Monday, June 30, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (62)

Menulis Perjalanan (1)


SETELAH menulis perjalanan ke Pulau Galang di Batam beberapa waktu lalu, saya tertantang menulis setiap perjalanan yang saya lakukan. Saya tertantang menulis tempat-tempat yang saya kunjungi. Bagi saya, setiap tempat di dunia ini punya masing-masing hikayat. Tidak ada salahnya kalau saya mencatat kembali setiap perjalanan yang saya lakukan ke tempat manapun yang saya kunjungi.

Kali ini saya menulis catatan perjalanan ke Saung Angklung Udjo di Bandung. Saya menulisnya dalam dua bagian yang kemudian dimuat di http://www.kompas.com/. Selain bisa langsung klik di kolom Travel Story, Sahabat bisa juga mengikuti dua tulisan itu di bawah, mulai hari ini dan besok.




Simfoni Mozart dari Buluh Bambu (1)

Oleh PEPIH NUGRAHA

Benarkah ada USA di Padasuka Bandung? Kalau yang dimaksud United States of America alias Paman Sam, jelas tidak mungkin ada, kecuali beberapa gelintir warganya yang jadi pelancong. Tetapi kalau USA berarti Udjo Saung Angklung, saya baru percaya. Soalnya sudah sejak lama saya mendengar sanggar kesenian alias padepokan seni di Bandung, Jawa Barat, ini yang bernama Saung Angklung Udjo.

Benar, nama aslinya memang Saung Angklung Udjo (SAU), bukan USA. Tetapi terus terang, nama USA malah menggelitik rasa ingin tahu orang, termasuk saya.

Kerap saya berkunjung ke Bandung setelah selama lebih 18 tahun meninggalkan kota berjuluk Kota Kembang atau Bumi Parahyangan ini karena bekerja di Jakarta. Antara tahun 1985-1990, saya menghabiskan waktu menuntut ilmu di perguruan tinggi di kota ini. Setiap kali ke Bandung, wisata yang paling kerap saya kunjungi tidak lain wisata kuliner. Maklum, Bandung dikenal sebagai surganya jajanan.

Jadi, wisata ke Bandung kali ini agak lain. Bukan wisata melihat eloknya pemandangan alam Parahyangan yang hijau di lihat dari Gunung Tangkuban Parahu, bukan wisata mandi air panas di Ciater, bukan mengunjungi “saudara tua” di Kebon Binatang (Bonbin) Bandung yang sangat kawentar ka janapriya (terkenal ke seluruh dunia) itu, bukan pula wisata rohani dan religi ke makam-makam orang suci dulu, juga bukan wisata kuliner yang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya bermaksud wisata seni dengan mengunjungi Saung Angklung Udjo. Ada mungkin bertanya, apa iya itu wisata?

Ah, saya tidak terlalu peduli dengan istilah. Juga terminologi wisata seni yang barangkali belum bisa diterima dan masuk dalam khasanah ilmu pariwisata. Bagi saya, selain ruh ini di-refresh dengan pertunjukkan kesenian angklung, juga dapat melihat budaya setempat secara langsung. Kita tinggalkan dulu perdebatan soal istilah, mari kita melanjutkan perjalanan.

Melesat dari Jakarta menelusur Jalan Tol Cikampek lantas bersambung terus ke Tol Cipularang, tidaklah terlalu sulit. Memang itu jalan yang paling mudah. Kalau naik kendaraan umum bus, misalnya, dari Jakarta bisa dari dua terminal utama, yakni Lebak Bulus dan Kampung Rambutan. Bus berhenti di terminal Leuwipanjang. Dari terminal ini naik angkot ke jurusan Terminal Cicaheum. Wisata dengan menggunakan sepeda motor tentunya jauh lebih mudah lagi karena bakal terhindar dari kemacetan di beberapa ruas jalan di Bandung ini.

Karena lokasinya berada di Jalan Padasuka No 118, paling gampang memang keluar dari gerbang tol Pasteur, dengan catatan membawa kendaraan roda empat sendiri. Setelah keluar dari gerbang tol Pasteur, terus saja lurus ke arah Jalan Suci menuju Terminal Cicaheum. Sebelum sampai ke Terminal Cicaheum, terdapat Jalan Padasuka yang berbelok ke kiri, jalan dua arah yang menuju padepokan seni Saung Angklung Udjo.

Terus terang, hal yang mendorong saya ingin mengetahui padepokan seni ini gara-gara panas hati dengan negara tetangga kita, Malaysia, negara yang gemar main klaim khasanah budaya milik orang lain, termasuk angklung ini. Masak setelah Reog Ponorogo, batik, dan lagu Rasa Sayange diklaim miliknya sebagaimana halnya Sipadan dan Ligitan, giliran angklung Jawa Barat mau dimiliki pula. Wah, benar-benar tak tahu diri, pikir saya.

Seingat saya, saat pertama kali duduk di kelas satu sekolah dasar tahun 1972 lalu, guru-guru sudah memperkenalkan alat musik tradisional terbuat dari buluh bambu ini. Bagaimana mungkin itu jadi milik Malaysia? Untuk klaim yang satu ini hati saya berteriak, “No Way!”

Ironisnya, saat saya tiba di Saung Angklung Udjo, Minggu tanggal 25 Mei lalu, sebuah bus besar sudah terparkir di halaman padepokan seni yang luas dan rimbun itu. Saya melihat serombongan orang turun dan langsung menyerbu galeri di padepokan itu untuk belanja. Saya dengar percakapan mereka yang bercampur antara bahasa Melayu dan Inggris. Tidak salah, ini pasti pelancong Malaysia, duga saya.

Dugaan saya tidak terlalu meleset. Seorang penjaga tiket melalui telepon yang saya kuping mengabarkan mengenai kedatangan pelancong ini. “Lima puluh orang dari Malaysia, Bu,” katanya. Tuh, benar ‘kan Malaysia!

Di luar bahwa mereka suka main klaim, diam-diam saya merasa bersyukur atas kedatangan para pelancong negeri tetangga ini. Bukan karena mereka mendatangkan devisa dan berbelanja banyak oleh-oleh karya seni di Saung Angklung Udjo, tetapi sekaligus ingin sekali kami menunjukkan bahwa angklung adalah anak kandung Bumi Pertiwi, angklung sedemikian mendarah-dagingnya dalam tubuh Tanah Air kami. Wah, tiba-tiba rasa keindonesiaan saya mulai meledak dan menjalari urat nadi.

Beberapa turis bule dan turis Asia lainnya, dari Jepang dan Korea, juga hadir atas jasa baik travel yang mengantarkan mereka ke Saung Angklung Udjo ini. Umumnya para pelancong tidak tahan melihat berbagai kerajinan yang berjejer dan tertata rapi di galeri itu. Antara lain miniatur alat-alat musik berbagai warna seperti gitar, drum, gamelan dan goong (gong), bahkan kendang rampak dan kacapi, alat musik petik khas Sunda. Wayang golek berbagai ukuran juga banyak diminati. Yang terbanyak tentu saja angklung itu sendiri, baik angklung ukuran asli yang bisa dimainkan, maupun angklung akseseoris yang bisa dikalungkan di leher.

Karena saya datang bersama keluarga, kami memesan tiket seharga Rp 50.000 perkepala untuk pertunjukkan yang dimulai pukul 15.30 itu. Sebagaimana warga Jawa Barat, para petugas sangat someah alias sopan, mudah senyum, dan responsif jika diminta pertolongan. Saya berkeliling dulu di galeri yang tempatnya berdampingan dengan gedung pertunjukkan utama, bangunan dengan ruangan yang sangat terbuka berbentuk lingkaran.

Saya membeli seruling mini sebesar kelingking yang harganya Rp5.000. Memang harganya variatif, dari mulai Rp5.000, Rp 10.000, Rp 15.000 sampai termahal Rp 25.000. Entah mengapa saya memilih seruling yang paling mungil, yang dalam bahasa Sunda disebut suling ini. Bukan karena keberatan mengeluarkan uang lebih mahal dari suling yang saya beli, tetapi karena saya memang suka yang kecil-kecil.

Tidak seperti tangga nada diatonis yang memiliki 7 nada (do-re-mi-fa-so-la-ti), suling Sunda yang saya beli hanya memiliki 5 nada, yakni da-mi-na-ti-la. Saya mencoba meniupnya dan mencoba menyanyikan lagu Pat Lapat, sebuah lagu melankolis yang sangat terkenal di Tatar Sunda. Lagu itu menceritakan sebuah perahu layar yang terombang-ambing gelombang, yang layarnya putih dan semakin mengecil karena terdorong ke tengah oleh ombak, yang kemudian hilang dari pandangan mata.

Ternyata tangan saya masih terampil memainkannya. Alhasil suara suling itu ngagelik (suara melankolis) seakan-akan ditiup oleh maestro dadakan. Di rumah sesekali saya memang meniup recorder, sehingga tidak aneh dengan suling Sunda yang cenderung bersuara melankolis ini. Adakah dalam pertunjukan nanti lagu Pat Lapat ini dimainkan? Saya tidak tahu.

Tetapi sebelum pertunjukan dimulai pukul 15.30 hingga 17.30 menurut jadwal, saya berkesempatan jalan-jalan di seputar padepokan seni karena memang masih punya banyak waktu. Tentu saja saya melihat bagaimana cara pengrajin membuat angklung yang banyak diekspor ke luar negeri ini.

Di Saung Angklung Udjo ini, ada dua tempat pembuatan angklung yang dibiarkan terbuka. Maksudnya agar pengunjung juga dapat melihat proses pembuatannya. Ini juga sekaligus atraksi yang menawan, kerena membuat angklung tidak semata-mata menyusun bilah-bilah bambu yang direnteng dan menghasilkan suara dengan cara digerak-gerakkan itu. Membuat angklung selain harus memiliki keterampilan “tukang”, juga dituntut memiliki kepekaan seni tinggi karena ini terkait dengan ilmu bunyi. (bersambung)

1 comment:

Muhammad Jawani Badru Zaman said...

sy postingkan juga tulisan ini di FB sya ...tak lupa sya cantumkan link situs ke notesnnya...


Salam


http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest&note_id=127175259984#/note.php?note_id=127175259984&ref=mf