Menulis Perjalanan(2)
Simfoni Mozart dari Buluh Bambu (2)
Oleh PEPIH NUGRAHA
Di Saung Angklung Udjo saya berkesempatan menemui beberapa perajin angklung yang sedang bekerja di “bengkel”-nya. Dua bengkel pembuatan angklung itu memang sengaja dibuat seterbuka mungkin, dimaksudkan sebagai “etalase hidup” bagi para pengunjung. Di sini, selain bisa melihat proses pembuatan angklung dari A sampai Z, juga bisa berbincang langsung dengan para perajin.
Para perajin umumnya senang melayani pertanyaan meski pertanyaannya itu-itu saja, pertanyaan mendasar. Tetapi yang penting, perajinnya sendiri antusias menjawab, tidak ogah-ogahan. Salah seorang perajin, Rakhmat, yang katanya sudah 31 tahun menekuni kerajinan angklung menjelaskan, bambu yang paling bagus sebagai bahan baku angklung adalah jenis “awi hideung”.
Awi dalam bahasa Sunda berarti “bambu”, dan hideung berarti “hitam”. Awi hideung yang paling bagus untuk dibuat angklung adalah yang sudah berumur empat tahun yang ditebang saat musim kemarau,” kata Rakhmat sambil sesekali menala nada angklung diatonis itu dengan alat pengukur getaran (hertz).
Di Tatar Sunda, dikenal berbagai jenis bambu atau “awi”. Selain awi hideung ada juga awi gombong, awi haur koneng, dan awi tali. Untuk membuat angklung, awi hideung dipotong dua jengkel lengan orang dewasa dari tanah. Setelah dipotong, bambu ditaruh dengan cara diberdirikan, sehingga lama-kelamaan daunnya berguguran. Daun bambu yang berbentuk lonjong itu otomotis berguguran sementara badan bambu terus mengering.
Setelah mengering, bambu kemudian di-“unun” atau diasapi dengan api yang tidak menyentuh langsung badan bambu. Ini dimaksudkan agar bambu benar-benar kering sehingga menghasilkan bunyi yang nyaring. Setelah benar-benar kering, bambu dipotong-potong sesuai nada yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran bambu, semakin tinggi nada yang dihasilkan. Semakin besar, semakin rendah pula nada yang dihasilkan.
Uniknya, dalam satu angklung, terdapat dua sampai tiga nada sekaligus, sehingga kalau dibunyikan akan menjadi accord yang harmonis. Bayangkan kalau puluhan angklung dibunyikan secara bersamaan, benar-benar menghasilkan accord yang harmonis dan elegan dalam sebuah orkestra.
Itu sekilas mengenai pembuatan angklung, tidak terlalu teknis karena di sini saya tidak sedang mengajarkan cara-cara membuat angklung. Sebelum tiba pukul 15.30, kami semua sudah duduk di Bale Karesmen, yakni gedung utama pertunjukan yang disebut “Kaulinan Urang Lembur” (tempat main orang desa). Di Bale Karesmen sudah banyak pengunjung yang berjejer rapi, termasuk 50 pelancong Malaysia dan sejumlah turis bule. Mereka semua sama seperti saya, sama-sama ingin segera melihat pertunjukan angklung yang dimainkan anak-anak sekitar Saung Angklung Udjo.
Saung Angklung Udjo sudah berdiri sejak 1967, lebih dari 40 tahun. Didirikan oleh seniman Sunda bernama Mang Udjo dan istrinya, Uum Sumiati. Mang Udjo belajar angklung dari “mahaguru” angklung, yakni Daeng Soetigna. Padaeng inilah, demikian tokoh angklung Sunda ini dipanggil, yang memperkenalkan angklung dengan nada diatonis yang berpotensi diterima sebagai instrumen musik internasional.
Acara dituntun oleh dua master of ceremony menggunakan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Satu gadis remaja, satu lagi terbilang masih anak-anak. Namun keduanya mampu berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Inggris yang tidak sekadar hapalan, tetapi memang bisa dipraktikkan.
Acara dibuka dengan pertunjukkan wayang golek. Bagi saya, wayang golek tidaklah terlalu asing. Saat ada program “wayang masuk kampus” pertengahan tahun 1980-an dulu, saya kerap menonton Asep Sunandar Sunarya dari padepokan Giri Harja memamerkan keahliannya memainkan wayang golek. Di tangan Asep, benda mati itu seakan-akan menjadi hidup. Tokoh-tokoh pewayangan seperti Gatotkaca, Dorna, dan Punakawan menjadi sedemikian hidup saat menari, berkelahi, sampai ketika wayang itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Asep benar-benar memodifikasi wayang golek menjadi sebuah tontotan yang menawan.
Akan tetapi, di Bale Karesmen ini, pertunjukan wayang yang biasanya memakan waktu 6-7 jam, disingkat menjadi seperempat jam saja. Tujuannya memang tidak hanya mengenalkan wayang dari segi permainan dan jalan ceritanya, tetapi juga bagaimana ki dalang memainkan wayang itu secara solo, meski tetap diiringi nayaga (gamelan) dan juru alok yang lengkap. Juru alok adalah orang yang memberi komentar setiap kali ki dalang berceloteh atau bertanya tentang sesuatu.
Kadang ucapan juru alok ini sangat mengena sehingga mengundang tawa. Misalnya saat ki dalang memainkan tokoh Si Cepot, Cepot mencari teman-temannya dan bertanya, “Pada kamarana (kemana) yah teman-teman sayah?” Juru alok langsung menjawab, “Pada ngantri minyak tanah dan beras murah kali.”
Pertunjukkan itu sendiri melibatkan sedikitnya 100 orang yang umumnya anak-anak. Mulai dari pertunjukkan khitanan massal, tari topeng, sampai orkestra klasik dengan memainkan Symphony 40 dari Wolfgang Amadeus Mozart. Saat mereka memainkan simfoni yang akrab dalam nada ring back tone itu, saya tidak percaya bahwa itu dihasilkan oleh bunyi-bunyian dari bambu, angklung. Bahan baku yang bisa dipakai untuk tangga tradisional, bilik rumah, mainan bedil lodong yang menghasilkan bunyi menggelegar, sampai dimakan saat masih berbentuk rebung, ternyata menghasilkan nada yang tidak kalah elegan dengan piano.
Bagaimana mungkin simfoni yang biasa terdengar dari sebuah orkestra rumit bisa mengalir dengan lancar namun indah dari buluh-buluh bambu. Terus terang, sambutan paling meriah dari penonton terjadi saat simfoni Mozart ini mengalun merdu.
Lebih penting lagi, pertunjukkan itu benar-benar tidak asal “narsis”, yakni menonjolkan kehebatan si seniman sendiri di atas panggung, tetapi benar-benar melibatkan penonton lainnya. Penonton diajak serta bermain angklung bersama dengan lagu-lagu yang sudah akrab di telinga seperti “Burung Kakaktua” dan “The Song of De Re Mi” yang populer lewat film “The Sound of Music” itu. Semua lagu dimainkan oleh orkestra lengkap, melibatkan arumba (alunan rumpun bambu), saron, gong, sampai drum. Tentu saja tidak lupa angklung, yang menjadi “ikon” padepokan seni itu.
Saat bermain angkung bersama, seluruh penonton diberi pinjam angklung, mulai yang menghasilkan nada do sampai ti. Jadilah ratusan penonton itu terbagi dalam sedikitnya tujuh kelompok. Dua instruktur membimbing penonton dengan cepat nada-nada yang harus dibunyikan hanya dengan melihat gerakan tangan kanan tertentu sebagai kode. Setiap nada diwakili oleh gerakan tangan yang berbeda. Memang diperlukan konsentrensi tinggi.
Namun kenyataannya, dalam beberapa menit saja sebuah lagu “Falling in Love” yang dipopulerkan Julio Iglesias, terdengar mengalun merdu, sebuah orkestra yang dihasilkan para penonton yang mungkin baru pertama kali memegang angklung! Tidak terasa, tiga lagu yang kami mainkan terasa masih kurang. Kami masih ingin bermain angklung dengan lagu lainnya. Ternyata bermain angklung itu sedemikian mudah.
Pada akhir acara, penonton diajak menari bersama. Ratusan pemain angklung dengan sigap menggandeng satu persatu penonton. Tidak ada yang menolak, mereka mau saja diajak bergoyang dan turun dari tempat duduk. Penonton dan pemain musik menyatu, melebur dalam suasana gembira. Barangkali sejenak bisa melupakan keruwetan hidup sehari-hari dengan bermain angklung dan menari bersama.
Tidak terasa waktu dua jam sudah berlalu. Pertunjukkan pun usai. Saya tentu saja harus kembali pulang. Saya masih sempat mendengar celotehan para pelancong Malaysia yang rupanya amat puas, sekaligus terperangah, dengan sajian para seniman muda Saung Angklung Udjo. Seorang pelancong bergumam dalam bahasa Melayu, “Ya, ya… memang hebat angklung dari Jawa Barat ini.” (Selesai)
No comments:
Post a Comment