Tuesday, June 10, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (57)


Menulis dengan Hati (4)


ENTAH kenapa saya selalu tertarik dengan kuburan, tempat dimana tubuh-tubuh tanpa nyawa tertanam di dalamnya, tempat segala cerita seram bermuasal. Ternyata saya tidak sendirian. Teman kerja saya, fotografer Arbain Rambey, malah menjadikan makam atau kuburan sebagai obyek jepretan yang menarik. Setidak-tidaknya menarik bagi Arbain!

Bedanya, saya menggambarkan kuburan dengan kata-kata, Arbain menyajikannya lewat jepretan yang menawan. Kesannya memang sepi dan menakutkan, tetapi di sana terselip keindahan. Saya punya prinsip, jangan takut sama kuburan, toh cepat atau lambat kita semua akan menjadi penghuninya, bukan? Juga jangan takut mati, karena setiap orang bakal mengalaminya.

Saya sadar, menulis kuburan pasti menakutkan bagi sebagian orang. Statistik di Kompas.com dimana saya menulis perjalanan ke Pulau Galang ini menunjukkan, bagian empat tulisan ini paling sedikit dibaca dan dikomentari orang, paling tidak dibandingkan dengan lima tulisan saya lainnya. Bagaimanapun, kuburan adalah monumen yang menyimpan cerita, dan cerita itu bisa sahabat baca di bawah ini....

Apa yang Menarik di Batam (4)
Kuburan Bisu yang Bercerita Banyak
Oleh PEPIH NUGRAHA

SESUNGGUHNYA, sebelum tiba di lokasi monumen atau “saksi hidup” tiga perahu yang digunakan pengungsi Vietnam untuk sampai di Pulau Galang, saya melewati satu kompleks kuburan khas China. Ingatan saya kembali hinggap pada masa lebih 30 tahun lalu, saat saya baru masuk taman kanak-kanak di desa saya, Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Seorang warga China kaya di desa saya bernama Tek Tjay, meninggal dunia. Saya kebetulan diajak orangtua mengantarkannya ke pemakaman khusus di Kota Tasikmalaya. Seperti makam warga China di Tasikmalaya itulah ornamen makam Vietnam yang saya lihat di Pulau Galang. Maka saya minta John berhenti saat kembali melewati kuburan itu.

“Tidak takut melihat-lihat kuburan orang mati, Pak?” Tanya John.
Dimana ada kuburan orang hidup? pikir saya. “Saya kadang lebih takut sama orang hidup, John,” kelakar saya.

Entahlah, kenapa juga saya selalu tertarik dengan kuburan. Tentu saja bukan karena saya ingin buru-buru menjadi penghuninya, tetapi bagi saya kuburan merupakan satu tempat bisu membeku tetapi sebenarnya memiliki banyak cerita. Kalaupun tidak ada prasasti di ujung atas sebuah kuburan, pastilah tulang-belulang yang tertanam di dalamnya punya cerita tersendiri.

Saat saya memasuki sebuah goa tempat orang mati digeletakkan begitu saja di Tanatoraja tahun 2003 lalu, misalnya, saya melihat tulang belulang dan tengkorak yang kadang sudah agak menghitam. Lantas imaji saya coba merekonstruksi saat daging, kulit, dan nyawa masih menjadi bagian tulang-belulang itu, saat si mati masih hidup. Saya bayangkan, ia mungkin seorang raja kaya yang berkuasa, perempuan cantik penakluk para pria kaya, atau orang-orang yang berpengaruh lainnya yang di kala hidupnya sangat dihormati dan dipuja-puja.

Tetapi setelah menjadi tulang-belulang… tak lebih dari kumpulan benda yang tak berharga apa-apa, yang bisa kapan saja dimangsa srigala. Orang, dan bahkan sanak-saudara segera lupa siapa kita ketika kita sudah menjadi penghuni abadi kuburan. Bukan begitu, Bung, Non!?

Itu sebabnya mengapa saya punya ketertarikan tersendiri terhadap kuburan. Bahkan pada 13 Juni 1996, satu tulisan saya di Harian Kompas, bercerita mengenai Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang No 1 Jakarta. Dalam museum terbuka atau Open Air Museum satu-satunya di Indonesia itu, tertanam rangka para orang-orang penting Belanda, mulai dari gubernur jenderal pertama sampai rakyat Belanda biasa yang mati di Batavia. Kepala Museum saat itu, Ralin Manik, bahkan bertanya mengapa saya tertarik menulis kuburan. “Rasanya baru Anda wartawan yang meliput di museum ini,” katanya.

Kini saya berdiri di kuburan yang berbeda. Bukan di Tanah Abang tempat dimana orang-orang Belanda ditanam, tetapi saya berdiri di kuburan Vietnam di Pulau Galang. Pasti tanah beku ini juga punya cerita. Sepanjang 16 tahun, merujuk pada keberadaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang datang tahun 1979 hingga 1995, telah banyak pengungsi Vietnam yang meninggal di tempat ini karena berbagai sebab. Baik kematian alamiah atau karena depresi tak tertahankan akibat berbulan-bulan terkatung-katung di atas lautan sebagai manusia perahu, tercerai berai dari sanak-saudara dengan masa depan yang masih samara-samar.

Di depan pintu gerbang kuburan terdapat tulisan “Ngha Trang Grave” yang menunjukkan nama pemakaman itu. Di bawah gerbang, bersatu dengan nisan-nisan besar kuburan, terdapat satu inskripsi yang ditulis dalam lima bahasa, termasuk Bahasa Indonesia:

Dipersembahkan kepada para pengungsi yang meninggal dunia pada waktu perjalanan menju kebebasan” atau dalam bahasa Inggris, “Dedicated the people who died in the sea on the way to freedom”.

Perkiraan saya tidaklah terlalu meleset mengenai sebab-sebab kematian para pengungsi itu. Depresi di sini bisa berarti bunuh diri karena tak tahan menanggung beban mental. Saya kemudian membaca plakat berisi empat alinea pengumuman yang sedikit-banyak bercerita mengenai kuburan itu. Aliena pertama dan kedua plakat itu berbunyi begini:

“Di pemakaman ini terdapat 503 makam terdiri dari makam pengungsi Vietnam dan Kamboja dengan agama yang berbeda yaitu Kristen dan Budha”

“Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah.”

Saya tidak mengubah sedikitpun kata-kata yang tertulis dalam plakat itu. Saya biarkan apa adanya untuk memberi pemahaman utuh kepada pembaca. Sebanyak 503 makam, berarti sejumlah itulah warga pengungsi Vietnam di Pulau Galang yang meninggal dunia. Kalau jumlah itu hanyalah10 persen dari pengungsi yang mati selama 16 tahun, bisa jadi sedikitnya pengungsi yang datang ke Pulau Galang sebanyak 5.000-an. Dari penelusuran sejumlah dokumen mengenai keberadaan pengungsi di hutan karet seluas 80 hektar itu, sedikitnya terdapat 10.000 pengungsi Vietnam. Kalau jumlah ini benar, artinya 5 persen pengungsi Vietnam menemui ajal di Pulau Galang ini.

Saya kemudian membaca inskripsi-inskripsi yang tertulis di atas nisan. Ada nama Dominico Nguyen Cong Cinh (lahir 1933, meninggal 1989), juga ada Daminh Nguyen Anh. Sudah dua “Nguyen”. Apakah yang terakhir itu Nguyen yang diceritakan dalam novel itu? Saya tak tahu. Melihat tanggal lahirnya yang tahun 40-an, tentulah dia bukan Nguyen si perawan Vietnam dalam novel memikat itu.

Tentu saja masih ada 500-an inskripsi lainnya yang tidak mungkin saya catat satu persatu. Pada hampir semua batu nisan tertulis nama jelas si mati, berikut tanggal lahir dan hari kematiannya. Jika tidak ada tahun kelahirannya, paling tidak saat dia tiba di Pulau Galang sampai ia meninggal, tertulis sebagai “sejarah” yang banyak berbicara. Mengapa disebut “banyak berbicara”? Karena pada monumen beku itulah sebuah prahara kemanusiaan pernah terjadi dan kuburan adalah sebagai pangkal ingatan atau memori untuk sampai ke sejarah kelam kemanusiaan itu.

