Monday, June 16, 2008

Catatan (52): Digital Native


Kemana Arah "Digital Native" Melangkah? (1)


HARI Rabu 11 Juni 2008 lalu, saya hadir sebagai salah seorang pemateri dalam Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik SMA Kolese Gonzaga Jakarta. Jumlah peserta pelatihan 249 siswa-siswi kelas 1 SMA tersebut. Mereka mengikuti pelatihan dengan antusias, banyak pertanyaan kritis terlontar, dan tidak segan mencecar jika dirasa belum mengerti.

Sebagai pemateri saya bertanya, siapa di antara 249 siswa-siswi itu yang pagi ini membaca koran cetak? Saya terkejut karena dari siswa-siswi sebanyak itu, hanya seorang saja yang membaca koran cetak! Pertanyaan saya kemudian: apa yang mereka baca saat memulai aktivitas hidup di pagi hari?

Lalu saya lanjutkan pertanyaan siapa di antara 249 siswa-siswi itu yang pada pagi itu membuka internet dan membaca Kompas.com? Sungguh di luar dugaan, belasan siswa-siswi mengacungkan tangan!

Saya yang bekerja untuk Harian Kompas, baik cetak maupun online, menjadi bertanya-tanya lagi: apakah lima atau sepuluh tahun mendatang mereka tidak mengenal koran cetak dan lebih memilih media massa online? Kalau generasi mereka saja sudah "tidak mengenal" koran cetak, bagaimana generasi-generasi setelah mereka? Inikah yang dinamakan generasi digital native, suatu generasi yang sejak mereka dilahirkan sudah akrab dengan internet, komputer pribadi dan ponsel berintenet?

Saya yang bekerja untuk koran, yang hidup matinya sebuah koran tergantung dari pembacanya (dengan asumsi semakin banyak pembaca semakin banyak iklan diraih), menjadi degdegan sendiri membaca fenomena ini, suatu gejala dimana generasi digital native yang tidak lagi mengenal koran cetak. Apakah hidup-mati koran cetak akan sangat tergantung pada generasi sekarang yang masih membaca koran cetak?

Saya masih berupaya menghibur diri sendiri bahwa koran cetak tidak akan pernah mati, kendati Philip Meyer dalam The Vanishing Newspaper meramalkan koran cetak akan mati pada 2043! Bagi saya, mungkin tidak lenyap sama sekali. Toh kehadiran radio, televisi dan media massa online, tetap saja tidak menggoyangkan koran cetak. Di Indonesia malah menunjukkan kenaikan tiras signifikan untuk beberapa penerbitan.

Benar, di belahan dunia sana, di Amerika Serikat dan Eropa, tiras koran cetak semakin menurun dan banyak di antara mereka berkonvergensi atau bahkan bermetamorfasa menjadi koran digital.

Kalau sekarang Kompas.com yang dulu bernama Kompas Cyber Media (KCM) berkonsentrasi untuk membesarkan diri dengan menambah konten-konten menarik dan mengerahkan wartawan serta editornya selama 24 jam, itu bisa saya mengerti karena masa depan bisnis media massa memang ada di sini, yakni di media massa digital ini!

Bagi saya yang sejak 1 April bergabung kembali dengan Kompas.com setelah empat bulan lamanya diminta mengurus Kompas Update, tidak ada cara lain bagi saya selain mencurahkan pikiran dan tenaga untuk turut membasarkan Kompas.com.

Karena saya diberi mandat untuk mengurusi komunitas (community), maka pelatihan jurnalistik dan menulis yang secara tidak sengaja sudah saya mulai sejak beberapa tahun sebelumnya atas permintaan Diklat Kompas, menjadi salah satu cara mengenalkan Kompas.ckom Reborn. Lebih dari itu, inilah cara saya untuk semakin mendekati dan bergaul dengan komunitas, sekecil apapun komunitas itu.

Saya harus mengetahui, apa maunya dan kemana arah native digital seperti yang ditunjukkan siswa-siswi SMA Gonzaga ini melangkah?

Di bawah ini selintas kegiatan saya saat memperkenalkan Kompas.com Reborn kepada SMA Gonzaga, yang dimuat di Rubrik What's New di http://www.kompas.com/.

Pelatihan Jurnalistik di SMA Gonzaga

Secara berkala Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Harian Kompas yang dipimpin Manajer Diklat Agnes Aristiarini, mengadakan pelatihan jurnalistik untuk siswa SMA, mahasiswa, sampai pesantren. Pada Hari Rabu-Jumat, 11-13 Juni 2008, Diklat Kompas mengadakan pelatihan di SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan.

Sebanyak 249 siswa kelas 1 SMA Gonzaga yang terbagi ke dalam 25 kelompok itu menyimak serius paparan para pemateri. Mereka adalah tim dari Diklat Kompas, yakni Santoso dan Cahyono, Pieter Gero (wartawan senior Harian Kompas), dan Pepih Nugraha (KOMPAS.com).

Output dari pelatihan selama tiga hari itu, masing-masing kelompok menerbitkan satu halaman majalah dinding atau koran dinding. Mereka menentukan sendiri pemred, redpel, wartawan, sampai fotografer. Pelatihan berlangsung secara interaktif.

Dalam kesempatan itu, Pepih dari KOMPAS.com, memperkenalkan KOMPAS.com Reborn kepada siswa SMA Gonzaga yang beberapa di antaranya mengaku fanatik dengan Kompas.com. Saat ditanya, "Siapa yang membaca koran cetak hari ini?" Hanya ada satu siswa yang angkat tangan. Tetapi ketika ditanya siapa yang membaca Kompas.com, banyak siswa yang mengangkat tangan dengan alasan melihat perkembangan sepakbola Piala Eropa.

Pepih menjelaskan bahwa Harian Kompas versi cetak saat ini diperkuat oleh versi online bernama KOMPAS.com. Kehadiran KOMPAS.com ini suatu keharusan di era digital yang semakin tersambung ke internet, untuk mewadahi kebiasaan baru membaca generasi "digital native" seperti halnya siswa-siswi SMA Gonzaga.

Hasil karya jurnalistik salah satu kelompok SMA Gonzaga, dan kelak siapapun yang mengadakan pelatihan, ditampilkan di blog khusus bernama "WE NETIZEN". Blog jurnalistik dengan tag "Beritakan Beritamu" itu beralamat di: http://www.pepih.dagdigdug.com/. (*)

No comments: