Monday, November 13, 2006

Karya Sahabat (5)


Mainkan Imajinasi Liarmu!

Kali ini kita menampilkan cerpen berjudul “Karma” dari sahabat Endang. Dari judulnya yang singkat saja, saya sudah bisa menebak, pesan yang ingin disampaikan adalah soal “pembalasan”. Suatu konsep religi, dimana kalau orang berbuat jahat terhadap orang lain, maka orang itu pada suatu waktu akan mendapat balasan serupa dari orang lain. Artinya, judul sudah jelas. Pembaca tidak lagi diberi kejutan oleh si pembuat cerita dia akhir cerita. Mereka tinggal mengikuti alur ceritanya saja, plus jalinan konflik di dalamnya.

Kesan saya saat melihat bangunan fisik cerpen, pastilah dia sebuah cerpen yang panjang. Saya hitung ada 12.712 karakter, suatu jumlah yang bisa dua kali cerpen. Artinya, cerpen ini terlalu panjang, paling panjang cukup 8.000 karakter. Dengan memperpendek cerita, niscaya orang tidak terlalu kecapekan menikmatinya. Para editor budaya yang biasa menilai cerpen kiriman, pasti lebih suka memilih cerpen yang padat, singkat, dan beralur cepat. Apa pula alur cepat? Jika ada alur cepat, tentu ada alur lambat? Benarkah?

Ah, ini istilah saya saja. Sebelum saya membuat cerpen, saya selalu membayangkan suatu adegan dalam film atau kejadian sehari-hari. Bila percakapan dua atau lebih tiga orang disajikan secara statis, masing-masing berdiri di tempatnya tanpa gerak apapun, penonton pasti merasa bosan sendiri. Lain kalau percakapan itu kita bayangkan sebagai suatu yang “sibuk”, cepat dengan gambaran kamera yang bergerak ke sana ke mari, baik itu karena bantuan crane atau kameramennya sendiri yang lincah bergerak mengikuti si pembicara.

Hasilnya? Pasti akan lain dari percakapan statis itu tadi, percakapan yang saya katakan beralur lambat. Lalu usahakan kalimatnya bergaya staccato, pendek-pendek dan terputus-putus. Jangan sajikan pembaca paragraf yang panjang-panjang, kasihan mereka!

Membuat cerpen juga begitu. Sebelum benar-benar menulis, cobalah bikin sketsa atau oret-oretan mengenai si tokoh, karakternya, dan bagaimana akhir sebuah cerita. Siapa yang menjadi tokoh sentral, tekanan (beat) pada siapa, dan bagaimana jalinan konflik di dalamnya. Dalam perjalanannya bisa saja berubah, bisa juga menyimpang jauh. Tidak mengapa, yang penting kita sudah punya “cetak biru” cerpen yang akan kita buat. Dengan cara ini, niscaya sahabat bisa percaya diri menyelesaikan sebuah cerpen tanpa takut macet di tengah jalan!

Kembali ke cerpen “Karma”. Si penulis cerita menempatkan Dyani sebagai tokoh utama. Kalau saya sinopsiskan secara kilat mungkin begini: Dyani adalah ibu dari Tantri yang melaporkan kehamilannya. Dyani memutuskan harus mengawinkan anaknya dengan si lelaki yang menghamili anak semata wayangnya itu. Namun ternyata, lelaki yang menghamili Tantri tidak lain dari mantan kekasihnya, Baskoro, yang dulu lari dari tanggung jawab setelah menghamilinya, yang kemudian melahirkan Tantri. Pendeknya, Baskoro telah menghamili anaknya sendiri. Begitu ceritanya, bukan? Singkat saja.

Dengan imajinasi yang dimilikinya, si penulis cerita memunculkan tiga tokoh dalam cerpennya; Dyani, Tantri, dan Baskoro. Itu sah-sah saja. Bahkan satu tokoh pun tidak jadi masalah. Dyani dan Tantri masing-masing punya porsi yang lumayan besar, dibanding Baskoro yang tampil sekilas, tetapi menentukan jalannya cerita. Satu hal yang saya salut dari sahabat Endang, dia piawai dalam menangkap detail dan penggambaran suasana, meski ia terlalu membiarkan sekian paragrafnya membengkak.

Di sini saya ingin tekankan, jika kita sedikit memainkan imajinasi liar, niscaya kita akan keluar dari pakem cerita yang sudah sering dibuat. Kita mau membuat cerita dengan alur yang berbeda, dengan tokoh utama yang dianggap mustahil, dengan akhir cerita yang nyleneh.

Oke saja jika yang menjadi tokoh utama, tokoh “si aku”, adalah Dyani. Secara kasarnya, judul yang dipilih pun bisa “Cucuku, Anak Kekasihku”. Ah, ini perumpamaan saja. Begitu seterusnya. Jika Tantri yang menjadi tokoh utama, judul bisa berbunyi “Anakku, Anak Ayahku”. Lagi, kalau Baskoro yang mau ditokohutamakan, judul pun bisa “Anakku, Cucu Kekasihku”. Harus agak mengernyitkan dahi, bukan? Ah, tidak perlu, mudah saja mencernanya. Ini hanya permainan “beat” saja!

Kita lanjutkan. Nah, kalau si pembuat punya imajinasi liar yang biasanya sangat diminati para pembaca cerpen, bukankah ada satu tokoh lagi yang tidak muncul tetapi nyata ada dalam cerpen itu? Siapa dia? Langsung jawab saja: si jabang bayi yang harus digugurkan!

So, renungkan sejenak, apa maksud saya mengajak sahabat membuka mata terhadap si jabang baying yang kini bersemayam di rahim Tantri? Maksud saya, si jabang bayi pun bisa menjadi tokoh utama cerita! Ya, mengapa tidak!? Dan, mainkan imajinasi liarmu di sini!Maksudnya? Penekanan atau “beat” ada pada si jabang bayi! Lho, jabang bayi yang baru berumur satu atau dua bulan ‘kan belum berbentuk apa-apa, belum punya perasaan, dan jelas tidak bisa bicara! Kalau begitu, Anda sok tahu. Ini justru kuncinya!

Buatlah si jabang bayi itu sebagai person atau seseorang yang bisa berbicara, setidak-tidaknya pada diri sendiri, melihat (dengan mata hati), dan mendengar dengan insting. Buat riset kecil-kecilan bagaimana sih keadaan jabang bayi yang berumur empat atau delapan minggu itu? Bagaimana dokter atau dukun bayi melakukan aborsi (bukan untuk ikut-ikutan, lho!). Bila modal ini sudah didapat, tinggal bikin alur atau jalan ceritanya (plot) dengan tokoh utama si jabang bayi itu tadi. Menantang, bukan?

Maka, cerpen itu bisa dimulai begini: Aku mendengar seseorang berteriak, “Gugurkan bayi itu”. Kudengar lagi suara seorang lelaki yang menyetujui perintah itu, “Tantri kaudengar ibumu, kita harus menggugurkan bayi itu!” Tidak lama kemudian disusul jerit suara perempuan lainnya, “Tidak mungkin, bayi ini milikku!” Aku menjadi terpana dan tidak mengerti, siapa “bayi” yang mereka sebut-sebut itu? Apakah “bayi” itu aku, diriku sendiri? Tetapi, apa maksudnya “gugurkan” atau “menggugurkan”? Aku sama sekali tidak mengerti….

Bagaimana? Menggelitik sekaligus menantang imajinasi liar kita, bukan? Semua kalimat ini saya kutip langsung dari cerpen sahabat Endang. Bahwa kemudian si jabang bayi mencari tahu akan makna semua kejadian itu, mencari tahu siapa tiga tokoh yang selalu akrab didengarnya, baik suara desahan Baskoro yang sedang melakukan hubungan intim dengan Tantri, atau Tantri yang menangis tersedu-sedu saat mengetahui Baskoro yang menghamilinya adalah ayahnya sendiri, adalah sesuatu yang menantang untuk dieksplorasi sampai habis, sampai si pembaca sama sekali tidak tahu akhir dari cerita itu!

Semakin liar imajinasi kita, semakin liar cerita kita, semakin merangsang hasrat pembaca untuk menghabiskan cerpen kita sampai klimaks. Peganglah kunci ini!

Apakah bayi berbicara sendiri tidak cukup liar? Tambah bila perlu! Misalnya, hadirkan tokoh gaib, katakanlah Tuhan, dimana kepada-Nya si jabang bayi berkomunikasi melalui batinnya. Lantas jawaban gaib pun datang yang membuat si jabang bayi memahami semua pertanyannya. Lalu sisipkan percakapan ketiga tokoh itu dalam suasana nyata untuk menghindari kebosanan, agar tidak melulu pertanyaan si jabang bayi yang muncul.

Punya waktukah sahabat, setidak-tidaknya sahabat Endang untuk memahami maksud saya? Hem, apalagi kalau punya waktu, coba-coba menulis ulang kisahnya dengan si tokoh utama “jabang bayi” yang hendak digugurkan. Cukup menantang, kan? Sekalian belajar, kalau cukup berani menerima tantangan ini, kirimkan cerpen sahabat sekalian ke alamat saya di pepih_nugraha@yahoo.com yang hasilnya akan kita tampilkan bersama. Semakin banyak semakin bagus, biar kita belajar perbandingan bersama.


K A R M A

Oleh Endang

DYANI masih duduk terpekur di teras rumahnya. Diam tanpa suara meski sekedar bunyi kecil tenggorokan menelan ludah. Matanya kosong tak jelas mana arah yang ditatapnya. Dan tidak satupun gerakan kecil dari jemari tangan atau kakinya mengusir lalat yang kadang hinggap disana. Dyani bahkan tidak pernah tahu berapa lama dia duduk disana atau berapa banyak tetangga menyapanya sembari lewat. Yang dia lihat hanyalah kilasan-kilasan kejadian beberapa jam lalu, yang membuatnya menjadi membatu begitu.

Tantri telah pergi dari hadapan Dyani dan kembali ke kamarnya,mungkin untuk meneruskan tangisnya. Namun tadi, anak perawannya itu hadir bersimpuh di kakinya untuk sebuah penjelasan. Anak perawan…..kata-kata ini berputar terus di kepala Dyani sesaat setelah penjelasan Tantri. Kata-kata itu sudah bukan menjadi milik anaknya lagi dan Dyani sudah tidak memiliki anak perawan lagi. Anak perawan , semua orang tahu artinya adalah seorang perempuan muda yang belum menikah dan masih terjaga kehormatan dan kesuciannya. Tidak seorang lelaki pun pernah menyentuh bagian paling pribadi dari perempuan muda yang masih tergolong perawan. Tetapi Tantri, dalam tubuh muda dan langsing itu, tidak memiliki lagi kesucian seorang perawan.. Sudah pernah ada seseorang menyentuhnya secara pribadi sebelum pernikahannya. Dan seseorang itu telah menitipkan pula janin di dalam rongga rahim anaknya.

Untuk pertama kalinya setelah detakan jam yang kesekian, Dyani tampak beringsut. Kepalanya menunduk, membuat sebulir air mata jatuh ke pangkuannya yang kurus tertutup kain tipis rok panjangnya. Buliran itu bertambah banyak dan deras dan sekarang diiringi rintihan kecilnya. Namun dia adalah seorang yang terbiasa dengan banyak kesulitan. Tidak ingin buliran airmata itu terus mengalir, diusapkannya punggung tangannya ke pipi. Pikirannya berputar cepat,” Aku tidak boleh terhanyut, Tantri membutuhkan jawaban atas masalahnya. Kasus begini sudah banyak terjadi pada teman-temanku….” Dyani selalu tahu penyelesaian bagi masalah hamil di luar nikah seperti Tantri harus cepat. Yang tidak diketahuinya hanya satu. Dia akan menghadapi masalah yang bisa membuatnya terlempar jauh ke masa lalu.

**
DI kamar, Tantri menelungkup di atas bantalnya. Tangisannya sudah tidak terdengar dan dadanya sesak oleh kelelahan. Lelah menangis, lelah menyesali perbuatannya yang hanya terbuai oleh rayuan dan belaian. Dia mengingat wajah lurus ibunya saat pengakuan tentang kehamilannya. Lurus dan pias, rona wajah yang tak tahu harus berkata atau berbuat apa diserang keterkejutan semacam itu. Tamparan keras di pipinya pun melayang tanpa ekspresi, hampa dan hanya sebuah gerakan refleks. Kehampaan yang begitu lama ditunjukkan ibunyalah yang membuat Tantri tak kuasa bertahan di hadapan Dyani. Lebih baik ia berlari ke kamar dan tidak terus melihat luka di wajah ibunya . Semakin ia melihat airmata di wajah ibunya, semakin ingin ia tenggelam ditelan bumi.

Tak mampu dihindarinya, Tantri mengenang malam-malam yang kini menorehkan arang di wajah ibu yang dicintainya. Malam-malam yang melenakannya setiap kali ia bertemu Baskoro di rumah kontrakan dekat kantornya. Baskoro, lelaki yang mengisi hati dan hari-harinya selama ini. Lelaki yang dikenalnya sebagai kepala proyek perumahan yang didirikan kantor kontraktor tempatnya bekerja. Tantri mengenal Baskoro setahun lalu ketika ia ditempatkan sebagai kepala administrasi proyek di lapangan tempat real estat itu didirikan. Dengan berbagai pertemuan yang seringkali diselingi senda gurau dan diskusi pribadi, sosok lelaki itu menjadi istimewa di hatinya. Perhatian, senyuman, gurauan dan tatapan mata yang tak bergeming sedikitpun terhadapnya, membuat Tantri selalu merindukan saat-saat bersama Baskoro. Obrolan di kantor berlanjut dalam perjalanan pulang hingga ke teras rumah kontrakannya, dan semakin lama membuat mereka semakin intim. Kenyataan usia Baskoro yang seharusnya pantas menjadi ayahnya tidak lagi menjadi masalah bagi Tantri. Terlebih dengan tubuh atletis dan gaya bicara yang menyenangkan, membuat Tantri justru merasa aman bersama Baskoro. Meski Tantri tahu lelaki itu adalah seorang duda beranak satu, rasa cintanya telah membuatnya gelap mata. Terlebih jika Baskoro membelainya dengan lembut ketika kepenatan datang, rasa takut akan perbuatan yang dilakukannya mampu terkalahkan oleh kenyamanan dan kenikmatan berada dalam pelukan lelaki itu. Dan kini, semua itu tidak guna lagi disesali. Calon bayi dalam rahimnya membutuhkan kepastian dan kekuatan hatinya, meski itu mengecewakan ibu yang telah mendidiknya menjadi seorang wanita terhormat.

“Tantri….kamu harus cepat menikah!”, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ibunya. Tantri segera terduduk di tepi ranjangnya. Ia baru menyadari kemungkinan ibunya sudah cukup lama disana jika melihat caranya duduk tertata dengan nyaman untuk sebuah pembicaraan panjang. Tidak satu kata pun meluncur dari bibir Tantri untuk menanggapi ibunya. Dilihatnya sisa air mata masih memberikan alurnya di pipi ibunya. Dalam keadaan seperti itu, tampak sekali kebiasaan ibunya untuk tidak membiarkan dirinya terhanyut berlarut-larut dalam sebuah masalah tanpa penyelesaian. Kenyataan sebagai orangtua tunggal yang harus menghadapi segalanya seorang dirilah yang menempa ibunya untuk bertindak cepat dalam setiap masalah. Jika suatu kali menemui kesulitan, ibunya juga cepat sekali memutuskan untuk meminta bantuan pada pakde-pakdenya. Tegar, namun tidak jumawa.

Tidak ada yang perlu dibantah dari ucapan ibunya. Tantri tahu, ibunya benar. Penyelesaiannya memang hanya satu, menikah. Dan Tantri memang sudah siap untuk itu. Masalahnya, ia bahkan belum memberitahukan kehamilannya ini pada Baskoro. Masalah ini muncul saat Tantri sedang menghabiskan sisa cutinya, sehingga ia belum sempat bertemu lelaki itu. Dan keharusan untuk menemui Baskoro secepat mungkin, kini membuat ia memutuskan untuk segera kembali ke lapangan lebih cepat dari rencana. Tidak mungkin ia bicarakan persoalan ini melalui telepon saja.
“Ya,bu…Tantri besok akan kembali ke kontrakan di lapangan. Tantri akan bicara dengan mas Baskoro”.
“Kamu belum pernah mengenalkan dia pada ibu,Tantri. Sesegera mungkin, dia harus menemui ibu untuk membicarakan masalah ini. Oh ya…tentu juga dengan keluarganya, lebih cepat lebih baik.”
“Mas Baskoro sudah tidak punya orangtua. Dia akan datang sendiri, begitu dulu dia pernah bilang kalau ingin melamar Tantri”
“Baik, kalau begitu. Semoga dia memang orang yang bertanggungjawab…”
Entah kenapa, Dyani tiba-tiba harus menggantung kalimatnya yang terakhir. Ada satu debaran tidak menentu yang tidak enak dia rasakan. Antara nama yang didengarnya, dengan kata tanggungjawab, seolah ada satu mata rantai yang sulit tersambung dengan mulus. Ah, mungkin cuma kekhawatiran akan keadaan Tantri,pikirnya. Atau, mungkin juga ia sekedar tidak menyukai nama itu…
Dyani segera bangkit dan meninggalkan Tantri, tidak ingin memenuhi pikirannya dengan sesuatu yang tidak pasti.Di ujung pintu anaknya itu menghentikan langkahnya,
“Ibu, dimana kubur ayah?”

**
TANTRI diam menunggu. Belum ada reaksi apapun dari Baskoro terhadap berita kehamilannya. Baskoro perlahan meminum teh panas di hadapannya, matanya tertumbuk pada meja di hadapannya. Ia tampak tenang. Tadi, usai Tantri bercerita tentang keadaan dirinya, Baskoro hanya memandangnya dalam-dalam, tak ada suara. Tidak begitu tampak juga keterkejutan di mata Baskoro saat menatapnya. Tapi Tantri mengerti. Laki-laki ini sudah matang cara berpikirnya. Ia tahu apa yang dilakukannya dan resiko yang pasti akan diterimanya. Itu sebabnya, reaksinya tidak berlebihan bahkan jelas sekali Baskoro berpikir hati-hati sebelum akhirnya bersuara.
“ Ya….aku sudah tahu akan seperti ini. Cepat atau lambat, memang pasti terjadi.”
“Lalu?”
“Ibumu benar, aku harus segera menemuinya.”
“Kapan?”
“Besok pagi kita berangkat. Setidaknya ada cukup waktu semalam ini untuk aku mempersiapkan pertemuan itu. Bagaimanapun, ibumu pasti akan sedikit emosi melihat orang yang menghamili anaknya. Tapi aku siap, Tantri…”
Baskoro tidak tahu, apa yang dipersiapkannya tidak akan berguna nantinya.

**
DYANI tak mampu memicingkan matanya. Sudah 2 hari ia begitu, meski biasanya pun tidurnya juga tidak pernah terlalu lelap. Tantri, kehamilannya, nama lelaki kekasih anaknya, semua berputar terus menerus di benaknya. Dyani resah, bahkan sangat resah. Jendela kamar yang dibuka untuk memberi kesejukan tidak banyak membantunya . Justru angin dingin kota Malang ini sekarang membuatnya menggigil. Sudah lama kotanya itu menjadi semakin panas udaranya. Namun musim penghujan akhir tahun toh masih mampu menghembuskan angin dingin di waktu malam. Ditutupnya lagi jendela, pikirannya kembali pada anak perawannya di Surabaya. Ya, Dyani masih ingin menyebut Tantri sebagai anak perawan. Pikirannya melayang lagi.

Dyani tahu, jika anaknya itu menikah, ia akan membutuhkan wali nikah. Kakak Dyani yang tertua atau bahkan pak Penghulu pun bisa bertindak menjadi wali nikah, jika memang ayah Tantri sudah meninggal. Tapi ayah Tantri itu dia tahu masih ada. Sakit hatinyalah yang membuat ayah Tantri itu seolah sudah mati. Kenyataan semu itu yang diketahui anaknya. Meski dulu Tantri pernah meragukan pernyataannya tentang ayah Tantri, berkat kepandaiannya menghindar dan seiring berjalannya waktu, anaknya seolah melupakan hal itu. Sampai kemarin didengarnya lagi pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang dijawab dengan perintahnya yang lain,” Selesaikan urusanmu dulu dengan pacarmu. Nanti kita bicara lagi.”

Dyani termangu di ranjangnya. Besok sore, jika anaknya itu datang, suka atau tidak ia akan harus menjelaskan semuanya. Dan berarti Dyani harus mengorek kembali koreng di hatinya yang telah berusia 20 tahun. Ya, selama itulah ia menyimpan rahasia besar dari anaknya tentang siapa ayahnya. Ayah yang menikahi ibunya hanya demi sebuah arti tanggungjawab secara dangkal. Dan kemudian lelaki itu pergi bersama anak istrinya yang telah lebih dulu hadir sebelum Dyani. Memang betul, dirinyalah yang bodoh, terpikat pada rayuan lelaki beristri. Kebodohan yang muncul hanya karena kesepiannya di usia yang semakin dewasa. Namun kebodohan itu tetap menggoreskan perih luka yang teramat dalam. Karena setelah pernikahan sirinya dulu, tidak sekali pun lelaki itu menunjukkan bentuk tanggungjawabnya yang lain. Tidak pernah datang ke rumah, tidak menanyakan apalagi melihat anaknya, juga tidak memberikan sedikitpun nafkah untuk kehidupan mereka berdua, Dyani dan Tantri. Namun Dyani merasa harus tetap hidup, dan biarlah lelaki itu mati dalam sejarah hidup anaknya. Sampai waktunya nanti.

Hingga siang akhirnya menjelang, Dyani masih belum beranjak pergi dari ranjangnya. Semakin waktu datang menjelang kepulangan Tantri bersama kekasihnya, terasa ia semakin malas bangkit dari sana. Bukan sifatnya jika harus bergolek-golek terus seperti itu. Tetap saja, hari itu tidak ada yang mampu menggerakkan kakinya melangkah turun dan aktif sebagaimana biasanya. Dyani mengerahkan seluruh tenaga dan semangatnya yang tersisa supaya akhirnya dirinya berjalan untuk mandi dan bersiap menerima kedatangan mereka. Pergerakannya sangat lambat dibandingkan kesehariannya yang serba cekatan. Sampai akhirnya pintu kamarnya diketuk dan wajah Tantri muncul disana.
“Ibu, mas Baskoro sudah datang. Ibu akan keluar sekarang,kan?”Tak ada jawaban.
“Kata si mbok, ibu seharian di kamar terus. Ibu sakit?”
“Nggak…ibu cuma kurang tidur. Tunggulah di ruang tamu, ibu kesana sebentar lagi”


**
TINGGAL beberapa langkah jarak antara Dyani dan sosok lelaki kekasih Tantri ketika ia menghentikan langkahnya perlahan, ragu. Lelaki itu membelakangi arah kedatangannya, namun Dyani sangat mengenal sosoknya yang tegap dan jelas terlihat meski sedang duduk. Sosok itu yang membuat Dyani lalu ragu untuk melangkah lagi. Tantri lah yang kemudian segera memberitahukan kehadiran ibunya di ruang tamu itu. Pemberitahuan biasa agar kekasihnya itu menyapa ibunya, namun yang terjadi sesudahnya tidak terduga sama sekali. Sebab sejak detik itu, segalanya menjadi luar biasa bagi Dyani, Tantri maupun Baskoro.

**
SEKIAN menit dan jam yang berlalu hilang dari catatan Dyani, sampai akhirnya didengarnya Tantri memanggil-manggil namanya entah untuk yang keberapa kali. Sayup dibukanya matanya dan segera ditangkapnya seraut wajah cantik sang permata hatinya. Namun apa yang dilihatnya itulah yang meletuskan sebuah tangis perih dari bibirnya. Tangis yang menjadi jeritan tak kunjung henti karena segera terasakan oleh Dyani luka yang disimpannya di hati menganga semakin lebar . Di sudut ruangan , di kursi tanpa lengan, sang lelaki terduduk lemas. Tangan kekarnya bertumpukan lutut menutupi wajah dan sesekali terdengar erangan dari mulutnya. Pemandangan memilukan itu terus berlangsung tanpa Tantri ketahui penyebabnya . Ia bingung karena semua rencana yang disusunnya berjalan jauh dari khayalannya. Dan semakin menyiksa lagi, karena tak satupun dari kedua orang yang berlaku aneh di hadapannya itu bisa segera menjelaskan apa yang terjadi.

Menit-menit yang berlalu kemudian semakin terasa menyiksa bagi Tantri. Kebingungannya tentang peristiwa di hadapannya yang tak juga mendapatkan penjelasan, kini semakin menghantamnya ketika tiba-tiba ibunya berteriak,
“Gugurkan bayi itu, Tantri….!”
Tantri terhenyak dan mual seketika. Ibunya seperti hilang akal, merintih dan terus menjerit agar ia menggugurkan kandungannya.Dipalingkannya pandangan pada Baskoro mencari kepastian akan apa yang didengarnya. Tetapi rintihan yang berulang tidak memerlukan lagi telinga lain untuk memastikan pendengarannya. Justru sikap Baskoro yang semakin menenggelamkan wajah dalam dekapan tangannya, diselingi sisiran tak beraturan jari-jari ke arah rambut tebalnya, menerbitkan tanya yang lain di hati Tantri. Hati kecilnya mengatakan Baskorolah penyebab pingsannya ibu. Dan Baskoro pasti juga tahu mengapa ibunya sekarang ingin ia menggugurkan kandungannya.

Tak sabar, segera ditariknya tangan Baskoro dari wajahnya yang sudah basah.
“Jelaskan padaku mas, ada apa semua ini?”
Napasnya memburu dan merasa tak ada waktu lagi untuk menunggu.
“Kamu pasti tahu dan harus mengatakannya sekarang!”
“Tantri,…kau dengar ibumu. Kita gugurkan bayi itu…..”
“Tidak mungkin!”
“Bayi ini milikku, aku yang berhak memutuskan. Lalu kenapa semua minta aku menggugurkannya?”
“Ada apa, mas…..? Ibu…kenapa?”
Suaranya mulai bergetar, ada takut disana.
Tantri beringsut mendekati ibunya. Tangan ibunya lembut menelusuri kepalanya. Isak tangis kini menjadi miliknya juga.

**
LORONG itu terasa begitu panjang. Anginnya begitu dingin mengiris kulit.
“Dia ayahmu, Tantri…Baskoro ayahmu…”
Keheningan panjang yang begitu dalam. Tantri hanya ingin mencoba mengerti arti kalimat itu. Tetapi semua begitu lugas baginya. Dan tak didengarnya lagi kalimat terakhir ibunya,
“Maafkan ibu, anakku….”
***

Pepih Nugraha

Jakarta, 13 November 2006

1 comment:

Anonymous said...

Salam kenal Mas..
Nemu linknya dari cerpen di blog Bu Endang.
Salut sama ajakannya untuk belajar bersama. Saya belajar banyak dari 'analisa' anda terhadap cerpen ini..