Tengok misalnya salah seorang mantan pengungsi bernama Hai Yen Hyunh dan anaknya Tien Kran yang sudah menjadi warga negara Australia, sengaja datang bereuni ke Pulau Galang pada 3 April 2005, setelah belasan tahun meninggalkan Pulau Galang. Ibu dan anak ini bukan sekadar reuni atau temu-kangen dengan sesama pengungsi lainnya, tetapi mengunjungi suami atau ayahnya di Pekuburan Ngha Trang ini.

Suami Hai meninggal enam bulan sebelum ia dan anaknya pergi ke Australia tahun 1987, ”Saya sangat sedih harus meningalkannya,” kata Hai, kini berusia 55 tahun, yang pengalaman pribadinya tertulis dalam situs ThingAsian.

Saya masih berada di pekuburan Vietnam ini dan membaca alinea ketiga dan keempat plakat itu:

“Ziarah kuburan ke makam ini oleh para keluarga dan sahabat yang pernah menjalani hidup bersama di pengungsian, sudah beberapa kali dilakukan.”

“Para peziarah adalah mantan pengungsi Galang yang memperoleh sponsor dari negara-negara seperti Australia, Kanada, Amerika Serikat serta negara lainnya yang kini hidup senang dan mapan di negara-negara tersebut.”

Memang Hai Yen Hyunh dan anaknya Tie Kran tidak sendirian. Ada sejumlah orang Vietnam lagi yang tidak harus menunggu sampai tahun 1995 sebagai batas akhir pemulangan pengungsi dari Pulau Galang. Ada beberapa pengungsi lainnya yang keluar sebelum tahun itu. Setelah Saigon jatuh tahun 1975, manusia perahu Vietnam dan Kamboja mencapai 147.000 orang yang berhasil selamat dan tinggal di sejumlah tempat penampungan pengungsi, termasuk Pulau Galang. Sebanyak 132.000 di antaranya diterima sebagai warga negara di negara ketiga. Ibu dan anak Hai-Tie termasuk 132.000 orang yang beruntung, meski di Australia ia menjalani hidup sebagai penjahit pakaian.

Saat pengungsi Vietnam yang tinggal di Pulau Galang harus segera dipulangkan, banyak di antara mereka memilih bunuh diri dengan cara gantung diri atau menenggelamkan diri ke laut dalam. Mereka lebih memilih mati daripada mati di tanah tumpah darahnya sendiri.

Kini para pengungsi Vietnam, termasuk yang pernah mukim di Pulau Galang, sebagian sudah menemukan kehidupannya di negeri ketiga, negara yang bersedia menerima mereka sebagai warga negara. Tidak ada satupun dari mereka yang bersedia kembali ke Vietnam karena mengira perang Vietnam masih berkobar. Sebagian lagi, tentu saja tertinggal di Pulau Galang, setidak-tidaknya 503 pengungsi Vietnam penghuni pekuburan Ngha Trang ini. (bersambung)

Komentar Pembaca:

cory @ Senin, 26 Mei 2008 09:41 WIB
jadi ingin ke batam........... ternyata banyak sekali sejrah di sana

veddys @ Minggu, 25 Mei 2008 16:55 WIB
ayo, lanjut cepat, kayaknya masih banyak yg belum di ceerita

ines @ Minggu, 25 Mei 2008 13:32 WIB
been theeree!! tempat pengungsian vietnam dulu.. sangat bersejarah.. sampai saya ke batam tahun lalu, saya ga pernah tahu kalau ternyata bangsa kita pernah berbaik hati menampung bangsa vietnam yang sekarang secara ekonomi semakin membaik.. :D ga kebayang mereka naik perahu mirip sampan utk sampai ke batam..

No comments: