berbicara delapan bahasa asing secara fasih, sering menyebut “kandang japati” (rumah merpati) untuk kamar-kamar mungil di lantai dua yang biasa di koskan kepada para mahasiswa. Saya memang kos di “kandang japati” itu dengan uang kos Rp 200.000 setahun. Saya punya banyak saudara di Bandung, tetapi saya lebih enjoy tinggal di rumah kos.
Di “kandang japati” itu saya mempersiapkan surat lamaran yang saya tulis tangan. Fotokopi ijazah SMA saya lampirkan. Konyolnya meski tidak diminta, saya lampirkan pula sertifikat kursus gitar klasik dasar Yamaha saat saya SMA dan Bahasa Jerman dasar Goethe Institut, juga fotokopi beberapa cerita pendek karya saya yang dimuat di majalah dan koran-koran. Maksudnya untuk meyakinkan (lebih tepat mengelabui) penyortir surat lamaran bahwa saya punya “kemampuan lebih”, meski saya belum lulus S1.
Setelah itu saya langsung ke Kampus Fakultas Ilmu Komunikasi di Jalan Sekeloa, kampus yang terpisah dengan kampus induk di Jalan Dipati Ukur, untuk meminta transkrip nilai dari semester pertama hingga delapan. Syukurlah, dengan asumsi nilai akhir skripsi B, nilai kumulatif saya sudah 2,8. Suatu nilai yang lebih dari cukup, dari syarat yang diajukan Kompas saat itu yang cukup 2,75. Setelah syarat-syaratnya dirasa lengkap, dikirimlah lamaran itu melalui pos dengan perangko kilat.
Saya tidak pernah bercerita kepada teman-teman kuliah kalau saya sedang coba-coba melamar ke sebuah harian ternama di Indonesia, Harian Kompas. Bukan karena saya tidak ingin membeludaknya pesaing di antara pelamar kelak, tetapi karena malu dan kurang percaya diri saja. Malu karena kalau ini sekadar coba-coba saja. Tetapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, terbersit keinginan untuk bisa diterima di Kompas. Hem, sebagai pustakawan tentunya. Biarlah, tak mengapa.
Satu bulan telah berlalu, jawaban atas surat lamaran yang saya kirimkan belum juga saya terima. Saya pikir, mungkin sudah masuk ke tong sampah. Terus terang, saya berharap surat panggilan itu datang dan saya tidak bisa melupakannya. Sambil menunggu surat panggilan itu datang, saya menyibukkan diri menyusun skripsi. Saking dikebutnya skripsi, saya tinggal menyelesaikan beberapa bab terakhir saja.
Tiba pada suatu hari, saya dikejutkan oleh datangnya selembar surat yang datang ke kos-kosan. Dari kop suratnya saya sudah tahu, itu surat dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Tentu ada dua kemungkinan, surat penolakan atau surat panggilan. Saya berpikir cepat, surat penolakan jarang dikirimkan kembali dan biasanya langsung menjadi penghuni tempat sampah. Tetapi surat ini?
Surat itu saya buka dengan tangan bergetar dan jantung yang berdegup tidak seperti biasanya. Setelah saya buka, ternyata itu surat panggilan untuk ikut tes. Surprise juga, minggu depan saya ikut tes. Mungkinkah angan-angan saya segera terwujud?
Kiat:
1. Jangan abaikan iklan lowongan kerja di media massa, sebab itu bisa jadi peluang.
2. Setelah membaca iklan lowongan kerja, tidak ada salahnya mencoba mengirim surat lamaran sesuai keahlian atau kecakapan, sebab ini mungkin awal dari sebuah tantangan.
3. Jika ada surat panggilan untuk tes masuk pekerjaan, jangan lepaskan kesempatan itu, percaya diri saja.
Pepih Nugraha
Jakarta, 15 November 2006
Wednesday, November 15, 2006
Otobiografi Virtual: Menulis Itu Asyik (3)
Diposting oleh Pepih Nugraha di 1:43 PM
Label: Menulis, Otobiografi Virtual, Pepih Nugraha
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
menyenangkan ya bisa bergabung di salah satu media kenamaan di indonesia :)
wah tantangannya cukup menarik tuh tentang cerpen karmanya Endang :)
Post a Comment