Menulis dengan Hati (6)
TULISAN terakhir perjalanan saya ke Pulau Galang adalah mengenai vihara dan gereja. Saya tidak ingin berkomentar banyak mengenai dua obyek tulisan yang menjadi "monumen" keyakinan para pengungsi Vietnam atas hal-hal yang bersifat "Ilahiah", hal-hal yang diyakini "Mengatasi" kehidupan mereka. Sebagai orang beragama, saya bisa menyelami hasrat keberagamaan (religiositas) para pengungsi itu, bahkan di tengah-tengah derita dan ketidakpastian yang mendera mereka...
Apa yang Menarik di Batam (6)
Vihara dan Gereja, Bukan Sekadar Tempat Pelarian
Oleh PEPIH NUGRAHA
BENARKAH setiap orang memiliki potensi fatalis? Maksudnya, ketika seseorang “kepentok” nasib buruk yang tidak pernah berubah, kesengsaraan seakan-akan teman hidup abadi, dan merasa tidak menemukan seberkas sinar di ujung sebuah lorong, sebagian pelarian ujung-ujungnya kepada “yang di atas” juga. Fatalis adalah sikap yang lebih dari sekadar pasrah, tetapi mungkin sikap menyerah. Kadang saya bisa memaklumi sikap ini.
Tetapi tidak di Pulau Galang.
Di Pulau ini, saya menemukan sejumlah tempat ibadah yang diperuntukkan bagi pengungsi Vietnam dan sebagian kecil pengungsi Kamboja. Mereka tentu saja bukan kaum fatalis kalau dilihat lebih banyak yang survive daripada tewas. Mereka juga tidak gampang pasrah dan menyerah, meski masa depan mereka awalnya gelap-gulita. Buktinya mereka biasa bertahan berbulan-bulan di atas perahu kecil saat menjadi “manusia perahu”. Tidak sedikit eks pengungsi Pulau Galang kini memperoleh kehidupan layak di berbagai negara.
Maka, saya tidak melihat adanya vihara dan gereja ini sebagai simbol kepasrahan, kekalahan, dan lebih-lebih sikap fatalis. Vihara Quan Am Tu yang kokoh, Pagoda Cua Ky Vien yang megah, gereja Protestan dan Katolik yang unik, menunjukkan sisi lain dari sikap keberagamaan (religiositas) mereka. Di Pulau Galang, saya coba mengamati dua tempat ibadah itu, yakni Vihara Quan Am Tu dan Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem atau dalam bahasa Inggris Immaculate Conception Mary Church, dari dekat.
Vihara Quan Am Tu terlalu mencolok untuk dilewatkan karena bangunannuya yang full colour alias warna-warni, sudah nampak dari jalan tanpa harus berbelok. Saya tentu saja meminta John, sopir sekaligus pemandu saya, untuk membelokkan kendaraan karena saya akan singgah di vihara ini. Saat memasuki halaman vihara, bau hio yang dibakar menyergap hidung, sampai-sampai istri saya berkomentar, “China banget.”
Di dalam vihara, beberapa orang tengah bersembahyang, sementara seorang bhiksu Buddha tengah melayani konsultasi keagamaan dari sejumlah pengunjung. Sementara traveler seperti saya, sibuk mencatat dan mengambil foto-foto, tetapi tetap menghormati mereka yang tengah bersembahyang dengan memandang mereka tanpa bicara.
Yang mencolok dari bangunan itu tentu saja tiga patung berukuran besar warna-warni yang di depannya dijagai naga raksasa. Salah satu patung berukuran raksasa itu adalah Dewi Guang Shi Pu Sha. Biasanya para pelancong menyempatkan diri berfoto-foto di depannya, termasuk saya tentunya. Ada dua plakat yang diletakkan di kaki Sang Dewi, ditulis dengan huruf merah. Salah satunya berbunyi:
“Dewi Guang Shi Pu Sha bisa memberikan kita hoki, jodoh, dan keharmonisan dalam rumah tangga dengan cara: berdoa, semoga Dewi Guang Shi Pu Sha mengabulkan apa yang kita inginkan setelah selesai berdoa, melemparkan koin ke arah Guang Shi Pu Sha”.
Orang lain ikut melemparkan koin, tetapi saya tidak. Bukan karena saya pelit atau takut durhaka karena “menyalahi” keyakinan yang saya anut. Saya berbisik kepada John sambil melirik istri mengenai alasan mengapa saya tidak melempar koin, “Takut dapat jodoh lagi!” John ngakak.
Di samping plakat pertama, ada plakat kedua yang rupanya ditujukan kepada anak-anak. Tetapi di akhir pengumuman itu tetap sama, yakni diminta melempar koin ke arah Sang Dewi.
“Bagi anak-anak yang ingin pintar sekolah, cita-cita cepat tercapai berdoalah kepada Dewi Guang Shi Pu Sha supaya membantu kita mencapai apa yang diinginkan (yang halal)”.
Vihara Quan Am Tu diresmikan pada 10 Desember 1979, yang berarti sudah hampir 30 tahun ia berdiri di Pulau Galang. Saat saya berkunjung, beberapa tukang sedang merenovasi gerbang vihara itu. Dari keadaannya yang bersih, tampaklah kalau tempat ibadat itu terawat dengan apik. Memori tentang pendirian vihara yang tergambar dari rangkaian foto-foto berwarna yang sudah pudar, tetap dapat terpelihara.
Agak di bawah vihara, tepatnya di halaman parkir, terdapat tiga ruangan bersekat tanpa pintu yang penuh dengan ornamen lukisan. Meski tidak berpintu, orang tidak boleh masuk karena dipasangi rantai. Ruangan terbuka tanpa pintu yang terkesan seperti los di pasar itu digunakan untuk ritual pada hari-hari tertentu. John bertanya apakah saya sudah cukup melihat-lihat vihara itu, saya menjawab, “Okay, sekarang kita melihat gereja!”
Kami meninggalkan vihara itu saat orang-orang masih berdatangan untuk sembahyang dan berfoto-foto di depan patung Dewi Guang Shi Pu Sha, serta melempar koin setelah membaca dua plakat tadi. Saya sempat berpikir, pasti mereka yang ingin cepat mendapat jodoh. Tidak sampai sepuluh menit, saya sudah berada di depan sebuah bangunan, sebuah gereja.
Yang terlihat dari jauh mengenai kekhasan sebuah gereja tentu saja tanda salib di pucuk teratas atapnya. Tetapi yang mencolok dari Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem ini adalah patung putih Maria di bagian muka bangunan di bawah tanda salib. Maria yang sedang merentangkan tangan agak ke bawah, berdiri di atas bola dunia dengan jubah putihnya yang merentang seperti sayap. Kami harus melewati titian kecil melengkung terbuat dari besi yang kokoh untuk sampai di sana. Dasar titian terbuat dari kayu yang kuat sehingga saya tidak ragu untuk berpijak dan melintasinya.
Di dalam gereja, anak-anak tampak sedang berlatih bernyanyi, diiringi gitar yang dimainkan lelaki dewasa. Saya terus memutar mata dan tertarik pada sosok patung di sayap kanan gereja itu, agak jauh dan menepi. Itu sebuah patung Maria berjubah paduan biru dan putih, tetapi dengan pose menelungkupkan dan mempertemukan kedua telapak tangan di dadanya, berdiri di atas bola dunia. Bola dunia itu berada di atas patung perahu bernomor lambung VN.02.1985. Sedangkan di atas kepala patung itu terdapat lingkaran putih terbuat dari lampu neon, yang kalau malam hari lampu neon berbentuk lingkaran itu menyala, sebagai penanda “malaikat” atau orang suci lainnya.
John bercerita, sebelum patung ini dibangun, dua orang kakak-beradik melakukan bunuh diri beberapa hari setelah mereka mendarat di Pulau Galang. “Agak angker,” kata John. Tetapi saya cuwek saja, ambil foto sana-sini.
Seorang pria bersandal kulit mengenakan kemeja biru bercelana senada dengan kemejanya, terekam kamera saya saat ia melintas di depan patung Maria di atas perahu dan bola dunia itu. Di kiri-kanan patung Maria terdapat dua singa putih yang sedang “ngaso”, seakan-akan mengapit pria yang sedang melintas itu. Di atas kedua punggung singa terdapat inskripsi besar yang ditulis dalam bahasa Vietnam dan Inggris.
Salah satu inskripsi yang berjudul “Ta On Duc Me” itu berbunyi begini:
“O Mary, we are all deeply grateful for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be highly appreciated in our heart forever”.
Itu bukan salah satu doa para santo atau orang suci lainnya, melainkan salah satu harapan dan doa para pengungsi Vietnam penganut Katolik yang masih melihat secercah harapan di ujung lorong yang gelap. Sebuah harapan yang tidak saja menunjukkan bahwa mereka tidak fatalis, tetapi lebih menunjukkan sikap keberagamaan mereka, sikap religiositas mereka, meski penderitaan tengah menekan mereka tanpa ampun di Pulau Galang ini.
Saya harus mengakhir catatan saya di sini. Saya harus secepatnya meninggalkan Pulau Galang sebab matahari sudah nampak berat ke Barat, sebentar lagi tergelincir. Pesawat Garuda penerbangan pukul 18.30 WIB tujuan Jakarta sudah menunggu. Saya dan istri termasuk dua penumpang si burung besi itu.
“John, kita pulang,” kata saya. Mobilpun beranjak.
Selamat tinggal, Galang, selamat tinggal Nguyen…. (Selesai)
BENARKAH setiap orang memiliki potensi fatalis? Maksudnya, ketika seseorang “kepentok” nasib buruk yang tidak pernah berubah, kesengsaraan seakan-akan teman hidup abadi, dan merasa tidak menemukan seberkas sinar di ujung sebuah lorong, sebagian pelarian ujung-ujungnya kepada “yang di atas” juga. Fatalis adalah sikap yang lebih dari sekadar pasrah, tetapi mungkin sikap menyerah. Kadang saya bisa memaklumi sikap ini.
Tetapi tidak di Pulau Galang.
Di Pulau ini, saya menemukan sejumlah tempat ibadah yang diperuntukkan bagi pengungsi Vietnam dan sebagian kecil pengungsi Kamboja. Mereka tentu saja bukan kaum fatalis kalau dilihat lebih banyak yang survive daripada tewas. Mereka juga tidak gampang pasrah dan menyerah, meski masa depan mereka awalnya gelap-gulita. Buktinya mereka biasa bertahan berbulan-bulan di atas perahu kecil saat menjadi “manusia perahu”. Tidak sedikit eks pengungsi Pulau Galang kini memperoleh kehidupan layak di berbagai negara.
Maka, saya tidak melihat adanya vihara dan gereja ini sebagai simbol kepasrahan, kekalahan, dan lebih-lebih sikap fatalis. Vihara Quan Am Tu yang kokoh, Pagoda Cua Ky Vien yang megah, gereja Protestan dan Katolik yang unik, menunjukkan sisi lain dari sikap keberagamaan (religiositas) mereka. Di Pulau Galang, saya coba mengamati dua tempat ibadah itu, yakni Vihara Quan Am Tu dan Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem atau dalam bahasa Inggris Immaculate Conception Mary Church, dari dekat.
Vihara Quan Am Tu terlalu mencolok untuk dilewatkan karena bangunannuya yang full colour alias warna-warni, sudah nampak dari jalan tanpa harus berbelok. Saya tentu saja meminta John, sopir sekaligus pemandu saya, untuk membelokkan kendaraan karena saya akan singgah di vihara ini. Saat memasuki halaman vihara, bau hio yang dibakar menyergap hidung, sampai-sampai istri saya berkomentar, “China banget.”
Di dalam vihara, beberapa orang tengah bersembahyang, sementara seorang bhiksu Buddha tengah melayani konsultasi keagamaan dari sejumlah pengunjung. Sementara traveler seperti saya, sibuk mencatat dan mengambil foto-foto, tetapi tetap menghormati mereka yang tengah bersembahyang dengan memandang mereka tanpa bicara.
Yang mencolok dari bangunan itu tentu saja tiga patung berukuran besar warna-warni yang di depannya dijagai naga raksasa. Salah satu patung berukuran raksasa itu adalah Dewi Guang Shi Pu Sha. Biasanya para pelancong menyempatkan diri berfoto-foto di depannya, termasuk saya tentunya. Ada dua plakat yang diletakkan di kaki Sang Dewi, ditulis dengan huruf merah. Salah satunya berbunyi:
“Dewi Guang Shi Pu Sha bisa memberikan kita hoki, jodoh, dan keharmonisan dalam rumah tangga dengan cara: berdoa, semoga Dewi Guang Shi Pu Sha mengabulkan apa yang kita inginkan setelah selesai berdoa, melemparkan koin ke arah Guang Shi Pu Sha”.
Orang lain ikut melemparkan koin, tetapi saya tidak. Bukan karena saya pelit atau takut durhaka karena “menyalahi” keyakinan yang saya anut. Saya berbisik kepada John sambil melirik istri mengenai alasan mengapa saya tidak melempar koin, “Takut dapat jodoh lagi!” John ngakak.
Di samping plakat pertama, ada plakat kedua yang rupanya ditujukan kepada anak-anak. Tetapi di akhir pengumuman itu tetap sama, yakni diminta melempar koin ke arah Sang Dewi.
“Bagi anak-anak yang ingin pintar sekolah, cita-cita cepat tercapai berdoalah kepada Dewi Guang Shi Pu Sha supaya membantu kita mencapai apa yang diinginkan (yang halal)”.
Vihara Quan Am Tu diresmikan pada 10 Desember 1979, yang berarti sudah hampir 30 tahun ia berdiri di Pulau Galang. Saat saya berkunjung, beberapa tukang sedang merenovasi gerbang vihara itu. Dari keadaannya yang bersih, tampaklah kalau tempat ibadat itu terawat dengan apik. Memori tentang pendirian vihara yang tergambar dari rangkaian foto-foto berwarna yang sudah pudar, tetap dapat terpelihara.
Agak di bawah vihara, tepatnya di halaman parkir, terdapat tiga ruangan bersekat tanpa pintu yang penuh dengan ornamen lukisan. Meski tidak berpintu, orang tidak boleh masuk karena dipasangi rantai. Ruangan terbuka tanpa pintu yang terkesan seperti los di pasar itu digunakan untuk ritual pada hari-hari tertentu. John bertanya apakah saya sudah cukup melihat-lihat vihara itu, saya menjawab, “Okay, sekarang kita melihat gereja!”
Kami meninggalkan vihara itu saat orang-orang masih berdatangan untuk sembahyang dan berfoto-foto di depan patung Dewi Guang Shi Pu Sha, serta melempar koin setelah membaca dua plakat tadi. Saya sempat berpikir, pasti mereka yang ingin cepat mendapat jodoh. Tidak sampai sepuluh menit, saya sudah berada di depan sebuah bangunan, sebuah gereja.
Yang terlihat dari jauh mengenai kekhasan sebuah gereja tentu saja tanda salib di pucuk teratas atapnya. Tetapi yang mencolok dari Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem ini adalah patung putih Maria di bagian muka bangunan di bawah tanda salib. Maria yang sedang merentangkan tangan agak ke bawah, berdiri di atas bola dunia dengan jubah putihnya yang merentang seperti sayap. Kami harus melewati titian kecil melengkung terbuat dari besi yang kokoh untuk sampai di sana. Dasar titian terbuat dari kayu yang kuat sehingga saya tidak ragu untuk berpijak dan melintasinya.
Di dalam gereja, anak-anak tampak sedang berlatih bernyanyi, diiringi gitar yang dimainkan lelaki dewasa. Saya terus memutar mata dan tertarik pada sosok patung di sayap kanan gereja itu, agak jauh dan menepi. Itu sebuah patung Maria berjubah paduan biru dan putih, tetapi dengan pose menelungkupkan dan mempertemukan kedua telapak tangan di dadanya, berdiri di atas bola dunia. Bola dunia itu berada di atas patung perahu bernomor lambung VN.02.1985. Sedangkan di atas kepala patung itu terdapat lingkaran putih terbuat dari lampu neon, yang kalau malam hari lampu neon berbentuk lingkaran itu menyala, sebagai penanda “malaikat” atau orang suci lainnya.
John bercerita, sebelum patung ini dibangun, dua orang kakak-beradik melakukan bunuh diri beberapa hari setelah mereka mendarat di Pulau Galang. “Agak angker,” kata John. Tetapi saya cuwek saja, ambil foto sana-sini.
Seorang pria bersandal kulit mengenakan kemeja biru bercelana senada dengan kemejanya, terekam kamera saya saat ia melintas di depan patung Maria di atas perahu dan bola dunia itu. Di kiri-kanan patung Maria terdapat dua singa putih yang sedang “ngaso”, seakan-akan mengapit pria yang sedang melintas itu. Di atas kedua punggung singa terdapat inskripsi besar yang ditulis dalam bahasa Vietnam dan Inggris.
Salah satu inskripsi yang berjudul “Ta On Duc Me” itu berbunyi begini:
“O Mary, we are all deeply grateful for your protecting presence on our way to freedom. We always entrust our lives to you. Your care for us will be highly appreciated in our heart forever”.
Itu bukan salah satu doa para santo atau orang suci lainnya, melainkan salah satu harapan dan doa para pengungsi Vietnam penganut Katolik yang masih melihat secercah harapan di ujung lorong yang gelap. Sebuah harapan yang tidak saja menunjukkan bahwa mereka tidak fatalis, tetapi lebih menunjukkan sikap keberagamaan mereka, sikap religiositas mereka, meski penderitaan tengah menekan mereka tanpa ampun di Pulau Galang ini.
Saya harus mengakhir catatan saya di sini. Saya harus secepatnya meninggalkan Pulau Galang sebab matahari sudah nampak berat ke Barat, sebentar lagi tergelincir. Pesawat Garuda penerbangan pukul 18.30 WIB tujuan Jakarta sudah menunggu. Saya dan istri termasuk dua penumpang si burung besi itu.
“John, kita pulang,” kata saya. Mobilpun beranjak.
Selamat tinggal, Galang, selamat tinggal Nguyen…. (Selesai)
Komentar Pembaca:
miyu @ Selasa, 27 Mei 2008 10:39 WIB
yaahh.. sayang banget.. sampe 6 seri tapi kok isinya cuma barelang aja.. padahal banyak objek lain yang bisa dikunjungi di Batam. Ada wisata pantai di Nongsa, wisata blanja di Nagoya dsk, wisata kuliner sop ikan, asam pedas atau makan seafood maknyus di kelong2 pinggir laut..
Nella @ Selasa, 27 Mei 2008 09:52 WIB
Nella @ Selasa, 27 Mei 2008 09:52 WIB
Saya jd teringat lagi ke Batam, dulu kami dari gereja sering kesana ziarah. Ada juga tempat buat jalan Salib di deket camp Vietnam itu tp agak masuk kedalam hutannya sih. Enak disana teduh buat berdoa enak krn sepi hanya kedengaran suara burung n monyet2.
ivan @ Kamis, 29 Mei 2008 08:29 WIB
bagus ceritanya..... emang bangsa ini terlalu sering melupakan dan kurang menghargai sejarah. indonesia merasa memiliki kalau ada bangsa lain yang mengakuinya......
dhe nani @ Selasa, 27 Mei 2008 14:24 WIB
dhe nani @ Selasa, 27 Mei 2008 14:24 WIB
mengesankan mengikuti kisahnya, Nguyen memang inspiratif. saya sependapat jika travelling tak harus selalu happy, tapi dibutuhkan juga travelling yang membuka mata hati
Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:37 WIB
Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:37 WIB
Nguyen, perempuan inspiratif tentang ketangguhan seorang wanita. Penulis saja "jatuh cinta " padanya. Saya sangat sependapat dengan penulis jika travelling tidak melulu harus happy. Happy-nya itu sendiri terkesan hedonis. Tapi juga perlu travelling yang membuka mata hati bahkan bisa untuk kontemplasi. Tulisan ini tidak hanya membuka wawasan tapi juga pembaca diajak berpetualang menuju imaji untuk bisa merekonstruksi kejadian masa lalu. Ditunggu tulisan yang lainnya, bertema, edukatif, inspiratif
Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:36 WIB
Dhenani @ Selasa, 27 Mei 2008 13:36 WIB
Nguyen, perempuan inspiratif tentang ketangguhan seorang wanita. Penulis saja "jatuh cinta " padanya. Saya sangat sependapat dengan penulis jika travelling tidak melulu harus happy. Happy-nya itu sendiri terkesan hedonis. Tapi juga perlu travelling yang membuka mata hati bahkan bisa untuk kontemplasi. Tulisan ini tidak hanya membuka wawasan tapi juga pembaca diajak berpetualang menuju imaji untuk bisa merekonstruksi kejadian masa lalu. Ditunggu tulisan yang lainnya, bertema, edukatif, inspiratif
didi @ Selasa, 27 Mei 2008 11:17 WIB
didi @ Selasa, 27 Mei 2008 11:17 WIB
Terima kasih atas liputannya. Saya pernah tinggal kurang lebih 5 tahun di Batam. Dan ini sudah mengobati rasa rindu saya akan pulau "kalajengking". Tapi masih ada yang harus ditelusuri lagi yakni keberadaan suku asli di pulau Batam dan suka duka kehidupan dormitori muka kuning. Semoga...
No comments:
Post a Comment