Wednesday, June 04, 2008

Berbagi Pengalaman Menulis (54)


Menulis dengan Hati (1)

SALAH satu kekuatan menulis catatan harian atau catatan perjalanan adalah pelibatan si penulis dalam cerita yang ditulisnya. Si penulis seakan-akan menjadi pencerita yang baik, yang menangkap semua fenomena di sekelilingnya dengan keingintahuan yang besar dan meluap-luap. Ia tidak menggurui pembacanya, tetapi juga tidak merasa pembaca sudah mengetahui segala-galanya, sehingga si penulis tidak bercerita apa-apa. Ia bercerita seperti apa yang dilihat dan dirasakannya, laksana sang pengembara menorehkan pengalamannya pada sekeping daun lontar.

Saya menemukan gaya penulisan seperti ini saat menulis catatan perjalanan ke Batam, saat saya mengunjungi Pulau Galang. Saya tidak lelah menceritakan apa yang saya lihat dan rasakan di sana, saya catat semuanya dengan detail, sehingga enam seri tulisan rasanya belum cukup. Enam seri tulisan? Mungkin demikian Anda bertanya. Bisa dimuat dimana tulisan sepanjang itu? Tentu saja tidak dimuat di Harian Kompas, tetapi saya menulisnya di Kompas.com. Tanggapan cukup positif, seperti yang terekam dalam komentar-komentar pembaca, yang tidak mungkin saya dapatkan jika menulis di Kompas cetak.

Dalam tulisan itu, saya melibatkan diri saya dalam catatan perjalanan itu, sehingga saya bisa bercerita leluasa, bebas berekspresi, tanpa terkendala ruang (space) dan waktu (time). Saya melukiskan apa adanya disertai pengetahuan saya mengenai Pengungsi Vietnam yang memang sudah tertanam di kepala. Hasilnya adalah sebuah enam seri tulisan perjalanan yang bisa sahabat baca mulai hari ini, lengkap dengan komentar pembaca. Silakan...

Apa yang Menarik di Batam (1)
Berkunjung Ke Pulau "Nguyen"
Oleh PEPIH NUGRAHA

“Dimana tempat wisata terkenal di Batam ini?” Itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan pada resepsionis di Hotel Nagoya Plaza. Saya berharap mendapat jawaban yang memuaskan karena saya hanya punya satu hari saja di Batam. Tetapi si resepsionis malah bertanya, “Aduh, dimana ya?”

Kalau Anda ke Batam, mungkin akan kesulitan mencari brosur tempat wisata mana yang baik buat city tour. Untunglah saat berkunjung ke Patria Tour yang masih bersebelahan dan bahkan satu atap dengan Hotel Nagoya Plaza, dua gadis belia yang saya temui dengan responsif menjelaskan kemungkinan saya berkunjung ke Barelang. Itu bukan saudara kembar “belerang”, tetapi singkatan dari Batam-Rempang-Galang. Dulu tiga pulau yang berdekatan ini bagian dari Provinsi Riau, tetapi setelah pemekaran kini masuk ke Provinsi Kepulauan Riau.

“Pulau Galang?” Tanya saya.
“Benar. Pulau Galang. Di sana Bapak bisa menemukan barak bekas pengungsi Vietnam, dimana sebelumnya Bapak akan melewati enam Jembatan Balerang,” jawabnya langsung ke sasaran.

Ah, Pulau Galang. Pengungsi Vietnam.

Sejenak ingatan melayang ke masa lalu, 23 tahun lalu. Saat duduk di bangku perguruan tinggi, saya pernah membaca sebuah novel bersampul merah dengan judul, kalau tidak keliru, “Mendung Di Atas Vietnam” Saya lupa siapa penulisnya. Judulnya pun mungkin tidak tepat begitu. Tetapi isi ceritanya yang masih saya ingat benar sampai sekarang!

Novel lawas itu bercerita tentang pengorbanan cinta gadis belia pengungsi Vietnam bernama Nguyen yang terdampar di Pulau Galang, sebuah pulau berjarak kurang lebih 80 kilometer dari Pulau Batam. Nguyen telah kehilangan semua saudara-sadara dekatnya karena dibantai rezim komunis saat itu. Ia diselamatkan tetangganya dan dinaikkan ke kapal kecil, lebih tepat disebut tongkang kayu, untuk berlayar tanpa tujuan asalkan bisa keluar dari neraka Vietnam.

Nguyen. Kalau saja saat itu si pengarang tahu wajah aktris Malaysia Michelle Yeoh, mungkin ia akan sepikiran dengan Andrea Hirata dalam menggambarkan Nguyen sebagai si cantik Yeoh. Tapi saat novel itu disusun, Yeoh mungkin masih mengenakan celana monyet atau kemana-mana tanpa “bra” karena memang masih kanak-kanak.

“Benarkah reruntuhan barak dan bekas-bekas pengungsi Vietnam masih tersisa di Pulau Galang?” tanya saya lagi.
“Saya tidak bisa cerita banyak kecuali Bapak mengunjunginya,” katanya.

Ah Nguyen!

Saya coba mengingat lagi Nguyen di novel yang saya baca dan saya beli dari Pasar Palasari Bandung itu. Seorang gadis yang dengan sukarela menyerahkan kegadisannya kepada pria pribumi, yakni si tokoh aku, seorang perjaka “toloheor” (kata orang Sunda) alias play boy berat. “Aku yakin semua gadis Vietnam sudah tidak perawan bahkan sebelum sampai ke Pulau Galang. Apalagi setelah sampai di Pulau Galang, gadis pengungsi Vietnam biasa menyerahkan tubuhnya kepada penguasa untuk menjaga kelangsungan hidupnya,” demikian kira-kira si tokoh aku berprasangka.

Si tokoh aku hanya main-main saja mencintai Nguyen, sebaliknya Nguyen mencintai si aku, pria Indonesia itu, dengan tulus. Si pria Indonesia sudah terlalu sering gonta-ganti perempuan, dan masih menganggap Nguyen “korban berikutnya”. Waktu pun tiba, dalam kesenyapan malam dan temaram bulan yang menyelinap hutan Pulau Galang, si pria Indonesia bergumam setelah melampiaskan hasratnya. “Nguyen, rupanya kau masih perawan!” Dan Nguyen hanya bisa terisak…

Nah, itulah novel. Tetapi beberapa saat lagi, saya akan segera menemui jejak-jejak maya Nguyen, sebuah sosok entah ada entah tiada, hanya penulis novel itu sendiri yang tahu. Apa pedulinya. Yang jelas, saya akan segera berkunjung ke Pulau Galang yang pada tahun 1979 dijadikan tempat berlabuh ribuan pengungsi Vietnam akibat prahara politik di sana. Di benak saya, Nguyen “masih hidup” dan ada di pulau itu.

Saya sepakat begitu saja untuk menyewa sebuah mobil travel seharga Rp 600.000 plus sopir. Kapasitas mobil itu 14 sampai 17 orang. Tetapi, saat mobil mulai melesat menuju jalan lurus dan mulus menuju Pulau Galang, hanya terisi tiga orang saja. Saya, istri saya, dan sopir bernama John. Setidak-tidaknya itulah yang tertulis di kartu namanya. Padahal nama aslinya Ahmad Furqon.

“Saya tidak tahu panggilan saya John, tetapi dulu guru SMP saya sering memanggil saya John,” kata Furqon, eh… John, saat mobil masih terhadang satu lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Batam.
“Nah, kita siap-siap menuju Jembatan Barelang sebelum singgah ke Pulau Galang,” kata John.
“Apa istimewanya sebuah jembatan?” Tanya saya.
“Bukan ‘sebuah’, enam jambatan, Pak.”Enam, sepuluh, seratus, berapapun jumlahnya jembatan sama saja… gumam hati saya saat duduk di samping kiri John.

John mengemudi agak serabutan. Istri saya di belakang terperangkap kantuk akibat AC mobil yang sejuk, sementara di luar udara amat menyengat, padahal baru pukul 10.00, Selasa, 20 Mei 2008 lalu.

“Jembatan ini sekarang menjadi simbol Batam, Pak, bukan pabrik lagi,” katanya. Diam-siam saya keluarkan ponsel internet saya, menelusur di Google Mobile dan memasukkan kata kunci “Jembatan Barelang”. Got it! Saat John berceloteh tentang jembatan itu, saya sudah langsung memahaminya hanya lewat ponsel internet di telapak tangan. Terima kasih, teknologi informasi!

“Jembatan itu dibangun atas ide dan inisiatif Pak Habibie ‘kan, John?”
John menoleh, “Kok Bapak Tahu?”
“Mulai dibangun tahun 1992 dan orang Batam menyebutnya ‘Jembatan Habibie’!”
“Ah, Bapak malah lebih tahu!”

Saya tertawa ngakak, entah mengagumi teknologi internet atau menertawakan ketidaktahuan John kalau saya tengah berselancar melalui ponsel berinternet. Saya yakinkan John bahwa meskipun tahu sejarahnya, tetapi belum tahu ujudnya.

“Sekarang saya ingin tahu ‘wajah’ jembatan itu,” kata saya.
“Cantik, Pak, kita segera menuju ke sana…” (bersambung)

Komentar Pembaca:

Mia @ Jumat, 23 Mei 2008 06:12 WIB
Kisahnya menarik, ditunggu lanjutannya... :)

hokidoki @ Jumat, 23 Mei 2008 05:57 WIB

Novel Meilanie, mereka tidak balik ke vietnam, pulau galang adalah tempat sementara sebelum mereka diterima di negara negara barat

veddys @ Kamis, 22 Mei 2008 15:56 WIB
saya pernah wisata di batam, memang sangat menarik, cuma daerah wisata tersebut tidak dikelola dengan baik

novel meilanie @ Kamis, 22 Mei 2008 14:09 WIB
iya saya pernah ke barak itu, bagus banget! serasa di vietnam, museum hidup, kenapa sih mereka mesti balik ke vietnam sana...?

audi @ Kamis, 29 Mei 2008 17:14 WIB
Batam...panas yg kurasa...tapi jembatan Balerang sungguh membawa ku terpesona, dengan berdiri diatas jembatan sambil melihat pulau-2

kwan @ Minggu, 25 Mei 2008 21:59 WIB
sedih bgt

ines @ Minggu, 25 Mei 2008 13:35 WIB
jembatan balerang... ini juga sangat menarik.. entah kenapa batam tidak bisa mempromosikan tempat2 ini. atau mmg tidak utk dipublikasikan?

Ardian @ Sabtu, 24 Mei 2008 10:20 WIB
Batam tempat wisatanya tidak dijaga dgn baik,sy pernah kedaerah tersebut,angker....,dan kapal2nya udah pada rapuh.tempat ibadahnya peninggalan jaman dulu juga angker,itu menurut saya lho....,i love you BATAM

niswa @ Jumat, 23 Mei 2008 13:49 WIB
setelah baca artikel tentang batam aku jadi tertarik untuk jalan-jalan kesana,, aku pernah melihat batam dari TV,,aku rasa tempatnya cukup menarik,,teman-temanku yang dari kepulauan riau juga pernah bercerita tentang batam yang bagi mereka menakjubkan....

No comments: