Friday, August 08, 2008

Catatan (60): Tentang Harmoko (3)

Dimarahi, Dimaki, Itu Biasa!

PADA hari berita itu dimuat, saya selaku wartawan Kompas kembali ditugasi mengikuti Harmoko ke Kota Malang, Jawa Timur. Saat saya usai meliput kegiatannya dan siap-siap menulsi beritanya, saya secara khusus dipanggil Harmoko ke kamar hotelnya. Di sana sudah ada beberapa wartawan lainnya, yang tidak usahlah saya sebutkan namanya di sini. Harmoko langsung menyemprot:

"Mengapa kamu menulis berita bahwa Golkar bisa menang 100 persen? Saya memang bicara begitu, tetapi tidak seharusnya kamu menulis begitu!"

Mendapat semprotan seperti itu saya kaget bukan kepalang. Yang memprihatinkan, teman-teman wartawan bukannya membela saya sebagai sesama wartawan, malah ikut-ikutan memanas-manasi Harmoko agar terus mencecar saya. Asal tahu saja, lumrah wartawan pada masa itu berlaku "amat santun" (untuk tidak mengatakan menjilat) Harmoko dengan harapan dapat terjaring sebagai calon legislatif (DPR), setidak-tidaknya namanya tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Golkar dengan nomor urut "peci" (calon jadi).

Sebagai jurnalis, boro-boro saya berpikir ke arah itu. Bagi saya sekali jurnalis, ya tetap jurnalis! Makanya saya selalu siap dimarahi dan dimaki, kapanpun. Pada masa itu Jenderal Feisal Tanjung biasa memaki wartawan, "Taik, Kau!" Terus terang saat itu saya tidak dapat membedakan: ini makian jenderal atau preman! Sedihnya, kami, para wartawan, tidak bisa membalas kuasa Sang Jenderal yang tergolong kesayangannya Soeharto itu, meski hanya dengan sepatah katapun. Sebagai gantinya, kami biasa mendoakan Pak Jenderal biar cepat-cepat masuk surga saja!

Setelah agak tenang, saya menjawab pertanyaan Harmoko dengan lugas, "Bukankah Bapak mengatakan demikian?" Mendapat pertanyaan begitu Harmoko langsung menyambar, "Saya memang bicara begitu, tetapi tidak seharusnya you tulis begitu!" Hem... pelajaran baru jurnalistik di Era Soeharto! Bikin bingung, bukan?

Hening sejenak, Harmoko pun melanjutkan, masih dengan pertanyaan bernada menyelidik. "Siapa editormu sekarang, Si James-kah?" Maksudnya James Luhulima, editor politik saat itu. Saya jawab bahwa editornya memang James dengan wakil Myrna Ratna. "Okelah, nanti saya telepon mereka. Sudah, you tulis berita sana sesuai dengan apa yang saya katakan tadi di depan wartawan! Ingat ya, you harus menulis berita yang bener!"

Belakangan saya dengar Harmoko dipanggil Soeharto gara-gara berita yang saya tulis itu, sebuah pernyataan yang memperkuat bukti bahwa Golkar sebagai mesin politik utama waktu itu benar-benar arogan. Sebagai orang Jawa, Soeharto yang pinisepuh Golkar itu konon tidak suka cara-cara takabur seperti itu.

Dalam wawancara dengan wartawan sebelumnya, Harmoko secara khusus membantah berita Kompas yang saya tulis, yang dimuat 27 November 1996, bahwa dia tidak pernah mengatakan "Golkar bisa meraih 100 persen suara"! Tentu saja saya punya rekaman suara Harmoko saat dia bicara begitu di Makassar. Tetapi inilah realitas politik yang berlaku pada saat itu, rekaman pun menjadi tidak ada maknanya jika digunakan sebagai alat bukti. Kuasa adalah kuncinya. Inilah berita bantahan itu:

HARMOKO:
Target Perolehan Suara Golkar 70,02 Persen

Malang, Kompas
Ketua Umum DPP Golongan Karya Harmoko mengemukakan, target perolehan suara Golkar dalam pemilu 1997 mendatang tetap 70,02 persen. "Tidak pernah Golkar menyatakan target sampai 100 persen," katanya seraya mengingatkan, kekuatan sosial politik di Indonesia tidak hanya Golkar tetapi juga ada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Hal tersebut dikemukakan Harmoko kepada wartawan dalam kunjungan kerjanya di Malang dan Surabaya, Kamis (28/11).

Seperti diberitakan Kompas (27/11), di depan massa Golkar di Stadion Mattoangin, Ujungpandang hari Senin malam, Harmoko mengemukakan kemungkinan Golkar bisa memenangkan 100 persen suara.

Dijelaskan oleh Harmoko bahwa ungkapan 100 persen itu muncul dari antusiasme massa kader Golkar ketika ia bertanya, berapa target perolehan Golkar di Sulawesi, yang kemudian disahuti massa 100 persen.

"Anda tahu di Sulawesi Tenggara ada pernyataan target 96 persen, dan itu bisa saja. Kalau kader mentargetkan sebesar itu sebaiknya jangan diturunkan, katanya, kalau kader-kader Golkar melakukan kerja keras, penggalangan secara simpatik, pengembangan kompetisi sehat sesuai persatuan dan kesatuan mudah-mudahan bisa berkembang lebih dari target nasional 70,02 persen," jelasnya.

Juga dituturkan, Golkar bakal menyelenggarakan Diklat Jurkam Nasional (Pendidikan dan Latihan Juru Kampanye) Golkar. Sehingga setiap jurkam yang turun akan dibekali program-program secara nyata. Diklat akan diselenggarakan dalam sepuluh gelombang dan dilakukan juga di daerah-daerah. Pesertanya para jurkam Golkar, fungsionaris, termasuk para calon legislatif.

"Dari pengalaman yang lampau tutornya kita siapkan dari dapur kampanye kami. Itu sudah dibentuk dua tahun lalu menyiapkan tema kampanye, program kampanye, materi dan isi kampanye," jelas Harmoko. (PEP)

SAYA masih mau berbagi cerita mengenai Harmoko dalam beberapa postingan lagi. Juga mengenai Akbar Tandjung, Hamzah Haz, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Habibie, Jusuf Kalla, dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks peliputan dan penulisan berita mengenai mereka, dalam konteks pertemuan langsung saya dengan mereka. (Bersambung)

1 comment:

jengceriwis.blogspot.com said...

hahaha...kalo kata orang Jatim, mbingungi ya Harmoko, ngomong A tapi maunya ditulis B, saat di malang, suami saya masih wartawan baru di Nusra yang kebetulan tak ikut masuk kamar saat akang dimarahi akang, hanya dengar dari wartawan lain yang kebetulan ikut 'marah-marah' bareng Harmoko...............